“Berani sekali kau berkata seperti itu padaku,” ucap Melvin, suaranya datar namun menakutkan, seperti ancaman yang tersembunyi di balik ketenangan.
Matanya menusuk tajam ke wajah Thania, seolah ingin mengoyak setiap lapisan harga diri wanita itu.
Namun Thania tetap berdiri di tempatnya, tak sedikit pun gentar. Meski seluruh tubuhnya bergetar, ia menahan diri untuk tidak mundur.
Kepalanya tetap tegak, meski matanya enggan menatap mata pria itu. “Aku rasa, tidak ada yang salah dengan ucapanku. Itu benar. Kenyataan. Kau sudah menikahiku, dan menjadikan wanita murahan ini adalah istrimu.”
Nadanya tenang, namun luka yang dibawanya terasa dalam. Kata-kata itu bukan bentuk perlawanan, melainkan jeritan sunyi dari hati yang terlalu lama tertindas.
Ia bahkan tidak ingin menatap Melvin, karena melihat wajah pria itu hanya akan mengingatkannya pada luka-luka yang tak kunjung sembuh.
Di dalam hatinya, Thania berteriak. Ia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa dirinya terjebak dalam pusaran pernikahan yang penuh racun.
Pernikahan yang awalnya dijanjikan dengan cinta, ternyata hanya sandiwara murahan untuk menutupi kepentingan.
Melvin telah membohongi semua orang—termasuk dirinya. Ia berdiri di sisi pria itu, berpikir akan dicintai, namun justru menjadi boneka dalam permainan yang dingin dan kejam.
Amarah Melvin memuncak. Ia melangkah maju, mencengkeram bahu Thania dengan keras, begitu kuat hingga tubuh Thania tersentak mundur dan meringis kesakitan.
“Lepaskan, Melvin. Sakit!” bisik Thania, nyaris tak terdengar, namun penuh kepedihan.
Melvin mendekatkan wajahnya, berbisik dengan suara serak yang dingin seperti es: “Sekali lagi kau berbincang dengan Arion, bukan hanya jabatannya yang akan kucabut. Tapi nyawanya pun akan kucabut.”
Thania menatap Melvin dengan mata terbelalak. Antara takut dan tak percaya. Napasnya memburu, tubuhnya bergetar.
“Aku dan Arion hanya teman dekat. Kami satu kampus. Dan Arion juga masih saudaramu. Kenapa kau tega melakukan itu padanya? Kau tidak pantas membencinya hanya karena kau membenciku.”
Sebuah tawa kecil, getir dan penuh sindiran keluar dari mulut Melvin. Matanya dipenuhi kecurigaan yang kelam.
“Oh! Jadi sekarang kau membela pria itu?” ujarnya sinis. “Berapa banyak pria yang kau dekati, huh? Selain ayahku, sekarang saudaraku. Atau mungkin pada Davian pun kau suka? Siapa cepat dia dapat? Iya?”
Kata-kata itu seperti cambuk yang menghantam jiwa Thania. Ia ingin menjerit, ingin membalas, ingin menampar pria itu—tapi tubuhnya seakan lumpuh.
Ia hanya berdiri diam, menggigit bibirnya sendiri agar tidak menangis, agar suara hatinya tidak meledak menjadi isakan.
Air matanya menggenang, tapi ia menahannya mati-matian. Ia tidak akan memberi Melvin kemenangan untuk melihatnya lemah. Tidak sekarang.
Tok tok!
Suara ketukan pintu mendadak memecah ketegangan yang menggantung di udara. Melvin langsung melepaskan cengkeraman di bahu Thania dan menuntunnya dengan cepat ke sofa, seolah menyembunyikan apa yang baru saja terjadi.
Pintu terbuka.
“Pa? Ada apa kemari?” tanya Melvin, suaranya kembali tenang, seperti tidak pernah terjadi apapun.
Kalen berdiri di ambang pintu, matanya menyapu ruangan lalu tertuju pada Thania. Ia mengernyit melihat wajah menantunya yang tampak pucat dan memegang folder rapat seperti berusaha menutupi sesuatu.
“Aku mencari Thania. Ternyata ada di sini. Regina membutuhkanmu, Thania. Apa kau sedang sibuk?” tanyanya kemudian.
Thania menunduk, menelan sesak yang masih menggumpal di dadanya. Tangannya menggenggam map rapat erat-erat, seolah itulah satu-satunya pegangan untuk tetap kuat. Ia menggeleng pelan.
“Ah, tidak, Pa. Kami … kami sedang membahas—”
“Bulan madu kami.” Suara Melvin memotong ucapan Thania cepat dan tegas, tanpa memberi ruang penjelasan.
Sontak kepala Thania menoleh cepat ke arahnya. Jantungnya seperti dihantam palu—keras dan tak terduga.
Matanya menyipit, menatap Melvin dengan campuran bingung dan tidak percaya. Apa lagi maksudnya sekarang? pikirnya. Bulan madu? Bahkan menyebut kata ‘cinta’ saja sudah tak masuk akal dalam hubungan mereka.
“Oh, ya?” Kalen merespons dengan mata berbinar, tak sadar akan sandiwara yang sedang dimainkan di hadapannya. “Lalu, bagaimana? Kalian akan pergi bulan madu ke mana? Kapan?”
Melvin menarik napas panjang, ekspresinya santai seolah benar-benar sedang membicarakan masa depan romantis.
“Baru kami rencanakan, Pa. Aku masih mencari tempat yang cocok untuk bulan madu di musim panas ini.”
Sejenak, suasana ruangan berubah ringan bagi Kalen, namun tidak bagi Thania.
Ia hanya bisa menahan senyum tipis—senyum yang dipaksakan setengah mati, seperti topeng yang menyembunyikan luka yang semakin dalam.
Ia ingin tertawa getir mendengar kebohongan itu, tapi suaranya sudah terlalu lelah untuk keluar.
Ia tidak ingin pergi ke mana pun dengan Melvin. Bahkan sekadar duduk di sebelah pria itu saja sudah membuat napasnya berat.
“Sebaiknya pergi ke Hawaii saja, Melvin. Sangat pas untuk bulan madu di musim panas seperti ini,” usul Kalen dengan antusias.
Tak ada kecurigaan. Hanya niat tulus seorang ayah yang ingin melihat anak dan menantunya bahagia.
“Ya, Pa. Nanti aku pikirkan lagi. Sekarang masih banyak job yang harus aku selesaikan,” ucap Melvin, mencoba menunda harapan itu.
Namun Kalen tidak menyerah. “Oh, Melvin. Aku masih bisa menyelesaikan semuanya. Sebaiknya kalian pergi bulan madu saja.”
Di balik meja, Thania mengeratkan kepalan tangannya di atas pangkuan, menggenggam keras-keras rok hitamnya seolah itu bisa meredam semua emosi yang meletup dalam dirinya.
Ia ingin sekali berkata jujur pada Kalen, ingin sekali meneriakkan kebenaran bahwa semua ini palsu—bahwa Melvin berbohong, bahwa pernikahan ini adalah neraka berselimut senyum.
Tapi ia tahu. Kebenaran bisa jadi harga yang mahal. Terlalu mahal, bahkan bisa saja dibayar dengan nyawa. Dan ia tahu, Melvin tidak sekadar menggertak.
“Tapi, Pa ….”
“Tidak usah tapi-tapi, Melvin,” Kalen menimpali cepat. “Kalian harus menikmati momen pengantin baru ini berdua. Bukan di tempat kerja. Meski kalian bekerja di lingkungan yang sama, tetap saja harus merasakan momen indah di luar sana.”
Melvin tersenyum lebar, senyum kemenangan. Seolah ia baru saja memenangkan babak pertama dari permainan yang ia ciptakan sendiri.
Sementara di sisi lain, Thania hanya tersenyum hampa. Senyum yang menyakitkan—bukan karena dipaksa, tapi karena tak ada pilihan.
“Baiklah kalau begitu,” ucap Melvin santai, tanpa menoleh ke arah Thania. “Sabtu besok kami akan pergi bulan madu.”
“Apa ini?” gumamnya sarat dengan keterkejutan dan ketidakpercayaan.Seluruh kamar dipenuhi bunga mawar merah segar—di atas tempat tidur, di meja rias, bahkan kelopak-kelopaknya berserakan seperti salju merah yang jatuh di lantai marmer tersebut.Aroma manis bunga itu menusuk hidung, begitu kuat hingga hampir terasa menyengat.Thania menatap sekeliling, lalu melangkah hati-hati, takut menginjak kelopak-kelopak itu. Pandangannya tertumbuk pada sebuah buket besar di atas tempat tidurnya.Di antara lilitan plastik bening dan pita satin, terselip sepucuk surat kecil.Ia menghela napas perlahan, lalu meraihnya. Thania membuka surat itu dan mulai membaca.‘Hatimu yang seluas samudera ini, apakah bisa memberiku kesempatan? I love you, my wife. Hanya kau duniaku. Aku tidak bisa tidur kalau tidak memelukmu.’Sekilas senyum sinis melintas di bibirnya. Ia menyunggingkan senyum kecil, bukan karena tersentuh, tapi karena merasa geli bercampur muak.“Apa dia jadi tukang gombal sekarang?” gumamnya d
“Apa kau gila?” teriak Davian keras, suaranya menggema di seluruh ruangan. “Kau tidur dengan Joana? Di mana otakmu, Melvin? Kau ingin mati, hah?!”Nada suaranya memecah malam seperti petir yang menyambar. Melvin berdiri tak jauh darinya, tubuhnya tampak lunglai, wajahnya kusut tanpa arah.Ia mengangkat tangan, mencoba menenangkan adiknya.“Aku tidak tidur dengan Joana, Davian,” katanya cepat, berusaha menjernihkan kekeliruan yang sudah terlanjur membakar emosi Davian. “Hanya... tertidur di apartemennya.”“Sama saja!” teriak Davian kembali, lebih keras dari sebelumnya.Ia mendekat, lalu menjambak rambutnya sendiri dengan gerakan frustasi. Tangannya menggigil karena terlalu marah, dan wajahnya kini tak lagi sekadar kesal — tapi kecewa dan muak.“Tidak sama, Davian,” sergah Melvin, suaranya mulai meninggi, tapi bukan karena ingin membantah, melainkan karena dirinya mulai putus asa.“Aku lelah, aku mengantuk dan akhirnya tertidur di sofa ruang tengah. Sementara Joana tidur di kamarnya. Ti
Melvin melangkah perlahan ke dalam kamar, tangannya membawa nampan kecil berisi segelas susu ibu hamil.Ia berhenti sejenak di ambang pintu, memandangi Thania yang baru saja bangun. Rambut Thania masih kusut, matanya sembap seperti habis menangis, dan ekspresinya datar, tanpa semangat.“Ini…,” ucap Melvin pelan, menyerahkan segelas susu itu.Thania hanya mengambil gelas tersebut tanpa berkata sepatah kata pun. Tidak ada ucapan terima kasih, tidak ada senyum, hanya sepasang mata kosong yang menatap sekilas sebelum kembali jatuh ke arah lantai.Ia lalu melangkah ke sofa dengan gerakan malas dan berat, lalu duduk sambil meminum perlahan susu yang diberikan suaminya.Melvin memperhatikan gerak-gerik Thania dengan hati yang terasa semakin hancur. Wajahnya lesu, sorot matanya kusam, dan tubuhnya terlihat seperti kehilangan arah.Dia berdiri beberapa saat tanpa tahu harus berbuat apa, lalu akhirnya duduk di samping istrinya denga
Melvin membuka mulutnya, tapi tak ada suara keluar. Matanya berkaca, pikirannya berputar mencari jawaban yang jujur namun tidak menyakitkan—padahal ia tahu, mungkin itu tidak ada.Perlahan, ia mengalihkan pandangannya ke lantai, lalu berbisik, “Aku... aku tertidur di sana.”Thania memejamkan matanya sejenak, menahan napas dan perih yang tiba-tiba datang menyerang. “Tertidur? Di apartemen Joana?” suaranya masih tenang, namun dinginnya menusuk lebih dalam dari teriakan sekalipun.Melvin buru-buru menjelaskan, suaranya penuh kegugupan. “Aku tidak bermaksud. Aku hanya terlalu lelah dan emosiku kacau. Setelah Joana akhirnya mau turun dari jendela, aku duduk sebentar... lalu aku tertidur di sofa.“Aku bersumpah tidak terjadi apa-apa, Thania. Aku tidak menyentuhnya. Aku bahkan tidak berniat tinggal lama.”Thania tersenyum lirih, sebuah senyu
Melvin membuka matanya perlahan, kelopak matanya terasa berat dan lehernya pegal akibat posisi tidur yang tak nyaman.Pandangannya menyapu ruangan dan seketika ia terperanjat bangun saat menyadari tempatnya sekarang. Sofa ruang tengah. Dingin. Asing.“Ah! Bodoh sekali kau, Melvin!” umpatnya lirih namun penuh penyesalan. Ia mengacak rambutnya dengan frustasi saat sadar bahwa dirinya masih berada di apartemen Joana. Keningnya berkerut menahan panik.Dengan cepat, ia melihat ke jam tangan. Jarum panjang sudah menunjuk ke angka dua belas dan jarum pendek ke angka delapan. Pukul delapan pagi.“Sial!” desisnya. Dadanya sesak. Ia bangkit dan berlari kecil ke arah pintu, menjejak tangga darurat menuju basement.Detak jantungnya memacu cepat, diiringi suara napasnya yang berat dan tak beraturan. Ia merasa seolah dunia menindih pundaknya.
“Apa yang kau lakukan, Joana?!” teriak Melvin begitu pintu apartemen terbuka dan pemandangan di depannya membuat napasnya seketika terengah-engah.Ruangan itu berantakan. Tirai berkibar oleh tiupan angin dari jendela besar yang terbuka lebar. Di ujung sana, tubuh Joana berdiri di ambang, satu kakinya sudah hampir menggantung keluar.Ia mengenakan gaun tipis yang berkibar ditiup angin malam, rambutnya acak-acakan, dan wajahnya tampak putus asa.Di sisi lain ruangan, Jesika berlari ke arah Melvin dengan wajah panik.“Melvin! Tolong Joana. Dia ingin bunuh diri! Dia tidak sanggup bertahan hidup dengan keadaan seperti ini!” Jesika menggenggam lengan Melvin erat, matanya berkaca-kaca penuh ketakutan.Melvin menarik napas dalam-dalam, mencoba mengendalikan detak jantungnya yang berdegup liar.“Aku pun tidak mau terlibat dalam masalah ini. Aku tidak sanggu