Salma sampai di rumah setelah menyetir mobil sendirian dengan menahan pusing di kepala. Untung saja jalanan kampung cukup lenggang dan ia bisa sampai di rumah dengan selama.
"Lho, Salma, kok sendirian? Mana Ayu dan Amar?"Bukannya bertanya tentang keadaan Salma yang baru saja pingsan, bu Asih justru mencari keberadaan sang anak bungsu. Hal itu tentu membuat Salma merasa kesal."Aku suruh jalan kaki," jawab Salma seraya berjalan menuju kamarnya. Ia ingin segera beristirahat di kasurnya.Namun, langkah Salma terhenti saat bu Asih menahan lengannya. Wajah wanita tua itu tampak mengerut tidak suka."Kamu tega biarin adik kamu yang lagi hamil jalan kaki? Dimana hati nuranimu, Salma?""Ibu tanya hati nurani Salma? Lalu, dimana hatu nurani Ibu dan Ayus sampai kalian bisa mengkhianati Salma seperti ini?"PLAKTangan bu Asih berhasil mendarat dengab sempurna di pipi Salma. Tamparan yang cukup keras hingga kepalanya menoleh ke samping, pipinya pun kini terasa begitu panas namun tak sebanding dengan panas di hatinya. Sejak kecil, baru kali ini ibu yang baru ia ketahui sebagai ibu angkat itu melayangkan tangan padanya."Berani kamu bicara seperti itu pada Ibu, Salma? Sejak kapan kamu jadi berani seperti ini?""Sejak aku tahu kalau keluarga yang selama ini aku percaya, aku sayangi hingga semua ku beri untuk mereka, ternyata malah mengkhianati aku. Maaf saja, Bu, aku sudah muak. Ternyata ini alasan kenapa Ibu selalu memperlakukan ku dengan beda dari Ayu. Ternyata aku hanya anak pungut.""Kamu memang anak pungut, Salma. Tapi kamu juga harus ingat, Ibu yang sudah merawatmu sejak kecil. Jadi, kamu juga wajib menghormati Ibu seperti orang tua kandungmu sendiri.""Aku tahu, Bu. Dan kurang apa aku selama ini pada kalian? Dulu, aku ingin kuliah tapi Ibu bilang tidak ada biaya hingga aku memutuskan merantau sendiri. Kerja di salon hingga nasib baik menghampiriku dan sekarang aku bisa memiliko salonku sendiri.Dari hasil salon, ku bangunkan Ibu rumah besar yang dulu hanya sebatas rumah papan. Ku bangunkan toko yang sekarang menjadi milik Ibu, hasilnya pun aku tidak pernah tahu. Bahkan, setiap bulan aku masih memberikan jatah pada Ibu. Sedangkan untu Ayu, tempat tidurnya, makanannya, uang sakunya, semua dariku, Bu.""Kok, kamu jadi ungkit-ungkit begitu? Itu sudah menjadi kewajiban kamu membalas budi pada Ibu, Salma.""Aku tahu, Bu. Tapi-""Kamu emang bener-bener keterlaluan ya, Mbak. Sudah tahu aku lagi hamil, malah ditinggal. Mbak tahu, gak, aku sama mas Amar tadi hampir aja ketabrak motor. Ungtung aja orangnya tanggung jawab nganterin aku sampe rumah," cerocos Ayu yang baru saja datang dengan kaki menghentak.Belum sempat menjawab, kini giliran Amar yang baru memasuki rumah dengan napas terengah-engah."Astaga, capek banget lari-larian dari sana. Mataharinya udah mulai tinggi pula.""Salah kamu, Mas. Kalau kamu punya uang buat naik ojek tadi, kan, kita gak perlu jalan kaki dan aku gak perlu sampai hampir di tabrak motor."Mendengar ocehan Ayu membuat Salma tersenyum mengejek."Dan lihat saja laki-laki itu, Bu. Dia juga tak luput dari sokonganku meskipun dia adalh seorang suami yang tugasnya mencari nafkah. Selama menjadi istrinya, bisa ku hitung berapa uang nafkah yang sudah dia berikan padaku. Tak lebih dari pengeluaranku selama dua bulan. Aku yang membiayai seluruh kebutuhan rumah. Dan sekarang, dengan gayanya dia malah berselingkuh.""Kamu yang sopan ngomong samasuami, Salma!" bentak bu Asih yang tak suka melihat Salma menghina menatunya.Karena di mata bu Asih, Amar adalah lelaki yang bertanggung jawab. Ya, Amar bertanggung jawab pada Ayu. Selama satu tahun menjalin hubungan, Amar rutinmemberi nafkah pada Ayu, selingkuhannya, alih-alih menafkahi istrinya sendiri."Sekarang, terserah kalian. Aku sudah tidak peduli."Salma masuk ke dalam kamar lalu membantung pintu kamar hingga bunyi debuman keras terdengar. Untung saja rumah bu Asih sudah beralih dari papan kayu menjadi tembok beton. Jika tidak, bisa saja rumah itu roboh karena Salma menutup pintu dengan kekuatan penuh.Lama Salma mengurung diri di dalam kamar hingga malam tiba. Perutnya pun sama sekali tak terasa lapar. Namun, kali ini terpaksa ia harus keluar dari tempat ternyamannya untuk menuntaskan hajatnya.Di luar tampak sepi padahal masih jam delapan lewat. Ia berjalan perlahan menuju kamar mandi yang ada di bagian belakang rumah dekat dapur. Pertama, ia melewati kamar bu Asih yang kebetulan tidak dikunci dan sedikit terbuka. Salma bisa melihat ibunya itu tengah terlelap.Di kamar berikutnya, yaitu kamar Ayu, ia justru mendengar suara cekikikan adiknya itu. Ia sebenarnya penasaran, kemana perginya Amar. Tadi sore lelaki itu memang terus mengetuk pintu kamar Salma, tapi Salma enggan untuk membuka."Udanh donga, Mas. Geli, ih!"Rasanya Salma sudah kebal mendengar suara adiknya kembali memanggil sang suami di dalam kamar. Rupanya lelaki itu benar-benar bernyali besar. Kalau begini, tentu tekadnya sudah bulat untuk bercerai. Namun, ia baru teringat jika kini dirinya tidak sendiri. Ada janin yang sedang tumbuh di dalam rahimnya."Apa aku harus benar-benar bercerai di saat aku sedang hamil seperti ini?"Memikirkannya membuat Salma pusing. Ia hendak kembali melanjutkan langkahnya sebelum suara Amar terdengar rungunya."Kamu yang sabar, dong, kalau menghadapi Salma. Kalau kamu mau hidup enak sama Mas, ya Mas harus tetap bersama dengan Salma. Kamu tahu sendiri, kan, semua kebutuhan rumh tangga itu Salma yang menjamin. Kalau aku cerai, kamu mau uang bulanan kamu berkurang? Aku harus tetap ngasih ibuku juga, lho.""Iya deh, iya. Nanti aku bakal kuat-kuatin jadi adik madunya Mbak Salma. Ini semua demi kamu, anak kita dan tentunya uang jajanku, Mas. Aku gak mau kalau uang gaji kamu yang gak seberapa itu harus dibagi buat ini itu. Cukup buat aku, ibuku dan ibumu saja, Mas."Geram bukan main yang dirasakanSalma saat ini. Jadi, permintaan maaf dan sikap Amar yang seolah tak mau ditinggalkan itu rupanya hanya karena uang. Amar sama sekali tak memikirkan anak yang saat ini tengah dikandung Salma."Baik kalau seperti itu maumu, Mas. Akan aku tunjukkan bagaimana saat kamu kehilangan tempat bergantung dan bernaung. Begitu juga dengan kamu, Ayu. Aku tidak rela kamu menikmati sesuatu yang harusnya menjadiPagi-pagi sekali, Salma sudah rapi dengan pakaiannya. Koper besar yang memang belum ia bongkar isinya kini kembali ia seret keluar rumah."Kamu mau kemana, Salma," tanya Amar yang sepertinya baru selesai mandi. Handuk basah masih setia melingkar di lehernya dan tengah ia pakai untuk mengeringkan rambutnya yang juga basah."Habis bercocok tanam kamu, Mas?" tanya Salma dengan nada yang tenang. Amar seketika menghentikan gerakan tangannya."Hah, bercocok tanam? Bertani gitu maksudnya? Ya, gak lah, Salma. Orang kantoran masa mau bertani."Salma berdecak lidah. Rupanya suaminya itu bodoh atau memang pura-pura bodoh. Tentu saja yang Salma maksus adalag bercocok tanam dengan adiknya semalam, mungkin.KlaimTak lama setelah itu, Ayu juga keluar dari kamar dengan mengenakan handuk yang membungkus rambutnya. Benar dugaan Salma, adik dan suaminya pasti semalam melakukan hubungan gelap itu lagi."Dasar, manusia-manusia tidak tahu malu," ucap Salma yang terdengar oleh rungu Ayu. Ayu yang merasa disindir pun tak terima."Apa maksudnya Mbak Salma ngomong kaya gitu?""Apa lagi? Kan, memang faktanya begitu. Mas Amar itu masih sah menjadi suamiku dan belum sah menjadi suami kamu. Tapi, kalian sudah melakukan hubungan suami-istri sesuka hati kalian. Apa kamu merasa dosa kamu itu gak ada, jadi kamu ngebet ngumpulin dosa dengan melakukan zina?"Ayu mendelik mendengar kalimat panjang Salma. Ia berniat menghampiri Salma untuk memberi pelajaran pada wanita itu. Tapi, Amar dengan sigap menahan tubuh Ayu."Sudahlah, Yu. Kan, memang itu faktanya. Kita belum nikah, tapi, kamu memang suka ngegoda, sih."Ama
Nama Mely dipanggil lebih dulu untuk masuk ke dalam ruang pemeriksaan, meninggalkan Salma yang masih terngiang-ngiang dengan ucapan Mely barusan."Aku sering gak sengaja denger, teman-teman kantor itu pada bilang kalau Amar itu penyayang istri karena sering kasih kejutan istri, sering beliin barang ini itu. Sering pula di ajak liburan. Enak banget tahu gak, sih, jadi kamu, Sal."Salma bahlan lupa, kapan terakhir kali suaminya itu memberinya hadiah. Jangankan hadiah, nafkah untuk kebutuhan keluarga saja Amar hampir tidak pernah memberikan.Salma jadi mengingat-ingat kejadian yang memang ia rasa janggal selama ini.Katanya hanya staf biasa, tapi Amar kerap kali ijin pada Salma untuk ikut perjalanan bisnis ke luar kota. Di saat itu pula, Ayu selalu ijin untuk menginap di rumah temannya. Tentu saja, istri yang teman-teman kantor Amar itu kira Salma, padahal sebenarnya, Atu lah yang tengah menikmati hasil kesuksesan Amar."Selamat ya, Bu Salma
Bibir Ayu terus saja mengerucut selama perjalanan. Debu dan asap kendaraan tentu dengan bebas berembus dan mengenai kulit mulus Ayu yang sudah dirawat sejak ia punya uang jajan yang banyak dari Salma sekaligus Amar."Pokoknya aku gak mau tahu ya, Mas. Besok Mas harua pake mobil nganternya. Kalau gini, kan, nanti sampe kampus make-up aku berantakan. Rambut juga jadi bau asap, pokoknya aku gak mau!" ucap Ayu dengan sedikit berteriak karena di jalanan tentu saja bising. Itu pun belum tentu Amar bisa mendengarkan suaranya."Hah?!"Betul, kan. Panjang lebar Ayu mengoceh, tapi rupanya tak ada satu pun kata yang bisa didengar dengan baik oleh Amar. Selain karena suara bising, teling lelaki itu juga tertutup helf fullface."Hah heh hah heh. Kaya tukang keong kamu, Mas.""Terong? Kamu ngidam makan terong?""Tahu, ah!" Ayu total merajuk.Sampai di kampus pun, Ayu masih menekuk wajahnya dengan bibir mengerucut. Jika biasanya i
"Pokoknya aku gak mau tahu ya, Mbak. Mas Amar harus menikahiku secara sah, baik agaman maupun negara. Aku tidak mau anak ini nanti lahir tidak ada kejelasan statusnya kalau Mas Amar hanya menikahiku secara siri," protes Ayu tak terima saat Salma tidak menyetujui niatan Ayu dan Amar yang akan mendaftarkan pernikahan mereka ke kantor urusan agama.Sembari memakan buah anggur yang sudah dibuang bijinya, Salma berujar dengan santai, masih dengan posisi duduk berselonjor di atas sofa dan menikmati acara televisi kegemarannya."Kalau aku tidak setuju, bagaimana?""Aku tidak peduli. Aku dan mas Amar akan tetap mendaftarkan pernikahan kami secara administrasi negara. Ya, kan, Mas?" tanya Ayu pada Amar bermaksud mencari pembelaan. Amar hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.menikah tanpa persetujuan istri pertama itu ada hukumnya?"Ayu menghentakkan kakinya kesal. la sudah tahu sebenarnya, tapi ia hanya berniat menggertak Salma. Namun, Salma bukan wanita lemah dan bodoh. Ia tidak akan mengalah
Salma merasa hajatnya harua segera dituntaskan. Meskipun malas, ia memaksakan diri untuk bangkit dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi. Saat keluar kamar, samar-samar ia mendengar suara mesin mobil yang baru dimatikan di depan rumahnya."Apa ada tamu, ya? Tapi masa bertamu malam-malam begini?" gumam Salma saat melihat jam pada dinding ruang tengah menunjukkan pukul sebelas malam.Baru saja Salma hendak mengintip ke jendela depan, ia terkejut saat pintu tiba-tiba terbuka dari luar."Makasih, ya, Mas. Aku suka tasnya, besok giliran baju yang tadi, ya. Kamu, sih, pakai acara uangnya dipinjemin ke temen kamu, jadi kurang, kan, uang buat belanjanya ," cerocos Ayu saat masuk ke dalam rumah dan tak menyadari adanya Salma yang berdiri di dekat jendela."Sama-sama, Sayang. Apapun akan aku lakukan biar sayangnya Mas ini gak ngambek lagi."Amar mencium gemas pipi Ayu. Salma yang melihatnya pun rasanya sudah kebal. la sendiri sudah mengultimat
"Ohh, jadi kamu yang morotin duit anakku?"Bu Mila, Ibu Amar ternyata sudah masuk ke dalam rumah tanpa mengucap salam. Jarak rumah bu Mila dengan rumah Salma memang tak terlalu jauh. Cukup ditempuh dalam waktu tiga puluh menit saja jika mengendarai motor. Sedikit lebih lama jika ditempuh dengan angkot."Ibu? Kok, pagi-pagi Ibu udah ada disini?"Bu Mila tak mengindahkan pertanyaan sang anak. Dengan langkah besar, ia menghampiri dua manusia yang masih terdiam di kursi meja makan."Awh! Sakit, Bu!" pekik Ayu saat bu Mila mencengkeram lengan atas anak itu."Balikin! Sini, balikin uang anakku. Enak saja, aku yang ngelahirin, aku yang kasih makan, yang nyekolahin sampe gede, kamu enak-enakan makan gaji dia.""Bu! Lepasin, Bu, kasihan Ayu kesakitan itu."Amar tentu kasihan melihat kekasihnya disakiti seperti itu oleh sang ibu, tapi, Amar juga tidak berani jika harus melepaskan cengkeraman tangan sang ibu pada Ayu.
"Boleh saja. Asal, uang bulanan Ibu lebih besar dari pada uang bulanan istri-istri kamu."Ayu mendelik mendengar hal itu, hendak menyangkal, tapi lagi-lagi tangan Amar menggenggamnya dengan erat. Kaki Ayu menghentak ke atas lantai, ia pikir, Amar akan menuruti permintaan ibunya. Jika iya, Ayu yang tidak mau kalau sampai jatah bulanannya dikurangi."Ya sudah, kalau Ibu maunya begitu. Amar akan turuti, asal Ibu merestui hubunganku dan Ayu.""Mas!" pekik Ayu kesal dengan keputusan Amar.Tak mendapat respon berarti dari Amar, Ayu segera beranjak ke dalam kamarnya dengan kaki menghentak kesal. Bu Mila tersenyum penuh kemenangan karena berhasil mengalahkan Ayu dalam hal jatah bulanan."Tuh, lihat. Nyari istri, kok, masih kaya anak-anak gitu kelakuannya," ucap bu Mila sinis yang membuat Amar menggaruk tengkuknya kikuk."Ya, mau gimana lagi, Bu. Amar udah kepalang cinta sama Ayu. Dia juga udah ngasih Amar keturunan. Pelayanan ranjan
Hari ini hari minggu, Amar tidak berniat untuk pergi kemana-mana karena ketika membuka dompetnya, ternyata di dalam benda itu hanya terdapat SIM, KTP, kartu ATM tanpa saldo dan beberapa struk belanja yang lupa ia buang. Adapun dua lembar uang berwarna hijau yang harus ia simpan jika sewaktu-waktu ia butuhkan. Dulu, jika uang pegangannya sudah habis, maka dengan mudah Amar akan memintanya pada Salma.Karena Salma adalah istri yang patuh dan selama ini tak pernah mempermasalahkan tentang keuangan, ia akan dengan senang hati memberi uang saku untuk Amar jika memang uangnya habis di pertengahan tangga. Namun, sekarang jangankan meminta uang saku pada Salma. Untuk makan saja Amar harus mengeluarkan uang pribadinya karena Salma sudah tidak pernah lagi memasak."Mas, hari minggu gini enaknya jalan-jalan, tahu. Masa diem aja di rumah, bosen aku, Mas," rengek Ayu manja dengan tangan yang melingkar pada lengah sang lelaki dan menyandarkan bahunya pada bahu Amar.