“Apa yang kau lakukan, Joana?!” teriak Melvin begitu pintu apartemen terbuka dan pemandangan di depannya membuat napasnya seketika terengah-engah.
Ruangan itu berantakan. Tirai berkibar oleh tiupan angin dari jendela besar yang terbuka lebar. Di ujung sana, tubuh Joana berdiri di ambang, satu kakinya sudah hampir menggantung keluar.
Ia mengenakan gaun tipis yang berkibar ditiup angin malam, rambutnya acak-acakan, dan wajahnya tampak putus asa.
Di sisi lain ruangan, Jesika berlari ke arah Melvin dengan wajah panik.
“Melvin! Tolong Joana. Dia ingin bunuh diri! Dia tidak sanggup bertahan hidup dengan keadaan seperti ini!” Jesika menggenggam lengan Melvin erat, matanya berkaca-kaca penuh ketakutan.
Melvin menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan detak jantungnya yang berdegup liar.
“Aku pun tidak mau terlibat dalam masalah ini. Aku tidak sanggu
Melvin melangkah perlahan ke dalam kamar, tangannya membawa nampan kecil berisi segelas susu ibu hamil.Ia berhenti sejenak di ambang pintu, memandangi Thania yang baru saja bangun. Rambut Thania masih kusut, matanya sembap seperti habis menangis, dan ekspresinya datar, tanpa semangat.“Ini…,” ucap Melvin pelan, menyerahkan segelas susu itu.Thania hanya mengambil gelas tersebut tanpa berkata sepatah kata pun. Tidak ada ucapan terima kasih, tidak ada senyum, hanya sepasang mata kosong yang menatap sekilas sebelum kembali jatuh ke arah lantai.Ia lalu melangkah ke sofa dengan gerakan malas dan berat, lalu duduk sambil meminum perlahan susu yang diberikan suaminya.Melvin memperhatikan gerak-gerik Thania dengan hati yang terasa semakin hancur. Wajahnya lesu, sorot matanya kusam, dan tubuhnya terlihat seperti kehilangan arah.Dia berdiri beberapa saat tanpa tahu harus berbuat apa, lalu akhirnya duduk di samping istrinya denga
Melvin membuka mulutnya, tapi tak ada suara keluar. Matanya berkaca, pikirannya berputar mencari jawaban yang jujur namun tidak menyakitkan—padahal ia tahu, mungkin itu tidak ada.Perlahan, ia mengalihkan pandangannya ke lantai, lalu berbisik, “Aku... aku tertidur di sana.”Thania memejamkan matanya sejenak, menahan napas dan perih yang tiba-tiba datang menyerang. “Tertidur? Di apartemen Joana?” suaranya masih tenang, namun dinginnya menusuk lebih dalam dari teriakan sekalipun.Melvin buru-buru menjelaskan, suaranya penuh kegugupan. “Aku tidak bermaksud. Aku hanya terlalu lelah dan emosiku kacau. Setelah Joana akhirnya mau turun dari jendela, aku duduk sebentar... lalu aku tertidur di sofa.“Aku bersumpah tidak terjadi apa-apa, Thania. Aku tidak menyentuhnya. Aku bahkan tidak berniat tinggal lama.”Thania tersenyum lirih, sebuah senyu
Melvin membuka matanya perlahan, kelopak matanya terasa berat dan lehernya pegal akibat posisi tidur yang tak nyaman.Pandangannya menyapu ruangan dan seketika ia terperanjat bangun saat menyadari tempatnya sekarang. Sofa ruang tengah. Dingin. Asing.“Ah! Bodoh sekali kau, Melvin!” umpatnya lirih namun penuh penyesalan. Ia mengacak rambutnya dengan frustasi saat sadar bahwa dirinya masih berada di apartemen Joana. Keningnya berkerut menahan panik.Dengan cepat, ia melihat ke jam tangan. Jarum panjang sudah menunjuk ke angka dua belas dan jarum pendek ke angka delapan. Pukul delapan pagi.“Sial!” desisnya. Dadanya sesak. Ia bangkit dan berlari kecil ke arah pintu, menjejak tangga darurat menuju basement.Detak jantungnya memacu cepat, diiringi suara napasnya yang berat dan tak beraturan. Ia merasa seolah dunia menindih pundaknya.
“Apa yang kau lakukan, Joana?!” teriak Melvin begitu pintu apartemen terbuka dan pemandangan di depannya membuat napasnya seketika terengah-engah.Ruangan itu berantakan. Tirai berkibar oleh tiupan angin dari jendela besar yang terbuka lebar. Di ujung sana, tubuh Joana berdiri di ambang, satu kakinya sudah hampir menggantung keluar.Ia mengenakan gaun tipis yang berkibar ditiup angin malam, rambutnya acak-acakan, dan wajahnya tampak putus asa.Di sisi lain ruangan, Jesika berlari ke arah Melvin dengan wajah panik.“Melvin! Tolong Joana. Dia ingin bunuh diri! Dia tidak sanggup bertahan hidup dengan keadaan seperti ini!” Jesika menggenggam lengan Melvin erat, matanya berkaca-kaca penuh ketakutan.Melvin menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan detak jantungnya yang berdegup liar.“Aku pun tidak mau terlibat dalam masalah ini. Aku tidak sanggu
“Kenapa kau ada di rumah sakit?” tanya Arion setelah mereka berdua duduk di salah satu sudut kafetaria rumah sakit yang cukup sepi.Evelyn menatap Arion sejenak, lalu menghela napas. Tatapannya kosong, tapi tetap tenang. Ia meraih cangkir cappuccino latte-nya, meniup permukaannya perlahan sebelum menyesapnya.“Ibuku sakit. Andrew sedang di luar negeri dan akhirnya aku yang harus menemani Ibu di sini,” jawabnya sambil meletakkan cangkir kembali ke atas meja.Arion mengangguk pelan, kedua tangannya melingkar di sekitar gelas kopinya yang belum ia sentuh. “Semoga ibumu segera sehat kembali,” ucapnya tulus.Evelyn hanya membalas dengan anggukan kecil, lalu kembali menatap pria di hadapannya. Ada sedikit rasa ingin tahu yang akhirnya tak bisa ia tahan lebih lama.“Kau sendiri? Kenapa belum move on? Kau ingin dihajar lagi oleh Melvin, huh?” Nada kesalnya muncul, tapi terdengar lebih seperti kepedulian yang dibungkus dalam sarkasme khas Evelyn.Arion mendengus pelan, menatap wanita itu denga
“Kau sudah pulang?” tanya Thania dengan nada lembut, matanya menatap Melvin yang baru saja membuka pintu ruang rawat inap itu. Langkah Melvin terlihat pelan, tanpa tergesa. Tangannya kosong, tidak membawa kantong belanja apa pun seperti yang ia katakan sebelumnya akan dilakukan. Alis Thania mengerut pelan, ekspresinya berubah bingung. “Bukankah kau pergi ke supermarket? Kenapa tidak membawa apa-apa?” tanyanya sambil sedikit mengangkat tubuhnya dari posisi bersandar. Nada suaranya menunjukkan rasa penasaran, sekaligus sedikit kekhawatiran. Melvin menutup pintu perlahan, lalu menghampiri Thania dengan langkah penuh pertimbangan. Wajahnya tampak serius, namun lembut. “Sudah dibawa oleh Regina ke rumah. Aku tidak mampir lagi dan langsung kemari,” ucapnya tanpa menjelaskan terlalu banyak. Tanpa menunggu tanggapan, ia langsung duduk di pinggir ranjang dan memeluk tubuh Thania dengan erat. Pelukan itu hangat, erat, dan penuh perasaan. Tidak seperti biasanya. Thania bisa merasakan dada M