Pintu rumah itu berderit panjang saat dibuka, suaranya menyerupai keluhan makhluk tua yang terbangun dari tidur panjang. Begitu kaki Raka melangkah masuk, hawa dingin menyelimuti tubuhnya dari kepala hingga telapak kaki, seolah ia baru saja menuruni tangga menuju ruang bawah tanah.
Di dalam, cahaya matahari hampir tak menembus. Debu melayang di udara, memantulkan cahaya redup dari sela papan dinding yang retak. Tapi bukan itu yang membuatnya kaku lantai kayu di bawah telapak kakinya… bergerak. --- Bukan seperti retakan kayu biasa, melainkan gelombang halus, seakan rumah itu sedang bernapas. Raka menahan napas, mencoba memastikan penglihatannya. Gelombang itu terasa di telapak kakinya tarikan dan dorongan yang pelan, ritmis. “Rasanya… lantai ini hidup,” bisiknya. Paman Darto hanya menatap lurus, wajahnya tegang. “Jangan pikirkan. Fokus ke gudang. Semakin kau sadar dengan apa yang rumah ini lakukan, semakin kuat tarikan ke dalamnya.” --- Mereka melangkah menembus lorong sempit yang berbau lembab dan karat. Dindingnya dipenuhi foto-foto lama berbingkai kayu, semuanya menampilkan wajah penduduk desa… tapi tanpa mulut. “Kenapa… mereka—” Raka mulai bertanya, tapi suaranya terputus ketika salah satu foto bergerak. Sosok di dalam bingkai menoleh perlahan, matanya mengikuti setiap langkah mereka. --- Darto menyentuh lengan Raka. “Jangan menatap balik. Itu bukan sekadar foto, itu pintu. Mereka bisa menarikmu masuk jika kau memberi perhatian terlalu lama.” Raka menunduk, mencoba memfokuskan pandangan pada ujung lorong. Namun dari belakang, terdengar suara bisikan yang begitu dekat, seperti ada seseorang berdiri tepat di telinganya. "Peti itu di bawah sini… kami menunggu…" --- Akhirnya mereka sampai di sebuah pintu besi tua di ujung lorong. Catnya mengelupas, dan bekas goresan panjang terlihat di permukaannya, seolah ada sesuatu dari dalam yang berusaha keluar. “Gudang,” kata Darto, menarik kunci tua dari saku jaketnya. “Begitu pintu ini terbuka, ingat satu hal jangan jawab kalau ada yang memanggil namamu.” Raka mengangguk, meski detak jantungnya makin keras. “Kalau aku jawab?” “Suaramu akan menjadi milik mereka… selamanya.” --- Kunci berputar dengan bunyi klik berat. Pintu itu terbuka perlahan, mengungkap tangga kayu curam yang menurun ke kegelapan. Udara yang keluar dari bawah terasa lebih dingin dan bau logam, seperti darah yang sudah lama membeku. Lampu minyak di dinding dinyalakan Darto, menerangi sebagian jalur. Mereka mulai menuruni tangga, dan setiap langkah terasa seperti semakin menjauh dari dunia nyata. --- Gudang itu luas, namun hampir kosong. Di tengah ruangan, berdiri sebuah meja panjang dengan kain putih kotor menutupinya. Di dinding, tergantung puluhan benang merah yang ujungnya menghilang masuk ke lubang kecil di lantai. “Benang ini…” Raka mendekat, jemarinya hampir menyentuhnya. “Jangan!” Darto menepis tangannya. “Itu bukan benang biasa. Itu urat suara mereka. Sekali kau memutus atau menyentuhnya, mereka akan tahu kau di sini.” --- Raka menelan ludah. “Jadi petinya… di bawah lubang itu?” “Bukan,” jawab Darto lirih. “Lubang itu adalah mulutnya.” Sebelum Raka sempat bertanya lebih lanjut, kain putih di meja bergerak. Bukan karena angin tapi dari bawahnya, sesuatu mendorong kain itu ke atas. --- Perlahan, kain itu tergeser, memperlihatkan sebuah kotak kayu kecil berukir sama persis seperti yang Raka lihat di mimpinya. Ukiran tangan memegang lidah itu tampak lebih jelas, dan di sela-selanya ada noda merah gelap yang mengering. “Ini…” Raka terhuyung selangkah. “Ini petinya.” Darto menggeleng. “Bukan. Ini hanyalah kuncinya.” --- Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari tangga di belakang mereka. Berat dan lambat, seperti seseorang menyeret kakinya. “Siapa itu?” Raka berbisik. Langkah itu berhenti. Lalu sebuah suara yang sangat familiar memanggil, “Raka… Nak… ini Ibu…” --- Darah Raka membeku. Suara itu intonasinya, getarannya tak mungkin salah. Ia memutar tubuh, hampir melangkah, tapi tangan Darto mencengkeram pergelangannya kuat-kuat. “Itu bukan ibumu,” bisik Darto, matanya tajam. “Itu suara yang sudah dicuri. Kalau kau mendekat, mereka akan mengambil punyamu juga.” --- Langkah kaki itu kini terdengar menuruni tangga, meski cahaya lampu tak menunjukkan wujud apa pun. Hanya bayangan panjang yang merayap di lantai, meluncur perlahan ke arah mereka. “Kita harus pergi,” kata Darto tegas. “Sekarang.” Namun tepat saat mereka berbalik, kotak kayu di atas meja terbuka sendiri, dan dari dalamnya keluar pusaran kabut hitam yang berputar cepat. Bisikan-bisikan itu berubah menjadi teriakan-teriakan dari puluhan suara yang berbeda, semuanya memanggil namanya. "Raka… buka kami… bebaskan kami…" --- Lampu minyak padam seketika. Gelap total menelan mereka, dan Raka merasakan sesuatu melilit pergelangan kakinya dingin, licin, seperti benang basah. [BERSAMBUNG]Jeritan pecah di udara. Bukan jeritan manusia… melainkan teriakan seekor ayam jantan yang suaranya terdengar seperti dirobek dari dalam tenggorokan. Suara itu datang dari arah balai desa, diikuti denting logam yang jatuh. Raka dan Darto saling pandang. “Apa itu?” tanya Raka, napasnya masih belum teratur. “Peringatan,” jawab Darto cepat. “Tanda kalau sesuatu… atau seseorang… sudah dilepaskan.” --- Mereka bersembunyi di balik pagar kayu rumah tua. Dari celah papan, Raka melihat sekelompok penduduk desa keluar dari kabut, wajah mereka pucat, mata kosong. Mereka berjalan pelan menuju balai desa, membawa benda-benda aneh anyaman jerami, potongan tulang, dan kendi berisi cairan hitam. “Seperti ritual,” bisik Raka. “Lebih dari itu,” Darto menggeleng. “Mereka memanggil sesuatu.” --- Raka memperhatikan lagi. Salah satu di antara penduduk itu membuatnya menegang seorang perempuan tua berkerudung hitam, tubuhnya bungkuk, tapi matanya… matanya menatap lurus ke arah tempat mereka bersembu
Gong berhenti. Keheningan yang mengikuti justru lebih memekakkan telinga. Raka merasakan denyut di dalam kepalanya, seperti gema suara yang tadi memanggil namanya masih berputar-putar di otak. “Jangan dengar. Fokus pada langkah,” Darto berbisik di sampingnya, suaranya nyaris tak terdengar. --- Mereka berjalan cepat menembus kabut, tapi langkah Raka terasa berat, seperti ada yang menarik kakinya dari tanah. Ia menunduk dan darahnya langsung mendingin. Tanah di bawah sepatu retak, dan dari celahnya, benang-benang merah merayap naik, mencoba melilit pergelangan kakinya. --- “Darto!” Darto menebasnya dengan parang. Benang itu mengerut seperti cacing terbakar, lalu menghilang ke celah tanah yang kembali menutup perlahan. “Kita sudah terlalu dekat dengan pusatnya,” kata Darto dengan napas terengah. “Dia tahu kita ada di sini.” --- Langkah mereka terhenti ketika kabut di depan bergerak seperti kain yang disibak. Dari dalamnya, siluet tinggi sang Penjaga Segel muncul. Topeng kayu d
Suara gong menggema dari arah balai desa. Dalam keheningan malam, bunyinya terasa seperti dentuman yang merobek udara. “Siapa yang memukul gong di jam segini?” Raka memandang Darto, tapi lelaki itu tidak menjawab. Matanya menyipit, rahangnya mengeras. “Itu artinya… mereka memanggil kita.” --- “Mereka? Siapa ‘mereka’?” Darto meraih parang dan berdiri. “Kalau kau ingin tahu, ikut saja. Tapi jangan menatap langsung pada apa pun yang kau rasa… ingin kau lihat.” Raka menelan ludah. “Kalau aku tak ikut?” “Lebih buruk. Karena mereka akan datang menjemput.” --- Mereka berjalan di jalan berbatu menuju balai desa. Kabut menggantung rendah, menelan suara langkah mereka. Di kejauhan, cahaya lampu minyak bergoyang di antara jendela-jendela rumah kosong. Raka merasakan sesuatu mengikuti dari belakang. Bayangan hitam bergerak di tepi penglihatannya, tapi setiap kali ia menoleh, jalan itu kosong. --- Balai desa berdiri di tengah lapangan, besar dan tua. Catnya terkelupas, atapnya nyaris r
Raka terbangun dengan napas terengah. Ia mendengar suara ayam berkokok di kejauhan, diikuti riuh obrolan penduduk desa. Matahari hangat menyinari wajahnya. Jalan desa terlihat ramai: anak-anak berlari sambil tertawa, para ibu menjemur padi, lelaki memikul karung beras. Semuanya hidup. Semuanya… bersuara. --- “Akhirnya bangun juga, Nak.” Seorang perempuan setengah baya muncul dari pintu rumah di depannya, tersenyum lebar. Wajahnya penuh keriput, tapi tatapan matanya lembut. “Ibu…” suara Raka tercekat. Ia mengenal wajah itu. Sama persis seperti ibunya, sebelum meninggal. Perempuan itu tertawa. “Cepat masuk, sarapan sudah siap.” --- Di meja kayu, terhidang nasi panas, ikan bakar, dan sayur bening. Raka duduk, hampir lupa segala yang ia alami semalam. Bau makanan itu nyata, rasa panasnya menusuk kulit jarinya saat ia menyentuh piring. Namun saat ia hendak menyuap, ia melihat ujung piring retak, dan dari retakan itu… menjulur benang merah tipis. --- “Kenapa ada—” Raka menoleh, t
Kabut menutup jalan desa seperti tirai tebal. Udara menjadi berat, membuat napas Raka terdengar lebih keras di telinganya sendiri. Namun di antara kabut, samar-samar ia melihat siluet manusia berdiri di tepi jalan. --- “Darto…” Raka berhenti melangkah. “Kau lihat itu?” Darto menatap lurus ke depan, wajahnya tegang. “Jangan mendekat. Mereka bukan seperti yang kau kira.” Siluet itu semakin jelas. Seorang lelaki tua, berdiri membungkuk, matanya tertutup. Kulitnya pucat seperti lilin, dan tangannya menggenggam tongkat bambu. Ia tidak bergerak sama sekali. --- “Mungkin dia butuh bantuan,” kata Raka pelan. “Kalau kau dekati, kau akan jadi seperti dia.” Raka mengernyit. “Maksudmu… patung?” Darto hanya menggeleng, lalu berbelok ke jalan sempit di kiri. Tapi rasa penasaran mendorong Raka satu langkah lebih dekat pada sosok itu. --- Di jarak tiga meter, Raka bisa melihat dada lelaki itu… naik-turun. “Dia bernapas,” bisik Raka, setengah lega. Saat ia melangkah lagi, mata lelaki itu
Benang basah itu menarik pergelangan kaki Raka dengan kekuatan tak masuk akal. Ia hampir terjatuh, namun Darto sigap menariknya ke belakang. Mereka berdua tersungkur, tubuhnya membentur lantai kayu yang dingin dan lembab. Dari dalam kegelapan, terdengar suara retakan tulang bukan dari mereka, tapi dari sesuatu yang bergerak di lantai. --- “Berdiri!” Darto menariknya bangkit. “Jangan lihat ke bawah, jangan lepaskan kaki dari lantai!” Raka terpincang-pincang mengikuti langkahnya. Benang itu terlepas dengan sendirinya, tapi rasa dingin menempel di kulitnya seperti bekas gigitan. Mereka berlari menuju tangga. Namun saat Darto mendorong pintu besi di atas, yang terbuka bukan lorong rumah… melainkan kembali ke dalam gudang yang sama. --- “Tidak mungkin…” Raka menatap sekeliling. “Kita—kita tadi sudah di sini.” Gudang itu identik: meja di tengah, benang merah di dinding, lubang di lantai, bahkan kotak kayu di atas meja. Namun kali ini, kotak itu sudah terbuka, menganga seperti mulut