Share

Bab 4 bercocok tanam

Salma sampai di rumah setelah menyetir mobil sendirian dengan menahan pusing di kepala. Untung saja jalanan kampung cukup lenggang dan ia bisa sampai di rumah dengan selama.

"Lho, Salma, kok sendirian? Mana Ayu dan Amar?"

Bukannya bertanya tentang keadaan Salma yang baru saja pingsan, bu Asih justru mencari keberadaan sang anak bungsu. Hal itu tentu membuat Salma merasa kesal.

"Aku suruh jalan kaki," jawab Salma seraya berjalan menuju kamarnya. Ia ingin segera beristirahat di kasurnya.

Namun, langkah Salma terhenti saat bu Asih menahan lengannya. Wajah wanita tua itu tampak mengerut tidak suka.

"Kamu tega biarin adik kamu yang lagi hamil jalan kaki? Dimana hati nuranimu, Salma?"

"Ibu tanya hati nurani Salma? Lalu, dimana hatu nurani Ibu dan Ayus sampai kalian bisa mengkhianati Salma seperti ini?"

PLAK

Tangan bu Asih berhasil mendarat dengab sempurna di pipi Salma. Tamparan yang cukup keras hingga kepalanya menoleh ke samping, pipinya pun kini terasa begitu panas namun tak sebanding dengan panas di hatinya. Sejak kecil, baru kali ini ibu yang baru ia ketahui sebagai ibu angkat itu melayangkan tangan padanya.

"Berani kamu bicara seperti itu pada Ibu, Salma? Sejak kapan kamu jadi berani seperti ini?"

"Sejak aku tahu kalau keluarga yang selama ini aku percaya, aku sayangi hingga semua ku beri untuk mereka, ternyata malah mengkhianati aku. Maaf saja, Bu, aku sudah muak. Ternyata ini alasan kenapa Ibu selalu memperlakukan ku dengan beda dari Ayu. Ternyata aku hanya anak pungut."

"Kamu memang anak pungut, Salma. Tapi kamu juga harus ingat, Ibu yang sudah merawatmu sejak kecil. Jadi, kamu juga wajib menghormati Ibu seperti orang tua kandungmu sendiri."

"Aku tahu, Bu. Dan kurang apa aku selama ini pada kalian? Dulu, aku ingin kuliah tapi Ibu bilang tidak ada biaya hingga aku memutuskan merantau sendiri. Kerja di salon hingga nasib baik menghampiriku dan sekarang aku bisa memiliko salonku sendiri.

Dari hasil salon, ku bangunkan Ibu rumah besar yang dulu hanya sebatas rumah papan. Ku bangunkan toko yang sekarang menjadi milik Ibu, hasilnya pun aku tidak pernah tahu. Bahkan, setiap bulan aku masih memberikan jatah pada Ibu. Sedangkan untu Ayu, tempat tidurnya, makanannya, uang sakunya, semua dariku, Bu."

"Kok, kamu jadi ungkit-ungkit begitu? Itu sudah menjadi kewajiban kamu membalas budi pada Ibu, Salma."

"Aku tahu, Bu. Tapi-"

"Kamu emang bener-bener keterlaluan ya, Mbak. Sudah tahu aku lagi hamil, malah ditinggal. Mbak tahu, gak, aku sama mas Amar tadi hampir aja ketabrak motor. Ungtung aja orangnya tanggung jawab nganterin aku sampe rumah," cerocos Ayu yang baru saja datang dengan kaki menghentak.

Belum sempat menjawab, kini giliran Amar yang baru memasuki rumah dengan napas terengah-engah.

"Astaga, capek banget lari-larian dari sana. Mataharinya udah mulai tinggi pula."

"Salah kamu, Mas. Kalau kamu punya uang buat naik ojek tadi, kan, kita gak perlu jalan kaki dan aku gak perlu sampai hampir di tabrak motor."

Mendengar ocehan Ayu membuat Salma tersenyum mengejek.

"Dan lihat saja laki-laki itu, Bu. Dia juga tak luput dari sokonganku meskipun dia adalh seorang suami yang tugasnya mencari nafkah. Selama menjadi istrinya, bisa ku hitung berapa uang nafkah yang sudah dia berikan padaku. Tak lebih dari pengeluaranku selama dua bulan. Aku yang membiayai seluruh kebutuhan rumah. Dan sekarang, dengan gayanya dia malah berselingkuh."

"Kamu yang sopan ngomong sama

suami, Salma!" bentak bu Asih yang tak suka melihat Salma menghina menatunya.

Karena di mata bu Asih, Amar adalah lelaki yang bertanggung jawab. Ya, Amar bertanggung jawab pada Ayu. Selama satu tahun menjalin hubungan, Amar rutin

memberi nafkah pada Ayu, selingkuhannya, alih-alih menafkahi istrinya sendiri.

"Sekarang, terserah kalian. Aku sudah tidak peduli."

Salma masuk ke dalam kamar lalu membantung pintu kamar hingga bunyi debuman keras terdengar. Untung saja rumah bu Asih sudah beralih dari papan kayu menjadi tembok beton. Jika tidak, bisa saja rumah itu roboh karena Salma menutup pintu dengan kekuatan penuh.

Lama Salma mengurung diri di dalam kamar hingga malam tiba. Perutnya pun sama sekali tak terasa lapar. Namun, kali ini terpaksa ia harus keluar dari tempat ternyamannya untuk menuntaskan hajatnya.

Di luar tampak sepi padahal masih jam delapan lewat. Ia berjalan perlahan menuju kamar mandi yang ada di bagian belakang rumah dekat dapur. Pertama, ia melewati kamar bu Asih yang kebetulan tidak dikunci dan sedikit terbuka. Salma bisa melihat ibunya itu tengah terlelap.

Di kamar berikutnya, yaitu kamar Ayu, ia justru mendengar suara cekikikan adiknya itu. Ia sebenarnya penasaran, kemana perginya Amar. Tadi sore lelaki itu memang terus mengetuk pintu kamar Salma, tapi Salma enggan untuk membuka.

"Udanh donga, Mas. Geli, ih!"

Rasanya Salma sudah kebal mendengar suara adiknya kembali memanggil sang suami di dalam kamar. Rupanya lelaki itu benar-benar bernyali besar. Kalau begini, tentu tekadnya sudah bulat untuk bercerai. Namun, ia baru teringat jika kini dirinya tidak sendiri. Ada janin yang sedang tumbuh di dalam rahimnya.

"Apa aku harus benar-benar bercerai di saat aku sedang hamil seperti ini?"

Memikirkannya membuat Salma pusing. Ia hendak kembali melanjutkan langkahnya sebelum suara Amar terdengar rungunya.

"Kamu yang sabar, dong, kalau menghadapi Salma. Kalau kamu mau hidup enak sama Mas, ya Mas harus tetap bersama dengan Salma. Kamu tahu sendiri, kan, semua kebutuhan rumh tangga itu Salma yang menjamin. Kalau aku cerai, kamu mau uang bulanan kamu berkurang? Aku harus tetap ngasih ibuku juga, lho."

"Iya deh, iya. Nanti aku bakal kuat-kuatin jadi adik madunya Mbak Salma. Ini semua demi kamu, anak kita dan tentunya uang jajanku, Mas. Aku gak mau kalau uang gaji kamu yang gak seberapa itu harus dibagi buat ini itu. Cukup buat aku, ibuku dan ibumu saja, Mas."

Geram bukan main yang dirasakan

Salma saat ini. Jadi, permintaan maaf dan sikap Amar yang seolah tak mau ditinggalkan itu rupanya hanya karena uang. Amar sama sekali tak memikirkan anak yang saat ini tengah dikandung Salma.

"Baik kalau seperti itu maumu, Mas. Akan aku tunjukkan bagaimana saat kamu kehilangan tempat bergantung dan bernaung. Begitu juga dengan kamu, Ayu. Aku tidak rela kamu menikmati sesuatu yang harusnya menjadi

Pagi-pagi sekali, Salma sudah rapi dengan pakaiannya. Koper besar yang memang belum ia bongkar isinya kini kembali ia seret keluar rumah.

"Kamu mau kemana, Salma," tanya Amar yang sepertinya baru selesai mandi. Handuk basah masih setia melingkar di lehernya dan tengah ia pakai untuk mengeringkan rambutnya yang juga basah.

"Habis bercocok tanam kamu, Mas?" tanya Salma dengan nada yang tenang. Amar seketika menghentikan gerakan tangannya.

"Hah, bercocok tanam? Bertani gitu maksudnya? Ya, gak lah, Salma. Orang kantoran masa mau bertani."

Salma berdecak lidah. Rupanya suaminya itu bodoh atau memang pura-pura bodoh. Tentu saja yang Salma maksus adalag bercocok tanam dengan adiknya semalam, mungkin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status