Langit sore mulai kelabu ketika Raka mengikuti Paman Darto menuju sebuah bangunan kecil di tepi desa. Atapnya miring, sebagian genting sudah hilang, dan dindingnya dipenuhi lumut hijau gelap. Di atas pintu, tergantung papan kayu dengan huruf pudar: Balai Desa.
Angin membawa aroma kertas tua bercampur debu begitu pintu dibuka. Ruangan di dalamnya remang, hanya diterangi cahaya matahari yang menembus jendela retak. Rak-rak kayu berjajar, penuh dengan buku catatan, peta kusam, dan map lusuh yang nyaris hancur dimakan rayap. Raka menyapu pandangannya ke sekeliling. “Ini… perpustakaan?” “Bukan,” jawab Paman Darto sambil berjalan ke sudut ruangan. “Ini kuburan cerita yang tak boleh diceritakan.” --- Di sudut itu, Paman Darto mengangkat sebuah papan kayu di lantai. Terdengar bunyi gesekan kasar, dan tercium bau tanah lembab. Di bawahnya ada sebuah kotak besi kecil, penuh debu. “Kenapa sembunyikan di sini?” Raka berjongkok, mencoba melihat isinya. “Karena jika ada yang membacanya, mereka akan ikut terseret,” jawab Darto tanpa menatapnya. “Kau sudah terlalu jauh untuk mundur.” Raka mengangkat tutup kotak. Di dalamnya, tersimpan buku tebal bersampul kulit. Warnanya hitam kusam, dengan bekas goresan di permukaan seperti cakar. --- Ia membukanya perlahan. Halaman pertama berisi tulisan tangan rapi, namun tinta sudah memudar. Ada tanggal: 3 Mei 1891. Raka membaca pelan. “Penduduk desa mulai kehilangan suara satu per satu… tidak ada batuk, tidak ada teriakan. Mereka hanya… terbangun dalam keheningan mutlak.” Paman Darto mengangguk. “Itu awal kutukan. Konon, ada orang asing yang datang membawa peti kayu dari utara. Peti itu tidak pernah dibuka, tapi setelah malam pertama ia datang, suara burung di desa lenyap.” --- Raka membalik halaman, matanya menangkap gambar tangan dilukis dengan tinta hitam. Tangan itu memegang seutas benang merah, dan di ujungnya… tergantung lidah manusia. Ia menelan ludah. “Simbol yang di rumah tadi… mirip dengan ini.” Paman Darto mendekat. “Itu lambang penjaga suara. Setiap kali seseorang mati karena kutukan ini, suaranya tidak pergi. Ia disimpan… dan dipakai kembali untuk memanggil yang masih hidup.” --- Raka menghela napas panjang, menutup buku. “Kalau begitu, ‘sisa suara pertama’ yang kau sebut… itu korban pertama di catatan ini?” “Ya,” jawab Darto. “Seorang anak berusia sembilan tahun. Dia hilang sehari setelah orang asing itu tiba. Tidak ditemukan jasadnya… hanya suara yang terus terdengar di malam hari.” Di luar, angin bertiup lebih kencang, membuat daun kering bertebaran menempel di jendela. Suaranya seperti ketukan jari. --- Raka berdiri, memandang keluar. “Kalau suara itu bisa memanggil korban baru, berarti… aku sudah jadi targetnya, kan?” Paman Darto menatapnya lama. “Kau tidak akan bisa keluar dari desa sampai kutukan ini diikat kembali. Dan itu berarti… mencari peti kayu itu.” Raka menoleh. “Masih ada? Setelah lebih dari seratus tahun?” “Peti itu tidak pernah keluar dari desa,” Darto menjawab datar. “Dan yang menjaganya… bukan manusia.” --- Tiba-tiba, terdengar suara lirih dari arah pintu. Seperti bisikan, tapi terlalu jelas untuk diabaikan. “Raka…” Raka membeku. Itu suara ibunya. Matanya melebar. “Tidak mungkin…” Paman Darto langsung menarik lengannya. “Jangan jawab! Itu bukan ibumu!” --- Namun suara itu terus berbisik, memanggil namanya berulang kali. Lalu diikuti ketukan pelan di pintu balai desa tiga kali, teratur. Raka mundur selangkah, menatap gagang pintu yang mulai bergetar. “Dia tahu kita di sini…” Darto meraih sebuah kantong kain kecil dari sakunya, lalu menaburkan isinya garam kasar di depan pintu. Ketukan berhenti, berganti suara seretan panjang, seperti kuku menggores kayu. --- Keheningan kembali, tapi jantung Raka tetap berdetak kencang. “Apa dia bisa masuk?” “Tidak… selama malam belum tiba,” jawab Darto, meraih buku tebal tadi. “Kita bawa ini. Semua jawaban ada di sini dan kalau kita beruntung, kita akan menemukan cara mengembalikan semua suara yang hilang.” Saat mereka keluar dari balai desa, Raka sempat menoleh ke dalam. Di rak paling belakang, di antara debu dan bayangan, ia yakin melihat sesuatu bergerak… seperti wajah pucat yang menyeringai padanya. --- Kabut mulai turun lagi, meski matahari belum sepenuhnya tenggelam. Udara menjadi berat, membuat langkah mereka terasa lambat. “Darto…” Raka berbisik. “Kalau ‘penjaga suara’ itu memilih… apakah dia bisa memilih lebih dari satu korban sekaligus?” Darto tidak langsung menjawab. Matanya lurus ke depan. “Bisa. Dan biasanya… dia mengambilnya dalam satu malam.” [BERSAMBUNG]Hujan sudah reda sejak subuh, menyisakan kabut tipis yang melayang di antara pohon-pohon tua di pinggir desa. Tanah masih basah, mengeluarkan aroma lumpur dan dedaunan yang tertimpa hujan semalam. Raka berdiri di halaman balai desa, menatap kosong ke arah perbukitan yang dulu selalu terasa mengancam, kini hanya terlihat seperti punggung raksasa yang tertidur. “Jadi… semuanya benar-benar selesai?” tanya Laras pelan, suaranya seperti takut memecahkan keheningan yang baru saja kembali. Raka mengangguk. “Ya. Akar itu sudah dibakar habis. Mbah Jumar juga… sudah pergi, bersama semua ikatan yang menahan desa ini.” Ia menarik napas panjang, mencoba mengusir sisa-sisa ketegangan yang masih membeku di dadanya. Beberapa warga mulai keluar rumah. Ada yang duduk di beranda, ada yang menatap langit seperti baru pertama kali melihat birunya. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, mereka berani berbicara dengan suara lantang. Tidak ada lagi rasa takut pada bisikan tak kasat mata atau langk
Kabut pekat menyelimuti jalur menuju Lembah Senyap. Pohon-pohon di kiri-kanan tampak seperti siluet bengkok, cabangnya menyerupai tangan yang hendak meraih. Udara begitu dingin dan lembap, membuat napas setiap orang keluar dalam uap putih. Raka berjalan paling depan, diikuti Sardi, Bagus, Darto, dan dua pemuda desa lain. Mereka membawa obor dan parang, sementara Mbah Jumar tertinggal di pos dekat hutan untuk memantau dari jauh. “Aku sudah terlalu tua untuk berlari di tanah seperti ini,” katanya, tapi Raka tahu ada alasan lain: Mbah Jumar menjaga jalur pulang. Semakin mereka turun ke lembah, suara alam perlahan menghilang. Tak ada burung, tak ada serangga. Hanya bunyi langkah kaki di tanah basah, dan kadang… sesuatu yang menyeret di kejauhan. --- Di bibir lembah, mereka menemukan tanda pertama: akar merah setebal paha manusia menjalar dari tebing ke arah bawah, sebagian menyatu dengan batang pohon. Sulur itu berdenyut pelan, seperti pembuluh darah raksasa. “Kita sudah dekat,” bisi
Fajar baru saja muncul ketika Raka, Sardi, dan Mbah Jumar sudah berkumpul di balai desa. Di atas meja kayu panjang terbentang peta buatan tangan, dengan garis-garis merah yang Raka coretkan malam sebelumnya. Setiap tanda merah menunjukkan lokasi di mana mereka menemukan sulur akar dalam beberapa minggu terakhir. “Kalau pola ini benar,” ujar Raka sambil menunjuk lingkaran-lingkaran kecil di peta, “cabang akar ini membentuk semacam jaring yang memusat ke sini.” Ia mengetuk titik di tengah, yang ternyata adalah sebuah lembah kecil di antara Karangwangi dan Karangjati. Mbah Jumar mengangguk perlahan. “Itu namanya Lembah Senyap. Dulu, orang menghindari tempat itu karena katanya tidak ada burung atau serangga yang mau tinggal di sana.” Sardi mengernyit. “Kalau begitu, kita mulai dari sana?” “Belum,” jawab Raka. “Pertama kita pastikan jalur yang menuju lembah itu. Kalau kita masuk buta, kita bisa terjebak di tengah sarangnya.” --- Raka memutuskan membagi kelompok. Ia, Sardi, dan dua pe
Hujan gerimis turun semalaman, membasahi seluruh desa dan bukit di sekitarnya. Pagi itu, udara dipenuhi aroma tanah basah. Dari kejauhan, suara ayam berkokok dan embun menempel di dedaunan. Namun di tepi hutan utara, sesuatu bergerak pelan di bawah lapisan tanah. Sulur merah pucat tipis seperti urat darah merayap tak terlihat, mencari celah untuk keluar. Setiap kali petir menyambar, sulur itu bergetar, seolah menghirup tenaga dari kilatan langit. --- Raka tidak tahu apa yang terjadi di hutan utara. Ia sedang berada di rumah Sardi, memeriksa peta lama yang ditemukan Mbah Jumar. “Lihat ini,” kata Sardi sambil menunjuk garis di peta yang menghubungkan bukit gua akar ke beberapa titik lain. “Kalau benar peta ini akurat, akar itu dulu pernah menjalar sampai ke perbatasan kecamatan.” Raka mengerutkan dahi. “Kalau cabangnya masih hidup, mereka bisa muncul di mana saja sepanjang jalur ini.” Mbah J
Pagi di Desa Karangwangi tak pernah terasa seperti ini sebelumnya. Kabut yang selama bertahun-tahun menggantung di antara pepohonan kini lenyap. Matahari menembus penuh, menyentuh genting-genting rumah dengan cahaya keemasan. Raka berdiri di tepi sawah, memandangi air irigasi yang mengalir jernih. Ia bisa mendengar suara katak, burung, bahkan tawa anak-anak di kejauhan. Suara yang dulu ia rindukan kembali hidup. Namun di balik semua itu, ada rasa kosong yang tak bisa diusir. Ratna tak ada. Bukan hanya Ratna semua arwah yang pernah berkeliaran di desa itu kini hilang, seolah tak pernah ada. --- Sardi datang membawa dua cangkir kopi. “Masih pagi-pagi sudah melamun? Biasanya ini waktunya kau tidur sampai siang.” Raka tersenyum tipis, menerima kopi itu. “Aku cuma… memastikan semuanya benar-benar berakhir.” Sardi duduk di pematang, menatap sawah. “Kau masih berharap dia kembali, ya?” Raka tak menjawab, hanya menyeruput kopi. Asapnya naik perlahan, membentuk garis tipis sebelum hilan
Detak itu memekakkan telinga Raka, bukan hanya terdengar, tapi terasa sampai ke tulang. Jantung akar berdenyut semakin cepat, seolah sadar akan ancaman yang mendekat. Ratna berdiri di tepi ruang inti, wajahnya diterangi cahaya merah dari bola berputar itu. “Sekarang, Raka,” katanya tegas. “Sekali sabitmu menyentuh inti, semuanya akan runtuh. Lorong akan menutup, dan… aku akan ikut lenyap.” Raka menelan ludah, tangannya gemetar. “Kalau aku tak melakukannya, desa akan hancur. Kalau aku melakukannya, kau yang hilang. Kenapa semua pilihan harus buruk?” Ratna tersenyum tipis. “Karena dunia ini memang tak pernah menawarkan pilihan yang adil. Tapi kalau kau mencintaiku, bebaskan aku.” Di luar, suara benturan dan jeritan semakin keras. Sardi berteriak memanggil nama Raka. Akar-akar di dinding bergetar, seakan mencoba meremas lorong. Waktu benar-benar habis. --- Raka melangkah maju. Inti itu berputar perlahan, memancarkan panas yang membuat kulitnya perih. Ada bisikan lain yang terdengar