Home / Horor / Desa Tanpa Suara / Bab 2: Tangan dari Dalam Sumur

Share

Bab 2: Tangan dari Dalam Sumur

Author: Rafi Aditya
last update Last Updated: 2025-08-09 18:45:32

Tangan itu diam beberapa detik, menempel pada bibir sumur yang basah lumut. Jemarinya pucat, kuku-kuku hitam dan panjang seperti tidak pernah dipotong bertahun-tahun. Butiran air menetes dari ujung kuku, bercampur lumpur yang pekat.

Raka menelan ludah, tubuhnya kaku. Hujan semakin deras, membuat pandangannya kabur. Ia mundur selangkah… lalu selangkah lagi.

Suara bisikan itu kembali, lebih dekat. “Raka… turunlah…”

Nafasnya tercekat. “Siapa kau?” tanyanya dengan suara nyaris tak terdengar.

Tak ada jawaban. Hanya bunyi cipratan air di dalam sumur. Kemudian, sesuatu yang lebih menyeramkan terjadi: jemari itu mencengkeram batu sumur lebih kuat, dan perlahan… sebuah kepala muncul.

Rambut hitam panjang tergerai, menutupi sebagian wajah yang pucat kebiruan. Dari sela-sela rambutnya, terlihat bekas jahitan hitam di bibir benang kasar, sebagian terlepas, mengeluarkan darah hitam yang menetes ke air sumur.

Raka terhuyung mundur, lututnya hampir goyah. “Astaga…”

Perempuan itu mendongak sedikit, memperlihatkan mata yang putih seluruhnya, tanpa pupil. Ia membuka mulutnya lebar-lebar, benang-benang itu meregang, mengeluarkan suara robekan yang basah.

Dari sela mulut yang sobek itu, bukan teriakan yang keluar, tapi suara lirih… suara ibunya sendiri.

“Raka… pulang sekarang…”

Jantungnya serasa berhenti berdetak. “Itu… bukan suara Ibu,” gumamnya, lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri.

Perempuan itu perlahan tenggelam kembali ke dalam sumur, jemarinya terlepas dari bibir batu. Tapi sebelum hilang sepenuhnya, dia mengangkat tangannya… menunjuk ke arah barat desa.

---

Raka tiba di rumah dengan napas tersengal. Bajunya basah kuyup, sepatu berlumpur. Ibunya sedang duduk di dapur, memotong sayuran, tapi tatapannya langsung berubah tegang saat melihat putranya.

“Kamu dari mana?” suaranya dingin.

Raka mencoba mengatur napas. “Aku… cuma jalan-jalan.”

“Ke sumur?” Nada itu tidak bertanya. Ia tahu.

Raka diam.

Ibunya meletakkan pisau di meja, nadinya berdenyut di pelipis. “Dengar aku baik-baik. Apa pun yang kau lihat atau dengar di sana… lupakan. Kalau kau mau tetap hidup, kau harus pura-pura tidak tahu.”

Raka menatap ibunya lekat-lekat. “Kalau memang berbahaya, kenapa sumur itu masih ada? Kenapa semua orang diem aja?”

Tatapan ibunya meredup. “Karena tak semua bahaya bisa dihilangkan, Nak. Ada yang hanya bisa… dihindari.”

---

Malamnya, kabut turun lebih pekat daripada biasanya. Suara jangkrik pun lenyap. Desa itu seperti ditelan keheningan. Raka berbaring di ranjangnya, memandang langit-langit. Kata-kata ibunya terus terngiang di kepalanya… tapi begitu juga tatapan mata putih perempuan di sumur.

Ia memejamkan mata, mencoba tidur, namun tiba-tiba terdengar ketukan pelan di jendela. Tok… tok… tok.

Raka membeku. Matanya terbuka lebar. Ia menoleh perlahan ke arah jendela. Di balik kaca berembun, samar terlihat siluet seseorang. Rambutnya panjang, basah menempel di wajah.

Tok… tok… tok.

Ia bangkit, kakinya nyaris tanpa suara di lantai kayu. Tangannya gemetar saat meraih tirai. Saat ia tarik

Kosong. Tidak ada siapa-siapa.

Raka menarik napas lega… sampai ia menunduk. Di ambang jendela, ada jejak kaki basah menuju ke arah ranjangnya.

---

Keesokan paginya, ia memutuskan untuk mencari tahu siapa yang tinggal di sisi barat desa, arah yang ditunjuk perempuan di sumur. Jalan ke sana jarang dilewati, penuh rumput liar. Rumah-rumahnya lebih tua, sebagian miring dan atapnya bolong.

Salah satu rumah menarik perhatiannya. Semua jendelanya tertutup papan, tapi di pintu depan ada ukiran aneh: lingkaran dengan tiga garis memanjang keluar, seperti matahari yang bengkok. Tali merah tergantung di gagang pintu, ujungnya diikat pada potongan tulang kecil.

Raka menyentuh papan pintu itu. Dingin.

“Aku tahu wajahmu,” suara berat terdengar dari samping.

Ia menoleh. Seorang pria berjaket kulit lusuh berdiri di sana, membawa sekeranjang kayu bakar. Wajahnya keras, dengan bekas luka panjang di pipi.

“Kamu anak Bu Sari, kan?”

Raka mengangguk ragu. “Iya… Om siapa?”

“Orang sini memanggilku Paman Darto. Dan kalau kau mau tetap bernapas, anak kota, jangan pernah masuk ke rumah itu.”

“Kenapa?”

Paman Darto menatapnya lama, lalu berbisik, “Karena itu rumah orang yang suaranya dicuri. Dan pencurinya… masih lapar.”

Raka merasakan bulu kuduknya meremang.

[BERSAMBUNG]

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Desa Tanpa Suara   Bab 80: Suara Terakhir (The End)

    Hujan sudah reda sejak subuh, menyisakan kabut tipis yang melayang di antara pohon-pohon tua di pinggir desa. Tanah masih basah, mengeluarkan aroma lumpur dan dedaunan yang tertimpa hujan semalam. Raka berdiri di halaman balai desa, menatap kosong ke arah perbukitan yang dulu selalu terasa mengancam, kini hanya terlihat seperti punggung raksasa yang tertidur. “Jadi… semuanya benar-benar selesai?” tanya Laras pelan, suaranya seperti takut memecahkan keheningan yang baru saja kembali. Raka mengangguk. “Ya. Akar itu sudah dibakar habis. Mbah Jumar juga… sudah pergi, bersama semua ikatan yang menahan desa ini.” Ia menarik napas panjang, mencoba mengusir sisa-sisa ketegangan yang masih membeku di dadanya. Beberapa warga mulai keluar rumah. Ada yang duduk di beranda, ada yang menatap langit seperti baru pertama kali melihat birunya. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, mereka berani berbicara dengan suara lantang. Tidak ada lagi rasa takut pada bisikan tak kasat mata atau langk

  • Desa Tanpa Suara   Bab 79: Jantung Lembah

    Kabut pekat menyelimuti jalur menuju Lembah Senyap. Pohon-pohon di kiri-kanan tampak seperti siluet bengkok, cabangnya menyerupai tangan yang hendak meraih. Udara begitu dingin dan lembap, membuat napas setiap orang keluar dalam uap putih. Raka berjalan paling depan, diikuti Sardi, Bagus, Darto, dan dua pemuda desa lain. Mereka membawa obor dan parang, sementara Mbah Jumar tertinggal di pos dekat hutan untuk memantau dari jauh. “Aku sudah terlalu tua untuk berlari di tanah seperti ini,” katanya, tapi Raka tahu ada alasan lain: Mbah Jumar menjaga jalur pulang. Semakin mereka turun ke lembah, suara alam perlahan menghilang. Tak ada burung, tak ada serangga. Hanya bunyi langkah kaki di tanah basah, dan kadang… sesuatu yang menyeret di kejauhan. --- Di bibir lembah, mereka menemukan tanda pertama: akar merah setebal paha manusia menjalar dari tebing ke arah bawah, sebagian menyatu dengan batang pohon. Sulur itu berdenyut pelan, seperti pembuluh darah raksasa. “Kita sudah dekat,” bisi

  • Desa Tanpa Suara   Bab 78: Peta Akar

    Fajar baru saja muncul ketika Raka, Sardi, dan Mbah Jumar sudah berkumpul di balai desa. Di atas meja kayu panjang terbentang peta buatan tangan, dengan garis-garis merah yang Raka coretkan malam sebelumnya. Setiap tanda merah menunjukkan lokasi di mana mereka menemukan sulur akar dalam beberapa minggu terakhir. “Kalau pola ini benar,” ujar Raka sambil menunjuk lingkaran-lingkaran kecil di peta, “cabang akar ini membentuk semacam jaring yang memusat ke sini.” Ia mengetuk titik di tengah, yang ternyata adalah sebuah lembah kecil di antara Karangwangi dan Karangjati. Mbah Jumar mengangguk perlahan. “Itu namanya Lembah Senyap. Dulu, orang menghindari tempat itu karena katanya tidak ada burung atau serangga yang mau tinggal di sana.” Sardi mengernyit. “Kalau begitu, kita mulai dari sana?” “Belum,” jawab Raka. “Pertama kita pastikan jalur yang menuju lembah itu. Kalau kita masuk buta, kita bisa terjebak di tengah sarangnya.” --- Raka memutuskan membagi kelompok. Ia, Sardi, dan dua pe

  • Desa Tanpa Suara   Bab 77: Cabang yang Mencari Nafas

    Hujan gerimis turun semalaman, membasahi seluruh desa dan bukit di sekitarnya. Pagi itu, udara dipenuhi aroma tanah basah. Dari kejauhan, suara ayam berkokok dan embun menempel di dedaunan. Namun di tepi hutan utara, sesuatu bergerak pelan di bawah lapisan tanah. Sulur merah pucat tipis seperti urat darah merayap tak terlihat, mencari celah untuk keluar. Setiap kali petir menyambar, sulur itu bergetar, seolah menghirup tenaga dari kilatan langit. --- Raka tidak tahu apa yang terjadi di hutan utara. Ia sedang berada di rumah Sardi, memeriksa peta lama yang ditemukan Mbah Jumar. “Lihat ini,” kata Sardi sambil menunjuk garis di peta yang menghubungkan bukit gua akar ke beberapa titik lain. “Kalau benar peta ini akurat, akar itu dulu pernah menjalar sampai ke perbatasan kecamatan.” Raka mengerutkan dahi. “Kalau cabangnya masih hidup, mereka bisa muncul di mana saja sepanjang jalur ini.” Mbah J

  • Desa Tanpa Suara   Bab 76: Desa yang Bernapas Kembali

    Pagi di Desa Karangwangi tak pernah terasa seperti ini sebelumnya. Kabut yang selama bertahun-tahun menggantung di antara pepohonan kini lenyap. Matahari menembus penuh, menyentuh genting-genting rumah dengan cahaya keemasan. Raka berdiri di tepi sawah, memandangi air irigasi yang mengalir jernih. Ia bisa mendengar suara katak, burung, bahkan tawa anak-anak di kejauhan. Suara yang dulu ia rindukan kembali hidup. Namun di balik semua itu, ada rasa kosong yang tak bisa diusir. Ratna tak ada. Bukan hanya Ratna semua arwah yang pernah berkeliaran di desa itu kini hilang, seolah tak pernah ada. --- Sardi datang membawa dua cangkir kopi. “Masih pagi-pagi sudah melamun? Biasanya ini waktunya kau tidur sampai siang.” Raka tersenyum tipis, menerima kopi itu. “Aku cuma… memastikan semuanya benar-benar berakhir.” Sardi duduk di pematang, menatap sawah. “Kau masih berharap dia kembali, ya?” Raka tak menjawab, hanya menyeruput kopi. Asapnya naik perlahan, membentuk garis tipis sebelum hilan

  • Desa Tanpa Suara   Bab 75: Inti yang Harus Pecah

    Detak itu memekakkan telinga Raka, bukan hanya terdengar, tapi terasa sampai ke tulang. Jantung akar berdenyut semakin cepat, seolah sadar akan ancaman yang mendekat. Ratna berdiri di tepi ruang inti, wajahnya diterangi cahaya merah dari bola berputar itu. “Sekarang, Raka,” katanya tegas. “Sekali sabitmu menyentuh inti, semuanya akan runtuh. Lorong akan menutup, dan… aku akan ikut lenyap.” Raka menelan ludah, tangannya gemetar. “Kalau aku tak melakukannya, desa akan hancur. Kalau aku melakukannya, kau yang hilang. Kenapa semua pilihan harus buruk?” Ratna tersenyum tipis. “Karena dunia ini memang tak pernah menawarkan pilihan yang adil. Tapi kalau kau mencintaiku, bebaskan aku.” Di luar, suara benturan dan jeritan semakin keras. Sardi berteriak memanggil nama Raka. Akar-akar di dinding bergetar, seakan mencoba meremas lorong. Waktu benar-benar habis. --- Raka melangkah maju. Inti itu berputar perlahan, memancarkan panas yang membuat kulitnya perih. Ada bisikan lain yang terdengar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status