"Ada tamu. Coba bukain pintu." Rupanya Mira memanggil Bi Iyem karena meminta bukakan pintu untuk tamu mereka. Jantung Bi Iyem yang sudah nyaris copot, seketika lega luar biasa. "Buruan! Tunggu apa lagi!" bentak Mira ketika melihat pembantunya itu malah terdiam dengan muka pucat pasi.
"Ba-baik, Nyonya." Bi Iyem pun terburu-buru membukakan pintu. Dan ternyata yang datang adalah anak-anak gadis seusia Mischa. Mereka tampak cantik dengan penampilan yang fashionable. Tidak hanya itu, kulit mereka juga terlihat putih dan bening. Siapa pun yang melihat mereka pasti tahu mereka dari kalangan selebgram. Bu Iyem tersenyum menyambut mereka. Dan menyilahkan mereka masuk. "Hei, akhirnya kalian datang juga. Senang banget bisa ketemu kalian di dunia nyata." Mischa bersuara lantang saat melihat teman-temannya berkumpul di ruang tamu. Mischa pun langsung memeluk salah satu temannya yang berdiri dan menghampirinya. Mereka juga cipika-cipiki. "Senang juga ketemuan sama lo. Lo yang aslinya lebih cantik ternyata," puji cewek berambut panjang nan pirang itu, bergaya khas selebgram cantik. Mischa tersenyum. "Kamu juga, bening banget, Aura. Persis kayak nama orangnya, memancarkan aura." "Kamu bisa aja." Selebgram bernama Aura itu tersenyum malu-malu. "Duduk, dong." Mischa juga mempersilakan teman-teman yang lain untuk menikmati aneka kue yang sudah siap tersaji di prasmanan. Juga minuman yang tersedia di freezer. "Oh iya kalian udah pada makan belum, mau makan apa? Di rumah gue bisa nyediain apa aja yang kalian mau lho." Mischa duduk di sebelah temannya. "Lah, ini udah banyak makanan. Makan apa lagi?" respons salah satu dari mereka saat kembali dari mengambil semangkok kue basah. "Nggak perlu repot-repot, Mischa. Kita makan ini aja udah cukup, kok," jawab temannya yang lain. "Siapa tahu kalian mau makan nasi gitu? Yang lain gimana setuju nggak?" tanya Mischa lagi. "Mumpung kita lagi ketemu. Momen ini nggak boleh disia-siakan buat makan bareng. Selebgram lain yang nggak ikut datang pasti iri dan menyesal," tambah Mischa dengan nada sombongnya. "Nggak perlulah, Mischa. Nggak perlu repot-repot. Disiapin gini aja udah cukup, kok. Iya nggak, Gaes?" komentar salah satu temannya yang berambut pendek. "Tahu nih, Mischa nggak usah repot-repot lah." "Tapi gue sih terserah Mischa, ya, kalau dia memang mau ya kita ikutin aja." Namun, temannya yang lain memberi komentar berbeda. Mischa tersenyum mendengarnya. "Nah yang begini nih gue demen. Nggak usah malu-malu deh kita baru pertama kali ketemu nih. Kapan lagi coba makan bareng." "Iya, turutin aja deh yang punya rumah." "Tapi btw kalian mau makan apa, nih? Asisten rumah tangga gue siap buat masakin apa aja yang kalian mau." Mischa tersenyum senang. Tidak sabar rasanya untuk mengerjai Intan. Lalu Mischa masuk ke dalam menghampiri mamanya yang senang nonton televisi di ruang keluarga sambil selonjoran. "Ma, Kak Intan mana?" Mira mengalihkan pandangan dari layar televisi. "Ada apa kamu nanyain dia?" "Aku ada kerjaan buat Kak Intan. Aku mau nyuruh dia masak buat teman-teman aku. Oh iya, Mama kenalan dong sama teman-teman aku. Biar mereka tahu kalau aku punya Mama yang cantik banget ." Mischa merayu mamanya dan duduk di samping mamanya. "Ah, kamu bisa aja. Nanti Mama bakal temuin mereka." Mira kembali fokus ke layar televisi. Terlihat tak begitu tertarik dengan teman-teman Mischa. "Kapan?" Mischa merangkul lengan mamanya, bersikap manja. "Oh iya Ma Kak Intan mana, sih?" "Dia lagi Mama suruh cuci baju di belakang. Kenapa sih kamu nanyain dia?" Mira menoleh heran. Mischa tersenyum penuh arti. Dia punya rencana untuk mengerjai kakak iparnya itu. Tapi dia tidak mau bilang mamanya dulu. "Aku ada perlu, Ma. Hmm aku datangin Kak Intan dulu, ya." Gadis itu lalu beranjak dari duduknya, pergi menuju dapur. "Sebenarnya Bibi udah malas kerja di sini. Mau berhenti saja, tapi Bibi masih memikirkan nasib Bu Intan. Kalau ada apa-apa nanti ndak ada yang bantu ...." Begitu masuk ke dapur, Mischa mendengar suara Bi Iyem. "Kalau saya berhenti, nanti tugas Bu Intan makin berat. Nyonya pasti ndak mau cari asisten rumah tangga baru dan akan memanfaatkan tenaga Bu Intan." Sampai kakinya mencapai ambang pelataran pencucian. Ternyata Bi Iyem membantu Intan mencuci. Mischa pun langsung menegur pembantunya itu. Bi Iyem serta-merta menoleh dengan wajah terkejut luar biasa. "A-ada apa, Non?" tanyanya yang lantas mendatangi majikan mudanya dengan tergesa. Mischa bersidekap dada. "Kenapa takut-takut gitu? Takut, ya, ketahuan bantuin Kak Intan terus aku aduin ke Mama?!""Takut, ya, kepergok mau transfer uang buat ibumu yang miskin itu?"Kalimat ibu mertuanya seakan membuat hati Intan dihantam palu bertubi-tubi. "Mau minta apa lagi dia? Biaya buat shoping?" tanya Mira lagi melihat menantunya terdiam.Intan menatap ibu mertuanya. "Bukan, Ma. Buat biaya kuliah adikku. Tahun ini dia udah mulai skripsi dan butuh tambahan biaya.""Oh ...." Mira lalu terdiam, urung berkomentar lagi. Takut Intan terlalu sakit hati lalu mengadu pada Bima. "Mama mau pergi ke pabrik," ucap wanita itu akhirnya. "Kalau ada tamu atau hal-hal penting telepon Mama, ya?"Intan memaksakan senyum. Berusaha menetralkan suasana perasaannya dan tak memasukkan omongan mamanya tadi ke dalam hati. "Mama perginya sama siapa?""Kenapa kamu tanya-tanya begitu? Itu bukan urusan kamu!"Intan selalu berusaha sabar, tapi lihatlah sikap mertuanya itu."Sebelum Mama ke pabrik, Mama mau ke rumah sakit dulu," ucap Mira kemudian. Membuat Intan sedikit membelalakan mata."Siapa yang sakit, Ma?""Maya. K
"Baik kalau begitu sekian rapat pagi ini. Silakan kembali ke ruangan masing-masing." Bima menutup meeting pagi itu. Para karyawan pun berbondong-bondong meninggalkan ruangan sambil meninting tablet atau laptop. Hingga perlahan ruang meeting itu sepi, hanya menyisakan sang direktur utama PT Sutra Gemilang tbk seorang diri. Selesai menutup laptop yang pertama Bima lakukan adalah mengecek ponselnya. Bima menghela napas saat mendapati pesan yang dia kirimkannya terakhir kali belum dibalas istrinya. Dia khawatir istrinya sedang sibuk karena pekerjaan dari mamanya yang begitu banyak sampai membuat istrinya itu kelelahan dan ketiduran. Saat dia kebingungan menatap layar ponsel, nama Mama terpampang di layar ponselnya. Dia pun mengangkat telepon itu. "Iya, ada apa, Ma?" "Gimana perkembangan promosi produk baru kita?" Suara sang Mama terdengar di seberang. Bima berdiri, melempar pandang ke kaca besar di ruangan itu. Lantas berjalan ke arah sana. Pemandangan kota Jakarta dari ketinggian
"Kamu sengaja ya bikin malu Mischa di depan teman-temannya?" Saat itu tahulah Intan apa yang menyebabakan ibu mertuanya itu sampai menamparnya. Dia melirik Mischa sekilas. Gadis itu memasang tampang mengejek. Intan tahu, Mischa pasti mengadu hal yang tidak-tidak kepada mamanya. Lagi pula tragedi itu terjadi karena Mischa sendiri yang menyengkang kakinya. "Itu semua salah, Mischa, Ma," jawab Intan akhirnya. "Dia yang udah sengaja nyengkang kaki aku sampai aku jatuh dan pecahin gelas." Mischa melotot mendengarnya. "Enggak, Ma. Kak Intan bohong. Dia pasti takut dimarahin Mama. Lagian mana mungkin aku yang buat kekacauan yang bakal memperlakukan diriku sendiri. Mama harus percaya sama aku, dong." Mira menoleh sekilas ke arah anak bungsunya. "Jadi yang benar ini yang mana?" "Ma, Mama kok nanya gitu, sih? Mama nggak percaya sama aku?" Mischa mulai kesal dengan mamanya. "Ini semua salah Kak Intan, Ma. Tapi dia malah menuduh aku." "Bukannya kebalik, ya," sahut Intan. "Ih apaan, si
Tak Mischa sangka, Lisa kini berdiri di hadapannya, entah sejak kapan. Apakah Lisa benar-benar mendengar percakapannya dengan Kak Intan? Apa saja yang sudah Lisa dengar?"Gue udah lumayan lama di sini. Gue nggak ngerti maksud ucapan lo ke Kak Intan apa, ya?" Lisa balik bertanya."Hmmm enggak itu--" Mischa kebingungan mencari alasan."Lo marahin Kak Intan gara-gara dia numpahin jus?" tanya Lisa lagi membuat Mischa terdiam dengan perasaan ketar-ketir. "Ya ampun, Mischa. Lo nggak perlu marahin Kak Intan sampai segitunya. Kak Intan pasti nggak sengaja." Lalu Lisa menatap Intan. "Iya kan, Kak?"Mischa masih membisu. Meski dia tak suka Lisa mengetahui dirinya memarahi kakak iparnya, tapi dia sedikit lega, karena ternyata Lisa tidak mengetahui kalau sebenarnya Intan adalah kakak iparnya, bukan pembantu di rumah ini."Udah biasa dimarahin," jawab Intan yang membuat Mischa membelalakan mata. Dia tak menyangka kakak iparnya itu akan m
Betapa terkejutnya Intan mendengar perkataan Mischa. Tak dia sangka, adik iparnya itu malah menganggapnya pembantu di depan teman-temannya sesama selebgram. Mischa tersenyum penuh arti melihat ekspresi wajah kakak iparnya yang terlihat tidak senang. 'Rasain lo, Kak. Emang enak gue kerjain. Siapa suruh ngibulin gue beli ayam bakar di luar,' batinnya sengit."Halo, Kak Intan.""Hai, Kak Intan. Salam kenal, ya."Teman-teman Mischa menyapa Intan dengan ramah alih-alih mencemooh seperti yang Mischa harapkan. Melihat itu Intan hanya bisa tersenyum kaku dan balas menyapa mereka. "Wah, nggak nyangka, asisten rumah tangganya Mischa selain pintar masak juga cantik." Tanpa diduga salah seorang teman Mischa memuji Intan. "Iya, ya, Kak Intan cantik, kayak asisten rumah tangga di ftv-ftv gitu ...." Yang lain ikut berkomentar. Lalu disusul tawa yang lainnya. Meja makan itu seketika riuh. Mischa mengernyit
"Kenapa takut-takut gitu? Takut, ya, ketahuan bantuin Kak Intan terus aku aduin ke Mama?!"Bi Iyem serta-merta membalalak. "Ja-jangan, Non, jangan aduin ke Nyonya. Anu, tadi Bibi ha-hanya ...." Bi Iyem begitu gugup."Kak Intan, aku punya tugas buat Kak Intan." Mischa langsung menatap kakak iparnya dan tak memedulikan perkataan Bi Iyem.Intan yang sedang menjemur pakaian menoleh dan bertanya. "Apa?"Mischa bisa melihat wajah Intan tanpa tak senang menanggapinya. Wajahnya yang terlihat lesu menunjukkan kalau dia keletihan. Tapi Mischa peduli apa?"Teman-teman aku datang tuh. Aku mau Kak Intan bikinin mereka makanan spesial. Ayam bakar sekarang juga." Mischa to the point.Belum sempat Intan menjawab, Bi Iyem justru menyela lebih dulu. "Bu Intan baru saja abis nyuci, dia pasti kecapekan butuh istirahat. Biar Bibi saja yang bikinin?" Bi Iyem tersenyum.Mischa menatap pembantunya itu kesal. "Aku mau