Share

Istri rasa pembantu

Renata menatap punggung Bi Marni yang semakin menjauh dari pandangan matanya. Bergegas ia memasuki kamar pembantu yang ada di hadapannya.  Kamar yang sempit tetapi cukup nyaman.

"Tak apa aku tidur disini.  Semoga saja Tuan Alex tak lagi menyiksaku karena sekarang sudah pisah kamar, " pikirnya.

Renata menata pakaian miliknya ke dalam lemari kecil yang ada di kamar itu. Kemudian membaringkan tubuhnya sejenak untuk beristirahat. Ia pun tertidur karena rasa kantuknya tak bisa ditahan lagi.

Tok tok tok

Gedoran pintu Yang cukup keras mengusik ketenangan Renata yang sedang tidur.  Ia mengerjapkan matanya, bergegas turun dari atas ranjang.  Mendekati pintu kamar lalu membukanya. Terlihat sorot mata tajam dari seseorang Yang kini berdiri di depan pintu.

"Tuan Alex, kenapa mengetuk pintu begitu keras?" Tanya Renata.

"Siapa Yang menyuruhmu untuk bersantai di dalam kamar? Cepat kerjakan pekerjaan rumah!" pinta Alex.

"Saya bukan pembantu, Tuan.  Biar bagaimana pun saya istri Tuan." Entah keberanian dari mana Renata berani menentang perkataan Alex.

Alex yang geram langsung menarik kasar rambut panjang Renata."Kamu pikir kamu Nyonya di rumah ini?" Sambil mendorong tubuh mungil itu hingga terjatuh ke lantai.

"Aww .... "pekik Renata karena merasakan sakit.

"Maaf, Tuan. Baiklah, saya akan langsung bersiap."Renata beranjak dari duduknya lalu pergi untuk mengerjakan pekerjaan rumah.

Alex tersenyum penuh kemenangan sambil menatap kepergian Renata.  Rasa benci dalam hatinya begitu besar.  Hanya dengan menyiksa itu mampu membuatnya puas.

'Coba lihat saja wanita rendahan, sampai kapan kamu bertahan di rumah ini dengan penuh penyiksaan, 'batin Alex sambil tersenyum menyeringai.

Beberapa kali Renata mengusap keningnya Yang berkeringat. Menyapu halaman Yang seluas lapangan sungguh melelahkan.  Tak ada satupun orang Yang bisa ia minta pertolongan. Semua pelayan di rumah itu sudah diberi peringatan oleh Alex agar tak ada satupun Yang boleh membantu Renata.

"Permisi, Non. Ini Bibi bawakan minuman dingin untuk Non Rena." Bi Marni menyodorkan aqua kepada Renata.

"Terima kasih, Bi. Kebetulan aku sedang kehausan."Renata mengambil botol aqua itu lalu segera membukanya. Saat hendak minum, tiba-tiba ada Yang mengambil dsn melempar botol aqua itu ke sembarang arah sehingga semua airnya tumpah.

"Siapa Yang menyuruh kamu minum?" Alex menatap Renata tajam, lalu tatapannya beralih ke Bi Marni Yang sedang menunduk. "Jangan mentang mentang Bibi itu senior di rumah ini jadi seenaknya memberi dia minum. Awas saja kalau sekali lagi ketahuan membantunya, Bibi akan saya usir dari rumah ini."

"Baik, Tuan. Maafkan atas kesalahan saya, " ucap Bi Marni yang masih tetap menunduk.

Keduanya bernapas lega saat melihat Alex yang sudah pergi. Bi Marni bergegas pergi meninggalkan Renata Yang masih setia di tempatnya. Sedangkan Renata kembali menyelesaikan pekerjaannya, sambil menahan rasa dahaga.

......

......

Alex dan Laura sudah resmi menikah. Walaupun hanya akad saja, tetapi itu tidak masalah bagi ke duanya. Laura menghargai keputusan Alex yang belum mau menggelar resepsi pernikahan. Tentu alasannya karena kematian ayahnya yang baru genap 40 hari.

Alex sudah memberikan peringatan kepada semua pelayan di rumah itu untuk tutup mulut, tidak memberitahukan status Renata kepada Laura. Ia juga meminta agar semua pelayan memperlalukan Renata layaknya pelayan seperti mereka. Tidak boleh ada yang memanggil Renata dengan sebutan Nona.

Terdengar derap langkah kaki yang mulai mendekat. Pasangan yang sedang berbahagia, memperlihatkan kemesraan mereka. Siapa lagi kalau bukan Alex dan Laura.

"Pelayan," teriak Alex dengan nada suara yang meninggi.

"Ada yang bisa kami bantu, Tuan?" Dua orang pelayan mendekati mereka.

"Kumpulkan semua pelayan disini!" pinta Alex.

"Baik," jawab ke duanya lalu bergegas pergi memanggil yang lain.

Kini mereka sudah kembali bersama pelayan lain. Salah satunya adalah Renata yang juga berpakaian pelayan seperti mereka. Semuanya menunduk menunggu Alex berbicara.

"Mungkin kalian sudah tahu wanita yang berdiri di samping saya ini. Dia Laura dan sekarang sudah sah menjadi istri saya. Mulai sekarang kalian harus menghormatinya. Sudah itu saja, kami permisi ke kamar." Alex bergegas pergi dengan menggandeng satu tangan Laura.

"Baik, Tuan," jawab mereka serempak.

Renata memperhatikan Alex yang memeluk pinggang Laura. Mereka berdua terlihat mesra. Tidak seperti saat Alex memperlakukannya.

"Neng, ayo kita kembali ke belakang!" Bi Marni menepuk pelan bahu Renata.

"Iya, Bi." Renata mengikuti Bi Marni yang sudah melangkah duluan.

Renata mendekati Bi Marni yang sedang mecatat sesuatu di kertas putih." Bi, sedang ngapain?"

"Bibi sedang mencatat semua kebutuhan dapur yang kosong," jawabnya.

"Apa Bibi mau belanja?" tanya Renata.

"Benar, Neng. Apa Neng Renata mau ikut?"

"Saya mau ikut, Bi. Bosan berada di dalam rumah terus." Renata terlihat senang karena dia bisa ikut pergi keluar.

"Ya sudah, cepat bersiap! Kita akan pergi sekarang," ucap Bi Marni.

...

...

Renata dan Bi Marni sudah selesai berbelanja. Mereka menunggu angkot di pinggir jalan. Kebetulan sopir yang tadi mengantar sedang berada di bengkel, karena mobilnya mogok.

Tak sengaja Renata melihat dua anak yang sedang mengamen. Walaupun jaraknya jauh, tetapi dia tahu jelas siapa mereka yang tak lain adalah kedua adiknya. Renata berpamitan kepada Bi Marni, berniat ingin pergi sebentar. Niatnya ingin menghampiri adiknya di seberang jalan sana.

"Nadia, Rasya, kenapa kalian ada disini?" Renata menatap prihatin pakaian adiknya yang terlihat copang-camping.

"Kak Rena, kenapa kakak tidak pernah pulang? Apa kakak sudah tidak sayang lagi sama kita?"  tanya Nadia dengan kedua matanya yang kini mulai berkaca-kaca.

"Bukan begitu, kakak di tahan oleh seseorang agar tidak pergi. Tetapi kakak sudah bilang kok kepada orang itu agar mencukupi semua kebutuhan kalian selama kakak tidak tinggal bersama kalian," jelas Renata.

"Kak, selama ini kami bertahan hidup dengan cara mengamen. Tidak ada yang memberikan bantuan kepada kami. Bahkan sudah tiga hari ini kami tidak masuk sekolah  karena tidak mampu membayar uang SPP yang sudah menunggak,"  ucap Rasya.

Renata menutup mulutnya dengan satu tangannya. Tak percaya jika kedua adiknya harus hidup menyedihkan seperti itu. Ternyata apa yang Alex katakan semuanya adalah kebohongan. Alex sama sekali tidak menepati janjinya untuk memenuhi kebutuhan hidup ibu dan adik-adiknya. Jujur Renata tak terima di permainkan seperti ini.

"Kakak .... " ucap Renata terhenti karena Bi Marni berbicara kepadanya.

"Neng Rena, ayo sini! Angkotnya sudah terlihat tuh," teriak Bi Marni dari seberang sana.

"Bibi duluan saja, saya masih ingin mengobrol dengan adik saya," ucap Renata.

Bi Marni menurut, lalu menyetop angkot yang lewat. Sedangkan Renata mengajak kedua adiknya mengobrol di taman terdekat. Masih ada banyak hal yang ingin ia tanya dari adiknya.

"Kak, ayo kita pulang! Setiap hari mamah menanyakan kakak." Nadia memegang satu tangan Renata mencoba menahannya agar tak lagi pergi.

"Iya, Nad. Kakak akan pulang kok bersama kalian." Renata memeluk mereka berdua.

Mereka bertiga melangkah pergi dengan bergandengan tangan. Nadia dan Rasya sama sekali tak ingin melepaskan genggaman tangan kakaknya. Sejenak Renata melupakan perjanjian yang sudah ia buat dengan Alex. Yang terpenting untuk saat ini fokus ke keluarganya.

Dengan berjalan kaki, kini mereka sampai juga di rumah gubuk yang sudah terlihat reot. Baru juga akan melangkah masuk, di kejutkan dengan genting yang tiba-tiba jatuh dari atas. Untung saja genting itu tidak mengenai kepala mereka.

"Astaghfirullah'aladzim. Hampir saja kita tertimpa genting." Renata mengusap dadanya karena terkejut.

"Rumah kita memang sudah tua, Kak. Apalagi akhir-akhir ini suka bocor jika hujan deras," ucap Nadia sambil menghela napasnya.

Renata menahan tangis, rasanya sakit sekali mendengar semua yang di katakan oleh adiknya. Hidupnya begitu sengsara setelah kepergiannya. Apalagi rumahnya yang sudah tak layak di tempati.

'Apa aku disini saja bersama ibu dan adik-adikku? Tapi jika Tuan Alex tiba-tiba datang dan memakasaku untuk kembali, apa yang harus aku lakukan?' Renata bergelut dengan pikirannya.

....

....

Renata sedang makan bersama ibu dan adiknya. Sungguh ini suasana yang ia rindukan selama ini. Sudah berdosa Renata membiarkan ibu dan adiknya terlantar seperti ini. Ia hanya berharap semoga saja Alex tak mencari keberadaan dirinya sehingga ia bisa terus bersama keluarganya.

"Nak, mamah senang akhirnya kamu bisa berkumpul lagi bersama kami. Selama ini kamu pergi kemana?" tanya Bu Desi.

"Rena tersesat, Mah. Tapi sekarang Rena senang karena sudah kembali berkumpul bersama kalian," ucap Renata berbohong. Semua itu ia lakukan agar ibunya tak khawatir, karena bisa mempengaruhi kondisi kesehatannya yang sedang tak baik.

Keduanya saling berpelukan menyalurkan rasa rindu seorang ibu dan anak. Namun, mereka melepaskan pelukannya saat mendengar ketukan pintu dari luar. Renata beranjak dari duduknya lalu pergi melihat siapa yang datang.

Renata menatap dua lelaki berbadan besar yang berdiri di depan pintu. "Kalian siapa ya? Mau cari siapa datang ke rumah saya?"

"Kami mencarimu, bos kami sudah menunggumu di kediamannya," ucap salah satu dari mereka.

"Siapa bos kalian?" tanya Renata memastikan.

"Alex Bimantara adalah bos kami," jawabnya.

Mendengar nama Alex membuat Renata terkejut seketika. Entah dari mana Alex bisa tahu keberadaannya. Selama ini ia tak pernah sekali pun memberitahukan alamat rumahnya.

"Sebaiknya Nona ikut dengan kami. Jangan sampai Bos Alex marah." Lelaki berbadan besar itu sama-sama memegang tangan Renata dan hendak menarik paksa pergi dari sana.

Dengan langkah tertatih, Bu Dewi menghampiri mereka yang sudah lancang menyeret anaknya. Di dampingi dengan kedua adik Renata di sampingnya. Ibu mana yang tak akan marah jika melihat anaknya hendak di bawa oleh orang asing.

"Siapa kalian? Kenapa membawa anak saya?" Bu Dewi menatap mereka tajam.

"Kami hanya menjalankan perintah dari Bos Alex. Nona Renata harus ikut dengan kami," ucap salah satu dari lelaki berbadan besar itu.

Bu Dewi mencoba menghalangi kedua lelaki itu. Menarik tangan Renata agar terlepas. Tetapi usahanya sia-sia, karena tenaga Bu Dewi memang sudah tak kuat. Tubuhnya begitu lemah tak bertenaga. Bu Dewi terjatuh ke lantai dan itu membuat Renata murka.

"Jangan sakiti ibu saya! Sekali lagi kalian mencoba menyakitinya, saya tidak akan tinggal diam." Renata menatap keduanya dengan tatapan tajam.

"Jika tidak ingin kami menyakiti ibunya, maka ikutlah dengan kami," pintanya.

Renata melepas kasar tangannya yang masih di pegang oleh mereka. Lalu membantu ibunya kembali berdiri. Rasanya berat sekali jika harus kembali pergi meninggalkan ibu dan adiknya. Tetapi itu satu-satunya cara agar Alex tak semakin murka.

"Mamah, Nadia, Rasya, maafkan Rena ya. Sepertinya Rena harus ikut bersama mereka. Kalian tenang saja, Tuan Alex itu baik kok. Buktinya Rena juga tinggal di rumahnya dan bekerja sebagai pembantu. Tuan Alex tidak melepas Rena karena terikat kontrak. Jika melanggar maka Rena harus membayar denda yang sangat besar." Renata mengambil beberapa lembar uang ratus ribuan dari tas lalu memberikannya kepada ibunya. "Ini ada sedikit uang dari Rena. Mamah tenang saja, nanti Rena akan mengirim uang setiap bulannya untuk kalian."

Berat bagi Bu Dewi untuk melepas anaknya. Namun, Bu Dewi tak mau jika anaknya terjerat masalah lebih besar jika tidak pergi. Mereka berempat saling berpelukan. Renata juga sudah  meyakinkan keluarganya jika dia akan baik-baik saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status