“Ya!” Kalimat itu akhirnya keluar dari mulut Thania—sebuah pengakuan yang sederhana, namun sarat makna dan menyentuh kalbu."Aku takut kehilanganmu, Melvin," ucap Thania lirih, seolah ia tidak ingin mengulanginya, tetapi juga tidak ingin disalahpahami.Melvin terpaku di tempatnya, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia tahu bahwa selama ini Thania adalah perempuan yang kuat dan jarang menunjukkan sisi lemahnya, terlebih ketika berkaitan dengan perasaan.Dan sekarang, ketika kalimat itu benar-benar terucap, rasanya seperti ia baru saja mendapatkan udara segar setelah tenggelam begitu lama.Ia menatap istrinya, perempuan yang telah melalui begitu banyak hal bersamanya. Wajah Thania tampak tenang, namun dari sorot matanya, jelas terlihat kekhawatiran yang mendalam.Bukan hanya karena penyakit yang baru saja Melvin alami, melainkan lebih dari itu—karena sikap Melvin yang cenderung ceroboh dan abai terhadap kesehatannya sendiri."Melvin, aku mohon, jangan bertindak gegabah lagi. Kau boleh saj
Dua hari kemudian, Melvin akhirnya pulang ke rumah setelah dirawat di rumah sakit akibat dehidrasi dan komplikasi lambung yang cukup serius.Hembusan udara rumahnya sendiri terasa jauh lebih menenangkan dibanding bau disinfektan dan suara monitor detak jantung yang selama ini menghantui tidurnya di rumah sakit.Ketika langkah-langkahnya memasuki rumah, meski masih sedikit goyah, senyum bahagia tak bisa disembunyikan dari wajahnya.“Akhirnya, aku bisa istirahat di rumah,” gumamnya lirih, lalu menjatuhkan tubuhnya ke sofa ruang tengah dengan napas lega.Ia menyandarkan punggungnya perlahan, berusaha tak membuat gerakan mendadak karena perutnya masih terasa nyeri. “Meski tidak bisa melakukan apa pun, tapi setidaknya aku sudah tidak berada di lingkungan yang sangat tidak aku sukai,” lanjutnya seraya memejamkan mata sebentar.Thania yang duduk tak jauh darinya, mengamati setiap gerakan Melvin dengan seksama. Tatapan matanya penuh perhatian dan sedikit khawatir, tapi ia mencoba menutupinya
“Apa… maksudmu, Thania?” tanya Melvin dengan suara yang nyaris berbisik. Suaranya terdengar patah, seakan ucapannya ditahan oleh kepanikan yang baru saja muncul.Tatapan matanya memburu ke arah wajah istrinya, memohon kejelasan. Jemarinya yang semula menggenggam tangan Thania, kini sedikit bergetar, mencerminkan kecemasan yang menyeruak tiba-tiba.Thania menatap wajah Melvin tanpa menghindar. Sorot matanya tenang, namun mengandung kedalaman emosi yang sulit dijelaskan. Ia menarik napas pelan sebelum mulai berbicara.“Andai saja Mama dan Papa tidak membujukku, mungkin aku sudah pergi ke pengadilan dan menceraikanmu, Melvin.” ‘Suaranya terdengar jujur, tanpa drama, tapi justru itulah yang membuat hati Melvin seketika hancur. “Aku hanya lelah… hanya butuh waktu sendiri dan memberimu pelajaran karena sudah menghamili Joana.”Kalimat itu terasa seperti peluru yang mengenai dadanya tanpa peringatan. Melvin langsung duduk lebih tegak, seakan ingin memperjelas bahwa ia tidak akan membiarkan
“Davian! Kapan aku pulang? Aku sudah bosan ada di rumah sakit,” keluh Melvin, suaranya terdengar geram namun juga lemah.Ia duduk bersandar di ranjang rumah sakit, selimut setinggi pinggang, mengenakan pakaian pasien berwarna hijau pucat yang sama sekali tidak cocok dengan karismanya sebagai seorang eksekutif muda.Wajahnya sedikit pucat, matanya sayu, tapi sorotnya masih tajam—terutama saat melihat Davian memasuki ruang rawatnya sambil membawa tablet dan stetoskop menggantung di leher.Adik bungsunya itu tampak santai, namun tetap profesional, mengenakan jas dokter putih dengan nama bordiran yang menunjukkan statusnya sebagai salah satu dokter muda yang berprestasi di rumah sakit itu.Davian menghampiri dengan langkah ringan, meletakkan tablet di meja samping dan mulai mengecek monitor infus serta tekanan darah.“Kondisimu masih belum pulih seutuhnya, Melvin. Mungkin dua sampai tiga hari lagi baru bisa pulang,” ucapnya datar tanpa banyak basa-basi.Melvin mendesah kasar, suara napasn
“Kalen. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu.” Nadya menghampiri Kalen dengan langkah pelan namun mantap. Wajahnya tampak letih, meskipun riasan tipis masih melekat rapi di wajahnya.Ia menghentikan langkah beberapa meter dari suaminya yang baru saja menggantung jasnya di gantungan di dekat pintu masuk.Kalen menoleh, alisnya sedikit bertaut melihat wajah Nadya yang tampak gelisah. Ia baru saja tiba di rumah setelah seharian mengurus laporan penangkapan Jesika, dan kini ia dihadapkan pada kecemasan lain.“Ada apa, Sayang?” tanyanya, suaranya rendah namun penuh perhatian.Nadya menundukkan wajahnya sejenak, menarik napas panjang sebelum menatap suaminya dengan sorot mata yang jernih namun penuh beban.“Aku tidak mau Thania pisah, Kalen.” ucapnya lirih, seolah butuh kekuatan besar untuk mengeluarkan kalimat itu.Kalen mengangkat alisnya, sedikit terkejut dengan kekhawatiran itu. “Siapa juga yang ingin mereka pisah, Sayang?” balasnya. “Lagi pula, aku rasa, Thania sudah memaafkan Melvin.
Kelopak mata Melvin perlahan terbuka setelah dua hari lamanya tidak sadarkan diri. Pandangannya masih kabur. Ia memicingkan mata, menoleh perlahan ke kanan dan kiri, mencoba mengenali di mana dirinya berada.Kepalanya terasa berat, tubuhnya lemas. Ia sempat mengerutkan kening, merasa waktu telah berjalan tanpa ia sadari.Sudah dua hari ia tak sadarkan diri.“Melvin?” bisik sebuah suara lembut, penuh kelegaan dan ketulusan.Thania duduk di sisi ranjang, tangan lembutnya menggenggam erat tangan Melvin. Tatapannya sayu, namun mengandung hangat yang dalam.Matanya sedikit merah karena kurang tidur, namun sinarnya penuh syukur karena pria yang dicintainya akhirnya membuka mata.Melvin mengalihkan pandangan ke arah suara itu. “Thania ….” ucapnya lirih. Suaranya terdengar serak dan lemah. Ia batuk pelan, refleks mengangkat tubuhnya, berusaha duduk meski tubuhnya belum kuat.“Jangan dulu bangun, Melvin. Kau masih sakit,” ucap Thania cepat, menahan bahu suaminya dengan kedua tangannya. Sentuha