Share

Bab 2 Hamil ??

"Assalamualaikum, Bu, Salma pulang."

"Waalaikumsalam," jawab ibu yang masih belum kelihatan wujudnya. Sepertinya ibu sedang ada di belakang.

"Salma, kok, kesini gak bilang-bilang dulu."

Tanpa menjawab ucapannya, aku langsung menubruk tubuh ibu. Aku menangis sejadi-jadinya dalam pelukan wanita paruh baya itu. Tangan ibu terasa membelai punggungku.

"Kamu pulang-pulang, kok, nangis? Mana lagi si Amar? Ayu juga gak ikut?"

Mendengar nama mereka, tangisku semakin pecah. Cukup lama aku menangis, mungkin sekitar lima belas menit hingga kakiku rasanya pegal dan mungkin ibu juga merasakan hal yang sama. Ia memapahku untuk duduk di atas sofa.

"Cerita dulu, kamu itu kenapa? Datang-datang nangis, Ibu, kan nggak ngerti ."

"Bu, Ayu dan mas Amar, Bu,"

Aku masih belum bisa melanjutkan kalimatku. Rasanya entah kenapa semakin bertambah sakit. Di depan mas Amar aku bisa mengendalikan diri agar tidak menangis. Tapi disini, aku justru menumpahkan segala kekesalanku dalam bentuk tangisan yang tak kunjung reda.

"Kenapa sama adikmu? Dia baik-baik saja, kan? Gak ada masalah sama kandungannya?"

Tunggu! Apa yang baru saja ibu katakan? Tangisku reda seketika. Kini, aku semakin yakin jika aku tak salah dengar. Ibu yang terlihat salah tingkah itu semakin membuatku curiga.

"Ibu bilang apa barusan? Kandungan? Jadi, Ibu tahu kalau Ayu hamil anak mas Amar?!"

Suaraku sedikit meninggi. Ibu masih belum menjawab, kedua tangannya saling meremas. Ibu terlihat sangat gugup karena sudah keceplosan.

"Jawab, Bu. Apa Ibu sudah tahu kalau mas Amar dan Ayu ada hubungan di belakangku?"

"Iya, Mbak. Ibu sudah tahu dan merestui hubungan kami."

Aku menoleh ke arah pintu yang memang terbuka lebar. Ayu dan mas Amar rupanya menyusul kemari, mungkin naik motor karena mobil sudah ku pakai.

"Apa maksudnya ini, Bu?"

Ibu terlihat menghela napas panjang. Ditatapnya mataku yang kini masih terhalang selaput bening air mata. Ibu memang selalu lebih mendahulukan Ayu dibandingkan aku. Aku harus selalu mengalah untuk adikku itu. Sejak kecil dan hingga kini. Apa ibu juga berniat menyuruhku untuk memberikan suamiku untuk Ayu, seperti aku yang harus memberikan mainan apapun yang dimintai Ayu dariku.

"Salma, Ayu sudah terlanjur mengandung anaknya Amar. Awalnya Ibu juga tidak setuju, tapi, jika Amar tidk bertanggung jawab, lalu siapa yang akan bertanggung jawab atas bayi dalam kandungan Ayu?"

Aku menggeleng tak percaya. Dengan mudahnya ibu berkata seperti itu. Aku daj Ayu sama-sama anaknya. Lalu, kenapa ibu selalu lebih memihak Ayu.

"Aku benar-benar kecewa sama Ibu," lirihku kehilangan kata-kata.

"Tapi kamu tenang saja, Salma. Amar tidak akan menceraikan kamu. Amar bisa menikahi Ayu secara sah jika kamu merestui hubungan mereka."

Apa aku tidak salah dengar? Aku ibu sudah kurang waras? Apa maksudnya, ibu ingin mas Amar berpoligami dan menjadikan Ayu sebagai adik maduku?

"Bu, Ayu itu adikku. Mas Amar tidak bisa menikahi kami berdua sekaligus."

"Bisa, Salma," jawab Ibu cepat. Lagi-lagi wanita paruh baya itu mengambil

napas panjang dan menghembuskannya.

"Kamu dan Ayu bukanlah saudara kandung. Ayu halal untuk Amar nikahi."

Fakta apa lagi ini Ya Allah. Mendengarnya membuatku tiba-tiba lemas, dunia sekitar rasanya tengah berputar hingga kemudian gelap menghampiri. Aku tak ingat apa-apa lagi.

Bau obat-obatan ini menusuk penciumanku hingga ku paksa mata ini untuk terbuka. Aku cukup asing dengan ruangan ini. Sebuah gorden membentang di sisi kiriku. Sedangkan, sisi kanan, bed yang ku tiduri ini sudah menempel pada tembok dengan banyak poster-poster tentang kesehatan reproduksi wanita.

Lagi-lagi aku memaksa tubuh ini untuk bangkit, masih sedikit pusing hingga harus ku pegangi kepala ini agar tidak terasa makin berputar.

"Kok, lama sekali ya, Bu Bidan sadarnya? Sudah hampir setengah jam lho istri saya pingsan."

Itu suara mas Amar. Mendengar ucapannya tadi aku jadi sadar kalau sekarang aku sedang ada di tempat praktek seorang bidan.

"Cuma pingsan karena kaget itu, Mas. Udahlah, kamu gak usah lebay begitu. Bentar lagi juga bangun. Iya, kan, Bu Bidan?"

Yang itu suara Ayu. Rupanya dia juga ikut kesini. Tapi ku yakin, dia bukannya khawatir padaku jika dilihat dari caranya menanggapi ucapan mas Amar. Mungkin dia tak rela mas Amar mengantarku kemari seorang diri.

Gorden ku singkap hingga menimbulkan bunyi gesekan yang cukup keras. Ketiga orang di balik gorden itu menoleh ke arahku. Tatapan tak suka Ayu berikan padaku. Kenapa? Bukankah seharusnya aku yang menatapnya demikian.

"Alhamdulillah Mbak Salma sudah siuman," ucap bidan tersebut yang ternyata adalah bidan di desaku. Namanya bidan Siska.

Dia beranjak dari duduknya, aku

kembali dipersilahkan untuk berbaring agar dia bisa memeriksaku untuk memastikan semuanya.

"Saya kenapa, Bu Bidan? Tadi saya pingsan, ya?"

"Iya, Mbak. Tadi Mbak Salma pingsan kata suaminya. Terus beliau buru-buru bawa Mbak Salma kemari. So sweet sekali lho Mbak, suaminya. Mbak Salma digendong ala-ala pengantin."

Aku melengos mendengarnya. So sweet dari mana jika ia juga ikut andil dalam menurunnya kondisiku saat ini. Saat selesai diperiksa, tiba-tiba mas Amar sudah berdiri di belakang bidan Siska. Wajahnya tampak sekali khawatir tapi aku sudah tidak peduli.Pokoknya, setelah ini aku akan minta cerai darinya.

"Gimana Bu Bidan? Dari tadi saya tanya Bu Bidan kok belum ada jawaban. Saya ini khawatir, Iho sama istri saya."

Belum juga bidan Siska menjawab, tangan mas Amar sudah ditarik untuk menjauh oleh Ayu. Aku tahu pasti dia pelakunya karena tidak ada orang lain lagi selain dia di ruangan itu.

"Udah, sih, Mas. Sini aja, biarin diperiksa bidannya. Paling juga cuma kaget terus pingsan. Mbak Salma, kan, orangnya letoy."

Geram sekali aku mendengar omongan Ayu. Dia adikku, tapi sama sekali tak ada rasa simpatinya padaku. Ucapannya memang tak sepenuhnya salah. Aku memang sering sakit-sakitan. Tapi, aku tidak pernah merepotkan siapapun. Biasanya aku akan pergi ke dokter sendiri. Untuk makan pun aku tetap menyiapkan sendiri. Bahkan, saat dia menumpang di rumahku, tak ada sedikitpun dalam hatinya yang tergerak untuk membantu pekerjaanku.

"Karena Mbak Salma sudah sadar, saya akan jelaskan kenapa kondisi Mbak Salma tiba-tiba drop."

Aku masih duduk di atas bed, tapi gorden pembatas di antara ruang periksa dan meja bu bidan dibuka. Jadi aku bisa mendengarnya dengan jelas.

"Selamat ya, Mbak Salma dan suami, Mbak Salma saat ini sedang mengandung."

Mataku terbelalak mendengar hal itu. Pun sama dengan mas Amar dan Ayu. Mereka berdua bahkan melongo dengan mulut yang terbuka.

"Bu Bidan tidak salah mendiagnosa?" tanyaku masih tak percaya.

Aku memang sudah telat haid selama tiga bulan ini. Tapi, hal itu sudah lumrah terjadi. Aku memang mengalami masalah hormon sehingga menstruasiku sering tidak normal. Hal itu juga yang membuatku susah hamil. Sudah melakukan berbagai pengobatan dari yang medis hingga yang alami.

"Agar lebih yakin, Mbak Salma bisa melakukan tespack. Mari ikut saya."

Aku mengekori bidan Siska ke bagian belakang ruangan praktek ini. Jantungku berdebar tak karuan. Ada rasa senang dan sesal jika saja aku benar sedang mengandung anak mas Amar.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Leni Novianti
seru uuuuuuiu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status