Share

Desahan di Kamar Adikku
Desahan di Kamar Adikku
Penulis: Afi

Bab 1 dua manusia bejad

Aku terbangun dengan pening yang luar biasa. Entah, aku tertidur dari jam berapa. Seingatku, selesai makan malam tadi aku langsung ke kamar dan tak ku ingat lagi aktivitas apa yang ku lakukan.

Ku lirik jam dinding yang terpasang pada tembok sisi kiriku, masih jam satu tengah malam rupanya. Tanganku meraba samping kananku, tak ku rasakan apapun disana. Benar saja, saat kepala ini menoleh, memang tidak ada mas Amar yang selalu tidur di sebelahku itu.

Kaki jenjang ku menyentuh lantai keramik, mencari-cari dimana sandal tidur yang pasti selalu ku taruh di bawah ranjang. Setelah menemukannya, aku beranjak pergi ke dapur. Kerongkonganku terasa sangat kering, air minum yang selalu tersedia di dalam kamar ternyata sudah habis.

Krieeet

Krieeet

Krieeet

Seperti tak asing dengan bunyi itu. Mirip seperti bunyi saat aku dan mas Amar sedang bertempur di malam hari. Tapi, suara dari mana itu? Tidak mungkin dari rumh tetangga yang berjarak di samping rumah ini.

"Nghhh... M-mas."

Astaga, suara apa itu? Sepertinya berasal dri kamar Ayu, adikku.

"Ssshhh, aku ham-pir sampai, M-mas."

"Tahan sebentar, ya. Kita keluar bersama."

Tanganku refleks menutup mulut. Meskipun tak terlalu keras, tapi aku sangat mengenali suara itu. Suara lelaki yang sudah menikahiku selama lima tahu. Tapi, apakah mungkin?

"Nnnghhh ...."

"Aaahh, leganya. Kamu hebat, Sayang. Lebih hebat dari pada kakakmu."

DEGH

Aku tidak bisa terus menguping pembicaraan laknat di dalam sana. Aku berniat menendang pintu berwarna coklat itu dengan tendangan mautku. Meski saat ini aku sudah tidak pernah berlatih, tapi aku masih ingat teknik-teknik dapam bermain silat karena semasa SMP hingga SMA aku adalah atlet pencak silat.

Sudah ku kerahkan seluruh tenaga dalamku, tapi, nyatanya pintu itu terbuka dengan sangat mudahnya. Rupanya mereka tidak mengunci pintu kamar yang mereka gunakan untuk berbuat maksiat

Keduanya menoleh ke arahku yang menahan amarah hingga wajahku merah padam. Kedua manusia bejat yang masih berpelukan dengan pusaka suamiku masih tertanam pada liang kenikmatan adikku itu terlihat kaget dan buru-buru melepas tautannya.

"S-Salma?"

Tak peduli dengan mas Amar yang masih bertubuh polos karena pakaiannya berserakan di lantai dan ia kesulitan memungutnya, aku langsung memberinya bogem mentah tepat mengenai rahang kirinya.

"Mas Amar! Mbak Salma apa-apaan, sih?"

Ayu yang sudah mengenakan kaos dan celana pendeknya segera mendekati mas Amar yang tengah terduduk di lantai dengan tangan yang memegangi rahangnya. Mungkin saja rahangnya bergeser, aku tidak peduli.

"Kenapa? Kamu mau juga mendapatkan apa yang lelaki bejat ini dapat?"

Tanganku sudah melayang hendak memberi pelajaran pada Ayu, tapi mas Amar justru mendorong perutku hingga aku mundur dan nyaria terjengkang.

"Cukup aku saja, Salma. Jangan sakiti Ayu," ucapnya memelas. Aku geram setengah mati. Di saat seperti ini, ia masih bisa membela Ayu yang jelas-jelas sama salahnya dengan dia.

"Kamu melarang aku menyakitinya, tapi kamu sudah menyakitiku, Mas. Lihat! Jika saja aku tidak berpegangan, aku yang akan terjatuh atau bahkan membentur tembok."

"Tapi kamu tidak hamil seperti Ayu!" sentaknya membuat aku terdiam. Kakiku lemas rasanya. Apa yang baru saja ku dengar itu sungguhan?

"Katakan sekali lagi, Mas. Katakan sekali lagi jika kamu ingin rumah tangga kita berakhir sampai disini!"

Aku tak kalah emosi, nada suaraku bahkan naik beberapa oktaf. Mas Amar terlihat mengusap wajahnya kasar. Sedangkan Ayu, dari ekor mataku, aku bisa melihat dia menyeringai. Apa maksudnya itu?

"Maafkan aku, Salma. Tapi, Ayu memang sedang mengandung anakku."

***

Mentari pagi sudah menyingsing, jam 06.15 dan aku sudah rapi dengan koper besar yang ku seret di belakang. Hari ini aku mau pergi ke rumah ibu. Aku tidak tahu lagi pada siapa aku harus mengadu selain pada Allah. Jika saja yang menjadi selingkuhan mas Amar adalah orang lain, mungkin tak akan sesakit ini rasanya. Tapi Ayu, adik yang sudah ku tampung di rumahku setahun terakhir selama dia menempuh pendidikannya di kota ini.

Awalnya aku sudah menolak saat ibu mengatakan bahwa aku harus menerima Ayu untuk tinggal bersamaku dan mas Amar. Aku tidak ingin menutup mata, banyak kejadian dimana seorang ipar akan menjadi maut dalam rumah tangga saudaranya. Bukan berarti aku tidak percaya dengan adikku sendiri. Tapi, yang namanya bisikan setan bisa menghampiri siapa saja.

Akhirnya, aku terpaksa menerima kehadiran Ayu di tengah-tengah keluarga kecilku. Ibu bilang, jika Ayu ngekos, itu akan memakan banyak biaya dan ibu yang seorang janda cukup terbebani dengan hal itu. Padahal, aku sudah memberi jatah bulanan pada ibu, juga sebuah toko sembako kecil-kecilan yang aku modali di rumah tentu akan cukup untuk biaya pendidikan sekaligus biaya hidup Ayu di luar kota. Tentu saja jika gaya hidup Ayu biasa-biasa saja.

Kalau begini, aku menjadi yang paling terbebani. Memberi jatah ibu dan menanggung biaya hidup Ayu serta suamiku. Ya, meski mas Amar sudah bekerja, tapi seluruh kebutuhan rumah tangga diambil dari uangku. Gaji mas Amar sendiri aku tidak tahu berapa jumlahnya. Ia bilang kalau gajinya kecil dan hanya cukup untuk membantu biaya hidup ibu dan adiknya yang masih duduk di bangku SMA.

"Salma, kamu mau kemana?"

Mas Amar menahan lenganku dan ia terkejut saat ku sentak dengan cukup kuat tanganku hingga cengkeramannya terlepas.

"Aku mau pulang ke rumah ibu. Aku mau bilang, bagaimana kelakuan anak kesayangannya itu disini. Dan aku akan segera mengurus perceraian kita."

Suaraku sengaja ku keraskan saat melihat Ayu mengintip dari ruang tamu. Posisiku kini sedang berada di depan teras, tepat saat aku hendak memasukkan koperku ke dalam mobil.

"Salma, tolong jangan begini. Kita bicarakn ini semua baik-baik, ya. Ayu itu adikmu."

"Justru itu, Mas. Justru karena Ayu adalah adikku. Rasa sakit ini justru berlipat-lipat. Aku tidk menyangka, dia tega melakukan ini pada kakaknya sendiri."

"Tapi kamu bukan kakakku, Mbak," ucap Ayu tiba-tiba yang kini sudah berdiri di belakang mas Amar.

Aku benar-benar jijik melihat kedua manusia di depanku itu. Terbayang saat kedua kemaluan mereka masih saling bertaut. Mendadak tubuhku terasa gatal karena rasa jijik yang amat sangat. Sudah berapa lama mereka berhubungan hingga Ayu sekarang tengah hamil. Benda pusaka yang pernah ku kagumi keperkasaannya rupanya bukan hanya aku yang menikmati.

"Apa maksud kamu, Ayu? Kamu boleh merebut suamiku, tapi kamu jangan tutup mata jika aku ini memang saudaramu. Meski aku juga saat ini sudah malu mengakuimu sebagai adikku."

"Pergi saja ke rumah ibu jika Mbak Salma ingin tahu yang sebenarnya. Satu pesanku, Mbak, jangan kaget apalagi sampai serangan jantung kalau sudah tahu kebenarannya."

Mataku mendelik menatap wajah cantik yang mirip dengan ibu itu. Entahlah, aku merasa Ayu sangat berbeda denganku. Dari segi watak dan juga wajah.

"Ayu, jangan buat suasana semakin panas," lirih mas Amar dengan suara yang amat lembut.

"Biarin, Mas. Biar semuanya jelas. Biar kita cepat-cepat bisa bersatu tanpa ada penghalang."

Tak ku pedulikan mas Amar yang terus memanggil namaku. Mobil segera ku starter dan mulai meninggalkan pekarangan rumah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status