“Uuh ….” Aku mengerang kesakitan. Kepalaku terasa sangat pening sekali. Ketika mata telah mampu terbuka sepenuhnya, tampak mentari pagi telah menyingsing lewat jendela kamar yang disibak gordennya.
Aku kaget. Kupaksakan diri untuk bangun. Ketika kulihat jam waker di nakas, sudah pukul 10.00 pagi. Astaga!
“Ya Allah! Sakit.” Kumengaduh sakit. Nyeri sekali kepala kiri dan kananku. Dunia seperti oleng. Tubuhku seakan tengah berada di atas kapal yang diterjang oleh ombak.
“Aku nggak pernah bangun sesiang ini,” gumamku. “Apalagi sepusing sekarang. Apa jangan-jangan ….”
Aku mulai menaruh curiga. Tadi malam, aku hanya makan gule kepala ikan, sambal terasi, tempe goreng, dan nasi panas. Tidak makan yang aneh-aneh. Kenapa kepalaku bisa sesakit ini? Pun, aku tak memiliki riwayat penyakit seperti tekanan darah tinggi atau kadar kolesterol yang melampaui batas normal. Mengapa aku tiba-tiba sakit kepala hebat begini setelah bangun tidur? Apa karena terlalu lama tidur?
Diriku tiba-tiba teringat tentang jamu yang diberikan oleh Lia. Ya, jamu yang dia bilang berkhasiat untuk menyuburkan kandungan. Setelah menenggak habis satu botol jamu tersebut, aku memang langsung mengantuk hebat. Tak hanya itu, tubuhku jadi sulit sekali buat dikontrol. Inginku rebah dan terlelap.
Di tengah sakitnya kepala, aku pun mengingat-ingat kembali runtutan kejadian tadi malam. Setelah terlelap tidur, rasa-rasanya aku mendengarkan sebuah suara. Ya, suara desah perempuan. Suara aneh yang membuat sekujur tubuhku merinding hebat. Seingatku, Mas Bayu juga tak berada di sampingku tadi malam.
Bergegas aku turun dari ranjang. Sambil menahan sakit kepala dan perasaan oyong, aku menyusuri dinding. Berjalan sambil berpegangan seperti anak kecil yang baru belajar merambar.
Seketika, cemas dan curigaku mencelat. Muncul spekulasi buruk di kepala. Namun, nuraniku tiba-tiba saja menyangkal.
Mana mungkin Mas Bayu melakukan tindakan asusila pada adik kandungnya sendiri? Tidak, itu mustahil! Suamiku bukan orang gila. Aku juga mengenalnya bukan baru-baru ini. Dia adalah bosku di perusahaan meubel asal Amerika. Kedudukannya sebagai sales manager. Sedang aku bertugas sebagai sales promotion girl. Dia seringkali mendatangi kami di mal tempatku bekerja untuk memberikan wejangan mengenai penjualan barang. Dia juga yang dulunya menjadi salah satu tim pelatih ketika kami baru masuk bekerja.
Mas Bayu sudah dikenal memiliki reputasi yang baik. Dua tahun bekerja di perusahaan yang sama, cukup meyakinkanku bahwa pria 32 tahun itu bukanlah pria hidung belang atau bajingan. Jangankan ‘main’ dengan adik kandung, dekat-dekat dengan cewek saja setahuku dia pemalu. Dulu, yang memancing agar menikah itu aku malahan. Aku yang menebalkan muka memberikan kode bahwa aku senang sekaligus ingin menjadikannya suami. Tak mungkin, kan, jika yang tadi malam kudengar itu adalah desahan dari bibir Lia yang sedang dipuaskan oleh kakaknya sendiri? Gila! Itu mustahil.
Saat kubuka pintu kamar, suasana rumah terasa lengang. Aku heran. Ke mana Lia? Kalau Mas Bayu, jam segini dia memang sudah berangkat ke kantor. Maklum saja, ini hari Senin.
Kutoleh kamar sebelah yang dindingnya bersatu dengan dinding kamarku tersebut. Jantungku langsung berdegup sangat kencang. Kakiku terasa agak sungkan saat hendak melangkah semakin maju ke depan pintu yang tampak tertutup rapat tersebut. Akan tetapi, rasa penasaranku begitu besar. Aku ingin memeriksa kondisi kamar yang ditempati Lia. Apakah menunjukkan tanda-tanda bahwa habis terjadi ‘pertempuran’ atau tidak.
Tanganku sedikit gemetar tatkala menyentuh kenop. Dengan mengumpulkan segala keberanian, kubuka kenop pintu dan … mataku membeliak besar! Astaga!
“Lia!” jeritku memanggil nama gadis itu.
Perempuan yang terlelap di atas ranjang dengan gaun tidur seksi berwarna putih. Gaun yang memiliki panjang hanya sepaha dan lengan terbuka itu menampakkan tiap inci lekukan tubuhnya. Gadis 20 tahu yang belum punya suami sepertinya, kurasa belum cocok mengenakan gaun seterbuka itu, meskipun hanya untuk tidur sendirian!
Lia yang mencepol rambut panjangnya ke atas itu tampak mengulet di atas ranjang. Aku meringsek maju dengan degupan kencang di jantung. Pikiran negatifku makin menjadi-jadi saja setelah melihat kondisi anak itu. Ya Allah, apa mungkin?
“Mbak Risti?” lirih Lia seraya bangun dari rebahnya.
“Mana Mas Bayu?!” pekikku dengan amarah yang serasa memuncak.
“Mas Bayu?” Lia mengulang pertanyaanku. Matanya menyipit. Gadis itu lalu merentangkan kedua tangannya ke atas dan menguap sebesar-besarnya. “Mana aku tahu!”
Ucapan Lia entah mengapa tak bisa kupercaya. Sumpah, mulai detik ini, aku sangat menaruh curiga kepadanya. Mataku pun langsung terlempar ke tengah-tengah sprei. Kudekati, lalu kuraba-raba. Tak tampak ada bekas cairan yang mencurigakan.
“Apa, sih, Mbak?!” Lia bertanya dengan nada ketus. Dia lalu turun dari ranjang dan lekas menyibak gorden kamarnya. “Mbak Risti lagian kenapa masuk-masuk kamarku segala? Nggak ketuk pintu pula!”
Hatiku mendidih. Bisa-bisanya dia marah! Helo, aku nyonya di sini! Kenapa dia yang mengaturku?
“Seharusnya, kamu yang kunci pintu! Ini, kamu ngapain pakai baju model begini?” Kutuding wajah Lia. Yang membuatku agak kaget adalah pulasan lipstik yang masih terlihat menempel meski tak terlalu terang di bibir penuhnya. Ngapain tidur pakai lipstik?
“Ya, suka-sukakulah! Kenapa Mbak ngatur-ngatur?” Lia keki. Gadis yang tinggi tubuhnya sama denganku tersebut kini berkacak pinggang.
Dasar mataku, malah tak sengaja fokus ke leher Lia. Leher jenjang berwarna putih itu … di sebelah kiri. Lihatlah! Astaga. Ada tanda merah di sana. Ya Allah!
“Lia, apa ini? Lehermu kenapa?!”
Gadis itu terdiam. Dia lantas menurunkan kedua tangannya dari pinggang dan meraba bagian yang kutunjuk. Dia pasti tak bisa lagi mengelak!
(Bersambung)
147Akhir BerbahagiaSetahun Kemudian Hidup rumah tangga Nami dan Anwar kini semakin bahagia setelah dibuangnya Ina ke Pasar Pinang Merah. Ina alias perempuan yang bersekutu dengan iblis itu akhirnya meninggal dunia pada dini hari di lantai pasar yang lembab dan kotor. Jenazahnya tak diidentifikasi oleh pihak kepolisian, sebab adanya kong kalikong antara Anwar dan para penegak hukum tersebut. Tentu saja, banyak dana yang harus Anwar gelontorkan agar jenazah Ina tak diperiksa. Mayat Ina pun lalu dikirimkan ke kampung halamannya, disambut dengan isak tangis Suwito dan Rusmina. Sungguh tragis kehidupannya Ina. Dia tak mendapatkan satu pun cita-citanya di saat-saat menjelang kematiannya. Hidup Ina sama tragisnya dengan Lia, anak semata wayangnya tersebut. Nyawa mereka sama-sama melayang di tangan para lelaki yang sempat mereka cintai habis-habisan. Cinta yang salah telah membuat mereka mati dalam sebuah kepiluan. Nami, Nalen, dan Anw
145Kemesraan Atau Sebuah Dusta? Azan Subuh berkumandang syahdu. Suaranya sayup-sayup terdengar hingga ke dalam kamar milik Nami dan Anwar. Si nyonya pun kebetulan telah selesai berpakaian lengkap. Buru-buru Nami mengambil wudu. Coba dia tepis segala perasaan gundah di dada. Cukup lama dia merenung di depan cermin meja riasnya setelah berpakaian tadi. Usai perenungan, Nami bertekad untuk tetap menabahkan hati, meski sepertinya akan banyak rintangan yang datang pada hari-hari besok. Perempuan yang sudah wangi semerbak sekujur tubuhnya itu pun membentangkan sajadah di tengah-tengah ruang kamar yang memang sangat luas. Maklum, kamarnya orang kaya. Sudah diisi lemari pakaian dan ranjang sebesar gaban pun, masih tersisa cukup banyak space untuk Nami salat, bahkan berjamaah dengan sang suami pun sangat memungkinkan. Di tengah dengkuran Anwar yang lumayan kencang, Nami mendirikan dua rakaat sunnah sebelum Subuh alias salat Fajar dan dil
Pagi-pagi sekali Nami bangun dengan penuh perasaan semangat yang menggebu dalam dadanya. Betapa tidak, hari ini adalah hari di mana tanah dan rumah yang mereka tempati, akan segera dihibahkan kepada Nami. Begitu janji dari Anwar, suami yang sangat dicintai oleh perempuan cantik tersebut. Hati-hati sekali Nami turun dari tempat tidurnya. Bahkan dia sampai jalan berjinjit, demi tak membuat suara ribut. Maklum saja, sang suami baru tertidur pada pukul satu dini hari tadi. Nami bukannya tak sadar jika sang suami tidur sangat larut malam. Alasan Anwar karena dia ingin mengerjakan sesuatu di kamar kerjanya. Karena mengantuk, Nami memutuskan tidur lebih duluan, dan menyadari bahwa sang suami baru saja masuk ke kamar setelah pukul satu di jam weker yang dia letakkan di atas nakas. Sebenarnya, Nami ingin banyak bertanya pada Anwar tentang alasan mengapa suaminya tidur sampai selarut itu. Namun, perempuan berambut hitam tebal tersebut cepat mengurungkan
BAB 143Ritual Yang Terhenti “Pak, piye iki (gimana ini)? Mosok sih (masa sih), kita ke rumahnya Mbah Legi meneh (lagi)? Aku kok, wedhi (takut) yo, Pak?” Rusmina mengeluh kepada Suwito usai ditelepon oleh adiknya, Ina alias Rustina. Kedua pasutri berusia paruh abad itu tampak sama-sama tertekan dengan permintaan adik mereka. Di satu sisi, Rusmina senang ketika sang adik berhasil disembuhkan dan dapat kembali bersatu dengan mantan suaminya, meskipun mereka belum menikah kembali. Namun, di satu sisi lain, sebagai seorang muslim yang ‘setengah taat’, sedikit banyak Rusmina takut apabila terus menerus main dukun. Baik Rusmina maupun Suwito, mereka sama-sama tahu bila bekerja sama dengan dukun adalah sebuah tindakan syirik yang tak akan diampuni oleh Tuhan. Usia mereka sama-sama memasuki angka senja, bukan tak mungkin besok atau lusa, usia mereka habis dan berakhir di liang lahat. Itulah hal yang sangat Rusmina dan Suwito takutkan, yakni mati sebel
BAB 142Dustanya Anwar Betapa leganya hati Nami ketika mendapati suara bel yang dipencet dari arah luar sana terdengar hingga ke lorong kamarnya. Nami dan Rahima pun gegas keluar dari kamar untuk menyambut kedatangan sang tuan besar. Saat kunci rumah dibukakan oleh Nami, dia semakin bahagia karena wajah Anwarlah yang Nami lihat untuk pertama kalinya. “Papa!” seru Nami mesra kepada sang suami. “Iya, Ma. Maaf sudah membuatmu menunggu lama. Mari kita masuk,” ucap Anwar sambil menebar senyuman semanis madunya. Anwar langsung merangkul tubuh molek milik istrinya. Sementara itu, Rahima masih menunggu di pintu, untuk menyambut Nalen yang masih memarkirkan mobil papanya. Setelah Nalen memasuki pintu, Rahima pun menjalankan tugasnya untuk mengunci pintu kembali. Rahima ikut senang saat melihat tuan besar dan tuan mudanya sudah tiba ke rumah. Apalagi, mata Rahima tak perlu memandangi sosok nenek sihir yang tak lain dan tak bu
BAB 141Pergi Jauh Tubuh Ina pun digotong oleh Andang dan Dedi untuk masuk ke dalam minibus putih milik Anwar. Perempuan pucat dengan rambut awut-awutan itu masih saja terkulai lemah dengan kedua mata yang tertutup. Sesekali bibir birunya berkedut, seperti hendak mengerang kesakitan. Melihat kondisi Ina semengenaskan itu, tentu membuat jantung Dedi dan Andang kompak ketar ketir. Banyak tugas berat yang Anwar berikan kepada mereka. Namun, membawa manusia setengah sekarat begini, baru sekali Dedi dan Andang jalani. Setelah diposisikan dengan baik di bangku penumpang tepat di samping sang sopir, Ina pun dibiarkan duduk dengan kepala terkulai. Sabuk pengaman telah Andang pasangkan untuk perempuan malang tersebut. Andang pun duduk di bangku belakang bersama dua tas milik Ina yang terisi penuh dengan pakaian-pakaian. Minibus putih itu pun berjalan dengan kecepatan sedang. Sebagai seorang sopir handal, Dedi berusaha untuk tetap tenang m