Sorot mata kosong kerap terlihat. Tubuhnya bersandar pada tembok, sangat putus asa seperti tak memiliki harapan untuk hidup. "Max jangan begini lagi, tolong demi mama, mama tak bisa hidup jika kau pergi juga." Seolah tak bisa mendengar, Max memejamkan mata. Waktu terasa lama sekali, telinganya tak ingin mendengar apapun, hanya ingin menghilang dan menghilang begitulah pikirnya. Justin yang melihat kejadian itu hanya bisa mematung terkejut. Rasanya seperti mendengar kabar kematian River dahulu, seketika membuat ujung kaki sampai ujung kepala dibuat lemas karenanya. "Jangan sampai, dia ikut pergi juga." Justin segera memanggil beberapa pelayan, dan begitu mereka datang "Bersihkan seluruh benda tajam dikamar ini termasuk benda yang mudah pecah, jangan ada yang tersisa!" Justin langsung pergi menuju ruang tamu, dia merebahkan diri sambil berusaha mengangkat ponsel yang terus menerus mengeluarkan nada pesan. "Haa... Dasar anj***," pekik Justin saat beratus pesan muncul setelah mereba
Dua hari telah berlalu sejak kepergian sang istri. Sejak itu pula Max tidak pernah menunjukan diri, dia tetap berada di ruang kamar sembari menanti kedatangan Vivian setiap hari. Dalam sunyi, Max memandang foto satu-satunya bersama sang istri. Senyum cantik yang terukir indah itu dia elus dengan lembut. "An... Apakah kau marah? Aku menunggumu sejak kemarin, apakah kau tidak ingin menemui ku lagi?" "Siapa yang perlu ku bunuh agar kau kembali, siapa yang harus ku marahi agar kau senang, tolong beritahu aku agar aku bisa melakukannya untukmu." Dengan pandangan kosong Max tersenyum gila, dan disaat itu tiba-tiba... Cklek... Seorang pria datang dengan nampan berisi makanan. "Max, makanlah kau belum makan apapun sejak kemarin." Justin menyimpan nampan diatas meja sementara Max tak bergerak seolah tak merasakan kehadiran siapapun. Justin melihat setiap sudut kamar yang dipenuhi pecahan kaca dan benda hias lainnya. Padahal baru saja kemarin para pelayan membersihkan kekacauan yang dibu
Dibelahan tempat lain, semua prajurit telah berbaris rapi. Tegap sempurna mendengarkan komando dengan seksama. "Tim satu, persiapkan dari arah Utara. Tim dua awasi dari selatan, dan yang lainnya dengarkan perintah dari komandan mengerti!" "Siap mengerti!" Serentak seluruh prajurit berhamburan, memposisikan diri sesuai arahan. River yang berada di Tim satu segera mengikuti komandan menuju tempat persembunyian di bagian utara. Arah utara merupakan tempat diduganya penyelundupan dan sindikat obat-obatan terlarang berkumpul, maka dari itu jumlah prajurit dikerahkan dalam jumlah banyak dengan para prajurit terpilih saja yang di utus. Begitu sampai, River dan tim satu memposisikan diri. Rencana yang telah dibuat sematang mungkin dijalankan dengan hati-hati. Target mendekat, senapan diangkat dengan pandangan fokus memantau target. "Sekarang!" DOR! DOR! DOR! Penyerangan dilakukan serentak pada beberapa target. Secepat mungkin setelah itu muncul kawan lainnya menyerang dengan membab
Mata berkaca-kaca terlihat tertuju pada wanita di sisinya.“Max,” panggil Vivian.Kata tersebut sangat jernih terdengar hingga rasa haru langsung menembus kalbu hanya dari lantunan suara lembut tersebut. Tangan nan lemah sang istri Max pegang erat, sementara kedua malaikat kecilnya tersimpan di dada sang ibu.Disaat itu anggota keluarga diperbolehkan masuk. Senyum lemah terukir indah dengan susah payah, setelah perjuangan menyelamatkan dua buah hati, dan di saat itu pula sebagaimana rencananya, tugas wanita cantik itu telah selesai. Perlahan Vivian menoleh memberikan seucap kata untuk pria di sampingnya.“Tolong jaga anak kita ya,” ucapnya dengan susah payah dan dibalas dengan genggaman erat penuh keyakinan.“Pasti, aku akan selalu menjaganya.” Haru tak bisa Max bendung lagi, tangis bayi telah meluluhkan hati Max yang teramat keras.Dengan pelan dia mengelus kepala anak-anaknya yang masih merah dan belum bisa membuka mata. Kelahiran mereka benar-benar memberikan kabar bahagia, semua o
Sudah genap sembilan bulan dua bayi kembar dikandungnya. Vivian terbaring di ranjang, tubuhnya tertutup selimut, matanya menutup untuk sejenak mengistirahatkan diri.Disamping itu, Max menyiapkan koper dan segala keperluan persalinan bersama Sophie dan Evelyn."Selesai," ucap Sophie sembari menepuk-nepuk tangannya selesai berkemas."Sekarang kita berangkat," lanjut Sophie.Saat Max melihat istrinya tertidur dengan tenang, dia langsung berkata. "Mama boleh pergi dulu membawa barang-barang, aku akan pergi bersama istriku nanti."Sekilas Evelyn dan Sophie melihat Vivian di ranjang sana."Ah baiklah, kami pergi dulu kalau begitu, hati-hati saat pergi nanti ya." Pelayan yang telah sedia didepan pintu untuk membawa barang-barang langsung bergegas menjalankan tugas.Disamping itu Evelyn tak melepas pandangan dari putrinya."Max bagaimana kalau Mama ikut dengan kalian saja nanti?" tawar Evelyn tak tega membiarkan Vivian bersama suaminya berdua.Begitu tawaran itu terdengar, suara dari ranjang
Usai menghadiri acara penghargaan, Justin menepuk pundak Max berkali-kali setelah Max meraih tropi sebagai most attention received actors of the year pada tahun ini. "Sudah kuduga kau pasti akan mendapatkannya," ucap Justin bangga. "Malam ini sutradara Wang mengajakmu untuk merayakan kemenangan ini, kau akan akan hadir kan?" Justin bertanya sambil terus melangkah menuju parkiran. Piala dengan ukiran bintang cemerlang itu Max tatap sejenak. "Max, kau akan datang kan?" tanya Justin lagi saat Max tak memberi balasan. "Tidak, aku akan pulang saja." Max segera membuka pintu, namun sebelum benar-benar masuk Justin terdengar menyela. "Max, tapi sutradara memintaku..." "Tolong wakilkan aku." Setelah mengucap kalimat terakhir Max mengambil alih kunci mobil dan segera tancap gas meninggalkan Justin sendiri ditempat. "Hah..." Justin mematung ditempat. ... Sunyi menyertai pagi, dengan perut yang semakin membesar Vivian pandang foto satu-satunya bersama kedua keluarga dengan pihak suami.