Home / Rumah Tangga / Derita Istri Tak Diinginkan / Wanita Murahan ini adalah Istrimu!

Share

Wanita Murahan ini adalah Istrimu!

Author: Senja Berpena
last update Last Updated: 2025-04-26 03:54:11

“Selamat atas pernikahanmu, Thania,” sapa Arion dengan nada hangat, matanya menatap lembut ke arah Thania yang tengah berdiri di depan pintu ruang rapat menunggu Melvin.

Thania menoleh, kedua alisnya terangkat tipis. “Terima kasih, Arion,” jawabnya pelan sambil memeluk file di dadanya lalu menghela napas.

“Kenapa kau tidak datang di acara pernikahanku dua hari yang lalu?” tanya Thania ingin tahu.

Arion menghela napas sejenak, menunduk. “Maafkan aku, Thania. Ayahku tiba-tiba sakit, aku harus menemaninya ke luar kota kemarin malam. Kupikir masih sempat kembali, tapi jadwal penerbangan…” Suaranya tersendat, menahan rasa bersalah di sudut mulut.

Thania mengangguk pelan, sorot matanya penuh pengertian. “Aku mengerti, keluarga memang lebih penting.” Ia tersenyum, berusaha menutupi rasa kecewa kecil yang merayap di dada.

Arion melempar senyum tipis. “Aku akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu.” Ia menepuk lembut pundak Thania sebelum melangkah mundur.

Mereka menoleh bersama ke arah seberang aula. Seorang pria tampak tegap, jas hitamnya tersemat rapi, wajahnya menatap lurus ke depan tanpa sekat emosi.

Melvin—bersama jajaran direksi perusahaan, berjalan mantap menuju ruang rapat yang akan dimulai beberapa menit lagi.

“Hei, sebaiknya kita masuk,” ujar Thania menahan pekikan gemuruh dari tamu lain yang mulai berbaris memenuhi ruang rapat.

Arion melirik sejenak ke arah Melvin, lalu membalas tatapan itu dengan senyum sopan yang nyaris meruntuhkan pilar ketegasan Melvin. “Silakan lebih dulu, Thania. Aku tunggu di dalam.”

Thania terdiam, hatinya berdegup cepat. Ada perasaan lega melihat Arion memberikan jalan, namun seketika terhalang oleh bayangan sosok suaminya.

“Baik,” ucapnya dan melangkah anggun masuk. Melvin menoleh dan sekilas menatapnya, tubuhnya membeku selama sepersekian detik sebelum melanjutkan langkah ke dalam ruangan.

Pintu ruang rapat tertutup di belakang mereka. Suara langkah sepatu hak tinggi dan suara sepatu pantofel bergantian memecah keheningan.

Arion berdiri beberapa langkah di belakang, matanya terus mengikuti Thania, seolah setiap geraknya adalah harta karun yang tak ingin dilepaskannya.

Di dalam, Melvin duduk di kursi paling ujung meja oval, menghadap para direksi. Pandangannya tajam melintas di antara para hadirin, lalu berhenti pada kursi kosong di sisi Thania.  

“Duduk di sampingku,” titah Melvin dengan suara dingin yang menusuk, seolah tak menyisakan ruang bagi bantahan.

Thania melirik sekilas ke arah pria itu. Ada ketegangan di matanya yang sejenak menguar, tapi ia cepat menekannya.

Dengan anggukan kecil, ia mematuhi perintah itu. Bukan karena takut. Bukan pula karena tunduk. Tapi karena itulah satu-satunya cara untuk menjaga Melvin tetap tenang, tetap merasa di atas.

Ia sudah lelah bertengkar dengan amarah yang tak pernah jelas asalnya—amarah yang selalu jatuh padanya, walau bukan ia penyebabnya.

Tak lama kemudian, Arion masuk ke dalam ruangan dengan langkah tenang dan percaya diri. Lengan kanannya memegang folder laporan, dan sorot matanya mengarah lurus ke depan, menyapu ruangan tanpa gentar.

Seketika itu juga, suasana menjadi berbeda. Ada ketegangan samar yang merayap seperti kabut di pagi hari. Semua mata tertuju padanya, namun hanya satu tatapan yang benar-benar membakar: Melvin.

Tatapan pria itu tajam, membara, menyimpan kecurigaan yang telah lama bersemayam dalam hatinya. Ia tahu betul—Arion menyukai Thania.

Itu bukan rahasia. Tapi Melvin, dengan segala kesombongan dan keyakinannya, percaya bahwa tak ada pria lain yang bisa menggantikan posisi Kalen di hati Thania.

Bahwa sekalipun Arion tampan, cerdas, dan punya segalanya, ia tetap tak akan mampu menaklukkan wanita itu.

Rapat pun akhirnya selesai. Namun, ketegangan belum berakhir. Justru baru dimulai. Melvin menggenggam tangan Thania dengan kasar, menariknya tanpa aba-aba, menyeretnya menuju ruang kerjanya.

“Sakit, Melvin. Jangan mencengkeram tanganku seperti itu,” lirih Thania, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang.

Ia melepaskan genggaman itu dengan paksa, menatap Melvin dengan luka yang tak lagi bisa disembunyikan.

Melvin membalikkan badan, wajahnya mengeras. “Kau pikir aku tidak melihat apa yang kau lakukan dengan Arion di depan ruang rapat tadi?” suaranya tajam, seperti bilah pisau yang menebas udara di antara mereka.

Thania terdiam sejenak. Ia mencoba mengatur napas, menahan diri dari amarah yang perlahan membuncah. Tapi Melvin tak berhenti.

“Tidak bisakah kau bersikap sebagai wanita elegan di hadapan pria? Tidak bisakah kau membuang derajat murahanmu itu di hadapan pria?”

Dan saat itulah, sesuatu di dalam diri Thania pecah. Ia menunduk, meremas tangannya sendiri, mencoba meredam getar di dadanya. Tapi kata-kata Melvin terlalu tajam, terlalu menyakitkan.

“Dia hanya mengucapkan selamat padaku. Apa bagimu semua pria yang dekat denganku karena aku murahan? Dangkal sekali otakmu, Melvin!” ucap Thania, suaranya bergetar antara marah dan luka yang telah lama ditahan.

“Karena memang kenyataannya seperti itu, Thania. Kau pikir aku tidak tahu kalau Arion menyukaimu? Tapi, kau tidak mau mendekatinya karena dia hanya seorang General Manager di sini!”

Thania menatap pria itu dengan mata berkaca-kaca. Matanya tak sekadar menatap, tapi menelanjangi luka lama yang semakin menganga. Napasnya berat.

“Wanita murahan yang kau sebut-sebut itu istrimu sendiri, Melvin.” Suaranya lirih, tapi tajam.

“Jika kau menghinaku dengan kata-kata itu terus-menerus, apa bedanya denganmu yang sama murahannya denganku, karena menikahi wanita murahan?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (12)
goodnovel comment avatar
wieanton
skakmaatt , gitu dong Thania balikin aja ucapan Melvin meskipun pengen nangis tp jgn keliatan lemah di depan mata Melvin
goodnovel comment avatar
Riyani Riyani
Hadeuuub bebal sekali Melvin susah ngadeoin manusia kek gitu Bener kata Thania kamu ngimong dia murahan terus kamu apa Melvin kamu menikahi wanita murahan jadi kamu juga sama murahan nya
goodnovel comment avatar
b3kic0t
perkuat hati aja sih Thania,jangan pake hati dengerin semua omongan Melvin,biar aja dia mau ngomong apa jangan peduli
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Derita Istri Tak Diinginkan   S2: Mengajak Evelyn Pindah Tempat Tinggal

    “Entahlah. Aku belum memikirkan tentang masa depan, Arion. Tapi, aku tidak akan membuang bayi ini meski Johan tidak akan mengakuinya,” ucap Evelyn dengan suara lirih, nyaris seperti bisikan yang tertelan oleh angin malam yang masuk lewat jendela rusak di sudut kamarnya.Arion menatap wanita di depannya itu dengan perasaan yang campur aduk. Perih, marah, dan iba bercampur menjadi satu.Evelyn, gadis yang dulu ceria, yang senyumnya mampu mencerahkan ruangan mana pun, kini berdiri di hadapannya seperti bayangan dari masa lalu yang retak.Matanya mengembara ke sekeliling kamar kontrakan itu—temboknya lembap, catnya mengelupas, dan satu-satunya lampu neon di langit-langit memancarkan cahaya redup berkelap-kelip.“Sudah berapa bulan usianya?” tanya Arion dengan pelan.Evelyn menunduk dan menatap perutnya yang masih rata seakan mencoba merasakan denyut kecil kehidupan di dalam sana.Ia menelan salivanya lalu mengangkat wajahnya dan menatap Arion dengan mata berkaca. “Delapan minggu, alias ba

  • Derita Istri Tak Diinginkan   S2: Datang ke Kontrakan Evelyn

    Arion berdiri di depan sebuah pintu kontrakan kecil di pinggiran kota New York, menatap bilik yang tampak kumuh dan jauh dari standar tempat tinggal seorang wanita seprofesional Evelyn.Telah tiga hari wanita itu menghilang tanpa kabar. Telepon tak diangkat, pesan tak dibalas. Bahkan, rekan-rekan di kantor pun tak tahu apa-apa.Arion merasa tidak tenang sejak pagi tadi, dan dorongan hatinya membawa langkahnya kemari—ke tempat yang dulu secara tak sengaja disebut Evelyn sebagai “tempat darurat.”Ia mengetuk pintu dengan pelan, menunggu dengan harap-harap cemas.“Evelyn?” panggil Arion dengan suara seraknya karena udara dingin di sana.Tidak ada jawaban. Hanya suara gemericik air hujan yang menemani.Ia mengetuk sekali lagi dan kali ini lebih keras. “Evelyn! Ini aku, Arion. Kumohon, buka pintunya. Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja. Evelyn?” panggilnya lagi.Masih tidak ada sahutan.Arion menghela napas panjang, lalu menempelkan telapak tangannya pada pintu kayu yang lembap.

  • Derita Istri Tak Diinginkan   S2: Tidak Masuk dalam Tiga Hari

    “Evelyn belum masuk kantor?” tanya Arion dengan dahi berkerut, tatapannya mengarah pada Luna—salah satu staf administrasi yang menggantikan posisi Evelyn selama tiga hari terakhir.Luna menggeleng pelan, menundukkan kepala seperti merasa bersalah karena tak mampu memberi kabar lebih. “Belum, Tuan. Aku sudah mencoba menghubunginya, tapi tidak dia angkat sampai saat ini.”Arion mendengus pelan. Ia menyandarkan punggung ke sofa yang berada di lorong depan, lalu memijat pelipisnya sejenak.“Apa yang sebenarnya terjadi padanya?” gumamnya lirih, seakan berbicara pada dirinya sendiri.Hatinya diliputi rasa tak tenang, sesuatu tentang absennya Evelyn terasa ganjil. Wanita itu dikenal sangat profesional, bahkan saat sedang sakit pun biasanya ia tetap mengabari secara rutin. Tapi sekarang, seolah ditelan bumi.Arion bangkit, langkahnya panjang dan cepat menuju ruang kerja. Suara sepatu pantofelnya bergema pelan di sepanjang koridor marmer.Setibanya di dalam, ia duduk di kursi kulit berwarna hi

  • Derita Istri Tak Diinginkan   S2: Dua Garis Biru

    “Ini benar-benar terjadi.”Wajah Evelyn pucat pasi ketika melihat sesuatu yang dia genggam. Di tangannya, sebuah test pack tergenggam erat, seolah jika ia melepaskannya, dunia akan runtuh.Dua garis merah terang terpampang jelas—tak mungkin disalahartikan. Kedua matanya melebar, bibirnya bergetar, dan tubuhnya perlahan melemas, bersandar pada dinding dingin yang seolah menertawakannya.Hening. Tak ada suara selain tarikan napas yang memburu.“Tidak... tidak mungkin...,” bisiknya lirih.Tetapi kenyataannya tak bisa diingkari. Dua garis itu bukan ilusi. Dua garis itu adalah vonis—bahwa hidupnya akan berubah untuk selamanya.Test pack itu terjatuh ke lantai saat tangan Evelyn menutupi mulutnya. Air matanya jatuh satu per satu, lalu mengalir deras.Tangisnya meledak, keras, penuh rasa marah, takut, dan hancur. Ia terduduk, memeluk lututnya, membenamkan wajah dalam lengannya.“Kenapa sekarang?” jeritnya, suara parau memecah keheningan pagi.Sebuah kilas balik perlahan menyelusup ke dalam b

  • Derita Istri Tak Diinginkan   Kebahagiaan yang Tak Terhingga

    Thania terbaring dengan bantal tinggi menopang punggungnya, rambutnya masih sedikit basah oleh peluh, wajahnya tampak pucat namun memancarkan cahaya yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.Perawat menyerahkan Alice kecil ke dalam pelukannya dengan hati-hati. Bayi mungil itu hanya berbalut selimut putih dengan bordiran nama halus di pinggirannya.Alice Elizabeth Reandra. Mata kecilnya masih terpejam rapat, tetapi tubuh mungil itu bergerak pelan, hangat, hidup.Thania menerima putrinya dengan kedua tangan gemetar. Detik pertama pelukan itu terjadi, tubuhnya lunglai oleh emosi.Air matanya pecah, mengalir tanpa henti. Suaranya tercekat di tenggorokan. Ia mengecup dahi Alice, lalu menariknya lebih dekat ke dada.“Akhirnya… kau di sini,” bisiknya pelan. “Kau datang, Sayang. Setelah semua rasa sakit, semua penantian… kau datang.”Air mata jatuh ke pipi Alice yang merah dan halus. Thania tak menahan apa pun. Tangisnya adalah doa yang selama ini terucap diam-diam. Tangisnya adalah cinta ya

  • Derita Istri Tak Diinginkan   Welcome To the World, Baby A

    Usia kandungan Thania sudah menginjak sembilan bulan. Perutnya kian besar, langkahnya kian lambat, dan napasnya lebih pendek dari biasanya.Namun, tak ada yang bisa menandingi semangat yang memenuhi hati dan wajahnya. Setiap pagi, dia berdiri di dekat jendela kamar, mengelus perutnya yang menonjol, dan membisikkan kata-kata lembut kepada bayi di dalam sana.“Papa, Mama, dan dua kakakmu menunggumu, Sayang. Dunia ini sudah disiapkan untuk menyambutmu,” ucapnya dengan suara serak penuh cinta.Sejak memasuki bulan ke-9 kehamilan, Thania memutuskan untuk cuti dari semua aktivitas luar rumah.Dia berhenti datang ke kantor, menolak semua undangan luar, dan memilih tinggal di rumah untuk memusatkan tenaganya pada satu hal: menyambut kelahiran sang putri kecil.Melvin, dengan seluruh perhatian dan cintanya, mendekor ulang kamar bayi mereka. Dinding-dinding dicat ulang dalam nuansa pastel lembut—biru muda, peach, dan sedikit hijau mint.Di salah satu sisi, dia melukis sendiri rangkaian bunga li

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status