“Ini? Digigit nyamuk kali, Mbak!” Lia menepis tanganku yang hendak meraba lehernya. Bukan main aku geram melihat kelakuan kasar adik ipar yang baru berusia 20 tahun tersebut.
“Gigit nyamuk?! Kenapa sampai merah begitu?” Aku nyolot. Tak mau kalah begitu saja. Suuzanku telanjur menguasai isi otak.
Aku mendekat. Mencengkeram bahunya hingga tubuh ramping itu bisa kukuasai. Lia terlihat seperti ketakutan saat kuteliti lehernya.
Tanda bundar berwarna kemerahan itu sialnya memang bekas gigitan nyamuk. Sebuah bentol kecil masih hinggap di tengah rona merah tersebut. Seketika tungkaiku lemas.
“Lihat yang betul, Mbak!” bentak Lia sambil melepaskan diri.
Aku terkejut mendengar teriakannya. Mungkin, wajahku sudah berubah pias saat ini bilia ditengok. Aku mundur dua langkah, sebab merasa malu dengan tuduhan yang sembrono.
“Mbak Risti apa-apaan, sih? Satu, masuk ke sini tanpa ketuk pintu. Dua, ngatur-ngatur aku segala karena pakai lingerie buat tidur. Tiga, nuduh leherku merah bekas dicupang. Emangnya, aku dicupang siapa, Mbak?!” Suara Lia menggelegar. Membuatku serasa mati kutu sebab diskak olehnya.
“Jangan playing victim kamu!” Gemetar suaraku. Sebenarnya, aku ingin segera menyudahi pertikaian ini. Sadar betul bahwa aku tak punya bukti buat menuduh Lia. Namun, telanjur. Menyerah hanya membuatku semakin malu saja.
“Playing victim? Aneh! Orang aku nggak ngapa-ngapain, eh, Mbak Risti malah tiba-tiba kaya orang kesurupan. Apaan sih, Mbak?” Lia berani-beraninya mendorong dadaku dengan telunjuk. Membuatku terperangah akan keberanian bocah tersebut.
“Aku laporin ke Mas Bayu, biar Mbak dimarahin!” Lia mengancam. Gadis itu lalu naik ke atas ranjang dan mengambil ponselnya di bawah bantal.
“Lapor! Laporkan saja semaumu. Dasar tukang lapor!” kataku seraya mendongak ke ponsel miliknya.
Hal yang membuatku sangat terkejut adalah wallpaper ponsel Lia. Terpampang jelas foto Mas Bayu di sana sedang merangkul sang adik. Keduanya tak hanya saling rangkul tapi saling tatap. Mesra! Aku baru melihat pertama kali foto tersebut menjadi pajangan di layar ponsel si Lia.
“Kamu juga akan kulaporkan ke Mas Bayu karena sudah memberikan jamu yang mengandung obat tidur! Setelah minum jamu itu, aku langsung pusing dan mengantuk!”
Lia tercekat. Gadis itu berhenti menekan layar ponsel. Dia menatapku tajam dengan wajah sinis.
“Obat tidur? Mbak, kamu kayanya halu! Ngapain aku ngasih obat tidur segala?”
“Ya, supaya kamu bisa melakukan apa pun di rumahku!” Aku dikuasai emosi lagi. Kedua tanganku sampai mengepal hebat.
“Gila kamu, Mbak! Kamu udah nggak waras! Jangan bilang kamu cemburu sama aku?” Lia tertawa. Tawanya melecehkan. Aku sakit hati sekali dengan sikapnya.
“Kalau iya kamu cemburu, artinya kamu memang gila! Kamu harus ke psikiater deh, Mbak. Rasa panik dan curigamu itu tidak pantas. Aku ini adiknya Mas Bayu! Ngapain juga kamu cemburu!”
“Jangan tutup-tutupi lagi, Lia! Aku dengar suara desahanmu dari sebelah!” Kutuding lagi wajahnya. Membuat perempuan berdagu lancip dengan hidung bangir tersebut tampak membelalak lebar,
“Desahan? Wah, gila kamu Mbak! Positif nggak waras. Ngapain aku mendesah segala macam?” Lia menggelengkan kepalanya. Dia lalu menekan layar ponsel dan menempelkan ponselnya ke telinga.
Muak, aku beranjak dari kamar Lia. Saat baru saja membalik badan, terdengar suara Lia berteriak menelepong sang kakak.
“Mas, pulang sekarang! Istrimu kesurupan! Dia udah gila. Nuduh aku dan kamu yang bukan-bukan!”
Bergegas aku keluar. Kubanting pintu dengan keras demi meluapkan amarah. Kedatangan Lia hanya menghancurkan bahtera rumah tanggaku!
Aku yakin, apa yang kudengar tadi malam bukanlah sekadar halusinasi belaka. Aku berani bersumpah, bahwa aku benar-benar dalam kondisi sadar dan terbangun.
Awas kamu, Lia! Akan kukumpulkan semua bukti-bukti untuk menyeretmu keluar dari rumah ini.
(Bersambung)
147Akhir BerbahagiaSetahun Kemudian Hidup rumah tangga Nami dan Anwar kini semakin bahagia setelah dibuangnya Ina ke Pasar Pinang Merah. Ina alias perempuan yang bersekutu dengan iblis itu akhirnya meninggal dunia pada dini hari di lantai pasar yang lembab dan kotor. Jenazahnya tak diidentifikasi oleh pihak kepolisian, sebab adanya kong kalikong antara Anwar dan para penegak hukum tersebut. Tentu saja, banyak dana yang harus Anwar gelontorkan agar jenazah Ina tak diperiksa. Mayat Ina pun lalu dikirimkan ke kampung halamannya, disambut dengan isak tangis Suwito dan Rusmina. Sungguh tragis kehidupannya Ina. Dia tak mendapatkan satu pun cita-citanya di saat-saat menjelang kematiannya. Hidup Ina sama tragisnya dengan Lia, anak semata wayangnya tersebut. Nyawa mereka sama-sama melayang di tangan para lelaki yang sempat mereka cintai habis-habisan. Cinta yang salah telah membuat mereka mati dalam sebuah kepiluan. Nami, Nalen, dan Anw
145Kemesraan Atau Sebuah Dusta? Azan Subuh berkumandang syahdu. Suaranya sayup-sayup terdengar hingga ke dalam kamar milik Nami dan Anwar. Si nyonya pun kebetulan telah selesai berpakaian lengkap. Buru-buru Nami mengambil wudu. Coba dia tepis segala perasaan gundah di dada. Cukup lama dia merenung di depan cermin meja riasnya setelah berpakaian tadi. Usai perenungan, Nami bertekad untuk tetap menabahkan hati, meski sepertinya akan banyak rintangan yang datang pada hari-hari besok. Perempuan yang sudah wangi semerbak sekujur tubuhnya itu pun membentangkan sajadah di tengah-tengah ruang kamar yang memang sangat luas. Maklum, kamarnya orang kaya. Sudah diisi lemari pakaian dan ranjang sebesar gaban pun, masih tersisa cukup banyak space untuk Nami salat, bahkan berjamaah dengan sang suami pun sangat memungkinkan. Di tengah dengkuran Anwar yang lumayan kencang, Nami mendirikan dua rakaat sunnah sebelum Subuh alias salat Fajar dan dil
Pagi-pagi sekali Nami bangun dengan penuh perasaan semangat yang menggebu dalam dadanya. Betapa tidak, hari ini adalah hari di mana tanah dan rumah yang mereka tempati, akan segera dihibahkan kepada Nami. Begitu janji dari Anwar, suami yang sangat dicintai oleh perempuan cantik tersebut. Hati-hati sekali Nami turun dari tempat tidurnya. Bahkan dia sampai jalan berjinjit, demi tak membuat suara ribut. Maklum saja, sang suami baru tertidur pada pukul satu dini hari tadi. Nami bukannya tak sadar jika sang suami tidur sangat larut malam. Alasan Anwar karena dia ingin mengerjakan sesuatu di kamar kerjanya. Karena mengantuk, Nami memutuskan tidur lebih duluan, dan menyadari bahwa sang suami baru saja masuk ke kamar setelah pukul satu di jam weker yang dia letakkan di atas nakas. Sebenarnya, Nami ingin banyak bertanya pada Anwar tentang alasan mengapa suaminya tidur sampai selarut itu. Namun, perempuan berambut hitam tebal tersebut cepat mengurungkan
BAB 143Ritual Yang Terhenti “Pak, piye iki (gimana ini)? Mosok sih (masa sih), kita ke rumahnya Mbah Legi meneh (lagi)? Aku kok, wedhi (takut) yo, Pak?” Rusmina mengeluh kepada Suwito usai ditelepon oleh adiknya, Ina alias Rustina. Kedua pasutri berusia paruh abad itu tampak sama-sama tertekan dengan permintaan adik mereka. Di satu sisi, Rusmina senang ketika sang adik berhasil disembuhkan dan dapat kembali bersatu dengan mantan suaminya, meskipun mereka belum menikah kembali. Namun, di satu sisi lain, sebagai seorang muslim yang ‘setengah taat’, sedikit banyak Rusmina takut apabila terus menerus main dukun. Baik Rusmina maupun Suwito, mereka sama-sama tahu bila bekerja sama dengan dukun adalah sebuah tindakan syirik yang tak akan diampuni oleh Tuhan. Usia mereka sama-sama memasuki angka senja, bukan tak mungkin besok atau lusa, usia mereka habis dan berakhir di liang lahat. Itulah hal yang sangat Rusmina dan Suwito takutkan, yakni mati sebel
BAB 142Dustanya Anwar Betapa leganya hati Nami ketika mendapati suara bel yang dipencet dari arah luar sana terdengar hingga ke lorong kamarnya. Nami dan Rahima pun gegas keluar dari kamar untuk menyambut kedatangan sang tuan besar. Saat kunci rumah dibukakan oleh Nami, dia semakin bahagia karena wajah Anwarlah yang Nami lihat untuk pertama kalinya. “Papa!” seru Nami mesra kepada sang suami. “Iya, Ma. Maaf sudah membuatmu menunggu lama. Mari kita masuk,” ucap Anwar sambil menebar senyuman semanis madunya. Anwar langsung merangkul tubuh molek milik istrinya. Sementara itu, Rahima masih menunggu di pintu, untuk menyambut Nalen yang masih memarkirkan mobil papanya. Setelah Nalen memasuki pintu, Rahima pun menjalankan tugasnya untuk mengunci pintu kembali. Rahima ikut senang saat melihat tuan besar dan tuan mudanya sudah tiba ke rumah. Apalagi, mata Rahima tak perlu memandangi sosok nenek sihir yang tak lain dan tak bu
BAB 141Pergi Jauh Tubuh Ina pun digotong oleh Andang dan Dedi untuk masuk ke dalam minibus putih milik Anwar. Perempuan pucat dengan rambut awut-awutan itu masih saja terkulai lemah dengan kedua mata yang tertutup. Sesekali bibir birunya berkedut, seperti hendak mengerang kesakitan. Melihat kondisi Ina semengenaskan itu, tentu membuat jantung Dedi dan Andang kompak ketar ketir. Banyak tugas berat yang Anwar berikan kepada mereka. Namun, membawa manusia setengah sekarat begini, baru sekali Dedi dan Andang jalani. Setelah diposisikan dengan baik di bangku penumpang tepat di samping sang sopir, Ina pun dibiarkan duduk dengan kepala terkulai. Sabuk pengaman telah Andang pasangkan untuk perempuan malang tersebut. Andang pun duduk di bangku belakang bersama dua tas milik Ina yang terisi penuh dengan pakaian-pakaian. Minibus putih itu pun berjalan dengan kecepatan sedang. Sebagai seorang sopir handal, Dedi berusaha untuk tetap tenang m