Raka berdiri di depan pintu rumah itu, menatap ukiran lingkaran bengkok yang terasa seperti mata memandang balik kepadanya. Tali merah dengan potongan tulang kecil bergoyang pelan diterpa angin, menimbulkan bunyi ketukan halus pada kayu. Meski kabut siang sudah agak menipis, hawa di sekitar rumah ini lebih dingin daripada bagian desa lain.
Ia mengulurkan tangan, menyentuh papan pintu. Kayunya lembab, seolah pernah terendam air. Dari sela papan, tercium bau tanah basah bercampur logam… seperti darah yang sudah mengering. “Anak kota, kau tuli atau bodoh?” suara Paman Darto membuyarkan pikirannya. Raka menoleh. “Kalau memang berbahaya, kenapa tidak dibakar saja rumah ini?” Paman Darto mengerutkan kening, lalu mengangkat kayu bakar ke bahunya. “Kau pikir kutukan bisa hilang dengan api? Ada yang tetap tinggal… bahkan setelah semua jadi abu.” --- Setelah pria itu pergi, Raka menghela napas panjang. Rasa ingin tahunya menelan rasa takutnya. Ia menekan papan pintu perlahan. Ternyata tidak terkunci. Pintu berderit panjang saat terbuka, memecah kesunyian desa. Aroma lembab langsung menyergap. Cahaya redup masuk dari celah papan di jendela, membentuk garis-garis tipis di udara yang penuh debu. Langkah pertamanya membuat lantai kayu berderit. Di dalam, ruangan itu nyaris kosong, hanya ada meja tua dan kursi reyot di sudut. Tapi yang membuat Raka berhenti adalah… napas. Ada suara napas pelan dari dalam rumah. --- “Siapa di sana?” suara Raka bergetar, tapi ia memaksakan nada tegas. Tak ada jawaban. Hanya suara sshhh… samar, seperti bisikan yang keluar dari balik dinding. Raka melangkah lebih dalam. Di dinding sebelah kanan, ia melihat sesuatu: coretan simbol yang sama seperti di pintu, tapi lebih banyak. Beberapa digoreskan dengan pisau, beberapa seolah dicap pakai bara. Suara napas itu semakin jelas. Seperti berasal dari lantai. Ia berlutut, menyibak karpet lusuh yang menutupi papan lantai. Di bawahnya ada pintu kayu kecil—seperti pintu gudang bawah tanah. --- Jemarinya ragu memegang gagang pintu itu. Papan kayu terasa dingin sekali, hampir menusuk tulang. Tiba-tiba, suara napas itu berubah menjadi tawa lirih. Tawa yang serak dan bergetar, membuat punggungnya merinding. Pintu kecil itu bergetar pelan, seperti ada sesuatu di bawahnya yang mencoba keluar. “Raka…” suara itu memanggil namanya. Kali ini, nadanya seperti seorang anak kecil. --- Raka tersentak, mundur dua langkah. “Kau siapa?!” Suara itu terkekeh lagi. “Buka… aku ingin bicara…” Ia menatap pintu kecil itu. Semua nalurinya berteriak untuk pergi. Tapi sebelum ia bisa bergerak, papan di sisi pintu tiba-tiba retak, dan dari celahnya muncul… sebuah tangan kecil. Kulitnya pucat, urat-uratnya gelap, kukunya tajam dan melengkung. Tangan itu meraih udara, lalu menghantam papan dengan keras. Retakan semakin melebar. --- Raka berbalik, berlari menuju pintu depan. Namun sebelum ia mencapainya, ia melihat bayangan berdiri di ambang. Sosok itu terlalu tinggi untuk anak kecil. Dari balik kabut, Paman Darto muncul, matanya tajam. “Kau bodoh!” Ia masuk dan langsung menutup pintu, mengganjalnya dengan meja. “Apa itu?” Raka terengah, memegang lutut. Paman Darto menatapnya dingin. “Itu… sisa suara pertama yang dicuri di desa ini. Dan dia belum pernah kenyang.” --- Lantai di bawah mereka bergetar. Suara ketukan ritmis terdengar dari bawah tanah, diiringi bisikan-bisikan tak jelas beberapa seperti memanggil nama orang, beberapa hanya erangan. Paman Darto menarik napas panjang. “Sekarang kau sudah terlibat, Raka. Dan satu-satunya alasan kau belum kehilangan suara… adalah karena dia sedang memilih.” “Memilih?” Raka menelan ludah. “Memilih apa?” Paman Darto menatapnya lekat-lekat. “Siapa yang akan jadi korban berikutnya.” --- Getaran lantai berhenti. Keheningan kembali namun bukan keheningan biasa. Hening yang terasa seperti mata yang mengintai dari setiap sudut rumah. Paman Darto meraih bahu Raka. “Kita harus pergi sekarang. Sebelum malam turun.” Saat mereka keluar, Raka menoleh sekali lagi ke rumah itu. Dari celah papan jendela, ia melihat… sepasang mata putih yang menatapnya lurus. Mata itu… tersenyum. [BERSAMBUNG]Hujan sudah reda sejak subuh, menyisakan kabut tipis yang melayang di antara pohon-pohon tua di pinggir desa. Tanah masih basah, mengeluarkan aroma lumpur dan dedaunan yang tertimpa hujan semalam. Raka berdiri di halaman balai desa, menatap kosong ke arah perbukitan yang dulu selalu terasa mengancam, kini hanya terlihat seperti punggung raksasa yang tertidur. “Jadi… semuanya benar-benar selesai?” tanya Laras pelan, suaranya seperti takut memecahkan keheningan yang baru saja kembali. Raka mengangguk. “Ya. Akar itu sudah dibakar habis. Mbah Jumar juga… sudah pergi, bersama semua ikatan yang menahan desa ini.” Ia menarik napas panjang, mencoba mengusir sisa-sisa ketegangan yang masih membeku di dadanya. Beberapa warga mulai keluar rumah. Ada yang duduk di beranda, ada yang menatap langit seperti baru pertama kali melihat birunya. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, mereka berani berbicara dengan suara lantang. Tidak ada lagi rasa takut pada bisikan tak kasat mata atau langk
Kabut pekat menyelimuti jalur menuju Lembah Senyap. Pohon-pohon di kiri-kanan tampak seperti siluet bengkok, cabangnya menyerupai tangan yang hendak meraih. Udara begitu dingin dan lembap, membuat napas setiap orang keluar dalam uap putih. Raka berjalan paling depan, diikuti Sardi, Bagus, Darto, dan dua pemuda desa lain. Mereka membawa obor dan parang, sementara Mbah Jumar tertinggal di pos dekat hutan untuk memantau dari jauh. “Aku sudah terlalu tua untuk berlari di tanah seperti ini,” katanya, tapi Raka tahu ada alasan lain: Mbah Jumar menjaga jalur pulang. Semakin mereka turun ke lembah, suara alam perlahan menghilang. Tak ada burung, tak ada serangga. Hanya bunyi langkah kaki di tanah basah, dan kadang… sesuatu yang menyeret di kejauhan. --- Di bibir lembah, mereka menemukan tanda pertama: akar merah setebal paha manusia menjalar dari tebing ke arah bawah, sebagian menyatu dengan batang pohon. Sulur itu berdenyut pelan, seperti pembuluh darah raksasa. “Kita sudah dekat,” bisi
Fajar baru saja muncul ketika Raka, Sardi, dan Mbah Jumar sudah berkumpul di balai desa. Di atas meja kayu panjang terbentang peta buatan tangan, dengan garis-garis merah yang Raka coretkan malam sebelumnya. Setiap tanda merah menunjukkan lokasi di mana mereka menemukan sulur akar dalam beberapa minggu terakhir. “Kalau pola ini benar,” ujar Raka sambil menunjuk lingkaran-lingkaran kecil di peta, “cabang akar ini membentuk semacam jaring yang memusat ke sini.” Ia mengetuk titik di tengah, yang ternyata adalah sebuah lembah kecil di antara Karangwangi dan Karangjati. Mbah Jumar mengangguk perlahan. “Itu namanya Lembah Senyap. Dulu, orang menghindari tempat itu karena katanya tidak ada burung atau serangga yang mau tinggal di sana.” Sardi mengernyit. “Kalau begitu, kita mulai dari sana?” “Belum,” jawab Raka. “Pertama kita pastikan jalur yang menuju lembah itu. Kalau kita masuk buta, kita bisa terjebak di tengah sarangnya.” --- Raka memutuskan membagi kelompok. Ia, Sardi, dan dua pe
Hujan gerimis turun semalaman, membasahi seluruh desa dan bukit di sekitarnya. Pagi itu, udara dipenuhi aroma tanah basah. Dari kejauhan, suara ayam berkokok dan embun menempel di dedaunan. Namun di tepi hutan utara, sesuatu bergerak pelan di bawah lapisan tanah. Sulur merah pucat tipis seperti urat darah merayap tak terlihat, mencari celah untuk keluar. Setiap kali petir menyambar, sulur itu bergetar, seolah menghirup tenaga dari kilatan langit. --- Raka tidak tahu apa yang terjadi di hutan utara. Ia sedang berada di rumah Sardi, memeriksa peta lama yang ditemukan Mbah Jumar. “Lihat ini,” kata Sardi sambil menunjuk garis di peta yang menghubungkan bukit gua akar ke beberapa titik lain. “Kalau benar peta ini akurat, akar itu dulu pernah menjalar sampai ke perbatasan kecamatan.” Raka mengerutkan dahi. “Kalau cabangnya masih hidup, mereka bisa muncul di mana saja sepanjang jalur ini.” Mbah J
Pagi di Desa Karangwangi tak pernah terasa seperti ini sebelumnya. Kabut yang selama bertahun-tahun menggantung di antara pepohonan kini lenyap. Matahari menembus penuh, menyentuh genting-genting rumah dengan cahaya keemasan. Raka berdiri di tepi sawah, memandangi air irigasi yang mengalir jernih. Ia bisa mendengar suara katak, burung, bahkan tawa anak-anak di kejauhan. Suara yang dulu ia rindukan kembali hidup. Namun di balik semua itu, ada rasa kosong yang tak bisa diusir. Ratna tak ada. Bukan hanya Ratna semua arwah yang pernah berkeliaran di desa itu kini hilang, seolah tak pernah ada. --- Sardi datang membawa dua cangkir kopi. “Masih pagi-pagi sudah melamun? Biasanya ini waktunya kau tidur sampai siang.” Raka tersenyum tipis, menerima kopi itu. “Aku cuma… memastikan semuanya benar-benar berakhir.” Sardi duduk di pematang, menatap sawah. “Kau masih berharap dia kembali, ya?” Raka tak menjawab, hanya menyeruput kopi. Asapnya naik perlahan, membentuk garis tipis sebelum hilan
Detak itu memekakkan telinga Raka, bukan hanya terdengar, tapi terasa sampai ke tulang. Jantung akar berdenyut semakin cepat, seolah sadar akan ancaman yang mendekat. Ratna berdiri di tepi ruang inti, wajahnya diterangi cahaya merah dari bola berputar itu. “Sekarang, Raka,” katanya tegas. “Sekali sabitmu menyentuh inti, semuanya akan runtuh. Lorong akan menutup, dan… aku akan ikut lenyap.” Raka menelan ludah, tangannya gemetar. “Kalau aku tak melakukannya, desa akan hancur. Kalau aku melakukannya, kau yang hilang. Kenapa semua pilihan harus buruk?” Ratna tersenyum tipis. “Karena dunia ini memang tak pernah menawarkan pilihan yang adil. Tapi kalau kau mencintaiku, bebaskan aku.” Di luar, suara benturan dan jeritan semakin keras. Sardi berteriak memanggil nama Raka. Akar-akar di dinding bergetar, seakan mencoba meremas lorong. Waktu benar-benar habis. --- Raka melangkah maju. Inti itu berputar perlahan, memancarkan panas yang membuat kulitnya perih. Ada bisikan lain yang terdengar