Share

Bab 6 itu mobilku , bukan mobilmu

Nama Mely dipanggil lebih dulu untuk masuk ke dalam ruang pemeriksaan, meninggalkan Salma yang masih terngiang-ngiang dengan ucapan Mely barusan.

"Aku sering gak sengaja denger, teman-teman kantor itu pada bilang kalau Amar itu penyayang istri karena sering kasih kejutan istri, sering beliin barang ini itu. Sering pula di ajak liburan. Enak banget tahu gak, sih, jadi kamu, Sal."

Salma bahlan lupa, kapan terakhir kali suaminya itu memberinya hadiah. Jangankan hadiah, nafkah untuk kebutuhan keluarga saja Amar hampir tidak pernah memberikan.

Salma jadi mengingat-ingat kejadian yang memang ia rasa janggal selama ini.

Katanya hanya staf biasa, tapi Amar kerap kali ijin pada Salma untuk ikut perjalanan bisnis ke luar kota. Di saat itu pula, Ayu selalu ijin untuk menginap di rumah temannya. Tentu saja, istri yang teman-teman kantor Amar itu kira Salma, padahal sebenarnya, Atu lah yang tengah menikmati hasil kesuksesan Amar.

"Selamat ya, Bu Salma. Janin Bu Salma sekarang sudah berusia tiga belas minggu. Hari perkiraan lahir, tanggal 10 Agustus 202 3. Detak jantungnya bisa Ibu dengar sendiri, bukan?" ucap dokter kandungan yang berjenis kelamin perempuan itu sembari terus menggerakkan alat di atas perut Salma.

Salma hanya menanggapinya dengan senyum mengambang. Rasanya masih belum bisa menerima saat mengetahui benih Amar akhirnya tumbuh dalam rahimnya. Usia kandungannya sudah tiga bulan, itu artinya satu bulan lebih tua dari usia kandungan Ayu.

Setelah menebus obat di apotek rumah sakit, Salma kembali mengendarai kendaraan roda empatnya menuju rumahnya. Ia memandang rumah yang ia bangun dari hasil jerih payahnya itu. Untung saja, rumah itu ia bangun sebelum menikah dengan Amar. Jadi, jika suatu saat dirinya benar akan berpisah dari lelaki itu, rumah itu tak akan masuk ke dalam bagian harta gono gini. Untuk mobil, tentu itu atas namanya dan juga ia beli dari hasil kerja kerasnya. Hanya saja, mobil itu baru ia beli satu tahun yang lalu, yang tentunya akan berpotensi menjadi bagian dari harta gono gini.

"Kalau aku jadi berpisah dengan mas Amar, maaf kalau aku harus menjualmu, ya? Aku tidak rela jika hasil keringatku dinikmati manusia-manusia tak tahu diri macam mereka," gumam Salma dengan tangan yang mengusap-usap kemudi mobil.

Hari ini ia hanya ingin beristirahat. Biarlah, dua hari ini salon dipegang oleh Andin, orang kepercayaan Salma.

Setelah meminum obat dan vitamin kehamilan, Salma merebahkan diri. Ia lelah fisik, juga hati. Tidak adanya Amar dan Ayu hari ini cukup bisa membuatnya tenang. Namun, rupanya itu hanyalah angan semata.

Baru saja ia memejamkan mata, suara pintu kamar yang terbuka membuatnya kembali terjaga.

"Ngapain kamu kemari, Mas?" tanya Salma saat Amar melepas kemejanya dan menggantungnya di gantungan yang terpasang di balik pintu.

"Kok, ngapain, sih. Ya aku mau istirahat, Salma. Aku capek tahu, dari rumah ibu kesini harus naik motor. Mobilnya kamu bawa sendirian. Ya setidaknya tadi itu kamu bawa sekalian si Ayu."

Salma memutar bola mata malas, lagi-lagi nama Ayu yang disebut. Tak perduli pada Amar yang entah akan melakukan apa lagi, Salma melanjutkan acara tidurnya.

Amar terlihat sedikit terburu-buru, terlihat dari gerakannya mengancing kemeja yang tak kunjung selesai. Dasinya juga terpasang asal-asalan. Jika biasanya Salma akan membantu lelaki itu untuk bersiap, maka tidak untuk sekarang, ia sudah tidak sudi lagi. Juga tadi saat Salma terbangun. Ia tahu jika suaminya itu akan kesiangan jika tidak dibangunkan. Tapi, Salma seolah membiarkan Amar merasakan akibat dari perbuatannya yang sudah membuat hatinya sakit. Salma tak mau lagi melayani Amar dalam bentuk apapun.

"Mobilnya akan aku bawa," jawab Salna santai sembari menikmati bubur ayam yang dibelinya di depan pintu masuk komplek tadi pagi.

"Lho, kok, gitu? Biasanya kamu, kan, bawa motor? Mobilnya aku yang bawa," protes Amar tak terima.

Memang, biasanya mobil itu digunakan oleh Amar untuk pergi ke kantor dan Salma mengalah dengan hanya menggunakan motor matic yang juga miliknya karena salon miliknya terletak tak jauh dari rumah.

"Suka-suka aku, dong. Itu mobilku, aku yang membelinya."

Tak lama, Ayu pun keluar dari kamar dengan pakaian rapi. Sepertinya anak itu akan pergi ke kampus.

"Lho, mana sarapannya, Mbak?" tanya Ayu tak tahu malu.

Selama ini Salma memang mengerjakan semuanya sendiri tanpa bantuan ART. Karena ia sudah tak begitu sibuk di salon karena sudah ada penanggung jawabnya, Salma ingin lebih fokus mengurus rumah tangga. Urusan masak memasak juga Salma yang menyiapkan segala sesuatunya. Satu-satunya yang dikerjakan Ayu di rumah ini hanyalah mencuci pakaiannya sendiri. Itu pun menunggu hingga satu minggu sekali. Tempat jemuran akan penuh dengan pakaian Ayu di hari minggu.

"Kamu tanya sarapanku atau sarapanmu? Kalau sarapanku, sih, ini."

Salma menunjuk mangkuk berisikan bubur ayam dengan sendoknya, membuat Ayu melongo. Ia lantas menoleh ke arah Amar.

"Ya udah kalau gitu. Mas, kita sarapan di luar, yuk? Sekalian nanti anterin aku ke kampus." ajak Ayu pada Amar yang tak lagi dipedulikan oleh Salma yang makin asik menikmati bubur ayamnya.

Amar melirik Salma sekilas. Salma yang tak sengaja beradu tatap dengan suaminya itu lantas mengangkat bahunya tak acuh.

"Ya udah, ayo. Tapi, kita naik motor lagi, ya?"

"Apa? Kok, naik motor, sih, Mas? Naik mobil lah, Mas. Apa kata teman-temanku nanti kalau mereka tahu aku ke kampus naik motor. Bisa-bisa mereka ngira aku berangkat sama tukang ojek."

Ayu mencebikkn bibirnya dengan tangan terlipat di depan dada. Tak ingin melihat Ayu merajuk, Amar kembali memohon pada Salma agar diijinkan untuk menggunakan mobilnya.

"Salon kan deket, Sal. Kamu pakai motor aja, ya? Kasian, lho, Ayu. Dia hamil, masa harus naik motor."

Salma menghentikan acara menikmati bubur ayamnya. Ia geram dengan ucapan Amar barusan. Apa Amar tak sadar jika Salma juga tengah mengandung? Bahkan, saat kedua anak itu lahir nantinya, anak Salma lah yang akan mendaptkan hak penuh atas diri Amar dan seluruh hartanya.

Salma lantas berdiri, berkacak pinggang dan menatap sang suami dengan tatapan nyalang. Kunci mobil dan motor yang sebelumnya ia letakkan di atas meja di samping mangkuk buburnya itu pun ia angkat tepat di depan wajah Amar.

"Kamu gak mau pake motor buat nganter selingkuhan kamu?"

Ayu mendelik mendengar ucapan sang kakak. Ia merasa tak terima, hendak menyangkal, tapi Salma kembali bersuara.

"Kalau gitu, naik angkot saja, sana! Ingat ya, Mas, mobil dan motor itu aku beli pakai uangku. Sepeserpun gak ada uangmu di dalamnya. Jadi, itu semua hakku. Sudah untung aku mau meminjamkan motor untukmu."

Hilang sudah selera makan Salma. Meski bubur ayamnya belum habis, Salma memutuskan untuk pergi dari hadapan Amar dan Ayu. Baru beberapa langkah, Salma berhenti dan menoleh kembali ke arah dua orang yang masih mematung di tempatnya.

"Oh ya, kalau kamu lupa, bukan cuma selingkuhan kamu itu aja yang hamil, Mas, tapi aku juga. Bahkan, saat anak ini lahir nantinya, dia lebih berhak atas dirimu dan seluruh hartamu."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status