หน้าหลัก / Horor / Desa Tanpa Suara / Bab 4: Arsip yang Terkubur

แชร์

Bab 4: Arsip yang Terkubur

ผู้เขียน: Rafi Aditya
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-08-09 18:45:38

Langit sore mulai kelabu ketika Raka mengikuti Paman Darto menuju sebuah bangunan kecil di tepi desa. Atapnya miring, sebagian genting sudah hilang, dan dindingnya dipenuhi lumut hijau gelap. Di atas pintu, tergantung papan kayu dengan huruf pudar: Balai Desa.

Angin membawa aroma kertas tua bercampur debu begitu pintu dibuka. Ruangan di dalamnya remang, hanya diterangi cahaya matahari yang menembus jendela retak. Rak-rak kayu berjajar, penuh dengan buku catatan, peta kusam, dan map lusuh yang nyaris hancur dimakan rayap.

Raka menyapu pandangannya ke sekeliling. “Ini… perpustakaan?”

“Bukan,” jawab Paman Darto sambil berjalan ke sudut ruangan. “Ini kuburan cerita yang tak boleh diceritakan.”

---

Di sudut itu, Paman Darto mengangkat sebuah papan kayu di lantai. Terdengar bunyi gesekan kasar, dan tercium bau tanah lembab. Di bawahnya ada sebuah kotak besi kecil, penuh debu.

“Kenapa sembunyikan di sini?” Raka berjongkok, mencoba melihat isinya.

“Karena jika ada yang membacanya, mereka akan ikut terseret,” jawab Darto tanpa menatapnya. “Kau sudah terlalu jauh untuk mundur.”

Raka mengangkat tutup kotak. Di dalamnya, tersimpan buku tebal bersampul kulit. Warnanya hitam kusam, dengan bekas goresan di permukaan seperti cakar.

---

Ia membukanya perlahan. Halaman pertama berisi tulisan tangan rapi, namun tinta sudah memudar. Ada tanggal: 3 Mei 1891.

Raka membaca pelan. “Penduduk desa mulai kehilangan suara satu per satu… tidak ada batuk, tidak ada teriakan. Mereka hanya… terbangun dalam keheningan mutlak.”

Paman Darto mengangguk. “Itu awal kutukan. Konon, ada orang asing yang datang membawa peti kayu dari utara. Peti itu tidak pernah dibuka, tapi setelah malam pertama ia datang, suara burung di desa lenyap.”

---

Raka membalik halaman, matanya menangkap gambar tangan dilukis dengan tinta hitam. Tangan itu memegang seutas benang merah, dan di ujungnya… tergantung lidah manusia.

Ia menelan ludah. “Simbol yang di rumah tadi… mirip dengan ini.”

Paman Darto mendekat. “Itu lambang penjaga suara. Setiap kali seseorang mati karena kutukan ini, suaranya tidak pergi. Ia disimpan… dan dipakai kembali untuk memanggil yang masih hidup.”

---

Raka menghela napas panjang, menutup buku. “Kalau begitu, ‘sisa suara pertama’ yang kau sebut… itu korban pertama di catatan ini?”

“Ya,” jawab Darto. “Seorang anak berusia sembilan tahun. Dia hilang sehari setelah orang asing itu tiba. Tidak ditemukan jasadnya… hanya suara yang terus terdengar di malam hari.”

Di luar, angin bertiup lebih kencang, membuat daun kering bertebaran menempel di jendela. Suaranya seperti ketukan jari.

---

Raka berdiri, memandang keluar. “Kalau suara itu bisa memanggil korban baru, berarti… aku sudah jadi targetnya, kan?”

Paman Darto menatapnya lama. “Kau tidak akan bisa keluar dari desa sampai kutukan ini diikat kembali. Dan itu berarti… mencari peti kayu itu.”

Raka menoleh. “Masih ada? Setelah lebih dari seratus tahun?”

“Peti itu tidak pernah keluar dari desa,” Darto menjawab datar. “Dan yang menjaganya… bukan manusia.”

---

Tiba-tiba, terdengar suara lirih dari arah pintu. Seperti bisikan, tapi terlalu jelas untuk diabaikan.

“Raka…”

Raka membeku. Itu suara ibunya.

Matanya melebar. “Tidak mungkin…”

Paman Darto langsung menarik lengannya. “Jangan jawab! Itu bukan ibumu!”

---

Namun suara itu terus berbisik, memanggil namanya berulang kali. Lalu diikuti ketukan pelan di pintu balai desa tiga kali, teratur.

Raka mundur selangkah, menatap gagang pintu yang mulai bergetar. “Dia tahu kita di sini…”

Darto meraih sebuah kantong kain kecil dari sakunya, lalu menaburkan isinya garam kasar di depan pintu. Ketukan berhenti, berganti suara seretan panjang, seperti kuku menggores kayu.

---

Keheningan kembali, tapi jantung Raka tetap berdetak kencang. “Apa dia bisa masuk?”

“Tidak… selama malam belum tiba,” jawab Darto, meraih buku tebal tadi. “Kita bawa ini. Semua jawaban ada di sini dan kalau kita beruntung, kita akan menemukan cara mengembalikan semua suara yang hilang.”

Saat mereka keluar dari balai desa, Raka sempat menoleh ke dalam. Di rak paling belakang, di antara debu dan bayangan, ia yakin melihat sesuatu bergerak… seperti wajah pucat yang menyeringai padanya.

---

Kabut mulai turun lagi, meski matahari belum sepenuhnya tenggelam. Udara menjadi berat, membuat langkah mereka terasa lambat.

“Darto…” Raka berbisik. “Kalau ‘penjaga suara’ itu memilih… apakah dia bisa memilih lebih dari satu korban sekaligus?”

Darto tidak langsung menjawab. Matanya lurus ke depan. “Bisa. Dan biasanya… dia mengambilnya dalam satu malam.”

[BERSAMBUNG]

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Desa Tanpa Suara   Bab 12: Yang Terakhir Kali Masuk

    Jeritan pecah di udara. Bukan jeritan manusia… melainkan teriakan seekor ayam jantan yang suaranya terdengar seperti dirobek dari dalam tenggorokan. Suara itu datang dari arah balai desa, diikuti denting logam yang jatuh. Raka dan Darto saling pandang. “Apa itu?” tanya Raka, napasnya masih belum teratur. “Peringatan,” jawab Darto cepat. “Tanda kalau sesuatu… atau seseorang… sudah dilepaskan.” --- Mereka bersembunyi di balik pagar kayu rumah tua. Dari celah papan, Raka melihat sekelompok penduduk desa keluar dari kabut, wajah mereka pucat, mata kosong. Mereka berjalan pelan menuju balai desa, membawa benda-benda aneh anyaman jerami, potongan tulang, dan kendi berisi cairan hitam. “Seperti ritual,” bisik Raka. “Lebih dari itu,” Darto menggeleng. “Mereka memanggil sesuatu.” --- Raka memperhatikan lagi. Salah satu di antara penduduk itu membuatnya menegang seorang perempuan tua berkerudung hitam, tubuhnya bungkuk, tapi matanya… matanya menatap lurus ke arah tempat mereka bersembu

  • Desa Tanpa Suara   Bab 11: Penjaga Segel Terakhir

    Gong berhenti. Keheningan yang mengikuti justru lebih memekakkan telinga. Raka merasakan denyut di dalam kepalanya, seperti gema suara yang tadi memanggil namanya masih berputar-putar di otak. “Jangan dengar. Fokus pada langkah,” Darto berbisik di sampingnya, suaranya nyaris tak terdengar. --- Mereka berjalan cepat menembus kabut, tapi langkah Raka terasa berat, seperti ada yang menarik kakinya dari tanah. Ia menunduk dan darahnya langsung mendingin. Tanah di bawah sepatu retak, dan dari celahnya, benang-benang merah merayap naik, mencoba melilit pergelangan kakinya. --- “Darto!” Darto menebasnya dengan parang. Benang itu mengerut seperti cacing terbakar, lalu menghilang ke celah tanah yang kembali menutup perlahan. “Kita sudah terlalu dekat dengan pusatnya,” kata Darto dengan napas terengah. “Dia tahu kita ada di sini.” --- Langkah mereka terhenti ketika kabut di depan bergerak seperti kain yang disibak. Dari dalamnya, siluet tinggi sang Penjaga Segel muncul. Topeng kayu d

  • Desa Tanpa Suara   Bab 10: Simbol di Balai Desa

    Suara gong menggema dari arah balai desa. Dalam keheningan malam, bunyinya terasa seperti dentuman yang merobek udara. “Siapa yang memukul gong di jam segini?” Raka memandang Darto, tapi lelaki itu tidak menjawab. Matanya menyipit, rahangnya mengeras. “Itu artinya… mereka memanggil kita.” --- “Mereka? Siapa ‘mereka’?” Darto meraih parang dan berdiri. “Kalau kau ingin tahu, ikut saja. Tapi jangan menatap langsung pada apa pun yang kau rasa… ingin kau lihat.” Raka menelan ludah. “Kalau aku tak ikut?” “Lebih buruk. Karena mereka akan datang menjemput.” --- Mereka berjalan di jalan berbatu menuju balai desa. Kabut menggantung rendah, menelan suara langkah mereka. Di kejauhan, cahaya lampu minyak bergoyang di antara jendela-jendela rumah kosong. Raka merasakan sesuatu mengikuti dari belakang. Bayangan hitam bergerak di tepi penglihatannya, tapi setiap kali ia menoleh, jalan itu kosong. --- Balai desa berdiri di tengah lapangan, besar dan tua. Catnya terkelupas, atapnya nyaris r

  • Desa Tanpa Suara   Bab 9: Mimpi yang Terlalu Nyata

    Raka terbangun dengan napas terengah. Ia mendengar suara ayam berkokok di kejauhan, diikuti riuh obrolan penduduk desa. Matahari hangat menyinari wajahnya. Jalan desa terlihat ramai: anak-anak berlari sambil tertawa, para ibu menjemur padi, lelaki memikul karung beras. Semuanya hidup. Semuanya… bersuara. --- “Akhirnya bangun juga, Nak.” Seorang perempuan setengah baya muncul dari pintu rumah di depannya, tersenyum lebar. Wajahnya penuh keriput, tapi tatapan matanya lembut. “Ibu…” suara Raka tercekat. Ia mengenal wajah itu. Sama persis seperti ibunya, sebelum meninggal. Perempuan itu tertawa. “Cepat masuk, sarapan sudah siap.” --- Di meja kayu, terhidang nasi panas, ikan bakar, dan sayur bening. Raka duduk, hampir lupa segala yang ia alami semalam. Bau makanan itu nyata, rasa panasnya menusuk kulit jarinya saat ia menyentuh piring. Namun saat ia hendak menyuap, ia melihat ujung piring retak, dan dari retakan itu… menjulur benang merah tipis. --- “Kenapa ada—” Raka menoleh, t

  • Desa Tanpa Suara   Bab 8: Patung yang Bernapas

    Kabut menutup jalan desa seperti tirai tebal. Udara menjadi berat, membuat napas Raka terdengar lebih keras di telinganya sendiri. Namun di antara kabut, samar-samar ia melihat siluet manusia berdiri di tepi jalan. --- “Darto…” Raka berhenti melangkah. “Kau lihat itu?” Darto menatap lurus ke depan, wajahnya tegang. “Jangan mendekat. Mereka bukan seperti yang kau kira.” Siluet itu semakin jelas. Seorang lelaki tua, berdiri membungkuk, matanya tertutup. Kulitnya pucat seperti lilin, dan tangannya menggenggam tongkat bambu. Ia tidak bergerak sama sekali. --- “Mungkin dia butuh bantuan,” kata Raka pelan. “Kalau kau dekati, kau akan jadi seperti dia.” Raka mengernyit. “Maksudmu… patung?” Darto hanya menggeleng, lalu berbelok ke jalan sempit di kiri. Tapi rasa penasaran mendorong Raka satu langkah lebih dekat pada sosok itu. --- Di jarak tiga meter, Raka bisa melihat dada lelaki itu… naik-turun. “Dia bernapas,” bisik Raka, setengah lega. Saat ia melangkah lagi, mata lelaki itu

  • Desa Tanpa Suara   Bab 7: Pintu yang Mengulang

    Benang basah itu menarik pergelangan kaki Raka dengan kekuatan tak masuk akal. Ia hampir terjatuh, namun Darto sigap menariknya ke belakang. Mereka berdua tersungkur, tubuhnya membentur lantai kayu yang dingin dan lembab. Dari dalam kegelapan, terdengar suara retakan tulang bukan dari mereka, tapi dari sesuatu yang bergerak di lantai. --- “Berdiri!” Darto menariknya bangkit. “Jangan lihat ke bawah, jangan lepaskan kaki dari lantai!” Raka terpincang-pincang mengikuti langkahnya. Benang itu terlepas dengan sendirinya, tapi rasa dingin menempel di kulitnya seperti bekas gigitan. Mereka berlari menuju tangga. Namun saat Darto mendorong pintu besi di atas, yang terbuka bukan lorong rumah… melainkan kembali ke dalam gudang yang sama. --- “Tidak mungkin…” Raka menatap sekeliling. “Kita—kita tadi sudah di sini.” Gudang itu identik: meja di tengah, benang merah di dinding, lubang di lantai, bahkan kotak kayu di atas meja. Namun kali ini, kotak itu sudah terbuka, menganga seperti mulut

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status