Raka terbangun mendadak, napasnya terengah, keringat dingin membasahi pelipis. Namun matanya segera menyadari sesuatu ia tidak berada di kamar yang ditempatkan Paman Darto malam sebelumnya. Dinding di sekitarnya bukan kayu, melainkan batu bata lembab, dan di sudut ruangan terdapat genangan air hitam.
Di udara, terdengar suara tetesan air yang lambat, seperti jam pasir terbalik yang menghitung mundur. Setiap tetesan memantulkan suara… bukan bunyi air, melainkan bisikan. Suara-suara itu memanggil namanya, berlapis-lapis, dari suara anak-anak hingga orang tua, semuanya lirih namun memaksa masuk ke telinga. --- Raka berdiri perlahan, menatap ke arah lorong sempit di depan. Kabut tipis bergelayut di lantai, berputar seperti asap. Ia melangkah hati-hati, tetapi setiap langkah membuat bisikan itu semakin jelas. "Kau sudah dekat…" "Buka… petinya…" “Siapa kalian?” Raka menoleh ke kiri dan kanan, namun lorong tetap kosong. --- Di ujung lorong, ia menemukan sebuah pintu kayu setengah terbuka. Cahaya oranye samar mengintip dari celahnya, seperti nyala api yang jauh. Saat ia mendorongnya, ruangan itu terbuka memperlihatkan sebuah aula desa namun bukan yang ia kenal. Balai desa itu penuh orang. Mereka duduk kaku, mata terpejam, bibir rapat. Tidak ada yang bergerak, namun di dada mereka tergantung benang merah yang terhubung ke sebuah peti kayu di tengah ruangan. Peti itu berukir simbol tangan memegang lidah, sama seperti di buku catatan tua. --- Raka melangkah mendekat. Semakin dekat, jantungnya berdetak kencang. Tiba-tiba, salah satu orang di barisan depan membuka mata-mata kosong, seputih susu dan bibirnya bergerak, mengeluarkan suara yang bukan miliknya. "Kau… pengganti… yang ke-101…" Raka terhenti. “Pengganti? Maksudmu apa?” --- Peti kayu di tengah ruangan bergetar pelan, lalu mulai terbuka sedikit demi sedikit. Dari celahnya, keluar kabut pekat berwarna hitam, dan di dalamnya tampak sesuatu yang berkilat basah. Penasaran bercampur ngeri, Raka berusaha melihat lebih jelas. Tapi saat kepalanya condong, sesuatu menyentuh bahunya tangan dingin, kurus, dengan kuku panjang seperti tulang yang terkelupas. “Raka! Bangun!” --- Ia terlonjak. Matanya terbuka, mendapati Paman Darto mengguncang bahunya. Raka kembali di kamar, cahaya fajar samar menembus celah jendela. Napasnya masih cepat, kemejanya basah oleh keringat. “Aku… aku bermimpi,” Raka berkata pelan. “Tapi rasanya nyata. Aku melihat peti itu… dan semua orang di desa terhubung dengan benang merah ke dalamnya.” Paman Darto menatapnya lama. “Kalau mimpimu seperti itu, berarti kau sudah diincar. Mimpi itu bukan hanya gambaran itu undangan.” --- Raka mengerutkan kening. “Undangan?” “Peti itu memanggil mereka yang dipilih untuk jadi wadah suara. Jika kau membuka peti dalam mimpi, kau akan kehilangan suaramu saat bangun,” jelas Darto, suaranya berat. Raka terdiam, pikirannya berputar cepat. “Kalau begitu, kita harus menemukan peti itu sebelum dia menemukanku lagi.” --- Darto menghela napas. “Mencari peti itu sama saja seperti masuk ke sarang kematian. Tapi… ada satu tempat yang mungkin menyimpan petunjuk gudang di rumah kepala desa lama. Rumah itu sudah ditutup selama puluhan tahun, tapi…” “Tapi?” Raka menatapnya penuh harap. “Orang bilang, di sana terdengar suara orang berbicara setiap malam. Suara mereka yang sudah tidak punya tubuh.” --- Di luar, kabut pagi masih tebal, membuat desa tampak seperti lukisan hitam putih. Raka dan Darto berjalan melewati deretan rumah tua, beberapa jendelanya terbuka sedikit, seolah mata tak terlihat sedang mengintip. Saat mereka melewati pohon besar tanpa daun, Raka merasa bulu kuduknya meremang. Dari arah tanah di bawah pohon, terdengar suara lirih bukan dari mulut, tapi seperti keluar dari dalam tanah itu sendiri. "Buka… petinya… kami menunggu…" --- Raka mempercepat langkah. “Mereka tahu kita akan ke rumah itu.” Darto tidak menjawab, hanya menatap lurus ke jalan di depan. Di ujung jalan, berdiri sebuah rumah besar dengan pagar kayu setengah rubuh. Atapnya tertutup lumut, dan pintunya tergantung miring, seperti mulut yang siap menelan siapa saja yang masuk. “Selamat datang,” gumam Darto lirih, “di rumah kepala desa yang pertama kali kehilangan suaranya.” --- Raka menelan ludah. Udara di sekitar rumah itu terasa lebih dingin, seolah semua suara di sekitarnya tersedot masuk. Bahkan langkah mereka di tanah basah terdengar teredam. Darto meraih gagang pintu yang berkarat. “Sekali kita masuk, kita tidak boleh menoleh ke belakang… apa pun yang kita dengar.” Raka menarik napas dalam, mencoba mengusir bayangan mimpinya. Namun tepat sebelum pintu terbuka, ia mendengar bisikan di telinganya suara ibunya lagi, sama persis seperti di balai desa. "Kamu pulang saja… sebelum terlambat." [BERSAMBUNG]Hujan sudah reda sejak subuh, menyisakan kabut tipis yang melayang di antara pohon-pohon tua di pinggir desa. Tanah masih basah, mengeluarkan aroma lumpur dan dedaunan yang tertimpa hujan semalam. Raka berdiri di halaman balai desa, menatap kosong ke arah perbukitan yang dulu selalu terasa mengancam, kini hanya terlihat seperti punggung raksasa yang tertidur. “Jadi… semuanya benar-benar selesai?” tanya Laras pelan, suaranya seperti takut memecahkan keheningan yang baru saja kembali. Raka mengangguk. “Ya. Akar itu sudah dibakar habis. Mbah Jumar juga… sudah pergi, bersama semua ikatan yang menahan desa ini.” Ia menarik napas panjang, mencoba mengusir sisa-sisa ketegangan yang masih membeku di dadanya. Beberapa warga mulai keluar rumah. Ada yang duduk di beranda, ada yang menatap langit seperti baru pertama kali melihat birunya. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, mereka berani berbicara dengan suara lantang. Tidak ada lagi rasa takut pada bisikan tak kasat mata atau langk
Kabut pekat menyelimuti jalur menuju Lembah Senyap. Pohon-pohon di kiri-kanan tampak seperti siluet bengkok, cabangnya menyerupai tangan yang hendak meraih. Udara begitu dingin dan lembap, membuat napas setiap orang keluar dalam uap putih. Raka berjalan paling depan, diikuti Sardi, Bagus, Darto, dan dua pemuda desa lain. Mereka membawa obor dan parang, sementara Mbah Jumar tertinggal di pos dekat hutan untuk memantau dari jauh. “Aku sudah terlalu tua untuk berlari di tanah seperti ini,” katanya, tapi Raka tahu ada alasan lain: Mbah Jumar menjaga jalur pulang. Semakin mereka turun ke lembah, suara alam perlahan menghilang. Tak ada burung, tak ada serangga. Hanya bunyi langkah kaki di tanah basah, dan kadang… sesuatu yang menyeret di kejauhan. --- Di bibir lembah, mereka menemukan tanda pertama: akar merah setebal paha manusia menjalar dari tebing ke arah bawah, sebagian menyatu dengan batang pohon. Sulur itu berdenyut pelan, seperti pembuluh darah raksasa. “Kita sudah dekat,” bisi
Fajar baru saja muncul ketika Raka, Sardi, dan Mbah Jumar sudah berkumpul di balai desa. Di atas meja kayu panjang terbentang peta buatan tangan, dengan garis-garis merah yang Raka coretkan malam sebelumnya. Setiap tanda merah menunjukkan lokasi di mana mereka menemukan sulur akar dalam beberapa minggu terakhir. “Kalau pola ini benar,” ujar Raka sambil menunjuk lingkaran-lingkaran kecil di peta, “cabang akar ini membentuk semacam jaring yang memusat ke sini.” Ia mengetuk titik di tengah, yang ternyata adalah sebuah lembah kecil di antara Karangwangi dan Karangjati. Mbah Jumar mengangguk perlahan. “Itu namanya Lembah Senyap. Dulu, orang menghindari tempat itu karena katanya tidak ada burung atau serangga yang mau tinggal di sana.” Sardi mengernyit. “Kalau begitu, kita mulai dari sana?” “Belum,” jawab Raka. “Pertama kita pastikan jalur yang menuju lembah itu. Kalau kita masuk buta, kita bisa terjebak di tengah sarangnya.” --- Raka memutuskan membagi kelompok. Ia, Sardi, dan dua pe
Hujan gerimis turun semalaman, membasahi seluruh desa dan bukit di sekitarnya. Pagi itu, udara dipenuhi aroma tanah basah. Dari kejauhan, suara ayam berkokok dan embun menempel di dedaunan. Namun di tepi hutan utara, sesuatu bergerak pelan di bawah lapisan tanah. Sulur merah pucat tipis seperti urat darah merayap tak terlihat, mencari celah untuk keluar. Setiap kali petir menyambar, sulur itu bergetar, seolah menghirup tenaga dari kilatan langit. --- Raka tidak tahu apa yang terjadi di hutan utara. Ia sedang berada di rumah Sardi, memeriksa peta lama yang ditemukan Mbah Jumar. “Lihat ini,” kata Sardi sambil menunjuk garis di peta yang menghubungkan bukit gua akar ke beberapa titik lain. “Kalau benar peta ini akurat, akar itu dulu pernah menjalar sampai ke perbatasan kecamatan.” Raka mengerutkan dahi. “Kalau cabangnya masih hidup, mereka bisa muncul di mana saja sepanjang jalur ini.” Mbah J
Pagi di Desa Karangwangi tak pernah terasa seperti ini sebelumnya. Kabut yang selama bertahun-tahun menggantung di antara pepohonan kini lenyap. Matahari menembus penuh, menyentuh genting-genting rumah dengan cahaya keemasan. Raka berdiri di tepi sawah, memandangi air irigasi yang mengalir jernih. Ia bisa mendengar suara katak, burung, bahkan tawa anak-anak di kejauhan. Suara yang dulu ia rindukan kembali hidup. Namun di balik semua itu, ada rasa kosong yang tak bisa diusir. Ratna tak ada. Bukan hanya Ratna semua arwah yang pernah berkeliaran di desa itu kini hilang, seolah tak pernah ada. --- Sardi datang membawa dua cangkir kopi. “Masih pagi-pagi sudah melamun? Biasanya ini waktunya kau tidur sampai siang.” Raka tersenyum tipis, menerima kopi itu. “Aku cuma… memastikan semuanya benar-benar berakhir.” Sardi duduk di pematang, menatap sawah. “Kau masih berharap dia kembali, ya?” Raka tak menjawab, hanya menyeruput kopi. Asapnya naik perlahan, membentuk garis tipis sebelum hilan
Detak itu memekakkan telinga Raka, bukan hanya terdengar, tapi terasa sampai ke tulang. Jantung akar berdenyut semakin cepat, seolah sadar akan ancaman yang mendekat. Ratna berdiri di tepi ruang inti, wajahnya diterangi cahaya merah dari bola berputar itu. “Sekarang, Raka,” katanya tegas. “Sekali sabitmu menyentuh inti, semuanya akan runtuh. Lorong akan menutup, dan… aku akan ikut lenyap.” Raka menelan ludah, tangannya gemetar. “Kalau aku tak melakukannya, desa akan hancur. Kalau aku melakukannya, kau yang hilang. Kenapa semua pilihan harus buruk?” Ratna tersenyum tipis. “Karena dunia ini memang tak pernah menawarkan pilihan yang adil. Tapi kalau kau mencintaiku, bebaskan aku.” Di luar, suara benturan dan jeritan semakin keras. Sardi berteriak memanggil nama Raka. Akar-akar di dinding bergetar, seakan mencoba meremas lorong. Waktu benar-benar habis. --- Raka melangkah maju. Inti itu berputar perlahan, memancarkan panas yang membuat kulitnya perih. Ada bisikan lain yang terdengar