Nama Mely dipanggil lebih dulu untuk masuk ke dalam ruang pemeriksaan, meninggalkan Salma yang masih terngiang-ngiang dengan ucapan Mely barusan.
"Aku sering gak sengaja denger, teman-teman kantor itu pada bilang kalau Amar itu penyayang istri karena sering kasih kejutan istri, sering beliin barang ini itu. Sering pula di ajak liburan. Enak banget tahu gak, sih, jadi kamu, Sal."Salma bahlan lupa, kapan terakhir kali suaminya itu memberinya hadiah. Jangankan hadiah, nafkah untuk kebutuhan keluarga saja Amar hampir tidak pernah memberikan.Salma jadi mengingat-ingat kejadian yang memang ia rasa janggal selama ini.Katanya hanya staf biasa, tapi Amar kerap kali ijin pada Salma untuk ikut perjalanan bisnis ke luar kota. Di saat itu pula, Ayu selalu ijin untuk menginap di rumah temannya. Tentu saja, istri yang teman-teman kantor Amar itu kira Salma, padahal sebenarnya, Atu lah yang tengah menikmati hasil kesuksesan Amar."Selamat ya, Bu Salma. Janin Bu Salma sekarang sudah berusia tiga belas minggu. Hari perkiraan lahir, tanggal 10 Agustus 202 3. Detak jantungnya bisa Ibu dengar sendiri, bukan?" ucap dokter kandungan yang berjenis kelamin perempuan itu sembari terus menggerakkan alat di atas perut Salma.Salma hanya menanggapinya dengan senyum mengambang. Rasanya masih belum bisa menerima saat mengetahui benih Amar akhirnya tumbuh dalam rahimnya. Usia kandungannya sudah tiga bulan, itu artinya satu bulan lebih tua dari usia kandungan Ayu.Setelah menebus obat di apotek rumah sakit, Salma kembali mengendarai kendaraan roda empatnya menuju rumahnya. Ia memandang rumah yang ia bangun dari hasil jerih payahnya itu. Untung saja, rumah itu ia bangun sebelum menikah dengan Amar. Jadi, jika suatu saat dirinya benar akan berpisah dari lelaki itu, rumah itu tak akan masuk ke dalam bagian harta gono gini. Untuk mobil, tentu itu atas namanya dan juga ia beli dari hasil kerja kerasnya. Hanya saja, mobil itu baru ia beli satu tahun yang lalu, yang tentunya akan berpotensi menjadi bagian dari harta gono gini."Kalau aku jadi berpisah dengan mas Amar, maaf kalau aku harus menjualmu, ya? Aku tidak rela jika hasil keringatku dinikmati manusia-manusia tak tahu diri macam mereka," gumam Salma dengan tangan yang mengusap-usap kemudi mobil.Hari ini ia hanya ingin beristirahat. Biarlah, dua hari ini salon dipegang oleh Andin, orang kepercayaan Salma.Setelah meminum obat dan vitamin kehamilan, Salma merebahkan diri. Ia lelah fisik, juga hati. Tidak adanya Amar dan Ayu hari ini cukup bisa membuatnya tenang. Namun, rupanya itu hanyalah angan semata.Baru saja ia memejamkan mata, suara pintu kamar yang terbuka membuatnya kembali terjaga."Ngapain kamu kemari, Mas?" tanya Salma saat Amar melepas kemejanya dan menggantungnya di gantungan yang terpasang di balik pintu."Kok, ngapain, sih. Ya aku mau istirahat, Salma. Aku capek tahu, dari rumah ibu kesini harus naik motor. Mobilnya kamu bawa sendirian. Ya setidaknya tadi itu kamu bawa sekalian si Ayu."Salma memutar bola mata malas, lagi-lagi nama Ayu yang disebut. Tak perduli pada Amar yang entah akan melakukan apa lagi, Salma melanjutkan acara tidurnya.Amar terlihat sedikit terburu-buru, terlihat dari gerakannya mengancing kemeja yang tak kunjung selesai. Dasinya juga terpasang asal-asalan. Jika biasanya Salma akan membantu lelaki itu untuk bersiap, maka tidak untuk sekarang, ia sudah tidak sudi lagi. Juga tadi saat Salma terbangun. Ia tahu jika suaminya itu akan kesiangan jika tidak dibangunkan. Tapi, Salma seolah membiarkan Amar merasakan akibat dari perbuatannya yang sudah membuat hatinya sakit. Salma tak mau lagi melayani Amar dalam bentuk apapun."Mobilnya akan aku bawa," jawab Salna santai sembari menikmati bubur ayam yang dibelinya di depan pintu masuk komplek tadi pagi."Lho, kok, gitu? Biasanya kamu, kan, bawa motor? Mobilnya aku yang bawa," protes Amar tak terima.Memang, biasanya mobil itu digunakan oleh Amar untuk pergi ke kantor dan Salma mengalah dengan hanya menggunakan motor matic yang juga miliknya karena salon miliknya terletak tak jauh dari rumah."Suka-suka aku, dong. Itu mobilku, aku yang membelinya."Tak lama, Ayu pun keluar dari kamar dengan pakaian rapi. Sepertinya anak itu akan pergi ke kampus."Lho, mana sarapannya, Mbak?" tanya Ayu tak tahu malu.Selama ini Salma memang mengerjakan semuanya sendiri tanpa bantuan ART. Karena ia sudah tak begitu sibuk di salon karena sudah ada penanggung jawabnya, Salma ingin lebih fokus mengurus rumah tangga. Urusan masak memasak juga Salma yang menyiapkan segala sesuatunya. Satu-satunya yang dikerjakan Ayu di rumah ini hanyalah mencuci pakaiannya sendiri. Itu pun menunggu hingga satu minggu sekali. Tempat jemuran akan penuh dengan pakaian Ayu di hari minggu."Kamu tanya sarapanku atau sarapanmu? Kalau sarapanku, sih, ini."Salma menunjuk mangkuk berisikan bubur ayam dengan sendoknya, membuat Ayu melongo. Ia lantas menoleh ke arah Amar."Ya udah kalau gitu. Mas, kita sarapan di luar, yuk? Sekalian nanti anterin aku ke kampus." ajak Ayu pada Amar yang tak lagi dipedulikan oleh Salma yang makin asik menikmati bubur ayamnya.Amar melirik Salma sekilas. Salma yang tak sengaja beradu tatap dengan suaminya itu lantas mengangkat bahunya tak acuh."Ya udah, ayo. Tapi, kita naik motor lagi, ya?""Apa? Kok, naik motor, sih, Mas? Naik mobil lah, Mas. Apa kata teman-temanku nanti kalau mereka tahu aku ke kampus naik motor. Bisa-bisa mereka ngira aku berangkat sama tukang ojek."Ayu mencebikkn bibirnya dengan tangan terlipat di depan dada. Tak ingin melihat Ayu merajuk, Amar kembali memohon pada Salma agar diijinkan untuk menggunakan mobilnya."Salon kan deket, Sal. Kamu pakai motor aja, ya? Kasian, lho, Ayu. Dia hamil, masa harus naik motor."Salma menghentikan acara menikmati bubur ayamnya. Ia geram dengan ucapan Amar barusan. Apa Amar tak sadar jika Salma juga tengah mengandung? Bahkan, saat kedua anak itu lahir nantinya, anak Salma lah yang akan mendaptkan hak penuh atas diri Amar dan seluruh hartanya.Salma lantas berdiri, berkacak pinggang dan menatap sang suami dengan tatapan nyalang. Kunci mobil dan motor yang sebelumnya ia letakkan di atas meja di samping mangkuk buburnya itu pun ia angkat tepat di depan wajah Amar."Kamu gak mau pake motor buat nganter selingkuhan kamu?"Ayu mendelik mendengar ucapan sang kakak. Ia merasa tak terima, hendak menyangkal, tapi Salma kembali bersuara."Kalau gitu, naik angkot saja, sana! Ingat ya, Mas, mobil dan motor itu aku beli pakai uangku. Sepeserpun gak ada uangmu di dalamnya. Jadi, itu semua hakku. Sudah untung aku mau meminjamkan motor untukmu."Hilang sudah selera makan Salma. Meski bubur ayamnya belum habis, Salma memutuskan untuk pergi dari hadapan Amar dan Ayu. Baru beberapa langkah, Salma berhenti dan menoleh kembali ke arah dua orang yang masih mematung di tempatnya."Oh ya, kalau kamu lupa, bukan cuma selingkuhan kamu itu aja yang hamil, Mas, tapi aku juga. Bahkan, saat anak ini lahir nantinya, dia lebih berhak atas dirimu dan seluruh hartamu."Bibir Ayu terus saja mengerucut selama perjalanan. Debu dan asap kendaraan tentu dengan bebas berembus dan mengenai kulit mulus Ayu yang sudah dirawat sejak ia punya uang jajan yang banyak dari Salma sekaligus Amar."Pokoknya aku gak mau tahu ya, Mas. Besok Mas harua pake mobil nganternya. Kalau gini, kan, nanti sampe kampus make-up aku berantakan. Rambut juga jadi bau asap, pokoknya aku gak mau!" ucap Ayu dengan sedikit berteriak karena di jalanan tentu saja bising. Itu pun belum tentu Amar bisa mendengarkan suaranya."Hah?!"Betul, kan. Panjang lebar Ayu mengoceh, tapi rupanya tak ada satu pun kata yang bisa didengar dengan baik oleh Amar. Selain karena suara bising, teling lelaki itu juga tertutup helf fullface."Hah heh hah heh. Kaya tukang keong kamu, Mas.""Terong? Kamu ngidam makan terong?""Tahu, ah!" Ayu total merajuk.Sampai di kampus pun, Ayu masih menekuk wajahnya dengan bibir mengerucut. Jika biasanya i
"Pokoknya aku gak mau tahu ya, Mbak. Mas Amar harus menikahiku secara sah, baik agaman maupun negara. Aku tidak mau anak ini nanti lahir tidak ada kejelasan statusnya kalau Mas Amar hanya menikahiku secara siri," protes Ayu tak terima saat Salma tidak menyetujui niatan Ayu dan Amar yang akan mendaftarkan pernikahan mereka ke kantor urusan agama.Sembari memakan buah anggur yang sudah dibuang bijinya, Salma berujar dengan santai, masih dengan posisi duduk berselonjor di atas sofa dan menikmati acara televisi kegemarannya."Kalau aku tidak setuju, bagaimana?""Aku tidak peduli. Aku dan mas Amar akan tetap mendaftarkan pernikahan kami secara administrasi negara. Ya, kan, Mas?" tanya Ayu pada Amar bermaksud mencari pembelaan. Amar hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.menikah tanpa persetujuan istri pertama itu ada hukumnya?"Ayu menghentakkan kakinya kesal. la sudah tahu sebenarnya, tapi ia hanya berniat menggertak Salma. Namun, Salma bukan wanita lemah dan bodoh. Ia tidak akan mengalah
Salma merasa hajatnya harua segera dituntaskan. Meskipun malas, ia memaksakan diri untuk bangkit dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi. Saat keluar kamar, samar-samar ia mendengar suara mesin mobil yang baru dimatikan di depan rumahnya."Apa ada tamu, ya? Tapi masa bertamu malam-malam begini?" gumam Salma saat melihat jam pada dinding ruang tengah menunjukkan pukul sebelas malam.Baru saja Salma hendak mengintip ke jendela depan, ia terkejut saat pintu tiba-tiba terbuka dari luar."Makasih, ya, Mas. Aku suka tasnya, besok giliran baju yang tadi, ya. Kamu, sih, pakai acara uangnya dipinjemin ke temen kamu, jadi kurang, kan, uang buat belanjanya ," cerocos Ayu saat masuk ke dalam rumah dan tak menyadari adanya Salma yang berdiri di dekat jendela."Sama-sama, Sayang. Apapun akan aku lakukan biar sayangnya Mas ini gak ngambek lagi."Amar mencium gemas pipi Ayu. Salma yang melihatnya pun rasanya sudah kebal. la sendiri sudah mengultimat
"Ohh, jadi kamu yang morotin duit anakku?"Bu Mila, Ibu Amar ternyata sudah masuk ke dalam rumah tanpa mengucap salam. Jarak rumah bu Mila dengan rumah Salma memang tak terlalu jauh. Cukup ditempuh dalam waktu tiga puluh menit saja jika mengendarai motor. Sedikit lebih lama jika ditempuh dengan angkot."Ibu? Kok, pagi-pagi Ibu udah ada disini?"Bu Mila tak mengindahkan pertanyaan sang anak. Dengan langkah besar, ia menghampiri dua manusia yang masih terdiam di kursi meja makan."Awh! Sakit, Bu!" pekik Ayu saat bu Mila mencengkeram lengan atas anak itu."Balikin! Sini, balikin uang anakku. Enak saja, aku yang ngelahirin, aku yang kasih makan, yang nyekolahin sampe gede, kamu enak-enakan makan gaji dia.""Bu! Lepasin, Bu, kasihan Ayu kesakitan itu."Amar tentu kasihan melihat kekasihnya disakiti seperti itu oleh sang ibu, tapi, Amar juga tidak berani jika harus melepaskan cengkeraman tangan sang ibu pada Ayu.
"Boleh saja. Asal, uang bulanan Ibu lebih besar dari pada uang bulanan istri-istri kamu."Ayu mendelik mendengar hal itu, hendak menyangkal, tapi lagi-lagi tangan Amar menggenggamnya dengan erat. Kaki Ayu menghentak ke atas lantai, ia pikir, Amar akan menuruti permintaan ibunya. Jika iya, Ayu yang tidak mau kalau sampai jatah bulanannya dikurangi."Ya sudah, kalau Ibu maunya begitu. Amar akan turuti, asal Ibu merestui hubunganku dan Ayu.""Mas!" pekik Ayu kesal dengan keputusan Amar.Tak mendapat respon berarti dari Amar, Ayu segera beranjak ke dalam kamarnya dengan kaki menghentak kesal. Bu Mila tersenyum penuh kemenangan karena berhasil mengalahkan Ayu dalam hal jatah bulanan."Tuh, lihat. Nyari istri, kok, masih kaya anak-anak gitu kelakuannya," ucap bu Mila sinis yang membuat Amar menggaruk tengkuknya kikuk."Ya, mau gimana lagi, Bu. Amar udah kepalang cinta sama Ayu. Dia juga udah ngasih Amar keturunan. Pelayanan ranjan
Hari ini hari minggu, Amar tidak berniat untuk pergi kemana-mana karena ketika membuka dompetnya, ternyata di dalam benda itu hanya terdapat SIM, KTP, kartu ATM tanpa saldo dan beberapa struk belanja yang lupa ia buang. Adapun dua lembar uang berwarna hijau yang harus ia simpan jika sewaktu-waktu ia butuhkan. Dulu, jika uang pegangannya sudah habis, maka dengan mudah Amar akan memintanya pada Salma.Karena Salma adalah istri yang patuh dan selama ini tak pernah mempermasalahkan tentang keuangan, ia akan dengan senang hati memberi uang saku untuk Amar jika memang uangnya habis di pertengahan tangga. Namun, sekarang jangankan meminta uang saku pada Salma. Untuk makan saja Amar harus mengeluarkan uang pribadinya karena Salma sudah tidak pernah lagi memasak."Mas, hari minggu gini enaknya jalan-jalan, tahu. Masa diem aja di rumah, bosen aku, Mas," rengek Ayu manja dengan tangan yang melingkar pada lengah sang lelaki dan menyandarkan bahunya pada bahu Amar.
Bu Asih kini tengah bingung. Rupanya Salma tak main-main dengan ucapannya yang mengatakan bahwa ia tak akan lagi menjatah uang bulanan untuk sang ibu. Awalnya, bu Asih mengira Salma hanya menggertak saja. Namun, hingga dua minggu lewat dari tanggal biasanya Salma mengirim uang, uang itu tak kunjung masuk ke dalam nomor rekeningnya.Bu Asih memang mempunyai toko sembako kecil-kecilan. Seharusnya, hasil dari toko itu cukup untuk kebutuhan sehari-hari bu Asih jika hanya untuk makan sendiri meskipun pas-pasan. Tapi, ternyata sifat Ayu yang gemar bergaya itu turunan dari ibunya.Sebulan yang lalu, bu Asih mengambil baju gamis yang cukup mewah di salah satu teman arisannya. Harganya tak main-main untuk sebuah gamis yang hanya dikenakan di kampung. Satu gamis seharga sembilan ratus ribu. Belum jilbab dan aksesoris lainnya seperti tas dan sepatu. Jika ditotal, hutang bu Asih pada temannya itu sudah berjumlah satu juta tujuh ratus ribu. Bu Asih berjanji akan membayarnya saa
Hari ini adalah hari pernikahan Ayu dan Amar. Sesuai kesepakatan, Amar hanya akan menikahi Ayu secara agama dan acara tersebut dilaksanakan di rumah Salma.Jangan tanya bagaimana perasaan Salma sekarang. Meski mulutnya mengatakan bahwa ia sudah begitu jijik dengan Amar. Tapi tak bisa dipungkiri jika masih ada sisa-sisa perasaan yang melekat dalam hatinya.Perjalanan rumah tangga selama lima tahun, tentu tak bisa dengan mudah Salma lupakan. Ia pun memutuskan untuk berada di dalam kamar selama proses akad nikah berlangsung.Tak banyak saksi yang diundang. Hanya tetangga kanan dan kiri yang awalnya mereka sangat tidak menyangka jika Amar tega berselingkuh dengan adik iparnya sendiri. Meskipun kini mereka sudah tahu bahwa Salma dan Ayu bukanlah saudara kandung."Saaah!" Suara serentak dari para saksi membuat dada Salma berdenyut nyeri.Tapi, ia ingat akan tujuannya mempertahankan rumah tangganya dengan Amar. Salma ingin membalas rasa sak