Home / Rumah Tangga / Desahan di Kamar Adikku / Bab 1 dua manusia bejad

Share

Desahan di Kamar Adikku
Desahan di Kamar Adikku
Author: Afi

Bab 1 dua manusia bejad

Author: Afi
last update Last Updated: 2024-02-29 00:55:27

Aku terbangun dengan pening yang luar biasa. Entah, aku tertidur dari jam berapa. Seingatku, selesai makan malam tadi aku langsung ke kamar dan tak ku ingat lagi aktivitas apa yang ku lakukan.

Ku lirik jam dinding yang terpasang pada tembok sisi kiriku, masih jam satu tengah malam rupanya. Tanganku meraba samping kananku, tak ku rasakan apapun disana. Benar saja, saat kepala ini menoleh, memang tidak ada mas Amar yang selalu tidur di sebelahku itu.

Kaki jenjang ku menyentuh lantai keramik, mencari-cari dimana sandal tidur yang pasti selalu ku taruh di bawah ranjang. Setelah menemukannya, aku beranjak pergi ke dapur. Kerongkonganku terasa sangat kering, air minum yang selalu tersedia di dalam kamar ternyata sudah habis.

Krieeet

Krieeet

Krieeet

Seperti tak asing dengan bunyi itu. Mirip seperti bunyi saat aku dan mas Amar sedang bertempur di malam hari. Tapi, suara dari mana itu? Tidak mungkin dari rumh tetangga yang berjarak di samping rumah ini.

"Nghhh... M-mas."

Astaga, suara apa itu? Sepertinya berasal dri kamar Ayu, adikku.

"Ssshhh, aku ham-pir sampai, M-mas."

"Tahan sebentar, ya. Kita keluar bersama."

Tanganku refleks menutup mulut. Meskipun tak terlalu keras, tapi aku sangat mengenali suara itu. Suara lelaki yang sudah menikahiku selama lima tahu. Tapi, apakah mungkin?

"Nnnghhh ...."

"Aaahh, leganya. Kamu hebat, Sayang. Lebih hebat dari pada kakakmu."

DEGH

Aku tidak bisa terus menguping pembicaraan laknat di dalam sana. Aku berniat menendang pintu berwarna coklat itu dengan tendangan mautku. Meski saat ini aku sudah tidak pernah berlatih, tapi aku masih ingat teknik-teknik dapam bermain silat karena semasa SMP hingga SMA aku adalah atlet pencak silat.

Sudah ku kerahkan seluruh tenaga dalamku, tapi, nyatanya pintu itu terbuka dengan sangat mudahnya. Rupanya mereka tidak mengunci pintu kamar yang mereka gunakan untuk berbuat maksiat

Keduanya menoleh ke arahku yang menahan amarah hingga wajahku merah padam. Kedua manusia bejat yang masih berpelukan dengan pusaka suamiku masih tertanam pada liang kenikmatan adikku itu terlihat kaget dan buru-buru melepas tautannya.

"S-Salma?"

Tak peduli dengan mas Amar yang masih bertubuh polos karena pakaiannya berserakan di lantai dan ia kesulitan memungutnya, aku langsung memberinya bogem mentah tepat mengenai rahang kirinya.

"Mas Amar! Mbak Salma apa-apaan, sih?"

Ayu yang sudah mengenakan kaos dan celana pendeknya segera mendekati mas Amar yang tengah terduduk di lantai dengan tangan yang memegangi rahangnya. Mungkin saja rahangnya bergeser, aku tidak peduli.

"Kenapa? Kamu mau juga mendapatkan apa yang lelaki bejat ini dapat?"

Tanganku sudah melayang hendak memberi pelajaran pada Ayu, tapi mas Amar justru mendorong perutku hingga aku mundur dan nyaria terjengkang.

"Cukup aku saja, Salma. Jangan sakiti Ayu," ucapnya memelas. Aku geram setengah mati. Di saat seperti ini, ia masih bisa membela Ayu yang jelas-jelas sama salahnya dengan dia.

"Kamu melarang aku menyakitinya, tapi kamu sudah menyakitiku, Mas. Lihat! Jika saja aku tidak berpegangan, aku yang akan terjatuh atau bahkan membentur tembok."

"Tapi kamu tidak hamil seperti Ayu!" sentaknya membuat aku terdiam. Kakiku lemas rasanya. Apa yang baru saja ku dengar itu sungguhan?

"Katakan sekali lagi, Mas. Katakan sekali lagi jika kamu ingin rumah tangga kita berakhir sampai disini!"

Aku tak kalah emosi, nada suaraku bahkan naik beberapa oktaf. Mas Amar terlihat mengusap wajahnya kasar. Sedangkan Ayu, dari ekor mataku, aku bisa melihat dia menyeringai. Apa maksudnya itu?

"Maafkan aku, Salma. Tapi, Ayu memang sedang mengandung anakku."

***

Mentari pagi sudah menyingsing, jam 06.15 dan aku sudah rapi dengan koper besar yang ku seret di belakang. Hari ini aku mau pergi ke rumah ibu. Aku tidak tahu lagi pada siapa aku harus mengadu selain pada Allah. Jika saja yang menjadi selingkuhan mas Amar adalah orang lain, mungkin tak akan sesakit ini rasanya. Tapi Ayu, adik yang sudah ku tampung di rumahku setahun terakhir selama dia menempuh pendidikannya di kota ini.

Awalnya aku sudah menolak saat ibu mengatakan bahwa aku harus menerima Ayu untuk tinggal bersamaku dan mas Amar. Aku tidak ingin menutup mata, banyak kejadian dimana seorang ipar akan menjadi maut dalam rumah tangga saudaranya. Bukan berarti aku tidak percaya dengan adikku sendiri. Tapi, yang namanya bisikan setan bisa menghampiri siapa saja.

Akhirnya, aku terpaksa menerima kehadiran Ayu di tengah-tengah keluarga kecilku. Ibu bilang, jika Ayu ngekos, itu akan memakan banyak biaya dan ibu yang seorang janda cukup terbebani dengan hal itu. Padahal, aku sudah memberi jatah bulanan pada ibu, juga sebuah toko sembako kecil-kecilan yang aku modali di rumah tentu akan cukup untuk biaya pendidikan sekaligus biaya hidup Ayu di luar kota. Tentu saja jika gaya hidup Ayu biasa-biasa saja.

Kalau begini, aku menjadi yang paling terbebani. Memberi jatah ibu dan menanggung biaya hidup Ayu serta suamiku. Ya, meski mas Amar sudah bekerja, tapi seluruh kebutuhan rumah tangga diambil dari uangku. Gaji mas Amar sendiri aku tidak tahu berapa jumlahnya. Ia bilang kalau gajinya kecil dan hanya cukup untuk membantu biaya hidup ibu dan adiknya yang masih duduk di bangku SMA.

"Salma, kamu mau kemana?"

Mas Amar menahan lenganku dan ia terkejut saat ku sentak dengan cukup kuat tanganku hingga cengkeramannya terlepas.

"Aku mau pulang ke rumah ibu. Aku mau bilang, bagaimana kelakuan anak kesayangannya itu disini. Dan aku akan segera mengurus perceraian kita."

Suaraku sengaja ku keraskan saat melihat Ayu mengintip dari ruang tamu. Posisiku kini sedang berada di depan teras, tepat saat aku hendak memasukkan koperku ke dalam mobil.

"Salma, tolong jangan begini. Kita bicarakn ini semua baik-baik, ya. Ayu itu adikmu."

"Justru itu, Mas. Justru karena Ayu adalah adikku. Rasa sakit ini justru berlipat-lipat. Aku tidk menyangka, dia tega melakukan ini pada kakaknya sendiri."

"Tapi kamu bukan kakakku, Mbak," ucap Ayu tiba-tiba yang kini sudah berdiri di belakang mas Amar.

Aku benar-benar jijik melihat kedua manusia di depanku itu. Terbayang saat kedua kemaluan mereka masih saling bertaut. Mendadak tubuhku terasa gatal karena rasa jijik yang amat sangat. Sudah berapa lama mereka berhubungan hingga Ayu sekarang tengah hamil. Benda pusaka yang pernah ku kagumi keperkasaannya rupanya bukan hanya aku yang menikmati.

"Apa maksud kamu, Ayu? Kamu boleh merebut suamiku, tapi kamu jangan tutup mata jika aku ini memang saudaramu. Meski aku juga saat ini sudah malu mengakuimu sebagai adikku."

"Pergi saja ke rumah ibu jika Mbak Salma ingin tahu yang sebenarnya. Satu pesanku, Mbak, jangan kaget apalagi sampai serangan jantung kalau sudah tahu kebenarannya."

Mataku mendelik menatap wajah cantik yang mirip dengan ibu itu. Entahlah, aku merasa Ayu sangat berbeda denganku. Dari segi watak dan juga wajah.

"Ayu, jangan buat suasana semakin panas," lirih mas Amar dengan suara yang amat lembut.

"Biarin, Mas. Biar semuanya jelas. Biar kita cepat-cepat bisa bersatu tanpa ada penghalang."

Tak ku pedulikan mas Amar yang terus memanggil namaku. Mobil segera ku starter dan mulai meninggalkan pekarangan rumah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Desahan di Kamar Adikku   Bab 82 Ungkapan Cinga

    Salma terus meremat tangannya sendiri saat ia menunggu hasil dari pemeriksaan dokter terhadap Rega di dalam sana. Salma sangat khawatir saat tadi ia mendapati Rega pingsan di dalam mobil.Seketika ia berteriak meminta tolong pada beberapa warga yang kebetulan lewat. Karena semua pintu mobil sudah terkunci dari dalam, Salma terpaksa meminta para warga untuk memecahkan kaca jendela. Biar, nanti ia yang akan menanggung semua kerusakannya."Gimana, Dok? Apa keadaannya parah?" tanya Salma saat seorang dokter keluar dari bilik tempat Rega ditangani."Kami harus memastikannya lebih dulu. Untuk itu, dokter Rega akan dirawat di rumah sakit ini untuk beberapa hari ke depan. Benturan di kepalanya sepertinya cukup keras hingga dia kehilangan cukup banyak darah. Beruntung stok darah yang dibutuhkan saat ini sedang tersedia. Dia juga akan menjalani beberapa pemeriksaan untuk mengetahui apakah benturan itu membuatnya mengalami luka dalam."Penjelasan dari dokter

  • Desahan di Kamar Adikku   Bab 81 Ada apa dengan rega

    Salma memutuskan untuk pulang dan menunda menjual mobilnya. Suasana hatinya sedang tak baik. Rega yang merasa khawatir akhirnya memaksa Salma untuk ikut bersama mobilnya. Ia menyuruh sopir pribadi sang mama untuk mengambil mobil Salma dan mengantarnya ke rumah Salma."Kamu yakin gak apa-apa?" tanya Rega lagi saat melihat Salma tengah memijat pelipisnya."Gak apa-apa, Mas," jawab Salma datar. Ia hanya ingin segera sampai di rumah.Tak sampai seperempat jam, mobil Rega sudah memasuki area pekarangan rumah Salma. Salma buru-buru membuka pintu. Begitu pula dengan Rega yang buru-buru keluar karena ingin membukakan pintu untuk Salma."Salma!" pekik Rega saat Salma nyaris ambruk ketika turun dari mobil.Kesadarannya masih ada dan Rega hanya memapahnya menuju ke dalam rumah. Rega mendudukkan Salma pada sofa panjang di ruang tamunya."Bentar, ya. Aku mau ambil peralatan dulu di mobil.Salma hanya mengangguk. Kepalanya tiba-tiba p

  • Desahan di Kamar Adikku   Bab 80 Perdebatan Antar Saudara

    Suara Maya yang menggelegar mengundang atensi para pengunjung yang ada di dalam showroom tersebut. Haris kelabakan saat melihat kakaknya membuat keributan di tempatnya."Mbak Maya, jangan bikin ribut disini, Mbak!" tegur Haris yang merasa tak enak dengan para pengunjung.Maya menyentak tangan Haris yang berusaha menenangkannya. Ia menatap Haris dan Salma bergantian. Salma sendiri masih terdiam. Bingung harus menanggapi Maya seperti apa."Kamu mau bela dia, Ris? Kamu mau bela orang yang mau manfaatin mama?""Gak ada yang mau belas siapapun, Mbak. Aku cuma gak mau Mbak Maya dilihatin banyak orang kaya gini. Malu, mbak!"Maya baru sadar dengan apa yang ia lakukan. Setelahnya, ia menatap bengis ke arah Salma."Kamu, ayo ikut aku masuk ke ruangan Haris. Ada yang ingin aku bicarakan!" tukas Maya seraya meninggalkan Salma dan Haris yang masih mematung di tempat."Maya?" Maya menghentikan langkahnya saat Rega yang memang mengena

  • Desahan di Kamar Adikku   Bab 79 jual beli mobil

    "Pokoknya aku gak mau tahu ya, Mas. Ganti uang itu!" bentak Ayu pada Amar yang kini sudah kembali masuk ke dalam rumah."Berisik banget sih, Yu! Uang yang kita pinjam dari bos Danu juga dipake buat nebus kamu ke temen kamu terus sisanya buat kamu belanja-belanja. Ya udah seharusnya kalau kamu punya uang kamu yang bayar utangnya."Ayu masih tetap tidak terima. Padahal, rencananya uang itu akan ia gunakan untuk membeli barang-barang pribadi miliknya."Dasar suami kere, gak guna! Nyesel aku mau jadi selingkuhanmu!" bentak Ayu tepat di depan wajah Amar.Ayu terkejut saat Amar melempar tatapam tajam ke arahnya. Kilat marah terlihat jelas di kedua bola mata sekelam malam tersebut. Amar mengayunkan langkah perlahan menuju ke arah Ayu.Tiba-tiba saja Ayu merinding. Belum pernah ia mendapati Amat menatapnya sedemikian tajam. Suara gemeretak dari tulang jemari Amar ketika ia mengepalkan tangan membuat Ayu bergerak mundur karena merasa terancam.

  • Desahan di Kamar Adikku   Bab 78 Penolakan Maya

    Maya tertawa hingga mengundang raut wajah kebingungan dari bu Anis."Mama ini lagi becanda, ya? Gak lucu tahu, Ma. Adik Maya, kan, cuma Haris," ucap Maya masih dengan tawa yang menguar dari bibirnya."Mungkin kamu tidak ingat, May. Karena memang sedari Mama melahirkan dia, dia sama sekali tak pernah bertemu denganmu. Kamu masih berumur tiga tahun, jelas saja jika kamu tidak ingat bahwa pernah menantikan kehadirannya."Bu Anis berucap dengan raut wajah serius. Maya menatap lekat manik sang mama. Jelas tidak ada kebohongan disana. Hal itu pun membuat Maya seketika terdiam. Entah kenapa, ia tak bisa menerima hal itu jika memang yang dikatakan oleh mamanya adalah sebuah kebenaran."Enggak! Mama pasti bohong. Adik aku cuma Haris, Ma! Cuma Haris!"Maya bangkit dari duduknya lalu beranjak menuju kamarnya. Pintunya sedikit dibanting saat ia menutupnya. Bu Anis maklum dengan sikap yang ditunjukkan oleh Maya.Sama halnya dengan Salma, Maya

  • Desahan di Kamar Adikku   Bab 77 Rumah Mewah

    Bu Asih berdiri, menatap kesal ke arah Salma yang menurutnya sangat tidak sopan. Sesekali melirik amplop cokelat yang terlihat tebal itu. Tentu ia tertarik, tapi melihat cara Salma, ia menjadi sebal."Kamu punya sopan santun gak sih, Sal? Udah dididik malah kurang ajar!""Maaf, Bu. Aku juga gak akan gini kalau Ibu gak memulainya. Aku sudah tahu semuanya, tentang siapa ibu kandungku. Meski saat ini aku belum bisa menerima sepenuhnya kenyataan yang ada, tapi aku tidak akan membiarkan jika Ibu atau Ayu ingin menghasutku, mengatakan hal yang tidak-tidak tentang bu Anis apalagi sampai Ibumemerasnya."Mata bu Asih membola, bagaimana bisa Salma mengetahui rencananya itu. Ia tahu Salma telah berubah. Anak itu tidak akan main-main dengan ucapannya."Kamu ngomong apa sih, Sal? Jangan ngaco kamu! Aku tidak ingin menghasut siapa-siapa. Aku hanya ingin kamu tahu jika ibu kandungmu itu tak lebih baik dari aku. Dia yang sudah memberikanmu padaku. Dan j

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status