Intan melotot mendengarnya.
"Silakan kamu pilih, cuci pakaian ini atau pilih tugas lain yang jauh lebih berat."
Dengan terpaksa Intan pun menerima hukuman mencuci baju itu, karena dia tak ingin mendapat tugas yang lebih berat. "I-iya, Ma, aku cuci pakaian ini aja."
"Bagus. Itu ember cuci dan bilasnya udah ada, airnya di dalam gentong juga udah ada. Kamu tinggal cuci aja pakai tangan, gampang kan?"
"Iya, Ma." Sebelum Mira meninggalkan Intan, dia mengingatkan sesuatu. "Oh iya, awas ya kalau kamu ngadu sama anak saya, ngadu sama Bima, awas aja. Saya akan kasih kamu tugas yang lebih berat dari ini!" Mira melempar tatapan tajam sebelum akhirnya berlalu dari sana. Intan menatap miris tumpukan pakaian-pakaian. Dia lalu menghela napas. "Bismillah, aku pasti bisa. Aku harus bisa, ini nggak seberapa." Intan menyemangati dirinya. *** "Astaghfirullah, Bu Intan!" Waktu itu Bi Iyem baru balik dari belanja di pasar. Dia terkejut melihat Intan duduk di pelataran tempat pencucian dan menghadap begitu banyaknya pakaian. Cepat wanita tambun itu menyimpan barang belanjaannya di meja dan bergegas menyusuli Intan. "Bu, Ibu lagi ngapain?" Intan yang sejak tadi diam-diam menangis sambil mencuci pakaian agak terkejut melihat kehadiran Bi Iyem. Dia langsung mengusap air matanya yang sempat membasahi pipi dan tersenyum. "Eh, Bi Iyem, ini Bi aku lagi nyuci." "Tugas dari Nyonya Mira, ya, Bu?" "Iya, Bi." "Tapi ini pakaiannya banyak banget, Bu. Ibu ndak akan sanggup selesaikan sendirian." Intan lagi-lagi memaksakan senyum. "Nggak pa-pa, Bi. Aku harus bisa." "Biar Bibi bantu ya, Bu?" Bi Iyem kini sudah berjongkok di dekat majikan mudanya dan siap membantu mencuci pakaian dengan sikat tangan. "Eh, jangan, Bi." "Ndak pa-pa, Bu, biar Bibi bantu. Ini pekerjaannya berat, Bu. Kasihan Ibu ndak seharusnya mengerjakan ini, ini harusnya pekerjaan saya." "Tapi Bi Iyem pasti kan juga punya pekerjaan lain kan? Lagi pula nanti kalau Mama tau dia bisa marah sama saya, Bi." "Insya Allah, Nyonya ndak akan tahu. Biar Bibi bantu, ya." Melihat Bi Iyem yang ngotot, Intan akhirnya terpaksa mengizinkan pembantunya itu membantunya mencuci pakaian. Berharap ibu mertuanya tidak tahu soal itu. "Saya tuh selalu kasihan melihat Ibu Intan diperlakukan seperti itu oleh Nyonya. Nyonya memang benar-benar keterlaluan menjadikan menantunya sendiri sebagai babu di rumah ini. Padahal dia bisa saja cari asisten rumah tangga tambahan untuk meringankan pekerjaan saya." Intan hanya memaksakan senyum. "Saya heran dengan Bu Intan masih betah saja diperlakukan seperti itu sama Nyonya." "Ya mau gimana lagi, Bi. Aku nggak mau rumah tanggaku dan Mas Bima jadi taruhannya." Bi Iyem mengamati wajah sang majikan mudanya lekat-lekat. Begitu besar cinta Intan terhadap Bima, pikirnya. "Yang sabar, ya, Bu." Intan tersenyum. "Selalu, Bi." "Kita berdoa saja, semoga kelak sikap Nyonya dan kedua anaknya itu berubah baik sama Bu Intan seperti dulu." Lagi, Intan tersenyum. "Makasih, Bi." "Saya ndak habis pikir sama sikap Nyonya. Bisa-bisanya dia bersikap jahat kepada Bu Intan hanya karena masa lalu Bu Intan. Padahal Nyonya sendiri dulu juga berasal dari keluarga miskin. Harusnya dia tahu bagaimana rasanya." Mendengar kalimat itu, wajah Intan malah berubah. Intan terdiam dan teringat lagi dengan masa lalunya. Menyadari hal itu Bi Iyem pun meralat bicaranya. "Maaf, Bu Intan, saya ndak bermaksud mengatai atau mengungkit masa lalu Bu Intan. Tapi memang masa lalu Nyonya itu ...." "Iya, Bi," potong Intan. "Aku paham. Aku nggak pa-pa, kok." "Bi Iyem! Bi Iyem!" Tiba-tiba saja terdengar suara sang nyonya meneriaki asisten rumah tangganya. Intan dan Bi Iyem saling tatap, mereka terlihat tegang. "Bi, Mama pasti marah, udah Bi!" Intan tampak panik. Sementara Bi Iyem sendiri kebingungan sebenarnya ada apa Nyonya memanggilnya seperti itu? Apa benar dia ketahuan membantu Intan?"Tentang kejadian tadi siang, kamu percaya kan sama aku?" Bima terdiam sesaat sebelum akhirnya dia memegang pundak istrinya dan menjawab. "Memangnya aku pernah nggak percaya sama kamu? Kamu itu istri aku. Apa pun yang keluar dari mulut kamu, apa pun yang kamu yakini, aku selalu percaya." Perkataan Bima terdengar sungguh-sungguh. "Aku lega kalau kamu percaya sama aku, tapi Mama gimana?""Soal Mama kita emang nggak bisa gegabah. Mama sekarang lagi emosi. Kalau kamu paksa, percuma. Kita juga nggak bisa jelasin ke Mama tanpa bukti yang jelas. Mama harus lihat buktinya dulu baru Mama akan percaya."Intan terdiam sejenak. Sebelum angkat bicara. "Kamu benar, Mas. Kita harus cari buktinya. Tapi gimana caranya kita bisa dapatkan bukti itu?" Intan menatap suaminya cemas.Bima mengembuskan napas. Dia menggeleng. "Entahlah, aku juga belum tahu. Tapi aku akan berusaha cari buktinya. Kalau perlu aku mau ngomong empat mata sama Tante Fara.""Ngomong apa, Mas? Kamu mau tanya? Dia nggak mungkin nga
Kekacauan pada saat makan bersama yang dibuat Intan barusan bukanlah yang kali pertama. Ini sudah kesekian kali. Setelah Intan menumpahkan gulai kambing ke lantai, Mira marah setengah mati di depan orang ramai itu. Tak lama kemudian, Fara dan keluarganya pamit pulang. Dan Mira menyampaikan ketidaknyamanannya pada Fara atas kekacauan yang dibuat menantunya. Setelah koleganya pulang, sudah bisa ditebak apa yang terjadi? Mira memarahi menantunya habis-habisan. "Bagaimana kamu bisa berpikir bahwa makanan itu berbahaya?" tanya Mira menatap Intan melotot tajam. "Mama benar-benar nggak habis pikir dengan yang kamu lakukan!"Mira memarahi menantunya habis-habisan. Sementara Intan hanya terdiam seribu bahasa. Dia benar-benar bingung harus melakukan apa. Ingin rasanya dia memberitahu Mira saat ini juga tentang rencana busuk Fara dan keluarganya, tapi dia yakin jika dia bicara sekarang tanpa bukti yang jelas, yang ada ibu mertuanya semakin marah dan tidak percaya padanya. Hingga dia hanya terd
"Apa maksud kamu, Intan. Kenapa kamu bisa bilang gulai ini berbahaya?" tanya Mira setengah syok. Intan lagi-lagi terdiam. Mencari-cari alasan yang tepat untuk dia katakan. Sebelum akhirnya dia mengatakan. "Maaf, Ma. Aku nggak bisa bilang, tapi aku mohon Mama jangan makan gulai itu." Intan menggeleng kencang."Jangan mengada-ada kamu, Intan."Intan tahu ibu mertuanya mulai kesal dengannya, tatapan ibu mertuanya pun berubah tajam. Mira melirik Fara dengan tak enak hati sekilas, lalu kembali menatap menantunya. "Jangan beri malu keluarga ini, ya.""Aku nggak mengada-ada, Ma," jawab Intan. "Gulai itu memang berbahaya. Mama nggak boleh memakannya!""Intan, maaf sebelumnya." Fara mulai menegurkan membuat semua pasang mata yang ada di sana menatap ke arahnya, tak terkecuali Intan dan Mira. "Maksud kamu bilang makanan Tante berbahaya itu apa, ya. Makanan ini halal, kok, enak juga, nggak berbahaya sama sekali seperti yang kamu pikirkan. Kenapa kamu bisa berpikir seperti itu, Intan?" Fara me
"Pokoknya kali ini rencana kita harus berhasil, nggak boleh gagal lagi." Kembali suara Tante Fara terdengar. "Kamu harus bantu aku, ya, Mas." "Makanya kamu harus hati-hati supaya nggak gagal lagi." Itu suara Om Arhan. "Jangan sampai ada yang tahu atau curiga dengan kita." Hening sesaat sebelum kembali suara Fara terdengar. "Iya. Ingat, Mas, semakin cepat kita menghancurkan keluarga ini, semakin cepat juga kita menguasai hartanya. Nggak masalah Maya nggak jadi istri kedua Bima, asal kita tetap bisa menghancurkan keluarga ini dan merebut hartanya." "Iya, iya." "Dan semua ini harus dimulai dari Mira. Kita harus bunuh Mira secepatnya. Induknya dulu, baru anak cucunya." "Iya, Ma, iya. Jangan bahas soal itu di sini. Kalau sampai ada yang dengar kan bisa bahaya banget, Ma," jawab Arhan. "Apalagi kalau mereka tahu bahwa Toni meninggal sebenarnya bukan karena kecelakaan dari pesawat, tapi kita yang bunuh. Rahasia itu, rahasia besar itu nggak ada yang boleh tahu." "Iya, Mas. Udah jangan
"Tentang kejadian tadi siang, kamu percaya kan sama aku?" Bima terdiam sesaat sebelum akhirnya dia memegang pundak istrinya dan menjawab. "Memangnya aku pernah nggak percaya sama kamu? Kamu itu istri aku. Apa pun yang keluar dari mulut kamu, apa pun yang kamu yakini, aku selalu percaya." Perkataan Bima terdengar sungguh-sungguh. "Aku lega kalau kamu percaya sama aku, tapi Mama gimana?" "Soal Mama kita emang nggak bisa gegabah. Mama sekarang lagi emosi. Kalau kamu paksa, percuma. Kita juga nggak bisa jelasin ke Mama tanpa bukti yang jelas. Mama harus lihat buktinya dulu baru Mama akan percaya." Intan terdiam sejenak. Sebelum angkat bicara. "Kamu benar, Mas. Kita harus cari buktinya. Tapi gimana caranya kita bisa dapatkan bukti itu?" Intan menatap suaminya cemas. Bima mengembuskan napas. Dia menggeleng. "Entahlah, aku juga belum tahu. Tapi aku akan berusaha cari buktinya. Kalau perlu aku mau ngomong empat mata sama Tante Fara." "Ngomong apa, Mas? Kamu mau tanya? Dia nggak m
Kekacauan pada saat makan bersama yang dibuat Intan barusan bukanlah yang kali pertama. Ini sudah kesekian kali. Setelah Intan menumpahkan gulai kambing ke lantai, Mira marah setengah mati di depan orang ramai itu. Tak lama kemudian, Fara dan keluarganya pamit pulang. Dan Mira menyampaikan ketidaknyamanannya pada Fara atas kekacauan yang dibuat menantunya. Setelah koleganya pulang, sudah bisa ditebak apa yang terjadi? Mira memarahi menantunya habis-habisan. "Bagaimana kamu bisa berpikir bahwa makanan itu berbahaya?" tanya Mira menatap Intan melotot tajam. "Mama benar-benar nggak habis pikir dengan yang kamu lakukan!" Mira memarahi menantunya habis-habisan. Sementara Intan hanya terdiam seribu bahasa. Dia benar-benar bingung harus melakukan apa. Ingin rasanya dia memberitahu Mira saat ini juga tentang rencana busuk Fara dan keluarganya, tapi dia yakin jika dia bicara sekarang tanpa bukti yang jelas, yang ada ibu mertuanya semakin marah dan tidak percaya padanya. Hingga dia hanya te