"Dengan menjadi istrimu yang akan kau siksa setiap harinya?" ucap Thania lirih, suara seraknya nyaris patah. Matanya menatap Melvin dengan luka yang tak bisa ia sembunyikan lagi.
Melvin mengangguk mantap. Tegas. Tanpa ragu sedikit pun.
"Ya. Itu benar." katanya, suaranya dingin dan dalam. "Kau adalah istriku. Dan kau akan hidup sesuai keinginanku. Tak ada pengecualian."
Thania menunduk, menggenggam ujung selimut tebal yang bergetar di tangan. Air mata terus mengalir, namun ia tak mengusapnya. Untuk apa? Tangisnya pun tak punya tempat lagi untuk berlabuh.
Tubuhnya masih terasa sakit. Bukan hanya karena sentuhan kasar Melvin beberapa menit yang lalu, tetapi karena kata-kata yang terucap dari mulut pria itu—kata-kata yang lebih tajam dari bilah pisau mana pun.
"Kau adalah boneka mainan," lanjut Melvin, mendekat dan mencengkram dagu Thania dengan kasar, mengangkat wajah wanita itu agar menatapnya.
"Boneka milikku. Bagian dari perjalanan hidupku. Maka dari itu, turuti semua perintahku. Jangan pernah melawan."
“Dan satu lagi.” Melvin menatap datar wajah Thania yang tengah menatapnya nanar.
“Jangan perlihatkan muka kusutmu di hadapan semua orang. Kau harus terlihat bahagia karena telah menikah denganku! Itu adalah hukuman yang harus kau terima!”
Thania menggertakkan giginya pelan, menahan isak yang hampir keluar. Tatapannya tajam, tapi masih berbalut luka.
"Bagaimana mungkin aku bisa memperlihatkan kebahagiaan di hadapan mereka... kalau perlakuanmu saja seperti iblis?"
Sekejap mata Melvin menyala, dan tangannya mendorong wajah Thania menjauh. Sorot tajamnya mengiris udara, membuat ruangan yang dingin menjadi semakin membeku.
"Iblis dalam diriku tercipta karenamu, Thania!" suaranya meninggi. "Karena kebohonganmu. Karena senyum palsumu di hadapan ayahku! Kau membuatku seperti ini!"
Thania menahan napas. Ia melihat Melvin sejenak, dan dalam diamnya, ada luka yang tak bisa disuarakan.
"Aku tidak pernah ingin ini semua terjadi, Melvin..." suaranya hampir tak terdengar, seperti desir angin yang lelah.
Namun Melvin tak menggubris. Ia mundur selangkah, lalu menatapnya dari atas ke bawah.
"Terserah kau. Tapi mulai besok, kita akan terlihat seperti pasangan bahagia. Suka atau tidak. Karena semua orang harus percaya bahwa aku mencintaimu."
Thania rasanya ingin bercerai saja dengan Melvin, meski pagi tadi baru saja menyelesaikan pemberkatan. Namun, tidak mudah baginya. Melvin pasti akan melakukan segala cara liciknya untuk menahannya.
Bukan karena mencintainya. Melainkan untuk menyiksanya dengan hinaan atau caranya menyentuh Thania. Begitu hina, menatap tubuhnya saja seperti sedang menatap seorang wanita panggilan.
"Mulai hari ini," ucap Melvin dengan nada datar namun penuh ancaman, "kau akan menjalani hidup sebagai istriku sesuai aturanku."
Thania membalikkan badan, menatap suaminya yang kini mendekat satu langkah demi satu langkah. Hatinya berdetak cepat, bukan karena cinta—melainkan ketakutan.
"Apa maksudmu dengan aturan?" tanya Thania pelan.
"Kau tidak boleh dekat dengan pria mana pun, tak peduli itu siapa. Bahkan dengan sopir, pelayan, atau tetanggamu sendiri. Jangan pernah terlihat ramah pada pria lain."
Melvin berhenti tepat di hadapan Thania. "Dan satu hal lagi... kau harus selalu terlihat bahagia di depan semua orang, terutama keluargaku. Tapi, bukan berarti kau harus dekat dengan mereka, terutama pada ayahku!”
Thania mengepal tangannya, menahan amarah yang membuncah. "Dan kau? Bagaimana denganmu?” tanyanya kemudian.
Melvin menyeringai miring. Matanya berkilat seperti menyimpan niat buruk.
"Aku?" Ia tertawa pendek. "Tentu saja aku bebas melakukan apa pun yang aku mau. Apa urusanmu bertanya hal konyol seperti itu?”
"Licik sekali kau, Melvin." desis Thania tajam. "Itu tidak adil."
"Itulah nasib yang harus kau jalani," Melvin mendekatkan wajahnya ke telinga Thania. "Karena sudah menggoda ayahku."
"Aku tidak pernah menggoda ayahmu!" teriak Thania, matanya berkaca-kaca.
"Jika memang aku wanita penggoda, sudah sejak empat tahun lalu aku bisa menghancurkan rumah tangga orang tuamu!"
Melvin terdiam sejenak. Namun alih-alih terdiam karena merenung, ia justru tersenyum sinis.
"Oh!" ucapnya dengan suara terangkat. "Jadi, kau memang berniat ingin melakukannya? Sekali murahan tetaplah murahan!"
Ucapan itu menusuk jantung Thania. Ia menggeleng, air matanya jatuh satu per satu.
"Kau tidak tahu apa-apa tentangku..." lirihnya penuh luka.
Melvin menatap tajam, lalu mendekat begitu dekat hingga Thania bisa merasakan napasnya.
"Tentu aku tahu. Aku sudah mengenalmu selama empat tahun dan selalu memantaumu.” Melvin mengingatkan tentang pekerjaan mereka dalam satu ruangan yang sama.
“Kalau kau berani melanggar semua aturan yang telah aku berikan padamu... kau akan mati di tanganku."
“Entahlah. Aku belum memikirkan tentang masa depan, Arion. Tapi, aku tidak akan membuang bayi ini meski Johan tidak akan mengakuinya,” ucap Evelyn dengan suara lirih, nyaris seperti bisikan yang tertelan oleh angin malam yang masuk lewat jendela rusak di sudut kamarnya.Arion menatap wanita di depannya itu dengan perasaan yang campur aduk. Perih, marah, dan iba bercampur menjadi satu.Evelyn, gadis yang dulu ceria, yang senyumnya mampu mencerahkan ruangan mana pun, kini berdiri di hadapannya seperti bayangan dari masa lalu yang retak.Matanya mengembara ke sekeliling kamar kontrakan itu—temboknya lembap, catnya mengelupas, dan satu-satunya lampu neon di langit-langit memancarkan cahaya redup berkelap-kelip.“Sudah berapa bulan usianya?” tanya Arion dengan pelan.Evelyn menunduk dan menatap perutnya yang masih rata seakan mencoba merasakan denyut kecil kehidupan di dalam sana.Ia menelan salivanya lalu mengangkat wajahnya dan menatap Arion dengan mata berkaca. “Delapan minggu, alias ba
Arion berdiri di depan sebuah pintu kontrakan kecil di pinggiran kota New York, menatap bilik yang tampak kumuh dan jauh dari standar tempat tinggal seorang wanita seprofesional Evelyn.Telah tiga hari wanita itu menghilang tanpa kabar. Telepon tak diangkat, pesan tak dibalas. Bahkan, rekan-rekan di kantor pun tak tahu apa-apa.Arion merasa tidak tenang sejak pagi tadi, dan dorongan hatinya membawa langkahnya kemari—ke tempat yang dulu secara tak sengaja disebut Evelyn sebagai “tempat darurat.”Ia mengetuk pintu dengan pelan, menunggu dengan harap-harap cemas.“Evelyn?” panggil Arion dengan suara seraknya karena udara dingin di sana.Tidak ada jawaban. Hanya suara gemericik air hujan yang menemani.Ia mengetuk sekali lagi dan kali ini lebih keras. “Evelyn! Ini aku, Arion. Kumohon, buka pintunya. Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja. Evelyn?” panggilnya lagi.Masih tidak ada sahutan.Arion menghela napas panjang, lalu menempelkan telapak tangannya pada pintu kayu yang lembap.
“Evelyn belum masuk kantor?” tanya Arion dengan dahi berkerut, tatapannya mengarah pada Luna—salah satu staf administrasi yang menggantikan posisi Evelyn selama tiga hari terakhir.Luna menggeleng pelan, menundukkan kepala seperti merasa bersalah karena tak mampu memberi kabar lebih. “Belum, Tuan. Aku sudah mencoba menghubunginya, tapi tidak dia angkat sampai saat ini.”Arion mendengus pelan. Ia menyandarkan punggung ke sofa yang berada di lorong depan, lalu memijat pelipisnya sejenak.“Apa yang sebenarnya terjadi padanya?” gumamnya lirih, seakan berbicara pada dirinya sendiri.Hatinya diliputi rasa tak tenang, sesuatu tentang absennya Evelyn terasa ganjil. Wanita itu dikenal sangat profesional, bahkan saat sedang sakit pun biasanya ia tetap mengabari secara rutin. Tapi sekarang, seolah ditelan bumi.Arion bangkit, langkahnya panjang dan cepat menuju ruang kerja. Suara sepatu pantofelnya bergema pelan di sepanjang koridor marmer.Setibanya di dalam, ia duduk di kursi kulit berwarna hi
“Ini benar-benar terjadi.”Wajah Evelyn pucat pasi ketika melihat sesuatu yang dia genggam. Di tangannya, sebuah test pack tergenggam erat, seolah jika ia melepaskannya, dunia akan runtuh.Dua garis merah terang terpampang jelas—tak mungkin disalahartikan. Kedua matanya melebar, bibirnya bergetar, dan tubuhnya perlahan melemas, bersandar pada dinding dingin yang seolah menertawakannya.Hening. Tak ada suara selain tarikan napas yang memburu.“Tidak... tidak mungkin...,” bisiknya lirih.Tetapi kenyataannya tak bisa diingkari. Dua garis itu bukan ilusi. Dua garis itu adalah vonis—bahwa hidupnya akan berubah untuk selamanya.Test pack itu terjatuh ke lantai saat tangan Evelyn menutupi mulutnya. Air matanya jatuh satu per satu, lalu mengalir deras.Tangisnya meledak, keras, penuh rasa marah, takut, dan hancur. Ia terduduk, memeluk lututnya, membenamkan wajah dalam lengannya.“Kenapa sekarang?” jeritnya, suara parau memecah keheningan pagi.Sebuah kilas balik perlahan menyelusup ke dalam b
Thania terbaring dengan bantal tinggi menopang punggungnya, rambutnya masih sedikit basah oleh peluh, wajahnya tampak pucat namun memancarkan cahaya yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.Perawat menyerahkan Alice kecil ke dalam pelukannya dengan hati-hati. Bayi mungil itu hanya berbalut selimut putih dengan bordiran nama halus di pinggirannya.Alice Elizabeth Reandra. Mata kecilnya masih terpejam rapat, tetapi tubuh mungil itu bergerak pelan, hangat, hidup.Thania menerima putrinya dengan kedua tangan gemetar. Detik pertama pelukan itu terjadi, tubuhnya lunglai oleh emosi.Air matanya pecah, mengalir tanpa henti. Suaranya tercekat di tenggorokan. Ia mengecup dahi Alice, lalu menariknya lebih dekat ke dada.“Akhirnya… kau di sini,” bisiknya pelan. “Kau datang, Sayang. Setelah semua rasa sakit, semua penantian… kau datang.”Air mata jatuh ke pipi Alice yang merah dan halus. Thania tak menahan apa pun. Tangisnya adalah doa yang selama ini terucap diam-diam. Tangisnya adalah cinta ya
Usia kandungan Thania sudah menginjak sembilan bulan. Perutnya kian besar, langkahnya kian lambat, dan napasnya lebih pendek dari biasanya.Namun, tak ada yang bisa menandingi semangat yang memenuhi hati dan wajahnya. Setiap pagi, dia berdiri di dekat jendela kamar, mengelus perutnya yang menonjol, dan membisikkan kata-kata lembut kepada bayi di dalam sana.“Papa, Mama, dan dua kakakmu menunggumu, Sayang. Dunia ini sudah disiapkan untuk menyambutmu,” ucapnya dengan suara serak penuh cinta.Sejak memasuki bulan ke-9 kehamilan, Thania memutuskan untuk cuti dari semua aktivitas luar rumah.Dia berhenti datang ke kantor, menolak semua undangan luar, dan memilih tinggal di rumah untuk memusatkan tenaganya pada satu hal: menyambut kelahiran sang putri kecil.Melvin, dengan seluruh perhatian dan cintanya, mendekor ulang kamar bayi mereka. Dinding-dinding dicat ulang dalam nuansa pastel lembut—biru muda, peach, dan sedikit hijau mint.Di salah satu sisi, dia melukis sendiri rangkaian bunga li