Home / Horor / Desa Tanpa Suara / Bab 6: Gudang yang Bernapas

Share

Bab 6: Gudang yang Bernapas

Author: Rafi Aditya
last update Last Updated: 2025-08-09 18:45:45

Pintu rumah itu berderit panjang saat dibuka, suaranya menyerupai keluhan makhluk tua yang terbangun dari tidur panjang. Begitu kaki Raka melangkah masuk, hawa dingin menyelimuti tubuhnya dari kepala hingga telapak kaki, seolah ia baru saja menuruni tangga menuju ruang bawah tanah.

Di dalam, cahaya matahari hampir tak menembus. Debu melayang di udara, memantulkan cahaya redup dari sela papan dinding yang retak. Tapi bukan itu yang membuatnya kaku lantai kayu di bawah telapak kakinya… bergerak.

---

Bukan seperti retakan kayu biasa, melainkan gelombang halus, seakan rumah itu sedang bernapas. Raka menahan napas, mencoba memastikan penglihatannya. Gelombang itu terasa di telapak kakinya tarikan dan dorongan yang pelan, ritmis.

“Rasanya… lantai ini hidup,” bisiknya.

Paman Darto hanya menatap lurus, wajahnya tegang. “Jangan pikirkan. Fokus ke gudang. Semakin kau sadar dengan apa yang rumah ini lakukan, semakin kuat tarikan ke dalamnya.”

---

Mereka melangkah menembus lorong sempit yang berbau lembab dan karat. Dindingnya dipenuhi foto-foto lama berbingkai kayu, semuanya menampilkan wajah penduduk desa… tapi tanpa mulut.

“Kenapa… mereka—” Raka mulai bertanya, tapi suaranya terputus ketika salah satu foto bergerak.

Sosok di dalam bingkai menoleh perlahan, matanya mengikuti setiap langkah mereka.

---

Darto menyentuh lengan Raka. “Jangan menatap balik. Itu bukan sekadar foto, itu pintu. Mereka bisa menarikmu masuk jika kau memberi perhatian terlalu lama.”

Raka menunduk, mencoba memfokuskan pandangan pada ujung lorong. Namun dari belakang, terdengar suara bisikan yang begitu dekat, seperti ada seseorang berdiri tepat di telinganya.

"Peti itu di bawah sini… kami menunggu…"

---

Akhirnya mereka sampai di sebuah pintu besi tua di ujung lorong. Catnya mengelupas, dan bekas goresan panjang terlihat di permukaannya, seolah ada sesuatu dari dalam yang berusaha keluar.

“Gudang,” kata Darto, menarik kunci tua dari saku jaketnya. “Begitu pintu ini terbuka, ingat satu hal jangan jawab kalau ada yang memanggil namamu.”

Raka mengangguk, meski detak jantungnya makin keras. “Kalau aku jawab?”

“Suaramu akan menjadi milik mereka… selamanya.”

---

Kunci berputar dengan bunyi klik berat. Pintu itu terbuka perlahan, mengungkap tangga kayu curam yang menurun ke kegelapan. Udara yang keluar dari bawah terasa lebih dingin dan bau logam, seperti darah yang sudah lama membeku.

Lampu minyak di dinding dinyalakan Darto, menerangi sebagian jalur. Mereka mulai menuruni tangga, dan setiap langkah terasa seperti semakin menjauh dari dunia nyata.

---

Gudang itu luas, namun hampir kosong. Di tengah ruangan, berdiri sebuah meja panjang dengan kain putih kotor menutupinya. Di dinding, tergantung puluhan benang merah yang ujungnya menghilang masuk ke lubang kecil di lantai.

“Benang ini…” Raka mendekat, jemarinya hampir menyentuhnya.

“Jangan!” Darto menepis tangannya. “Itu bukan benang biasa. Itu urat suara mereka. Sekali kau memutus atau menyentuhnya, mereka akan tahu kau di sini.”

---

Raka menelan ludah. “Jadi petinya… di bawah lubang itu?”

“Bukan,” jawab Darto lirih. “Lubang itu adalah mulutnya.”

Sebelum Raka sempat bertanya lebih lanjut, kain putih di meja bergerak. Bukan karena angin tapi dari bawahnya, sesuatu mendorong kain itu ke atas.

---

Perlahan, kain itu tergeser, memperlihatkan sebuah kotak kayu kecil berukir sama persis seperti yang Raka lihat di mimpinya. Ukiran tangan memegang lidah itu tampak lebih jelas, dan di sela-selanya ada noda merah gelap yang mengering.

“Ini…” Raka terhuyung selangkah. “Ini petinya.”

Darto menggeleng. “Bukan. Ini hanyalah kuncinya.”

---

Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari tangga di belakang mereka. Berat dan lambat, seperti seseorang menyeret kakinya.

“Siapa itu?” Raka berbisik.

Langkah itu berhenti. Lalu sebuah suara yang sangat familiar memanggil, “Raka… Nak… ini Ibu…”

---

Darah Raka membeku. Suara itu intonasinya, getarannya tak mungkin salah. Ia memutar tubuh, hampir melangkah, tapi tangan Darto mencengkeram pergelangannya kuat-kuat.

“Itu bukan ibumu,” bisik Darto, matanya tajam. “Itu suara yang sudah dicuri. Kalau kau mendekat, mereka akan mengambil punyamu juga.”

---

Langkah kaki itu kini terdengar menuruni tangga, meski cahaya lampu tak menunjukkan wujud apa pun. Hanya bayangan panjang yang merayap di lantai, meluncur perlahan ke arah mereka.

“Kita harus pergi,” kata Darto tegas. “Sekarang.”

Namun tepat saat mereka berbalik, kotak kayu di atas meja terbuka sendiri, dan dari dalamnya keluar pusaran kabut hitam yang berputar cepat. Bisikan-bisikan itu berubah menjadi teriakan-teriakan dari puluhan suara yang berbeda, semuanya memanggil namanya.

"Raka… buka kami… bebaskan kami…"

---

Lampu minyak padam seketika. Gelap total menelan mereka, dan Raka merasakan sesuatu melilit pergelangan kakinya dingin, licin, seperti benang basah.

[BERSAMBUNG]

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Desa Tanpa Suara   Bab 80: Suara Terakhir (The End)

    Hujan sudah reda sejak subuh, menyisakan kabut tipis yang melayang di antara pohon-pohon tua di pinggir desa. Tanah masih basah, mengeluarkan aroma lumpur dan dedaunan yang tertimpa hujan semalam. Raka berdiri di halaman balai desa, menatap kosong ke arah perbukitan yang dulu selalu terasa mengancam, kini hanya terlihat seperti punggung raksasa yang tertidur. “Jadi… semuanya benar-benar selesai?” tanya Laras pelan, suaranya seperti takut memecahkan keheningan yang baru saja kembali. Raka mengangguk. “Ya. Akar itu sudah dibakar habis. Mbah Jumar juga… sudah pergi, bersama semua ikatan yang menahan desa ini.” Ia menarik napas panjang, mencoba mengusir sisa-sisa ketegangan yang masih membeku di dadanya. Beberapa warga mulai keluar rumah. Ada yang duduk di beranda, ada yang menatap langit seperti baru pertama kali melihat birunya. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, mereka berani berbicara dengan suara lantang. Tidak ada lagi rasa takut pada bisikan tak kasat mata atau langk

  • Desa Tanpa Suara   Bab 79: Jantung Lembah

    Kabut pekat menyelimuti jalur menuju Lembah Senyap. Pohon-pohon di kiri-kanan tampak seperti siluet bengkok, cabangnya menyerupai tangan yang hendak meraih. Udara begitu dingin dan lembap, membuat napas setiap orang keluar dalam uap putih. Raka berjalan paling depan, diikuti Sardi, Bagus, Darto, dan dua pemuda desa lain. Mereka membawa obor dan parang, sementara Mbah Jumar tertinggal di pos dekat hutan untuk memantau dari jauh. “Aku sudah terlalu tua untuk berlari di tanah seperti ini,” katanya, tapi Raka tahu ada alasan lain: Mbah Jumar menjaga jalur pulang. Semakin mereka turun ke lembah, suara alam perlahan menghilang. Tak ada burung, tak ada serangga. Hanya bunyi langkah kaki di tanah basah, dan kadang… sesuatu yang menyeret di kejauhan. --- Di bibir lembah, mereka menemukan tanda pertama: akar merah setebal paha manusia menjalar dari tebing ke arah bawah, sebagian menyatu dengan batang pohon. Sulur itu berdenyut pelan, seperti pembuluh darah raksasa. “Kita sudah dekat,” bisi

  • Desa Tanpa Suara   Bab 78: Peta Akar

    Fajar baru saja muncul ketika Raka, Sardi, dan Mbah Jumar sudah berkumpul di balai desa. Di atas meja kayu panjang terbentang peta buatan tangan, dengan garis-garis merah yang Raka coretkan malam sebelumnya. Setiap tanda merah menunjukkan lokasi di mana mereka menemukan sulur akar dalam beberapa minggu terakhir. “Kalau pola ini benar,” ujar Raka sambil menunjuk lingkaran-lingkaran kecil di peta, “cabang akar ini membentuk semacam jaring yang memusat ke sini.” Ia mengetuk titik di tengah, yang ternyata adalah sebuah lembah kecil di antara Karangwangi dan Karangjati. Mbah Jumar mengangguk perlahan. “Itu namanya Lembah Senyap. Dulu, orang menghindari tempat itu karena katanya tidak ada burung atau serangga yang mau tinggal di sana.” Sardi mengernyit. “Kalau begitu, kita mulai dari sana?” “Belum,” jawab Raka. “Pertama kita pastikan jalur yang menuju lembah itu. Kalau kita masuk buta, kita bisa terjebak di tengah sarangnya.” --- Raka memutuskan membagi kelompok. Ia, Sardi, dan dua pe

  • Desa Tanpa Suara   Bab 77: Cabang yang Mencari Nafas

    Hujan gerimis turun semalaman, membasahi seluruh desa dan bukit di sekitarnya. Pagi itu, udara dipenuhi aroma tanah basah. Dari kejauhan, suara ayam berkokok dan embun menempel di dedaunan. Namun di tepi hutan utara, sesuatu bergerak pelan di bawah lapisan tanah. Sulur merah pucat tipis seperti urat darah merayap tak terlihat, mencari celah untuk keluar. Setiap kali petir menyambar, sulur itu bergetar, seolah menghirup tenaga dari kilatan langit. --- Raka tidak tahu apa yang terjadi di hutan utara. Ia sedang berada di rumah Sardi, memeriksa peta lama yang ditemukan Mbah Jumar. “Lihat ini,” kata Sardi sambil menunjuk garis di peta yang menghubungkan bukit gua akar ke beberapa titik lain. “Kalau benar peta ini akurat, akar itu dulu pernah menjalar sampai ke perbatasan kecamatan.” Raka mengerutkan dahi. “Kalau cabangnya masih hidup, mereka bisa muncul di mana saja sepanjang jalur ini.” Mbah J

  • Desa Tanpa Suara   Bab 76: Desa yang Bernapas Kembali

    Pagi di Desa Karangwangi tak pernah terasa seperti ini sebelumnya. Kabut yang selama bertahun-tahun menggantung di antara pepohonan kini lenyap. Matahari menembus penuh, menyentuh genting-genting rumah dengan cahaya keemasan. Raka berdiri di tepi sawah, memandangi air irigasi yang mengalir jernih. Ia bisa mendengar suara katak, burung, bahkan tawa anak-anak di kejauhan. Suara yang dulu ia rindukan kembali hidup. Namun di balik semua itu, ada rasa kosong yang tak bisa diusir. Ratna tak ada. Bukan hanya Ratna semua arwah yang pernah berkeliaran di desa itu kini hilang, seolah tak pernah ada. --- Sardi datang membawa dua cangkir kopi. “Masih pagi-pagi sudah melamun? Biasanya ini waktunya kau tidur sampai siang.” Raka tersenyum tipis, menerima kopi itu. “Aku cuma… memastikan semuanya benar-benar berakhir.” Sardi duduk di pematang, menatap sawah. “Kau masih berharap dia kembali, ya?” Raka tak menjawab, hanya menyeruput kopi. Asapnya naik perlahan, membentuk garis tipis sebelum hilan

  • Desa Tanpa Suara   Bab 75: Inti yang Harus Pecah

    Detak itu memekakkan telinga Raka, bukan hanya terdengar, tapi terasa sampai ke tulang. Jantung akar berdenyut semakin cepat, seolah sadar akan ancaman yang mendekat. Ratna berdiri di tepi ruang inti, wajahnya diterangi cahaya merah dari bola berputar itu. “Sekarang, Raka,” katanya tegas. “Sekali sabitmu menyentuh inti, semuanya akan runtuh. Lorong akan menutup, dan… aku akan ikut lenyap.” Raka menelan ludah, tangannya gemetar. “Kalau aku tak melakukannya, desa akan hancur. Kalau aku melakukannya, kau yang hilang. Kenapa semua pilihan harus buruk?” Ratna tersenyum tipis. “Karena dunia ini memang tak pernah menawarkan pilihan yang adil. Tapi kalau kau mencintaiku, bebaskan aku.” Di luar, suara benturan dan jeritan semakin keras. Sardi berteriak memanggil nama Raka. Akar-akar di dinding bergetar, seakan mencoba meremas lorong. Waktu benar-benar habis. --- Raka melangkah maju. Inti itu berputar perlahan, memancarkan panas yang membuat kulitnya perih. Ada bisikan lain yang terdengar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status