Beberapa hari setelah hari itu terlewati. Bima masih merasa hubungannya dengan Intan renggang, tidak seharmonis biasanya. Intan masih kerap menghindar dan cuek ketika dia dekati. Sikap Intan yang demikian benar-benar membuat Bima bingung.Di sisi lain, Mira terus menghasut dan mempengaruhi anaknya yang tidak-tidak, apalagi Bima kadang merasa apa yang mamanya katakan itu ada benarnya dan masuk akal. Bima benar-benar dilema dan sedih. Sampai suatu hari Mira kembali menunjukkan foto pertemuan Intan dan Abraham di sebuah kafe. Bima tak percaya dengan apa yang dia lihat. Di foto itu mereka tidak mesra, hanya duduk berdua sambil berhadap-hadapan dengan minuman di depan mereka. Tapi .... "Mama dapat foto ini dari mana, Ma?" "Mama akan terus pantau kegiatan dia di luar ngapain aja. Lihat, kamu sendiri aja nggak tahu kan istri kamu pergi sama siapa aja? Bisa-bisanya kamu nggak tahu."Bima terdiam, dia ingat tempo hari istrinya memang minta izin pergi tapi dia larang, dan setelah itu Intan t
To Abraham: Ham, aku punya kabar gembira buat kamu. Maaf, ya, aku baru sempat kasih tahu.From Abraham: Kabar apa memangnya?To Abraham: Aku akhirnya hamil, Ham.From Abraham: Oh iya? Alhamdulillah, aku ikut senang dengarnya, Intan.To Abraham: Ini semua berkat bantuan kamu, makasih, ya, Ham. From Abraham: Itu udah tugas aku sbgai dokter, kok. Lagi bahagia dong sekarang? Oh iya ibu mertua kamu gimana? Pasti senang kan tahu kamu udah hamil?Intan bersandar di kasurnya sambil chatingan dengan Abraham. Dia memberitahu kabar gembira itu. Namun, membaca pesan terakhir itu, dia bingung menjawab apa. Dia tidak pandai berbohong dengan mengatakan ibu mertuanya bahagia atas kehamilannya, tapi dia juga tidak mungkin menceritakan masalah rumah tangganya pada orang lain, kan?Namun, dia juga butuh teman untuk bercerita. Setelah bergelut dengan pikirannya sendiri. Akhirnya Intan memutuskan untuk bercerita yang sejujurnya.To Abraham: Enggak, HamFrom Abraham: enggak gimana maksudnya?To Abraham: H
"Aku benar-benar nggak sanggup, Mas." Intan mengutarakan perasaan terdalamnya pada suaminya. Dia benar-benar tidak sanggup menghadapi tekanan demi tekanan yang ibu mertuanya berikan. Rasanya dia ingin menyerah saja. Bima menatap punggung istrinya yang berdiri membelakanginya. Pria itu lantas berdiri berjalan ke arah istrinya dan memeluk pinggangnya. "Selama ini kamu selalu sabar menghadapi sifat-sifat Mama dan adik-adik aku. Kamu bilang kamu selalu kuat kalau aku ada di samping kamu dan menguatkan kamu. Kamu harus kuat ya, juga optimistis kalau suatu saat nanti mereka akan sayang sama kamu. Mana kamu yang aku kenal dulu?""Aku capek, Mas," jawab Intan dengan posisi dirinya masih dalam keadaan dipeluk dari belakang. Dan dia tidak membalas pelukan suaminya itu. "Masalah ini nggak ada jalan keluarnya. Sampai mati pun mereka akan bersikap seperti itu. Aku benar-benar udah nggak kuat."Bima mengerti, perasaan Intan makin sensitif mungkin karena sedang hamil. Harusnya Intan tak boleh diber
"Gimana rasanya jadi ratu?"Langkah Intan yang baru saja keluar dari kamar dan hendak ke dapur, terhenti, mendengar teguran itu. Intan menoleh ke sumber suara. Mamanya menatapnya sambil bersidekap dada. Intan mengernyit tak mengerti pertanyaan itu. Dia mencoba tersenyum walaupun perasaannya mulai tak nyaman. "Mama ngomong apa, sih, Ma? Siapa yang jadi ratu?""Kamu lah, siapa lagi?" Intan terdiam mendengarnya.Mira berjalan mendekati Intan. Menatap menantunya itu dengan tatapan mengintimidasi. "Kamu dengar baik-baik, ya, Intan. Jangan pernah berpikir untuk bisa hidup enak dan bahagia di rumah ini. Mama pikir selama ini Mama sayang sama kamu? Mustahil, Intan.""Mama kenapa, sih, Ma?" tanya Intan mulai kesal. "Kenapa Mama jahat sama aku? Kenapa Mama belum bisa menerima aku? Apa yang membuat Mama nggak suka aku?""Kamu masih tanya kenapa?""Jujur, aku rindu sama Mama yang dulu. Mama yang sayang sama aku waktu aku hamil. Sekarang aku udah hamil, Ma. Aku juga udah cerita ke Mama soal ayah
"Gimana rasanya jadi ratu?"Langkah Intan yang baru saja keluar dari kamar dan hendak ke dapur, terhenti, mendengar teguran itu. Intan menoleh ke sumber suara. Mamanya menatapnya sambil bersidekap dada. Intan mengernyit tak mengerti pertanyaan itu. Dia mencoba tersenyum walaupun perasaannya mulai tak nyaman. "Mama ngomong apa, sih, Ma? Siapa yang jadi ratu?""Kamu lah, siapa lagi?"Intan terdiam mendengarnya.Mira berjalan mendekati Intan. Menatap menantunya itu dengan tatapan mengintimidasi. "Kamu dengar baik-baik, ya, Intan. Jangan pernah berpikir untuk bisa hidup enak dan bahagia di rumah ini. Mama pikir selama ini Mama sayang sama kamu? Mustahil, Intan.""Mama kenapa, sih, Ma?" tanya Intan mulai kesal. "Kenapa Mama jahat sama aku? Kenapa Mama belum bisa menerima aku? Apa yang membuat Mama nggak suka aku?""Kamu masih tanya kenapa?""Jujur, aku rindu sama Mama yang dulu. Mama yang sayang sama aku waktu aku hamil. Sekarang aku udah hamil, Ma. Aku juga udah cerita ke Mama soal ayah
Hari itu Bima memilih untuk tidak ke kantor, karena dia ingin menjaga istrinya yang sedang hamil muda. Selain itu, dia juga ingin memperbaiki hubungan dirinya dan istrinya. Pagi itu Bima bangun pagi-pagi sekali, kalau biasanya dia bersiap untuk mandi atau melihat istrinya memasak, kali ini dia berkutat di dapur membuatkan roti dan susu untuk Intan. Mira yang melihat itu mendekati anaknya. "Tumben pagi-pagi begini udah ke dapur? Bikin roti lagi?" tegur Mira menatap anaknya penuh selidik. "Buat siapa?" "Aku sengaja nggak ke kantor hari ini, Ma." Bima menjawab tanpa menghentikan aktivitasnya dari memolesi roti dengan selai strawberry, selai kesukaan Intan. "Aku mau nemenin Intan seharian. Dan ini sarapan buat dia, biar dia pas bangun nanti sarapannya udah siap." Bima lalu tersenyum menoleh ke mamanya sekilas. Sebelum berlalu dari harapan mamanya, mengantar makanan itu ke kamar. Mira tersenyum miring melihatnya. "Enak sekali, ya, Intan. Diperlakukan bagai ratu? Dia pikir dia bisa bahag