Hujan malam itu turun seperti amukan langit, memukul atap seng rumah-rumah reyot di Desa Lembah Senja. Angin menderu membawa aroma tanah basah, bercampur dengan bau anyir yang tak jelas dari mana asalnya. Langit kelam, seolah menutup rapat cahaya bulan.
Di tengah hiruk-pikuk hujan, sebuah jeritan memecah malam. “Aaaaaa!” Suara itu melengking, melintas tajam di antara deru angin dan rintik hujan. Suara seorang perempuan. Panik. Putus asa. Lalu, seperti ditelan tanah, suara itu terhenti mendadak. Raka berdiri kaku di ambang pintu rumahnya, lampu minyak di tangan bergetar. Matanya menatap ke arah jalan setapak yang menuju bukit, sumber suara itu. Napasnya memburu. “Bu, kamu dengar itu?” Di ruang tengah, ibunya membeku di kursi kayu, selendang tua membungkus tubuhnya. Tatapannya kosong, tapi tangan yang memegang cangkir teh bergetar hebat. “Masuk, Raka,” ujarnya datar, nyaris seperti bisikan. “Itu suara orang! Dia butuh bantuan!” Raka sudah melangkah keluar, hujan membasahi rambut dan bajunya. Ibunya menoleh dengan mata yang melebar seperti baru melihat hantu. “Masuk!” Suaranya tiba-tiba meninggi, memotong dentum hujan. Tangannya meraih lengan Raka, mencengkeram kuat. “Kamu mau mati, hah?!” Raka menarik lengannya. “Kenapa semua orang di desa ini selalu pura-pura nggak dengar setiap ada yang” “Masuk!” seru ibunya lagi, kali ini matanya berkaca-kaca. Wajahnya pucat seperti orang sakit. “Jangan pernah keluar kalau dengar suara itu.” Raka terpaku. Bukan cuma amarah di nada ibunya yang membuatnya terdiam, tapi juga rasa takut yang begitu kentara. Bukan takut pada hujan. Bukan pada malam. Tapi pada sesuatu yang hanya mereka orang-orang desa ketahui. --- Jeritan itu tak terdengar lagi setelah beberapa menit. Hanya hujan yang terus mengamuk, menyapu halaman rumah, membuat genangan di mana-mana. Raka duduk di tepi ranjangnya, rambutnya masih basah, baju melekat di tubuh. Matanya menatap jendela yang berembun, pikirannya terus kembali pada suara itu. “Aku nggak mau diem aja,” gumamnya pelan. Pintu kamar berderit, dan Sinta, adik perempuannya, muncul. Gadis itu pucat, mengenakan kaos tipis yang kebesaran, rambutnya acak. “Mas… aku mimpi aneh,” katanya lirih. “Mimpi apa?” Raka memutar kursi, menatap adiknya. Sinta menelan ludah. “Aku lihat perempuan… mulutnya dijahit. Dia berdiri di depan sumur tua di ujung desa. Matanya kayak… nyari seseorang.” Raka merasakan darahnya mengalir lebih cepat. “Mulutnya… dijahit?” Sinta mengangguk pelan. “Waktu aku mau mendekat, dia buka mulutnya… benang-benang itu berdarah. Tapi suaranya… hilang. Kayak… tersedot ke udara.” --- Pagi berikutnya, kabut tebal turun, membungkus desa seperti selimut dingin. Suara ayam jantan pun terdengar sayup. Raka keluar rumah diam-diam, langkahnya menuju ujung barat desa. Sepatu kainnya langsung kotor terkena lumpur. Di sana, sumur tua berdiri di tengah semak-semak. Batu-batunya retak, ditumbuhi lumut. Air di dalamnya hitam, permukaannya nyaris tak beriak meski angin bertiup. Raka menunduk, memperhatikan tanah di sekitar bibir sumur. Ada bekas tapak kaki samar, kecil, seperti milik perempuan. Saat ia hendak mengintip ke dalam, suara serak terdengar di belakangnya. “Jangan dekat-dekat, Nak.” Raka menoleh. Seorang kakek berdiri tak jauh, bertopang pada tongkat kayu. Pakaiannya lusuh, wajahnya dipenuhi keriput. Tapi matanya tajam, menusuk. “Kenapa?” tanya Raka, mencoba terdengar santai. Kakek itu melangkah mendekat perlahan. “Sumur itu… sudah menelan banyak suara. Sekali kau mendengarnya, kau tak akan bisa melupakannya.” Raka mengernyit. “Maksudnya?” Kakek itu menyipitkan mata, lalu tersenyum tipis. “Bocah sepertimu nggak akan betah di sini kalau tahu.” Tanpa menunggu jawaban, ia membalik badan, berjalan pergi, meninggalkan jejak di lumpur. Raka kembali menatap sumur. Hening. Hanya suara kabut yang bergesekan di telinga. Lalu… dari dalam sumur, terdengar bisikan. Pelan. Samar. Tapi jelas memanggil. “Raka…” Darahnya membeku. Ia mundur setapak, matanya melebar. Hujan mulai turun lagi, membasahi tanah, tapi bisikan itu terus terdengar, seolah datang dari dasar sumur yang gelap tak berujung. Ia ingin lari. Tapi kakinya terpaku. Dan dari sudut matanya, ia melihat sepasang tangan pucat, berlumuran lumpur perlahan meraih bibir sumur dari dalam. [BERSAMBUNG]Jeritan pecah di udara. Bukan jeritan manusia… melainkan teriakan seekor ayam jantan yang suaranya terdengar seperti dirobek dari dalam tenggorokan. Suara itu datang dari arah balai desa, diikuti denting logam yang jatuh. Raka dan Darto saling pandang. “Apa itu?” tanya Raka, napasnya masih belum teratur. “Peringatan,” jawab Darto cepat. “Tanda kalau sesuatu… atau seseorang… sudah dilepaskan.” --- Mereka bersembunyi di balik pagar kayu rumah tua. Dari celah papan, Raka melihat sekelompok penduduk desa keluar dari kabut, wajah mereka pucat, mata kosong. Mereka berjalan pelan menuju balai desa, membawa benda-benda aneh anyaman jerami, potongan tulang, dan kendi berisi cairan hitam. “Seperti ritual,” bisik Raka. “Lebih dari itu,” Darto menggeleng. “Mereka memanggil sesuatu.” --- Raka memperhatikan lagi. Salah satu di antara penduduk itu membuatnya menegang seorang perempuan tua berkerudung hitam, tubuhnya bungkuk, tapi matanya… matanya menatap lurus ke arah tempat mereka bersembu
Gong berhenti. Keheningan yang mengikuti justru lebih memekakkan telinga. Raka merasakan denyut di dalam kepalanya, seperti gema suara yang tadi memanggil namanya masih berputar-putar di otak. “Jangan dengar. Fokus pada langkah,” Darto berbisik di sampingnya, suaranya nyaris tak terdengar. --- Mereka berjalan cepat menembus kabut, tapi langkah Raka terasa berat, seperti ada yang menarik kakinya dari tanah. Ia menunduk dan darahnya langsung mendingin. Tanah di bawah sepatu retak, dan dari celahnya, benang-benang merah merayap naik, mencoba melilit pergelangan kakinya. --- “Darto!” Darto menebasnya dengan parang. Benang itu mengerut seperti cacing terbakar, lalu menghilang ke celah tanah yang kembali menutup perlahan. “Kita sudah terlalu dekat dengan pusatnya,” kata Darto dengan napas terengah. “Dia tahu kita ada di sini.” --- Langkah mereka terhenti ketika kabut di depan bergerak seperti kain yang disibak. Dari dalamnya, siluet tinggi sang Penjaga Segel muncul. Topeng kayu d
Suara gong menggema dari arah balai desa. Dalam keheningan malam, bunyinya terasa seperti dentuman yang merobek udara. “Siapa yang memukul gong di jam segini?” Raka memandang Darto, tapi lelaki itu tidak menjawab. Matanya menyipit, rahangnya mengeras. “Itu artinya… mereka memanggil kita.” --- “Mereka? Siapa ‘mereka’?” Darto meraih parang dan berdiri. “Kalau kau ingin tahu, ikut saja. Tapi jangan menatap langsung pada apa pun yang kau rasa… ingin kau lihat.” Raka menelan ludah. “Kalau aku tak ikut?” “Lebih buruk. Karena mereka akan datang menjemput.” --- Mereka berjalan di jalan berbatu menuju balai desa. Kabut menggantung rendah, menelan suara langkah mereka. Di kejauhan, cahaya lampu minyak bergoyang di antara jendela-jendela rumah kosong. Raka merasakan sesuatu mengikuti dari belakang. Bayangan hitam bergerak di tepi penglihatannya, tapi setiap kali ia menoleh, jalan itu kosong. --- Balai desa berdiri di tengah lapangan, besar dan tua. Catnya terkelupas, atapnya nyaris r
Raka terbangun dengan napas terengah. Ia mendengar suara ayam berkokok di kejauhan, diikuti riuh obrolan penduduk desa. Matahari hangat menyinari wajahnya. Jalan desa terlihat ramai: anak-anak berlari sambil tertawa, para ibu menjemur padi, lelaki memikul karung beras. Semuanya hidup. Semuanya… bersuara. --- “Akhirnya bangun juga, Nak.” Seorang perempuan setengah baya muncul dari pintu rumah di depannya, tersenyum lebar. Wajahnya penuh keriput, tapi tatapan matanya lembut. “Ibu…” suara Raka tercekat. Ia mengenal wajah itu. Sama persis seperti ibunya, sebelum meninggal. Perempuan itu tertawa. “Cepat masuk, sarapan sudah siap.” --- Di meja kayu, terhidang nasi panas, ikan bakar, dan sayur bening. Raka duduk, hampir lupa segala yang ia alami semalam. Bau makanan itu nyata, rasa panasnya menusuk kulit jarinya saat ia menyentuh piring. Namun saat ia hendak menyuap, ia melihat ujung piring retak, dan dari retakan itu… menjulur benang merah tipis. --- “Kenapa ada—” Raka menoleh, t
Kabut menutup jalan desa seperti tirai tebal. Udara menjadi berat, membuat napas Raka terdengar lebih keras di telinganya sendiri. Namun di antara kabut, samar-samar ia melihat siluet manusia berdiri di tepi jalan. --- “Darto…” Raka berhenti melangkah. “Kau lihat itu?” Darto menatap lurus ke depan, wajahnya tegang. “Jangan mendekat. Mereka bukan seperti yang kau kira.” Siluet itu semakin jelas. Seorang lelaki tua, berdiri membungkuk, matanya tertutup. Kulitnya pucat seperti lilin, dan tangannya menggenggam tongkat bambu. Ia tidak bergerak sama sekali. --- “Mungkin dia butuh bantuan,” kata Raka pelan. “Kalau kau dekati, kau akan jadi seperti dia.” Raka mengernyit. “Maksudmu… patung?” Darto hanya menggeleng, lalu berbelok ke jalan sempit di kiri. Tapi rasa penasaran mendorong Raka satu langkah lebih dekat pada sosok itu. --- Di jarak tiga meter, Raka bisa melihat dada lelaki itu… naik-turun. “Dia bernapas,” bisik Raka, setengah lega. Saat ia melangkah lagi, mata lelaki itu
Benang basah itu menarik pergelangan kaki Raka dengan kekuatan tak masuk akal. Ia hampir terjatuh, namun Darto sigap menariknya ke belakang. Mereka berdua tersungkur, tubuhnya membentur lantai kayu yang dingin dan lembab. Dari dalam kegelapan, terdengar suara retakan tulang bukan dari mereka, tapi dari sesuatu yang bergerak di lantai. --- “Berdiri!” Darto menariknya bangkit. “Jangan lihat ke bawah, jangan lepaskan kaki dari lantai!” Raka terpincang-pincang mengikuti langkahnya. Benang itu terlepas dengan sendirinya, tapi rasa dingin menempel di kulitnya seperti bekas gigitan. Mereka berlari menuju tangga. Namun saat Darto mendorong pintu besi di atas, yang terbuka bukan lorong rumah… melainkan kembali ke dalam gudang yang sama. --- “Tidak mungkin…” Raka menatap sekeliling. “Kita—kita tadi sudah di sini.” Gudang itu identik: meja di tengah, benang merah di dinding, lubang di lantai, bahkan kotak kayu di atas meja. Namun kali ini, kotak itu sudah terbuka, menganga seperti mulut