Accueil / Horor / Desa Tanpa Suara / Bab 16: Mata Pucat di Lorong

Share

Bab 16: Mata Pucat di Lorong

Auteur: Rafi Aditya
last update Dernière mise à jour: 2025-08-28 15:50:32

Mata pucat itu tidak berkedip.

Cahaya lilin hitam di sekitar sumur seakan meredup, seolah takut pada sosok di ambang pintu.

Penjaga Kedua mengangkat lampu minyaknya yang hampir padam. “Tunjukkan dirimu,” perintahnya, suaranya seperti batu bergesek.

---

Sosok itu melangkah maju, menginjak genangan air di lantai. Suara cipratan kecil menggema di ruangan bundar. Dari kegelapan, muncul seorang wanita muda berambut panjang basah, pakaiannya sobek seperti telah diseret di tanah. Kulitnya pucat nyaris transparan, dan dari kedua sudut matanya menetes air hitam.

Raka merasakan dingin merayap ke tulang. “Kau… manusia?”

Wanita itu tersenyum tipis, tapi senyum itu tak pernah sampai ke matanya. “Manusia… dulu. Sekarang? Aku hanya ingatan yang terlalu keras kepala untuk mati.”

---

Penjaga Kedua maju setengah langkah. “Pergi. Tempat ini bukan untukmu.”

Wanita itu menoleh, dan Raka melihat matanya lebih jelas irisnya berwarna abu-abu pucat, seperti awan yang menelan matahari. “Kau bicara sep
Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application
Chapitre verrouillé

Latest chapter

  • Desa Tanpa Suara   Bab 30: Sungai yang Berbisik

    Raka tersentak ketika sesuatu menyentuh kakinya di dalam air. Awalnya ia mengira itu hanyalah batu… sampai jari-jari dingin merayap di pergelangan kakinya. --- “Raka!” teriak pria bermata abu dari tepi sungai. Ia sedang memanjat batu licin, tangannya terulur. “Naik! Sekarang!” --- Raka meraih tangannya, tapi tarikan dari bawah semakin kuat. Air di sekitarnya mulai berputar, seperti pusaran yang muncul dari dalam dasar sungai. --- “Lepaskan!” Raka berteriak, tapi air memasuki mulutnya. Rasa pahit besi memenuhi lidahnya dan suara-suara mulai masuk ke kepalanya. --- “Tolong aku…” “Kembalikan suaraku…” “Jangan biarkan mereka…” --- Raka terhuyung saat pria bermata abu menariknya ke darat. Mereka jatuh bersamaan, napas keduanya memburu. --- “Apa tadi itu?” Raka memegangi kepalanya, suara-suara itu masih bergema. --- “Suara orang-orang yang diambil desa,” jawab pria itu datar. “Air ini menyimpan mereka. Sebagian mencoba memanggilmu… sebagian lagi mencoba menggantikanmu.” ---

  • Desa Tanpa Suara   Bab 29: Desa yang Menatap

    Raka tersentak bangun dengan napas memburu. Tubuhnya masih bergetar, meski ia tak lagi berada di lorong daging itu. Langit di atasnya berwarna kelabu pekat, awan bergerak cepat seperti sedang dikejar sesuatu. --- “Kita harus pindah sebelum malam turun,” suara pria bermata abu terdengar dari dekat api kecil. Ia sedang memanaskan air di dalam panci hitam, matanya terus menatap ke arah hutan. --- “Aku…” Raka mencoba bicara, tapi tenggorokannya terasa kering. “Itu… bukan mimpi, kan?” --- Pria itu menoleh sekilas. “Kalau kau masih bisa merasakan baunya, berarti itu nyata.” --- --- Raka menelan ludah. Aroma manis yang sama masih samar di ujung hidungnya, bercampur bau tanah basah. “Kenapa dia… pakai wajah ayahku?” --- “Karena dia tahu itu akan melemahkanmu. Makhluk itu tidak hanya memakan suara, tapi juga kenangan. Semakin kuat rasa ikatanmu, semakin mudah kau menyerahkan diri.” --- Raka menunduk, menggenggam pisau lipatnya erat. “Kalau begitu… dia akan mencoba lagi.” --- “Bu

  • Desa Tanpa Suara   Bab 28: Rumah yang Bernafas

    Raka berdiri terpaku di lorong daging itu. Dinding berdenyut pelan, seolah seluruh ruangan menarik dan menghembuskan napas bersamanya. --- “Apa ini…?” suaranya nyaris tak terdengar, tertelan gema aneh di udara. --- Sosok yang menyerupai ayahnya berjalan pelan, langkahnya nyaris tanpa suara di lantai yang basah. “Ini rumah kita yang sebenarnya. Kau lahir dari sini, Raka… kita semua lahir dari sini.” --- Raka menggeleng cepat. “Bohong. Aku lahir di rumah kayu di pinggir desa. Aku ingat jelas.” --- “Apa yang kau ingat hanyalah cerita yang mereka tanamkan,” ujarnya sambil menunjuk dinding yang berlapis urat. “Inilah ibu sejati kita. Dia memberi kita makan, memberi kita suara… dan bisa mengambilnya kembali.” --- --- Suara bisikan dari dinding semakin keras, bergabung menjadi nada rendah yang membuat dada Raka bergetar. Ia menutup telinga, tapi suara itu tetap meresap langsung ke pikirannya. --- “Kau dengar, kan?” tanya ayahnya. “Dia memanggilmu. Dia ingin tahu suaramu, agar di

  • Desa Tanpa Suara   Bab 27: Pilihan yang Memutus atau Mengikat

    Raka berdiri di antara akar-akar yang bergerak, napasnya berat. Di depannya, ibunya atau sosok yang menyerupai ibunya menatap dengan tatapan yang tak lagi ia kenal. --- “Ayo, Raka…” suaranya lembut, namun berlapis gema. “Hanya selangkah lagi, dan kau tak akan pernah merasa sendirian lagi.” --- Orang bermata abu menarik bahunya. “Jangan dengarkan. Itu bukan ibumu. Itu rumah yang bicara lewat tubuhnya.” --- “Diam!” Raka membentak, tapi matanya tetap tak lepas dari ibunya. “Kalau memang itu bukan dia, kenapa matanya menangis?” --- Sosok itu tersenyum. Air mata benar-benar mengalir di pipinya, tapi hitam pekatnya bola mata membuatnya lebih mirip tinta yang bocor daripada air. --- “Aku menangis karena rindu,” ujarnya pelan. “Kau dan aku bisa bersama di tempat yang tenang… tanpa rasa sakit, tanpa kehilangan.” --- Akar-akar semakin merapat, menutup jalan keluar. Suara retakan pohon terdengar dari dalam tanah. --- “Raka!” orang bermata abu mengeluarkan pisau panjang dari balik

  • Desa Tanpa Suara   Bab 26: Mata yang Bukan Milik Ibu

    Raka mundur perlahan, sementara pelukan ibunya masih mengikat erat. Sentuhannya hangat terlalu hangat, seperti demam yang membakar kulit. --- “Ibu…” Raka mencoba melepaskan diri, tapi genggaman itu menguat. Mata wanita itu menatapnya lekat. Air mata menetes, namun di balik kilauannya, bayangan rumah tua itu berkedip. --- “Ada apa? Kau ketakutan?” suara ibunya terdengar normal, tapi ada nada rendah yang bergema bersamanya, seperti dua suara bertumpuk. --- “Aku… hanya khawatir,” jawab Raka. --- Wanita itu tersenyum lembut, tapi sudut bibirnya bergerak seolah menarik lebih dari sekadar kulit. “Kau sudah menemukanku. Sekarang… kita bisa pulang.” --- --- Mereka menuruni bukit. Hujan mulai reda, tapi udara terasa berat, seperti menekan paru-paru. Orang bermata abu berjalan di belakang mereka, tidak berkata apa-apa, hanya menatap punggung ibu Raka dengan intensitas yang membuat Raka gelisah. --- Sesampainya di desa, suasana berbeda. Jalan yang biasanya sunyi kini dipenuhi pend

  • Desa Tanpa Suara   Bab 25: Ujian Keempat

    Petir menyambar, cahaya putih menyelimuti desa sekejap. Saat kilatan itu hilang, Raka menyadari sesuatu yang aneh: suara hujan lenyap. Bukan hanya meredup benar-benar hilang. --- Ia menatap keluar jendela. Air hujan masih mengguyur genteng, namun tak ada bunyinya. Jalan basah, lampu-lampu rumah berkedip, tapi semuanya sunyi seperti di dalam mimpi. --- Orang bermata abu berdiri di sudut kamar. “Itu tandanya ujian keempat dimulai. Desa ini sedang mematikan suaranya.” --- “Apa maksudnya?” Raka mendekat. --- “Kalau kau tak bergerak sekarang, kau akan ikut menghilang bersamanya.” --- --- Mereka keluar ke jalan. Angin bertiup kencang, tapi hanya gerak dedaunan yang terlihat tanpa suara gemerisik. Raka merasa seperti menonton dunia tanpa pengeras suara. --- “Aku harus ke mana?” Raka bertanya. --- Orang bermata abu menatap ke arah bukit di ujung desa. “Ke sana. Rumah yang kau lihat di cermin kemarin ada di baliknya. Tapi kali ini, ia tidak menunggumu. Kau yang harus mencariny

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status