Share

Bab 2 Hamil ??

Penulis: Afi
last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-29 01:00:50

"Assalamualaikum, Bu, Salma pulang."

"Waalaikumsalam," jawab ibu yang masih belum kelihatan wujudnya. Sepertinya ibu sedang ada di belakang.

"Salma, kok, kesini gak bilang-bilang dulu."

Tanpa menjawab ucapannya, aku langsung menubruk tubuh ibu. Aku menangis sejadi-jadinya dalam pelukan wanita paruh baya itu. Tangan ibu terasa membelai punggungku.

"Kamu pulang-pulang, kok, nangis? Mana lagi si Amar? Ayu juga gak ikut?"

Mendengar nama mereka, tangisku semakin pecah. Cukup lama aku menangis, mungkin sekitar lima belas menit hingga kakiku rasanya pegal dan mungkin ibu juga merasakan hal yang sama. Ia memapahku untuk duduk di atas sofa.

"Cerita dulu, kamu itu kenapa? Datang-datang nangis, Ibu, kan nggak ngerti ."

"Bu, Ayu dan mas Amar, Bu,"

Aku masih belum bisa melanjutkan kalimatku. Rasanya entah kenapa semakin bertambah sakit. Di depan mas Amar aku bisa mengendalikan diri agar tidak menangis. Tapi disini, aku justru menumpahkan segala kekesalanku dalam bentuk tangisan yang tak kunjung reda.

"Kenapa sama adikmu? Dia baik-baik saja, kan? Gak ada masalah sama kandungannya?"

Tunggu! Apa yang baru saja ibu katakan? Tangisku reda seketika. Kini, aku semakin yakin jika aku tak salah dengar. Ibu yang terlihat salah tingkah itu semakin membuatku curiga.

"Ibu bilang apa barusan? Kandungan? Jadi, Ibu tahu kalau Ayu hamil anak mas Amar?!"

Suaraku sedikit meninggi. Ibu masih belum menjawab, kedua tangannya saling meremas. Ibu terlihat sangat gugup karena sudah keceplosan.

"Jawab, Bu. Apa Ibu sudah tahu kalau mas Amar dan Ayu ada hubungan di belakangku?"

"Iya, Mbak. Ibu sudah tahu dan merestui hubungan kami."

Aku menoleh ke arah pintu yang memang terbuka lebar. Ayu dan mas Amar rupanya menyusul kemari, mungkin naik motor karena mobil sudah ku pakai.

"Apa maksudnya ini, Bu?"

Ibu terlihat menghela napas panjang. Ditatapnya mataku yang kini masih terhalang selaput bening air mata. Ibu memang selalu lebih mendahulukan Ayu dibandingkan aku. Aku harus selalu mengalah untuk adikku itu. Sejak kecil dan hingga kini. Apa ibu juga berniat menyuruhku untuk memberikan suamiku untuk Ayu, seperti aku yang harus memberikan mainan apapun yang dimintai Ayu dariku.

"Salma, Ayu sudah terlanjur mengandung anaknya Amar. Awalnya Ibu juga tidak setuju, tapi, jika Amar tidk bertanggung jawab, lalu siapa yang akan bertanggung jawab atas bayi dalam kandungan Ayu?"

Aku menggeleng tak percaya. Dengan mudahnya ibu berkata seperti itu. Aku daj Ayu sama-sama anaknya. Lalu, kenapa ibu selalu lebih memihak Ayu.

"Aku benar-benar kecewa sama Ibu," lirihku kehilangan kata-kata.

"Tapi kamu tenang saja, Salma. Amar tidak akan menceraikan kamu. Amar bisa menikahi Ayu secara sah jika kamu merestui hubungan mereka."

Apa aku tidak salah dengar? Aku ibu sudah kurang waras? Apa maksudnya, ibu ingin mas Amar berpoligami dan menjadikan Ayu sebagai adik maduku?

"Bu, Ayu itu adikku. Mas Amar tidak bisa menikahi kami berdua sekaligus."

"Bisa, Salma," jawab Ibu cepat. Lagi-lagi wanita paruh baya itu mengambil

napas panjang dan menghembuskannya.

"Kamu dan Ayu bukanlah saudara kandung. Ayu halal untuk Amar nikahi."

Fakta apa lagi ini Ya Allah. Mendengarnya membuatku tiba-tiba lemas, dunia sekitar rasanya tengah berputar hingga kemudian gelap menghampiri. Aku tak ingat apa-apa lagi.

Bau obat-obatan ini menusuk penciumanku hingga ku paksa mata ini untuk terbuka. Aku cukup asing dengan ruangan ini. Sebuah gorden membentang di sisi kiriku. Sedangkan, sisi kanan, bed yang ku tiduri ini sudah menempel pada tembok dengan banyak poster-poster tentang kesehatan reproduksi wanita.

Lagi-lagi aku memaksa tubuh ini untuk bangkit, masih sedikit pusing hingga harus ku pegangi kepala ini agar tidak terasa makin berputar.

"Kok, lama sekali ya, Bu Bidan sadarnya? Sudah hampir setengah jam lho istri saya pingsan."

Itu suara mas Amar. Mendengar ucapannya tadi aku jadi sadar kalau sekarang aku sedang ada di tempat praktek seorang bidan.

"Cuma pingsan karena kaget itu, Mas. Udahlah, kamu gak usah lebay begitu. Bentar lagi juga bangun. Iya, kan, Bu Bidan?"

Yang itu suara Ayu. Rupanya dia juga ikut kesini. Tapi ku yakin, dia bukannya khawatir padaku jika dilihat dari caranya menanggapi ucapan mas Amar. Mungkin dia tak rela mas Amar mengantarku kemari seorang diri.

Gorden ku singkap hingga menimbulkan bunyi gesekan yang cukup keras. Ketiga orang di balik gorden itu menoleh ke arahku. Tatapan tak suka Ayu berikan padaku. Kenapa? Bukankah seharusnya aku yang menatapnya demikian.

"Alhamdulillah Mbak Salma sudah siuman," ucap bidan tersebut yang ternyata adalah bidan di desaku. Namanya bidan Siska.

Dia beranjak dari duduknya, aku

kembali dipersilahkan untuk berbaring agar dia bisa memeriksaku untuk memastikan semuanya.

"Saya kenapa, Bu Bidan? Tadi saya pingsan, ya?"

"Iya, Mbak. Tadi Mbak Salma pingsan kata suaminya. Terus beliau buru-buru bawa Mbak Salma kemari. So sweet sekali lho Mbak, suaminya. Mbak Salma digendong ala-ala pengantin."

Aku melengos mendengarnya. So sweet dari mana jika ia juga ikut andil dalam menurunnya kondisiku saat ini. Saat selesai diperiksa, tiba-tiba mas Amar sudah berdiri di belakang bidan Siska. Wajahnya tampak sekali khawatir tapi aku sudah tidak peduli.Pokoknya, setelah ini aku akan minta cerai darinya.

"Gimana Bu Bidan? Dari tadi saya tanya Bu Bidan kok belum ada jawaban. Saya ini khawatir, Iho sama istri saya."

Belum juga bidan Siska menjawab, tangan mas Amar sudah ditarik untuk menjauh oleh Ayu. Aku tahu pasti dia pelakunya karena tidak ada orang lain lagi selain dia di ruangan itu.

"Udah, sih, Mas. Sini aja, biarin diperiksa bidannya. Paling juga cuma kaget terus pingsan. Mbak Salma, kan, orangnya letoy."

Geram sekali aku mendengar omongan Ayu. Dia adikku, tapi sama sekali tak ada rasa simpatinya padaku. Ucapannya memang tak sepenuhnya salah. Aku memang sering sakit-sakitan. Tapi, aku tidak pernah merepotkan siapapun. Biasanya aku akan pergi ke dokter sendiri. Untuk makan pun aku tetap menyiapkan sendiri. Bahkan, saat dia menumpang di rumahku, tak ada sedikitpun dalam hatinya yang tergerak untuk membantu pekerjaanku.

"Karena Mbak Salma sudah sadar, saya akan jelaskan kenapa kondisi Mbak Salma tiba-tiba drop."

Aku masih duduk di atas bed, tapi gorden pembatas di antara ruang periksa dan meja bu bidan dibuka. Jadi aku bisa mendengarnya dengan jelas.

"Selamat ya, Mbak Salma dan suami, Mbak Salma saat ini sedang mengandung."

Mataku terbelalak mendengar hal itu. Pun sama dengan mas Amar dan Ayu. Mereka berdua bahkan melongo dengan mulut yang terbuka.

"Bu Bidan tidak salah mendiagnosa?" tanyaku masih tak percaya.

Aku memang sudah telat haid selama tiga bulan ini. Tapi, hal itu sudah lumrah terjadi. Aku memang mengalami masalah hormon sehingga menstruasiku sering tidak normal. Hal itu juga yang membuatku susah hamil. Sudah melakukan berbagai pengobatan dari yang medis hingga yang alami.

"Agar lebih yakin, Mbak Salma bisa melakukan tespack. Mari ikut saya."

Aku mengekori bidan Siska ke bagian belakang ruangan praktek ini. Jantungku berdebar tak karuan. Ada rasa senang dan sesal jika saja aku benar sedang mengandung anak mas Amar.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Leni Novianti
seru uuuuuuiu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Desahan di Kamar Adikku   Bab 82 Ungkapan Cinga

    Salma terus meremat tangannya sendiri saat ia menunggu hasil dari pemeriksaan dokter terhadap Rega di dalam sana. Salma sangat khawatir saat tadi ia mendapati Rega pingsan di dalam mobil.Seketika ia berteriak meminta tolong pada beberapa warga yang kebetulan lewat. Karena semua pintu mobil sudah terkunci dari dalam, Salma terpaksa meminta para warga untuk memecahkan kaca jendela. Biar, nanti ia yang akan menanggung semua kerusakannya."Gimana, Dok? Apa keadaannya parah?" tanya Salma saat seorang dokter keluar dari bilik tempat Rega ditangani."Kami harus memastikannya lebih dulu. Untuk itu, dokter Rega akan dirawat di rumah sakit ini untuk beberapa hari ke depan. Benturan di kepalanya sepertinya cukup keras hingga dia kehilangan cukup banyak darah. Beruntung stok darah yang dibutuhkan saat ini sedang tersedia. Dia juga akan menjalani beberapa pemeriksaan untuk mengetahui apakah benturan itu membuatnya mengalami luka dalam."Penjelasan dari dokter

  • Desahan di Kamar Adikku   Bab 81 Ada apa dengan rega

    Salma memutuskan untuk pulang dan menunda menjual mobilnya. Suasana hatinya sedang tak baik. Rega yang merasa khawatir akhirnya memaksa Salma untuk ikut bersama mobilnya. Ia menyuruh sopir pribadi sang mama untuk mengambil mobil Salma dan mengantarnya ke rumah Salma."Kamu yakin gak apa-apa?" tanya Rega lagi saat melihat Salma tengah memijat pelipisnya."Gak apa-apa, Mas," jawab Salma datar. Ia hanya ingin segera sampai di rumah.Tak sampai seperempat jam, mobil Rega sudah memasuki area pekarangan rumah Salma. Salma buru-buru membuka pintu. Begitu pula dengan Rega yang buru-buru keluar karena ingin membukakan pintu untuk Salma."Salma!" pekik Rega saat Salma nyaris ambruk ketika turun dari mobil.Kesadarannya masih ada dan Rega hanya memapahnya menuju ke dalam rumah. Rega mendudukkan Salma pada sofa panjang di ruang tamunya."Bentar, ya. Aku mau ambil peralatan dulu di mobil.Salma hanya mengangguk. Kepalanya tiba-tiba p

  • Desahan di Kamar Adikku   Bab 80 Perdebatan Antar Saudara

    Suara Maya yang menggelegar mengundang atensi para pengunjung yang ada di dalam showroom tersebut. Haris kelabakan saat melihat kakaknya membuat keributan di tempatnya."Mbak Maya, jangan bikin ribut disini, Mbak!" tegur Haris yang merasa tak enak dengan para pengunjung.Maya menyentak tangan Haris yang berusaha menenangkannya. Ia menatap Haris dan Salma bergantian. Salma sendiri masih terdiam. Bingung harus menanggapi Maya seperti apa."Kamu mau bela dia, Ris? Kamu mau bela orang yang mau manfaatin mama?""Gak ada yang mau belas siapapun, Mbak. Aku cuma gak mau Mbak Maya dilihatin banyak orang kaya gini. Malu, mbak!"Maya baru sadar dengan apa yang ia lakukan. Setelahnya, ia menatap bengis ke arah Salma."Kamu, ayo ikut aku masuk ke ruangan Haris. Ada yang ingin aku bicarakan!" tukas Maya seraya meninggalkan Salma dan Haris yang masih mematung di tempat."Maya?" Maya menghentikan langkahnya saat Rega yang memang mengena

  • Desahan di Kamar Adikku   Bab 79 jual beli mobil

    "Pokoknya aku gak mau tahu ya, Mas. Ganti uang itu!" bentak Ayu pada Amar yang kini sudah kembali masuk ke dalam rumah."Berisik banget sih, Yu! Uang yang kita pinjam dari bos Danu juga dipake buat nebus kamu ke temen kamu terus sisanya buat kamu belanja-belanja. Ya udah seharusnya kalau kamu punya uang kamu yang bayar utangnya."Ayu masih tetap tidak terima. Padahal, rencananya uang itu akan ia gunakan untuk membeli barang-barang pribadi miliknya."Dasar suami kere, gak guna! Nyesel aku mau jadi selingkuhanmu!" bentak Ayu tepat di depan wajah Amar.Ayu terkejut saat Amar melempar tatapam tajam ke arahnya. Kilat marah terlihat jelas di kedua bola mata sekelam malam tersebut. Amar mengayunkan langkah perlahan menuju ke arah Ayu.Tiba-tiba saja Ayu merinding. Belum pernah ia mendapati Amat menatapnya sedemikian tajam. Suara gemeretak dari tulang jemari Amar ketika ia mengepalkan tangan membuat Ayu bergerak mundur karena merasa terancam.

  • Desahan di Kamar Adikku   Bab 78 Penolakan Maya

    Maya tertawa hingga mengundang raut wajah kebingungan dari bu Anis."Mama ini lagi becanda, ya? Gak lucu tahu, Ma. Adik Maya, kan, cuma Haris," ucap Maya masih dengan tawa yang menguar dari bibirnya."Mungkin kamu tidak ingat, May. Karena memang sedari Mama melahirkan dia, dia sama sekali tak pernah bertemu denganmu. Kamu masih berumur tiga tahun, jelas saja jika kamu tidak ingat bahwa pernah menantikan kehadirannya."Bu Anis berucap dengan raut wajah serius. Maya menatap lekat manik sang mama. Jelas tidak ada kebohongan disana. Hal itu pun membuat Maya seketika terdiam. Entah kenapa, ia tak bisa menerima hal itu jika memang yang dikatakan oleh mamanya adalah sebuah kebenaran."Enggak! Mama pasti bohong. Adik aku cuma Haris, Ma! Cuma Haris!"Maya bangkit dari duduknya lalu beranjak menuju kamarnya. Pintunya sedikit dibanting saat ia menutupnya. Bu Anis maklum dengan sikap yang ditunjukkan oleh Maya.Sama halnya dengan Salma, Maya

  • Desahan di Kamar Adikku   Bab 77 Rumah Mewah

    Bu Asih berdiri, menatap kesal ke arah Salma yang menurutnya sangat tidak sopan. Sesekali melirik amplop cokelat yang terlihat tebal itu. Tentu ia tertarik, tapi melihat cara Salma, ia menjadi sebal."Kamu punya sopan santun gak sih, Sal? Udah dididik malah kurang ajar!""Maaf, Bu. Aku juga gak akan gini kalau Ibu gak memulainya. Aku sudah tahu semuanya, tentang siapa ibu kandungku. Meski saat ini aku belum bisa menerima sepenuhnya kenyataan yang ada, tapi aku tidak akan membiarkan jika Ibu atau Ayu ingin menghasutku, mengatakan hal yang tidak-tidak tentang bu Anis apalagi sampai Ibumemerasnya."Mata bu Asih membola, bagaimana bisa Salma mengetahui rencananya itu. Ia tahu Salma telah berubah. Anak itu tidak akan main-main dengan ucapannya."Kamu ngomong apa sih, Sal? Jangan ngaco kamu! Aku tidak ingin menghasut siapa-siapa. Aku hanya ingin kamu tahu jika ibu kandungmu itu tak lebih baik dari aku. Dia yang sudah memberikanmu padaku. Dan j

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status