Share

Bab 5

Kesibukan orang-orang di depan sana tidak mampu mengalihkan perhatian wanita berusia 27 tahun itu dari lamunan. Kepalanya terus saja mengulang percakapan-percakapan serta kemungkinan yang Ketrin bicarakan. 

Ternyata kepalanya tidak mampu bersikap masa bodoh, seperti yang ia perlihatkan sebelumnya. 

Tidak mungkin! Itu hanya dugaan tak mendasar saja!

Kalimat itu Nayla jadikan sebagai penghibur. Meski waktu penenangnya tidak berlangsung lama. Tapi setidaknya mampu mengurangi rasa sakit dikepalanya. 

"Iya, Damas bentar lagi pulang kok."

Samar-samar Nayla mendengar percakapan itu dari luar sana, yang ternyata mampu mengalihkan perhatiannya kali ini. 

Nayla menyeringai miris. Bukan sekali, dua kali ia mendengar kalimat itu. Rasa berharap saat mendengar kata-kata itu kini berubah menjadi rasa bosan, muak. Usaha meyakinkan tanpa satu bukti kepastian membuat rasa lelah itu lebih menekan. Bahkan rindu terpendam itu kini berubah menjadi dendam. Niat meninggalkan itu semakin kuat saja meyakinkan. 

"Nggak tau, lah, ya ... tapi kata Damas, sih, nyenengin orang tua dulu biar barokah."

Nayla memutar bola mata. Di depan sana, pembicaraan akan Damas semakin angkuh saja. Rasa simpati tak sedikit pun ibu Damas torehkan. Bersikap malu sedikit pada orang tua kekasih anaknya saja wanita paruh baya itu tidak. Hanya mengumbar omongan ke sana kemari dengan menjual nama anaknya dengan berbangga hati. 

"Kasihan, sih, tapi ya mau gimana lagi. Cinta, kan, emang butuh pengorbanan."

"Pengorbanan yang gimana lagi yang perlu anakku buktikan?"

Nayla berkerut kening. Di luar sana ia bukan mendengar suara Ibu Damas saja, melainkan suara Bundanya juga. Mungkinkah kesabaran itu sudah pecah?

"Pacaran selama dua tahun. Menunggu selama tiga tahun tanpa kepastian seperti orang bodoh. Kurang bukti apa lagi?"

Kening Nayla semakin berkerut. Dugaannya tidak salah. Pecahnya kesabaran itu pasti akan menimbulkan keributan yang berujung pertengkaran. 

"Maksudku bukan begitu, Dar ... di sana juga Damas berjuang untuk Nayla, kok."

"Berjuang yang bagaimana maksud, Mbak?" tanya Bunda Midar, "berjuang menghancurkan hati anakku begitu?" tanyanya lagi. "Di sana Damas berjuang menghancurkan hati anakku, dan di sini, Mbak, juga melakukan hal yang sama. Ngomong ke sana kemari dengan angkuh tanpa memperdulikan perasaan Nayla!" Bunda Midar tidak lagi sanggup menahan emosinya. "Aku selama ini diam karna anakku. Tapi kalau anakku direndahkan kayak gini, orang tua mana yang akan terima!"

"Bunda," panggil Nayla, berdiri di depan pintu. Memperhatikan sang Bunda yang tengah mengamuk dengan Ibu Damas. 

"Nayla," lirih Bunda Midar, terkejut melihat kehadiran Nayla, "kamu udah pulang, Nak?"

Nayla mengangguk. "Dari tadi."

"Tapi, motor kamu..." Bunda Midar menoleh ke tempat dimana biasa Nayla memarkir motornya. 

"Bannya bocor. Jadi, Nay, tinggal di bengkel depan."

Bunda Midar terdiam. Menatap Nayla iba. Putri semata wayangnya itu mungkin sudah mendengar pertengkaran antara bundanya juga Ibu Damas tadi. 

"Kalau gitu, kita masuk ya, sayang," kata bunda Midar. Saat hendak masuk dengan Nayla, ibu Damas memanggil.

"Nayla!" serunya. Nayla menatap saja tanpa menyahut. "Ibu nggak tau mau ngomong apa, tapi ibu nggak bermaksud buat nyakitin perasaan kamu."

"Ibu emangnya ngomong apa?" tanya Nayla, "aku nggak denger soalnya."

Ibu Damas tercengang sesaat, lalu tersenyum kemudian. "Syukurlah kalau kamu nggak denger."

Nayla balas tersenyum juga lalu sesaat kemudian ia berkata. "Oh iya, buk. Nayla mau mulangin sesuatu." Nayla masuk ke dalam rumah, sesaat kemudian ia keluar lagi membawa kotak berukuran agak besar dan berjalan ke arah ibu Damas yang tengah duduk bersama teman-temannya. 

"Ini barang-barang yang Damas kasih ke aku," kata Nayla sembari meletakkan kotak itu, "ada baju, sendal, jam tangan, boneka, buku, dan yang ini yang paling berharga ... cincin ... cuma perak, sih, tapi Damas membelinya dengan hasil kerja kerasnya sendiri. Di dalam dompet kecil itu ada suratnya."

"Ini, kan, punya kamu. Kenapa kasih ke ibu?"

Nayla tersenyum. "Ini salah satu usahaku buat lupain Damas," katanya membuat ibu Damas terkejut, begitu pun orang-orang yang mendengar pernyataan Nayla. 

Mungkin orang-orang berpikir. Setelah penantian tak pasti selama tiga tahun. Akhirnya Nayla menyerah juga.

"Damas orang yang baik, pekerja keras, santun, hangat juga perhatian. Dan selama dia pergi ... nggak ada satu hari pun untukku buat nggak kangen sama dia," kata Nayla, matanya mulai terasa panas membayangkan saat-saat ia bersama Damas, "tapi selama tiga tahun kepergiannya ... nggak ada satu hari pun yang nggak menyakitkan buatku.

"Layaknya orang bodoh aku bertahan. Meyakinkan diriku kalau dia akan kembali. Mengatakan maaf karna udah membuatku menunggu lama. Tapi nyatanya," Nayla menggeleng pelan, "lagi-lagi itu hanya harapan."

"Bukan seperti ibu yang selalu mendapatkan kabar dari Damas. Aku, jangankan untuk tau kabarnya ... setibanya dia di sana aja aku nggak tau kapan," keluh Nayla, "oke ... kita anggap aku bukan siapa-siapa," Nayla tertawa, namun terdengar miris ditelinganya. "Emang bukan siapa-siapa, ya." Katanya kemudian. "Tapi apa nggak bisa sekali aja dia nganggep aku sebagai orang yang mengkhawatirkan keadaannya?"

"Sakit, buk,"lirih Nayla, "ditambah lagi omongan ibu yang selalu berhasil mematahkan semangatku ... luuuaar biasa banget sakitnya." Nayla menekan kalimat terakhirnya. "Dan pengorbananku. Kuakhiri sampai di sini." Caera menyunggingkan senyum, menahan rasa sakit yang sebenarnya lebih menguasai. 

"Jangan begitu, Nay ... kamu tau gimana sayangnya Damas sama kamu. Kalau tau kamu memutuskan hubungan tanpa sepengetahuannya, Damas akan kecewa," kata Ibu Damas khawatir melihat sorot keyakinan juga rasa sakit yang Nayla perlihatkan. 

"Aku juga kecewa, kok, buk," sahut Nayla, "aku kecewa dengan keadaan yang berhasil menggoyahkan kesabaranku selama ini. Aku kecewa dengan sikap Damas yang sama sekali nggak menghargai keberadaanku di sini."

"Damas berjuang di sana untuk kamu juga, Nay ... pikirkan baik-baik keputusanmu, Nak. Jangan akhiri karna kamu emosi."

"Udah aku pikirkan baik-baik, Buk," kata Nayla, tetap bertahan pada keputusan yang ia buat. "Aku nggak sanggup lagi buat nungguin Damas ... aku nggak sanggup menunggu sesuatu yang bahkan bayangannya saja nggak terlihat. Aku nggak mau." Nayla menggeleng pelan. 

"Kamu yakin nggak bakalan nyesel, Nay?" tanya ibu Damas, lirih. 

"Semoga aja, ya, buk ... aku berharap setelah keputusanku ini, aku bisa dengan leluasa membuka hati untuk orang lain, dan menjalani kehidupanku sebagaimana mestinya."

"Jangan, Nay, tolong tunggu sampai Damas pulang." Ibu Damas memohon. "Kalau Damas tau, dia pasti bakalan kecewa dan sakit hati. Ibu nggak mau Damas merasakan itu."

"Itu juga yang kuharapkan, Mbak," sahut Bunda Midar, "aku berharap Nayla nggak lagi merasa kecewa, nggak lagi merasa sakit hati ... dan ini, keputusan yang tepat yang sudah Nayla pilih."

"Jangan begitu, Dar," kata Ibu Damas, "kamu tolong tenangin Nayla. Jangan biarin dia mengakhiri hubungannya dengan Damas."

"Kenapa harus begitu?"

"Kalau enggak, Damas pasti bakalan marah besar sama ibunya ini," kata ibu Damas, menekankan telapak tangan ke dadanya. 

"Mengakhiri hubungan itu keputusan Nayla, kenapa Damas harus marah sama, Mbak?" tanya bunda Midar, bingung.

"I-itu," ibu Damas gelagapan, "intinya ibu mohon tarik keinginan kamu itu ya, Nay."

Nayla menggeleng. "Maaf, buk," tolak Nayla, "untuk meyakinkan hatiku, aku butuh waktu yang lama ... dan setelah aku yakin, aku nggak bakalan menariknya," kata Nayla tetap teguh pada pendiriannya. "Ibu sampaiin aja sama Damas. Bilang, kalau aku nggak sanggup lagi nungguin dia pulang, dan keputusanku buat putus dari Damas udah bulat."

Nayla melangkah perlahan meninggalkan gazebo tempat ibu Damas duduk bersama teman-temannya. Tampak raut kekecewaan diwajah wanita paruh baya itu. Sepertinya keputusan yang Nayla pilih bukan hanya menyakitinya, tapi juga menyakiti hati orang lain. Meski pun begitu, Nayla tidak akan menarik keputusannya. Sudah cukup ia menelan pil pahit dari sebuah penantian.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status