Share

Bab 5 Satu kebenaran baru

< Anehnya Kamar Adikku

Klaim

Tak lama setelah itu, Ayu juga keluar dari kamar dengan mengenakan handuk yang membungkus rambutnya. Benar dugaan Salma, adik dan suaminya pasti semalam melakukan hubungan gelap itu lagi.

"Dasar, manusia-manusia tidak tahu malu," ucap Salma yang terdengar oleh rungu Ayu. Ayu yang merasa disindir pun tak terima.

"Apa maksudnya Mbak Salma ngomong kaya gitu?"

"Apa lagi? Kan, memang faktanya begitu. Mas Amar itu masih sah menjadi suamiku dan belum sah menjadi suami kamu. Tapi, kalian sudah melakukan hubungan suami-istri sesuka hati kalian. Apa kamu merasa dosa kamu itu gak ada, jadi kamu ngebet ngumpulin dosa dengan melakukan zina?"

Ayu mendelik mendengar kalimat panjang Salma. Ia berniat menghampiri Salma untuk memberi pelajaran pada wanita itu. Tapi, Amar dengan sigap menahan tubuh Ayu.

"Sudahlah, Yu. Kan, memang itu faktanya. Kita belum nikah, tapi, kamu memang suka ngegoda, sih."

Amar senyum-senyum tak jelas dan hal itu membuat Salma bergidik. Sungguh, ia tak akan mau lagi disentuh oleh pria itu.

"Puas-puasin aja kalian, aku tidak akan melarang karena aku sudah jijik disentuh lelaki tukang selingkuh seperti kamu, Mas. Oh, ya. Aku tidak jadi menggugat cerai kamu, tapi dengan satu syarat."

Mata Amar berbinar mendengarnya. Sebenarnya sedari kemarin ia sangat takut jika Salma benar-benar menggugat cerai dirinya. Takut ia akan kesusahan lagi dari segi ekonomi.

Dulu, awal pertemuan Amar dan Salma

adalah saat Amar masih bekerja sebagai tukang ojek pengkolan yang mangkal di depan salon Salma yang baru saja dibangun. Salon kecil, belum sebesar salonnya yang sekarang. Amar menjadi langganan ojek Salma, pria itu yang selalu mengantar jemput Salma dari kosan menuju salon miliknya yang berada di pinggir jalan besar.

Karena terbiasa bersama dalam waktu yang lama, benih cinta itu muncul di antara keduanya. Kegigihan Amar dalam bekerja, juga sikapnya yang penyayang keluarga menjadi nilai plus bagi Salma dan akhirnya Salma pun menerima pinangannya.

Selama enam bulan menikah, Amar masih bekerja menjadi tukang ojek. Sampai akhirnya Salma bertemu dengan teman lamanya yang sudah bekerja di sebuah perusahaan. Kebetulan sekali, perusahaan sedang mencari staf dadakan. Ijazah SMA pun tak apa dan Amar mempunyai nilai plus karena dia adalah lulusan SMK jurusan marketing.

Setelah bekerja kantoran, sikap Amar banyak berubah. Pribadinya yang dulu sederhana kini berubah menjadi orang yang banyak gaya. Salma tidak pernah menuntut banyak darinya. Perlahan, salonnua berkembang dengan cukup pesat hingga salon kecilnya berubah menjadi salon kecantikan yang cukup besar dan terkenal. Karena merasa sang istri sudah banyak uang, Amar menjadi lalai. Uang gajinya separuh ia serahkan pada ibunya dan separuhnya lagi untuk dirinya.

Salma tak keberatan karena Amar memang masih berkewajiban untuk membantu ibu dan adiknya yang saat itu masih duduk di bangku SMP. Gaya hidup Amar yang hedon juga tak bisa Salma cegah. Yang terpenting baginya adalah keluarganya hidup rukun dan harmonis. Uang bukan menjadi masalah baginya.

"Syarat apa, Salma? Aku pasti akan mengabulkannya demi bisa bersama denganmu dan calon anak kita."

Salma memutar bola mata malas. la sendiri sudah muak dengan kalimat-kalimat bernada gombalan seperti itu yang keluar dari mulut Amar. Tentu Salma sudah tak percaya lagi.

"Jangan sekali-kali kamu menyentuhku kalau kamu masih mau mempertahankan rumah tangga kita. Aku tidak tahu, sampai kapan akan tetap bertahan denganmu. Mungkin, hanya sampai anak ini lahir."

Bahu Amar merosot mendengarnya. Padahal, tadinya ia sangat senang karena jika ia berhasil mempertahankan rumah tangganya dengab Salma dan juga berhasil menikahi Ayu, maka ia bisa menikmati kedua wanita itu.

Salma sering mengeluh capek, dan Ayu bisa menjadi pengganti nantinya. Begitu pula dengan Ayu. Jika anak itu tengah merajuk karena keinginannya tidak dituruti, maka Ayu tidak akan mau melayaninya di atas ranjang.

"Bagaimana, setuju?"

"Tapi, itu kan kewajiban kamu sebagai seorang istri, Salma. Berdosa kamu kalau sampai menolak keinginan suami."

"Lalu, apa yang kamu lakukan nyaria lima tahun ini bukan sebuah dosa dalam pernikahan, Mas? Kamu tidak menafkahiku, ingat itu."

"Udah, sih, Mas. Terima aja syaratnya, orang gampang begitu. Kan, kamu masih ada aku," ucap Ayu manja membuat Salma malas berlama-lama disana.

"Lho, kamu mau kemana, Salma? Kok, kopernya dibawa lagi? Mau pulang?"

Bu Asih yang baru pulang dari pasar pun heran saat melihat Salma sudah rapi dan kembali menyeret koper besarnya.

"Iya, Bu. Aku alergi melihat drama picisan di rumah ini."

"Ya sudah kalau begitu. Oh, ya. Jatah Ibu bulan ini belum kamu transfer, kan? Nanti jangan lupa sekalian mampir ATM, ya "

"Maaf, Bu. Mulai saat ini, minta saja jatah Ibu ke menantu kesayangan Ibu. Bukankah, selama setahun ini Ibu juga mendapat jatah darinya? Uangku sudah untuk menampung dua benalu di rumahku."

Ayu melotot mendengarnya. Meski hal itu adalah benar adanya, tapi tentu Ayu tak terima disebut benalu oleh sang kakak. Begitupun bu Asih, wajahnya mengerut tak suka ketika Salma mengatakan tak akan menjatah dirinya lagi.

"Mana bisa begitu, Salma. Uang dari Amar ya dari Amar sendiri. Kamu ya masih wajib ngasih ibu jatah bulanan, dong."

"Baik, kalau Ibu masih mau jatah bulanan. Tapi, hasil dari toko sembako itu harus dibagi dua denganku. Biaya pembangunan hingga seluruh isi toko, itu semua menggunakan uangku, Bu."

Selama perjalanan menuju kota, Salma mengendarai kendaraan roda empatnya sembari memijat pangkal hidungnya. Sungguh, ia masih bimbang dalam mengambil langkah. Jika saja dirinya tak hamil saat ini, mungkin semuanya akan lebih mudah.

"Astaghfirullah, kenap aku jadi berpikir begitu, sih. Kehamilan ini adalah anugerah. Aku sudah menantinya bertahun-tahun. Berdosa sekali jika aku berpikiran bahwa kehamilan ini justru membuat aku susah. Maafkan, Mama ya, Nak," ucapnya di akhir kalimat seraya mengusap perutnya yang rata.

Tujuan Salma kali ini tidak langsung menuju rumahnya, melainkan rumah sakit. la ingin menemui dokter kandungan untuk memastikan jika kandungannya tumbuh dengan baik dan tentu saja ia ingin tahu berapa usia janin dalam rahimnya itu.

"Lho, Salma?"

Salma menoleh saat namanya disebut. la sama terkejutnya saat mendapati Mely, temannya yang juga satu kantor dengan Amar. Mely juga yang dulunya membantu Amr untuk masuk ke perusahaan tempatnya bekerja.

"Mely? Ya ampun, apa kabar?"

Salma dan Mely saling berpelukan laku kembali duduk pada kursi panjang di ruang tunggu itu. Salma baru menyadari jika perut Mely tampak membesar.

"Baik, Sal. Kamu gimana? Udah lama kita gak ketemu. Padahal, tinggalnya juga masih satu kota."

"Baik, Mel. Iya, aku sibuk banget ngurus salon. Alhamdulillah sekarang udah ada dua cabangnya di pinggiran kota."

"Waaah, selamat, ya. Kamu memang wanita hebat. Makin kaya aja, dong, kamu.

Salma menghentikan tawanya. Amar sama sekali tak pernah bicara apapun mengenai jabatannya di kantor. Ia bilang, sampai sekarang posisinya masih sebagai staf biasa hingga gajinya kecil dan hanya cukup untuk membantu ibunya dan uang pegangannya sendiri. Itulah sebabnya Salma tak pernah protes saat Amar tidak memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka.

"Naik jabatan? Memangnya, apa posisi mas Amar di kantor sekarang? Dia bilang, dia masih jadi staf biasa."

Mely tampak terkejut, ia sampai membuka mulutnya hingga berbentuk huruf ' 0'.

"Masa, sih? Dia itu pinter, lho, Sal. Dua tahun kerja dia udah diangkat jadi supervisor, dua tahun kemudian atau lebih tepatnya lima bulan yang lalu, dia naik jabatan lagi jadi kepala divisi. Sejajar lah sama aku, tapi bedanya dia di divisi marketing sedangkan aku di finance."

Ucapan Mely membuat dada Salma semakin panas. Rupanya, masih banyak hal yang Amar sembunyikan darinya.

"Aku tidak akan tinggal diam, Mas. Kamu harus merasakan akibatnya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status