Share

Bab 6

Angin laut berhembus hingga ke daratan, memberikan kesan sejuk yang menyegarkan. Namun kesegaran itu tidak mampu menyejukkan hati Nayla yang terasa panas yang disebabkan oleh patah hati.

Setelah memutuskan untuk menyerah atas segala penantian. Tidak bisa Nayla pungkiri jika hatinya lebih sakit dari sebelumnya. Rasa rindu yang semakin kuat membuat ia merasa menyesal atas keputusannya. Merasa terlalu mudah menyerah meski pun sudah tiga tahun lamanya ia menanti dalam ketidakpastian.

Nayla mengangkat kepala. Pandangannya tidak sengaja menangkap sebuah dress  yang tergantung dan terbungkus plastik putih transparan. Satu tahun lalu, Nayla membeli bahan kain dan menjahitkan bahan itu pada tukang jahit. Baju khusus yang ingin Nayla kenakan untuk menyambut kepulangan Damas nantinya. Tapi siapa sangka kalau pada akhirnya baju itu hanya akan menjadi pajangan saja dalam kamarnya.

Sambil menanti kepulangan Damas. Nayla terus membayangkan saat ia mengenakan baju itu dan menyambut Damas pulang. Pria itu akan tersenyum lebar lalu mengatakan Nayla cantik dan sangat pantas mengenakan baju itu. Kala itu, saat membayangkannya saja Nayla sudah tersipu malu. Tapi hari ini, saat memikirkan hal itu Nayla menangis. Air matanya jatuh lebih deras dari sebelumnya. Jantungnya serasa ditekan dengan keras, sesak.

Setelah kehilangan sesuatu yang disayangkan, ternyata jauh lebih menyakitkan dari apa yang Nayla bayangkan. Sakit disebabkan oleh penantian, Nayla berpikir akan melegakan jika pengikat itu ia lepaskan. Dan setelah ia lakukan, seperti inilah ia sekarang. Menangis dalam kesedihan. Menyesal, tapi takut kecewa jika harus kembali.

"Keputusan yang kamu ambil itu udah benar, Nak."

Nayla menoleh, mendengar suara sang Bunda terasa dekat dengannya. Dan mendapati sang Bunda berdiri di depan pintu, menatapnya penuh perhatikan sambil berjalan masuk.

"Bunda," lirih Nayla menatap sang Bunda yang kini ikut duduk bersamanya di atas lantai kamar.

Bunda Midar merangkul pundak Nayla pelan lalu mengarahkan putrinya itu untuk tidur dalam pangkuannya. Nayla menurut saja, dan merasakan bunda Midar mengelus kepalanya dengan lembut.

"Hari ini kamu sakit. Tapi besok, keadaan kamu akan lebih baik," kata bunda Midar, Nayla diam saja mendengarkan, "kehilangan seseorang yang kita sayang itu memang menyakitkan. Bunda paham perasaan kamu. Tapi kamu juga harus memahami hati kamu, kalau dia juga pasti lelah."

"Tapi Nayla sayang Damas, Bunda," lirih Nayla, air matanya kembali mengalir.

"Bunda tau ... kalau kamu nggak sayang, nggak mungkin kamu nungguin dia, kan?" tanya Bunda, bukan berniat bertanya sebenarnya, "tapi kamu juga harus tau, Nay ... dibalik keputusasaan kamu, ada orang lain yang pengen liat kamu bahagia. Dibalik penantian kamu, ada orang lain juga yang mengharapkan perhatian kamu."

Nayla diam saja, mendengarkan. Siapa pula yang ingin mendapatkan perhatiannya. Ia saja tidak pernah dekat dengan lelaki mana pun.

"Kamu harus tau kalau kamu itu berharga, sayang," kata Bunda Midar lembut, "dan ditangan orang yang tepat, kamu akan menjadi ratu."

"Jadi menurut Bunda, Damas bukan orang yang tepat untuk, Nay?" tanya Nayla.

"Bisa jadi," Bunda Midar tidak yakin juga, "tapi kalau dia memang sayang dan peduli sama kamu. Dia pasti bakalan menjadikan kamu prioritasnya, paling enggak setelah keluarganya."

"Mana ada yang kayak gitu Bunda," keluh Nayla.

"Ada," bantah Bunda Midar, "cuma kebetulan kamu belum ketemu aja," tambahnya. "Kayak kamu yang menjadikan Damas prioritas kamu, pria yang kamu temui nanti juga pasti bakalan jadiin kamu prioritasnya ... kalau dia benar-benar peduli sama kamu, tentunya."

Nayla diam saja berpikir beberapa saat, lalu menghela nafas.

"Damas tau nggak ya, Bunda, kalau Nay, nungguin dia di sini selama ini?" tanyanya menerawang jauh.

"Bunda nggak tau," kata Bunda Midar tidak bermaksud memutuskan perasaan sang anak, "tapi dari sini kita belajar, pentingnya komunikasi antar pasangan."

Nayla mengangguk. "Seenggaknya Nay, udah ngelakuin yang terbaik selama bersama dia, dan saat nunggu dia. Jadi seenggaknya, Nay, nggak terlalu merasa bersalah."

"Seiring berjalannya waktu, kamu pasti baik-baik aja sayang."

_________

Di rumah Damas...

Ayah Damas berdiri gelisah. Berjalan bolak-balik sembari berpikir.

"Kenapa bisa jadi begini?" tanya Ayah Damas tampak frustasi. Sedangkan Ibu Damas duduk menangis di atas sofa di dalam rumah. "Kamu ngomong apa sama Nayla?" tanyanya pada sang istri.

"Aku nggak ngomong apa-apa, Yah," sahut Ibu Damas dalam tangisnya. Merasa bersalah, tapi takut untuk mengakui perbuatannya.

"Kalau kamu nggak ngomong apa-apa, nggak mungkin Nayla memutuskan hubungannya dengan Damas ... keputusan Nayla pasti ada alasannya!"

"Kenapa Ayah jadi nyalahin, ibu?" tanya ibu Damas menatap sang suami dengan air mata.

"Ayah bukan menyalahkan, Ibu ... tapi ibu juga tau sendiri gimana sifat Nayla. Dia itu gadis yang baik, dewasa ... kalau bukan karna ada penyebabnya, dia nggak mungkin begini."

"Bisa aja dia udah punya pria lain," sahut ibu Damas asal, berniat membela diri.

"Ngomong apa kamu, Bu!" kesal Ayah Damas, "kamu juga bisa lihat sendiri kalau Nayla itu nggak pernah kemana-mana, kecuali ke dermaga buat nungguin anak kita."

"Bisa jadi cuma alasan, Yah ... bisa aja dia beralasan begitu padahal mau ketemu pria lain. Buktinya setiap sore dia diantar sama Pak camat."

Ayah Damas menggisar rambut ke belakang dengan frustasi sembari menghela nafas.

"Mendengar perkataanmu, aku yakin kalau penyebab ini semua juga kamu, Bu," kata Ayah Damas pelan, namun terkesan dingin.

"Kenapa Ayah ngomong begitu?" Ibu Damas terkejut mendengar penuturan sang suami.

"Jadi apa lagi?" tanya Ayah Damas, "semenjak kehidupan kita berkecukupan, kamu memang nggak bisa menjaga mulutmu ... selalu ngomong ini, itu, sesuka hatimu."

"Apa salahnya kalau ibu membanggakan hasil kerja keras anak!"

"Memang nggak salah ... tapi waktu dan kondisinya itu nggak tepat!"

"Halah, Ayah selalu saja begitu ... sama kayak Damas."

"Seenggaknya kamu harus ngertiin perasaan anakmu, Bu," kata ayah Damas lebih lembut, "kalau udah kayak gini, kamu mau ngomong apa sama Damas?"

"Jangan kasih tau Damas, Yah," ibu Damas kembali menangis. "Ibu nggak bakalan sanggup liat dia sedih. Ibu nggak bakalan sanggup kalau Damas kecewa sama ibu."

"Seharusnya kamu pikirkan itu sebelum bertindak, Bu," kata Ayah Damas, "seperti kamu yang ingin anakmu bahagia, orang tua Nayla juga mengharapkan hal yang sama ... Ayah aja kasihan liat Nayla nungguin Damas yang sama sekali nggak ada kabar. Apa lagi orang tuanya, pasti mereka sakit."

"Iya, ibu paham," ibu Damas mengalah, "jadi sekarang ibu harus gimana, Yah?" tanyanya meminta pendapat.

"Bicara sama Damas. Ceritain yang sebenarnya sama dia ... mau gimana pun, Damas berhak tau semuanya."

"Apa?" Ibu Damas terkejut, "Ayah mau Damas benci sama ibu?!"

"Itu udah resiko, Bu ... apa yang ibu tanam, itu juga yang akan ibu tuai," nasehat sang suami, "ceritakan semuanya, kalau kamu nggak mau Damas semakin kecewa."

Ibu Damas tidak membalas perkataan sang suami. Perlahan kepalanya menunduk. Kedua tangannya menutup seluruh wajah, ia menangis lagi kemudian.

"Maafin, ibu, Yah," lirih ibu Damas, "ibu yang salah ... ibu yang terlalu terbuai dengan apa yang Damas hasilkan sampai nggak mempedulikan perasaan Nayla, juga orang tuanya. Ibu salah."

"Kalau ibu sudah paham. Minta maaflah."

Ibu Damas mengangkat kepala untuk melihat sang suami. "Kalau ibu minta maaf, apa Nayla mau memaafkan ibu dan kembali lagi sama Damas?"

"Bisa jadi iya, bisa juga enggak," sahut Ayah Damas, "mau gimana pun hasilnya, nggak ada salahnya kalau ibu minta maaf."

"Jadi Damas gimana, Yah?" Air mata ibu Damas kembali menetes.

"Kalau masalah dengan Nayla udah selesai, kita bicarakan baik-baik sama Damas."

Ibu Damas tidak menyahut. Hanya mampu menyesali keegoisannya. Dan menunggu hasil akhir dari segala kejelasannya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status