< Anehnya Kamar Adikku
KlaimTak lama setelah itu, Ayu juga keluar dari kamar dengan mengenakan handuk yang membungkus rambutnya. Benar dugaan Salma, adik dan suaminya pasti semalam melakukan hubungan gelap itu lagi."Dasar, manusia-manusia tidak tahu malu," ucap Salma yang terdengar oleh rungu Ayu. Ayu yang merasa disindir pun tak terima."Apa maksudnya Mbak Salma ngomong kaya gitu?""Apa lagi? Kan, memang faktanya begitu. Mas Amar itu masih sah menjadi suamiku dan belum sah menjadi suami kamu. Tapi, kalian sudah melakukan hubungan suami-istri sesuka hati kalian. Apa kamu merasa dosa kamu itu gak ada, jadi kamu ngebet ngumpulin dosa dengan melakukan zina?"Ayu mendelik mendengar kalimat panjang Salma. Ia berniat menghampiri Salma untuk memberi pelajaran pada wanita itu. Tapi, Amar dengan sigap menahan tubuh Ayu."Sudahlah, Yu. Kan, memang itu faktanya. Kita belum nikah, tapi, kamu memang suka ngegoda, sih."Amar senyum-senyum tak jelas dan hal itu membuat Salma bergidik. Sungguh, ia tak akan mau lagi disentuh oleh pria itu."Puas-puasin aja kalian, aku tidak akan melarang karena aku sudah jijik disentuh lelaki tukang selingkuh seperti kamu, Mas. Oh, ya. Aku tidak jadi menggugat cerai kamu, tapi dengan satu syarat."Mata Amar berbinar mendengarnya. Sebenarnya sedari kemarin ia sangat takut jika Salma benar-benar menggugat cerai dirinya. Takut ia akan kesusahan lagi dari segi ekonomi.Dulu, awal pertemuan Amar dan Salmaadalah saat Amar masih bekerja sebagai tukang ojek pengkolan yang mangkal di depan salon Salma yang baru saja dibangun. Salon kecil, belum sebesar salonnya yang sekarang. Amar menjadi langganan ojek Salma, pria itu yang selalu mengantar jemput Salma dari kosan menuju salon miliknya yang berada di pinggir jalan besar.Karena terbiasa bersama dalam waktu yang lama, benih cinta itu muncul di antara keduanya. Kegigihan Amar dalam bekerja, juga sikapnya yang penyayang keluarga menjadi nilai plus bagi Salma dan akhirnya Salma pun menerima pinangannya.Selama enam bulan menikah, Amar masih bekerja menjadi tukang ojek. Sampai akhirnya Salma bertemu dengan teman lamanya yang sudah bekerja di sebuah perusahaan. Kebetulan sekali, perusahaan sedang mencari staf dadakan. Ijazah SMA pun tak apa dan Amar mempunyai nilai plus karena dia adalah lulusan SMK jurusan marketing.Setelah bekerja kantoran, sikap Amar banyak berubah. Pribadinya yang dulu sederhana kini berubah menjadi orang yang banyak gaya. Salma tidak pernah menuntut banyak darinya. Perlahan, salonnua berkembang dengan cukup pesat hingga salon kecilnya berubah menjadi salon kecantikan yang cukup besar dan terkenal. Karena merasa sang istri sudah banyak uang, Amar menjadi lalai. Uang gajinya separuh ia serahkan pada ibunya dan separuhnya lagi untuk dirinya.Salma tak keberatan karena Amar memang masih berkewajiban untuk membantu ibu dan adiknya yang saat itu masih duduk di bangku SMP. Gaya hidup Amar yang hedon juga tak bisa Salma cegah. Yang terpenting baginya adalah keluarganya hidup rukun dan harmonis. Uang bukan menjadi masalah baginya."Syarat apa, Salma? Aku pasti akan mengabulkannya demi bisa bersama denganmu dan calon anak kita."Salma memutar bola mata malas. la sendiri sudah muak dengan kalimat-kalimat bernada gombalan seperti itu yang keluar dari mulut Amar. Tentu Salma sudah tak percaya lagi."Jangan sekali-kali kamu menyentuhku kalau kamu masih mau mempertahankan rumah tangga kita. Aku tidak tahu, sampai kapan akan tetap bertahan denganmu. Mungkin, hanya sampai anak ini lahir."Bahu Amar merosot mendengarnya. Padahal, tadinya ia sangat senang karena jika ia berhasil mempertahankan rumah tangganya dengab Salma dan juga berhasil menikahi Ayu, maka ia bisa menikmati kedua wanita itu.Salma sering mengeluh capek, dan Ayu bisa menjadi pengganti nantinya. Begitu pula dengan Ayu. Jika anak itu tengah merajuk karena keinginannya tidak dituruti, maka Ayu tidak akan mau melayaninya di atas ranjang."Bagaimana, setuju?""Tapi, itu kan kewajiban kamu sebagai seorang istri, Salma. Berdosa kamu kalau sampai menolak keinginan suami.""Lalu, apa yang kamu lakukan nyaria lima tahun ini bukan sebuah dosa dalam pernikahan, Mas? Kamu tidak menafkahiku, ingat itu.""Udah, sih, Mas. Terima aja syaratnya, orang gampang begitu. Kan, kamu masih ada aku," ucap Ayu manja membuat Salma malas berlama-lama disana."Lho, kamu mau kemana, Salma? Kok, kopernya dibawa lagi? Mau pulang?"Bu Asih yang baru pulang dari pasar pun heran saat melihat Salma sudah rapi dan kembali menyeret koper besarnya."Iya, Bu. Aku alergi melihat drama picisan di rumah ini.""Ya sudah kalau begitu. Oh, ya. Jatah Ibu bulan ini belum kamu transfer, kan? Nanti jangan lupa sekalian mampir ATM, ya ""Maaf, Bu. Mulai saat ini, minta saja jatah Ibu ke menantu kesayangan Ibu. Bukankah, selama setahun ini Ibu juga mendapat jatah darinya? Uangku sudah untuk menampung dua benalu di rumahku."Ayu melotot mendengarnya. Meski hal itu adalah benar adanya, tapi tentu Ayu tak terima disebut benalu oleh sang kakak. Begitupun bu Asih, wajahnya mengerut tak suka ketika Salma mengatakan tak akan menjatah dirinya lagi."Mana bisa begitu, Salma. Uang dari Amar ya dari Amar sendiri. Kamu ya masih wajib ngasih ibu jatah bulanan, dong.""Baik, kalau Ibu masih mau jatah bulanan. Tapi, hasil dari toko sembako itu harus dibagi dua denganku. Biaya pembangunan hingga seluruh isi toko, itu semua menggunakan uangku, Bu."Selama perjalanan menuju kota, Salma mengendarai kendaraan roda empatnya sembari memijat pangkal hidungnya. Sungguh, ia masih bimbang dalam mengambil langkah. Jika saja dirinya tak hamil saat ini, mungkin semuanya akan lebih mudah."Astaghfirullah, kenap aku jadi berpikir begitu, sih. Kehamilan ini adalah anugerah. Aku sudah menantinya bertahun-tahun. Berdosa sekali jika aku berpikiran bahwa kehamilan ini justru membuat aku susah. Maafkan, Mama ya, Nak," ucapnya di akhir kalimat seraya mengusap perutnya yang rata.Tujuan Salma kali ini tidak langsung menuju rumahnya, melainkan rumah sakit. la ingin menemui dokter kandungan untuk memastikan jika kandungannya tumbuh dengan baik dan tentu saja ia ingin tahu berapa usia janin dalam rahimnya itu."Lho, Salma?"Salma menoleh saat namanya disebut. la sama terkejutnya saat mendapati Mely, temannya yang juga satu kantor dengan Amar. Mely juga yang dulunya membantu Amr untuk masuk ke perusahaan tempatnya bekerja."Mely? Ya ampun, apa kabar?"Salma dan Mely saling berpelukan laku kembali duduk pada kursi panjang di ruang tunggu itu. Salma baru menyadari jika perut Mely tampak membesar."Baik, Sal. Kamu gimana? Udah lama kita gak ketemu. Padahal, tinggalnya juga masih satu kota.""Baik, Mel. Iya, aku sibuk banget ngurus salon. Alhamdulillah sekarang udah ada dua cabangnya di pinggiran kota.""Waaah, selamat, ya. Kamu memang wanita hebat. Makin kaya aja, dong, kamu.Salma menghentikan tawanya. Amar sama sekali tak pernah bicara apapun mengenai jabatannya di kantor. Ia bilang, sampai sekarang posisinya masih sebagai staf biasa hingga gajinya kecil dan hanya cukup untuk membantu ibunya dan uang pegangannya sendiri. Itulah sebabnya Salma tak pernah protes saat Amar tidak memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka."Naik jabatan? Memangnya, apa posisi mas Amar di kantor sekarang? Dia bilang, dia masih jadi staf biasa."Mely tampak terkejut, ia sampai membuka mulutnya hingga berbentuk huruf ' 0'."Masa, sih? Dia itu pinter, lho, Sal. Dua tahun kerja dia udah diangkat jadi supervisor, dua tahun kemudian atau lebih tepatnya lima bulan yang lalu, dia naik jabatan lagi jadi kepala divisi. Sejajar lah sama aku, tapi bedanya dia di divisi marketing sedangkan aku di finance."Ucapan Mely membuat dada Salma semakin panas. Rupanya, masih banyak hal yang Amar sembunyikan darinya."Aku tidak akan tinggal diam, Mas. Kamu harus merasakan akibatnya."Nama Mely dipanggil lebih dulu untuk masuk ke dalam ruang pemeriksaan, meninggalkan Salma yang masih terngiang-ngiang dengan ucapan Mely barusan."Aku sering gak sengaja denger, teman-teman kantor itu pada bilang kalau Amar itu penyayang istri karena sering kasih kejutan istri, sering beliin barang ini itu. Sering pula di ajak liburan. Enak banget tahu gak, sih, jadi kamu, Sal."Salma bahlan lupa, kapan terakhir kali suaminya itu memberinya hadiah. Jangankan hadiah, nafkah untuk kebutuhan keluarga saja Amar hampir tidak pernah memberikan.Salma jadi mengingat-ingat kejadian yang memang ia rasa janggal selama ini.Katanya hanya staf biasa, tapi Amar kerap kali ijin pada Salma untuk ikut perjalanan bisnis ke luar kota. Di saat itu pula, Ayu selalu ijin untuk menginap di rumah temannya. Tentu saja, istri yang teman-teman kantor Amar itu kira Salma, padahal sebenarnya, Atu lah yang tengah menikmati hasil kesuksesan Amar."Selamat ya, Bu Salma
Bibir Ayu terus saja mengerucut selama perjalanan. Debu dan asap kendaraan tentu dengan bebas berembus dan mengenai kulit mulus Ayu yang sudah dirawat sejak ia punya uang jajan yang banyak dari Salma sekaligus Amar."Pokoknya aku gak mau tahu ya, Mas. Besok Mas harua pake mobil nganternya. Kalau gini, kan, nanti sampe kampus make-up aku berantakan. Rambut juga jadi bau asap, pokoknya aku gak mau!" ucap Ayu dengan sedikit berteriak karena di jalanan tentu saja bising. Itu pun belum tentu Amar bisa mendengarkan suaranya."Hah?!"Betul, kan. Panjang lebar Ayu mengoceh, tapi rupanya tak ada satu pun kata yang bisa didengar dengan baik oleh Amar. Selain karena suara bising, teling lelaki itu juga tertutup helf fullface."Hah heh hah heh. Kaya tukang keong kamu, Mas.""Terong? Kamu ngidam makan terong?""Tahu, ah!" Ayu total merajuk.Sampai di kampus pun, Ayu masih menekuk wajahnya dengan bibir mengerucut. Jika biasanya i
"Pokoknya aku gak mau tahu ya, Mbak. Mas Amar harus menikahiku secara sah, baik agaman maupun negara. Aku tidak mau anak ini nanti lahir tidak ada kejelasan statusnya kalau Mas Amar hanya menikahiku secara siri," protes Ayu tak terima saat Salma tidak menyetujui niatan Ayu dan Amar yang akan mendaftarkan pernikahan mereka ke kantor urusan agama.Sembari memakan buah anggur yang sudah dibuang bijinya, Salma berujar dengan santai, masih dengan posisi duduk berselonjor di atas sofa dan menikmati acara televisi kegemarannya."Kalau aku tidak setuju, bagaimana?""Aku tidak peduli. Aku dan mas Amar akan tetap mendaftarkan pernikahan kami secara administrasi negara. Ya, kan, Mas?" tanya Ayu pada Amar bermaksud mencari pembelaan. Amar hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.menikah tanpa persetujuan istri pertama itu ada hukumnya?"Ayu menghentakkan kakinya kesal. la sudah tahu sebenarnya, tapi ia hanya berniat menggertak Salma. Namun, Salma bukan wanita lemah dan bodoh. Ia tidak akan mengalah
Salma merasa hajatnya harua segera dituntaskan. Meskipun malas, ia memaksakan diri untuk bangkit dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi. Saat keluar kamar, samar-samar ia mendengar suara mesin mobil yang baru dimatikan di depan rumahnya."Apa ada tamu, ya? Tapi masa bertamu malam-malam begini?" gumam Salma saat melihat jam pada dinding ruang tengah menunjukkan pukul sebelas malam.Baru saja Salma hendak mengintip ke jendela depan, ia terkejut saat pintu tiba-tiba terbuka dari luar."Makasih, ya, Mas. Aku suka tasnya, besok giliran baju yang tadi, ya. Kamu, sih, pakai acara uangnya dipinjemin ke temen kamu, jadi kurang, kan, uang buat belanjanya ," cerocos Ayu saat masuk ke dalam rumah dan tak menyadari adanya Salma yang berdiri di dekat jendela."Sama-sama, Sayang. Apapun akan aku lakukan biar sayangnya Mas ini gak ngambek lagi."Amar mencium gemas pipi Ayu. Salma yang melihatnya pun rasanya sudah kebal. la sendiri sudah mengultimat
"Ohh, jadi kamu yang morotin duit anakku?"Bu Mila, Ibu Amar ternyata sudah masuk ke dalam rumah tanpa mengucap salam. Jarak rumah bu Mila dengan rumah Salma memang tak terlalu jauh. Cukup ditempuh dalam waktu tiga puluh menit saja jika mengendarai motor. Sedikit lebih lama jika ditempuh dengan angkot."Ibu? Kok, pagi-pagi Ibu udah ada disini?"Bu Mila tak mengindahkan pertanyaan sang anak. Dengan langkah besar, ia menghampiri dua manusia yang masih terdiam di kursi meja makan."Awh! Sakit, Bu!" pekik Ayu saat bu Mila mencengkeram lengan atas anak itu."Balikin! Sini, balikin uang anakku. Enak saja, aku yang ngelahirin, aku yang kasih makan, yang nyekolahin sampe gede, kamu enak-enakan makan gaji dia.""Bu! Lepasin, Bu, kasihan Ayu kesakitan itu."Amar tentu kasihan melihat kekasihnya disakiti seperti itu oleh sang ibu, tapi, Amar juga tidak berani jika harus melepaskan cengkeraman tangan sang ibu pada Ayu.
"Boleh saja. Asal, uang bulanan Ibu lebih besar dari pada uang bulanan istri-istri kamu."Ayu mendelik mendengar hal itu, hendak menyangkal, tapi lagi-lagi tangan Amar menggenggamnya dengan erat. Kaki Ayu menghentak ke atas lantai, ia pikir, Amar akan menuruti permintaan ibunya. Jika iya, Ayu yang tidak mau kalau sampai jatah bulanannya dikurangi."Ya sudah, kalau Ibu maunya begitu. Amar akan turuti, asal Ibu merestui hubunganku dan Ayu.""Mas!" pekik Ayu kesal dengan keputusan Amar.Tak mendapat respon berarti dari Amar, Ayu segera beranjak ke dalam kamarnya dengan kaki menghentak kesal. Bu Mila tersenyum penuh kemenangan karena berhasil mengalahkan Ayu dalam hal jatah bulanan."Tuh, lihat. Nyari istri, kok, masih kaya anak-anak gitu kelakuannya," ucap bu Mila sinis yang membuat Amar menggaruk tengkuknya kikuk."Ya, mau gimana lagi, Bu. Amar udah kepalang cinta sama Ayu. Dia juga udah ngasih Amar keturunan. Pelayanan ranjan
Hari ini hari minggu, Amar tidak berniat untuk pergi kemana-mana karena ketika membuka dompetnya, ternyata di dalam benda itu hanya terdapat SIM, KTP, kartu ATM tanpa saldo dan beberapa struk belanja yang lupa ia buang. Adapun dua lembar uang berwarna hijau yang harus ia simpan jika sewaktu-waktu ia butuhkan. Dulu, jika uang pegangannya sudah habis, maka dengan mudah Amar akan memintanya pada Salma.Karena Salma adalah istri yang patuh dan selama ini tak pernah mempermasalahkan tentang keuangan, ia akan dengan senang hati memberi uang saku untuk Amar jika memang uangnya habis di pertengahan tangga. Namun, sekarang jangankan meminta uang saku pada Salma. Untuk makan saja Amar harus mengeluarkan uang pribadinya karena Salma sudah tidak pernah lagi memasak."Mas, hari minggu gini enaknya jalan-jalan, tahu. Masa diem aja di rumah, bosen aku, Mas," rengek Ayu manja dengan tangan yang melingkar pada lengah sang lelaki dan menyandarkan bahunya pada bahu Amar.
Bu Asih kini tengah bingung. Rupanya Salma tak main-main dengan ucapannya yang mengatakan bahwa ia tak akan lagi menjatah uang bulanan untuk sang ibu. Awalnya, bu Asih mengira Salma hanya menggertak saja. Namun, hingga dua minggu lewat dari tanggal biasanya Salma mengirim uang, uang itu tak kunjung masuk ke dalam nomor rekeningnya.Bu Asih memang mempunyai toko sembako kecil-kecilan. Seharusnya, hasil dari toko itu cukup untuk kebutuhan sehari-hari bu Asih jika hanya untuk makan sendiri meskipun pas-pasan. Tapi, ternyata sifat Ayu yang gemar bergaya itu turunan dari ibunya.Sebulan yang lalu, bu Asih mengambil baju gamis yang cukup mewah di salah satu teman arisannya. Harganya tak main-main untuk sebuah gamis yang hanya dikenakan di kampung. Satu gamis seharga sembilan ratus ribu. Belum jilbab dan aksesoris lainnya seperti tas dan sepatu. Jika ditotal, hutang bu Asih pada temannya itu sudah berjumlah satu juta tujuh ratus ribu. Bu Asih berjanji akan membayarnya saa