“Maaf, Mas. Oke, sini aku makan.” Tanganku melambai-lambai. Meminta cheese burger yang bungkus kertasnya sudah dibuka setengah oleh Mas Bayu. Pura-pura saja aku ketakutan sebab habis dibentak olehnya.
Pria itu pun senyum lagi. Buru-buru menyerahkannya kepadaku dengan ekspresi senang. Oke, akan kuikuti alur permainanmu, Mas!
“Makanlah, Sayang. Yang banyak.” Mas Bayu berkata. Dia tak melepaskan matanya dariku sedikit pun.
Mau tak mau, aku mulai memakan burger pemberian Mas Bayu. Dalam hati aku berdoa agar Allah melindungiku. Aku belum mau mati konyol, sebelum mengungkap kejahatan Mas Bayu yang diam-diam sepertinya akan menusukku dari belakang.
Satu gigitan, dua gigitan, hingga tiga gigitan. Tak ada tanda-tanda bahwa makanan ini mengandung racun. Rasanya biasa saja. Seperti burger keju yang sering kami beli. Namun, aku tetap waspada. Insting seorang istri memang jarang meleset. Burger ini pasti ada apa-apanya, pikirku. Tak mungkin Mas Bayu sampai begitu bernafsu menyuruhku supaya melahap pembeliannya itu.
“Enak, Ris?” tanya Mas Bayu sambil memperhatikanku lamat-lamat.
“Enak. Kamu mau?” kataku sambil menyodorkan burger yang masih tersisa setengah kepada Mas Bayu.
Lelaki itu mendorong burger. Dahinya entah mengapa mengernyit dengan mata yang agak menyipit. Dia langsung terlihat salah tingkah.
“Nggak! Aku udah kenyang.”
“Ayolah, Mas. Kamu cicipin sedikit. Enak, tahu!” ucapku memaksa.
“Nggak! Aku nggak mau!” Mas Bayu membentak. Dia bahkan turun dari ranjang demi menghindar.
“Lho, kamu ini kenapa, Mas? Kan, aku cuma pengen ngasih burger ke kamu.” Aku mendelik. Merasa semakin patut untuk mencurigai Mas Bayu.
“Kalau aku bilang nggak, ya, nggak!” Dia membentak lagi. Mukanya berang.
Tok! Tok! Suara pintu kamar kami diketuk dari luar. Aku dan Mas Bayu sontak menoleh. Lantas, terdengar suara Lia dari depan sana.
“Mas Bayu! Aku laper! Ayo keluar!”
Aku langsung menatap ke arah Mas Bayu. Muka sengaja kubuat agak cemberut. Pria itu pun kemudian menoleh ke arahku dengan tatapan tak enak hati.
“Ya, sudah. Pergi sana!” kataku acuh tak acuh seraya terus memakan burger.
“Benar, nih?” tanya Mas Bayu berbasa-basi.
“Ya!” jawabku makin ketus.
“Kamu marah, nggak?” Mas Bayu mendekat. Dia lantas mengusap-usap puncak kepalaku.
“Kenapa aku harus marah? Itu, kan, adikmu. Kecuali dia selingkuhanmu, baru aku marah!” sinisku seraya mlengos.
“Ya, sudah. Aku izin keluar sebentar, ya. Ini ada cola, nasi, dan dada spicy. Semuanya kesukaanmu.” Mas Bayu repot-repot mengeluarkan semua makanan dan minuman dari dalam bungkus kertas tadi. Sementara itu, Lia berteriak terus seperti orang kalap yang tak sabaran.
“Mas, dengar aku, nggak?! Ayo, buruan! Aku lapar! Di rumahmu ini nggak ada makanan!”
“Sana, cepat!” kataku seraya mengibas-ngibaskan tangan ke arah Mas Bayu.
Lelaki itu terlihat panik. Buru-buru berlari dan membuka pintu kamar. Maka, terdengarlah omelan Lia yang panjang lebar di luar sana. Entah apa yang perempuan itu ucapkan. Aku tak bisa mendengar jelas sebab daun pintu segera Mas Bayu tutup dari luar.
Ketika suamiku pergi, saat itu jugalah aku berlari ke kamar mandi dalam. Mencolok langit-langit mulutku dan memuntahkan semua burger yang Mas Bayu berikan. Dalam sekejap, semua isi perutku tandas tak bersisa. Allah telah mendengar doaku!
Mas Bayu, kamu pikir, kamu menang? Tidak, Mas! Namun, tenang. Malam ini, silakan habiskan waktumu bersama Lia lagi. Aku tak akan mengganggu, tapi aku akan mengumpulkan bukti.
Semua makanan yang dibeli Mas Bayu termasuk segelas ukuran besar minuman bersoda kumusnahkan ke ke dalam toilet. Burger dan ayam kucabik jadi potongan kecil. Sekepal nasi pun kuawur-awur terlebih dahulu agar berderai dan mudah tenggelam. Untuk minuman bersoda kubuang ke dalam saluran air kamar mandi. Kini, tersisa bungkus dan tulang ayam saja. Sengaja semuanya kembali kumasukan ke dalam paper bag yang Mas Bayu bawa tadi, kemudian kubuang dalam tong sampah dapur. Saat Mas Bayu dan adiknya pergi, aku pun gegas mengemaskan diri. Mandi, bertukar pakaian, dandan yang cantik, kemudian memutuskan untuk keluar rumah dengan menaiki sepeda motor pembelian Mas Bayu. Lihatlah istrimu yang katamu sangat cantik dibanding SPG-SPG seantero mal ini, Mas. Dia mengikhlaskan kamu pergi dengan adikmu dengan menaiki mobil. Sedangkan istrimu harus ikhlas hanya naik motor saja. Benar-benar suami tak berperi kemanusiaan!
Tenang, Ris! Jangan gegabah! Santai saja. Begitulah ucapku dalam hati. Semencekam apa pun pertanyaan Mas Bayu, aku harus menjawabnya dengan sesantai mungkin. “Iya. Kok, tahu?” sahutku dengan nada cuek. Aslinya jantungku seperti mau lepas dari cangkangnya. Sumpah, ini pengalaman paling menegangkan yang pernah kualami seumur hidup! “Kenapa nggak bilang? Kamu emangnya ke mana?” Semakin teraduk-aduk dadaku. Lambungku seketika terasa perih. Saking paniknya, asam lambung serasa mau keluar ke mulut. Ya Allah, bantu aku buat tenang! “Lho, kan, Mas juga keluar. Masa aku nggak boleh keluar, sih?” Bibirku sudah gemetar.
“Sudah. Ini baru sampe. Radarmu kuat juga, Mas?” Aku sengaja menyindir. Agak tergopoh memasukan anak kunci ke dalam lubangnya. Perasaan was-was kini melingkupi. Tuhan … tolong lindungi aku. “Iya, dong. Namanya juga suami-istri. Wajar kalau feelingnya kuat. Hehe.” Tawa Mas Bayu malah membuatku merinding. Napas ini bahkan sampai tersengal saking cemasnya. Sial. Laki-laki ini lihai membuatku sport jantung. Pintu berhasil kubuka. Terdengar derit engsel yang malah semakin membuat bulu kuduk merinding. Andai saja rumah orangtuaku dekat dari sini, aku pasti sudah lari ke mereka. Sayang, tempat tinggal Ayah-Ibu ada di pelosok gunung sana. Jarak tempuhnya hampir 100 kilometer dari sini. Pulang ke sana juga tak memberikan solusi. Yang ada, aku pasti dimarahi sebab kabur-kaburan dari suami yang
“Bercanda, Sayangku! Hahaha kenapa diam? Ya ampun, kamu pasti kaget, ya? Jangan serius-seriuslah, Sayang. I love you, muah!” Tidak. Sedikit pun aku tak merasa bahwa yang barusan itu candaan. Mas Bayu seperti memang sungguhan tengah mengancamku tadi. “Bercandamu tidak lucu!” kataku kesal seraya bangkit dari sofa. “Eh, lucu, dong. Tuh, buktinya kamu kesel. Hehe. Udah dulu ya, Sayang. Kamu mau dibawakan apa nanti pas aku pulang?” “Aku udah kenyang!” kataku menggerutu kesal. Degupan jantung ini masih saja cepat bertalu di dada. Aku harus semakin waspada. Harus! Kalau perlu, akan kulaporkan ke polisi bi
“Oh, jamu, ya? Iya, iya. Jamu.” Suara Mama terdengar seperti orang gelagapan. Instingku kuat mengatakan apabila … beliau tengah berbohong. Apa sih, sebenarnya motif Mama? Apa yang sedang berusaha untuk dia tutup-tutupi? “Mama tahu, kan?” tanyaku memastikan. “Lho, tahu, dong! Masa nggak. Kan, Mama yang belikan untukmu.” Deg! Belikan? Bukannya … Lia bilang bahwa itu Mama yang bikin? “Mama beli di mana?” Terus kukorek informasi dari Mama. Telanjur aku penasaran.&nbs
“Kalau memang perasaan Mas Bayu sebegitu besarnya kepada Lia, mengapa dia harus menikahiku segala?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir. Saking gregetnya, aku meremas ujung sprei hingga terlepas dari ranjang. Ucapan Mama begitu keterlaluan. Wajar bukan, kalau aku melakukan perlawanan? “Pertanyaan macam apa itu?!” bentak Mama tak terima. “Aku hanya membalikkan kata-kata Mama saja.” Aku berucap tenang. Meski sempat luruh air mataku, tapi kurasa aku tak boleh terus-terusan lemah menghadapi keluarga ini. Ya, aku harus berontak! “Dia menikahimu karena dia melas. Karena dia tak tega melihat w
Aku berkuat untuk tak membuka mata. Tetap berpura-pura tidur, apa pun ceritanya. “Sudah dua kali dia begini, Mbak Tika. Semalam dan siang ini. Tidur terus menerus, lalu bangun-bangun sudah marah-marah kepada adikku yang baru datang. Omongannya juga ngelantur. Aku khawatir. Apa yang sebenarnya tengah menyerang Risti.” Terdengar ucap kegelisahan dari suara milik Mas Bayu.Apa dia bilang? Aku ngelantur? Enak saja! Apa maksud Mas Bayu? Ingin membuatku benar-benar terlihat gila di mata orang lain?“Ngelantur bagaimana maksudnya?” Tika yang masih mengelus-elus puncak kepalaku bertanya. Penuh selidik nadanya. Aku benci situasi ini. Seolah-olah diperlakukan seperti orang dengan gangguan mental.“Dia mencurigaiku secara berlebih. Tiba-tiba nyelonong masuk ke kamar. Mencari-cari Mas Bayu seola
POV MAMA INA “Dasar menantu gila! Tidak sopan sekali sama mertua!” Saking emosinya, aku kelepasan berteriak. Kubanting kasar ponsel ke atas ranjang. Sialan sekali istrinya Bayu yang sekarang! Semakin kurang ajar saja sikapnya. Berani-beraninya dia berkata-kata kasar dan sinis pada Lia? Awas saja dia! Nanti akan kubejek-bejek jika ketemu nanti. “Ma, kenapa teriak-teriak, sih?” Mas Anwar tiba-tiba masuk ke kamar tidur kami. Pria yang berpakaian rapi dengan kaus berkerah motif kuda dan celana jins biru itu membuka celah pintuku semakin lebar. Aku yang salah tak mengunci pintu tadinya. Lihat, pria tua itu akhirnya masuk juga, kan! “Oh, maafkan aku, Pa. Ini. Menantumu. Menyebalkan sekali.” Aku bangk