Share

Bab 7 Dua - duanya keceplosan

Bibir Ayu terus saja mengerucut selama perjalanan. Debu dan asap kendaraan tentu dengan bebas berembus dan mengenai kulit mulus Ayu yang sudah dirawat sejak ia punya uang jajan yang banyak dari Salma sekaligus Amar.

"Pokoknya aku gak mau tahu ya, Mas. Besok Mas harua pake mobil nganternya. Kalau gini, kan, nanti sampe kampus make-up aku berantakan. Rambut juga jadi bau asap, pokoknya aku gak mau!" ucap Ayu dengan sedikit berteriak karena di jalanan tentu saja bising. Itu pun belum tentu Amar bisa mendengarkan suaranya.

"Hah?!"

Betul, kan. Panjang lebar Ayu mengoceh, tapi rupanya tak ada satu pun kata yang bisa didengar dengan baik oleh Amar. Selain karena suara bising, teling lelaki itu juga tertutup helf fullface.

"Hah heh hah heh. Kaya tukang keong kamu, Mas."

"Terong? Kamu ngidam makan terong?"

"Tahu, ah!" Ayu total merajuk.

Sampai di kampus pun, Ayu masih menekuk wajahnya dengan bibir mengerucut. Jika biasanya ia meminta Amar untuk mengantarnya sampai depan gedung fakultas, maka, kali ini ia hanya ingin diantar sampai pinggir jalan saja. Ayu mengaku malu jika diantar pacarnya menggunakan sepeda motor matic dan berhelm fullface pula.

Ya, setahu teman-teman Ayu, Amar adalag pacarnya. Usia Amar baru dua puluh sembilan tahun, sedangkan Ayu baru dua puluh satu tahun. Jarak usia delapan tahun tentu tidak terlalu jauh sehingga teman-temannya pun tak pernah mempermasalahkan hal itu.

Mereka bahkan memuji Ayu pintar mencari pasangan. Tampang Amar memang bisa dibulang cukup tampan. Dengan postur tubuh tinggi dan wajah 'laki banget'. Brewok tipis-tipis karena sering dicukur itu menambah kesan sexy pada lelaki beristri itu. Ditambah, Amar selalu mengantar Ayu ke kampus dengan mobil bagus yang tentu sebenarnya adalah milik Salma.

Amar memang nyaris setiap hari mengantar Ayu ke kampus, tentu tanpa sepengetahuan Salma. Hari ini saja Ayu berani meminta Amar mengantarnya secara langsung di hadapan Salma. Karena kepalang tanggung, sudah ketahuan, untuk apa sembunyi-sembunyi, begitu pikir Ayu.

"Eh, Yu, kenapa itu muka ditekuk? Gak dikasih jatah, ya, sama pacar, lo?" ejek Sany, salah satu teman dekat Ayu.

Kini, Ayu sudah berkumpul dengan teman-teman kuliahnya di kantin. Jam kuliah baru dimulai dua puluh menit lagi, jadi mereka masih ada waktu untuk bersantai. Beberapa mahasiswa dan mahasiswi tampak ada yang tengah sarapan.

"Enak aja, semalem aja baru dikasih, kok. Makanya sekarang badan gue pegel-pegel."

Jawaban Ayu sontak membuat ketiga temannya itu melongo. Ayu yang sadar jika dirinya salah bicara pun langsung meralat kata-katanya.

"Maksud gue, semalem gue baru aja ditransfer sama pacar gue dan langsung gue pake buat shopping, keliling mall sama makan-makan. Jadi sekarang badan gue rasanya pegel-pegel," kilah Ayu tak ingin teman-temannya curiga jika dia salah tangkap.

Ya, salah tangkap. Jatah yang Sany maksud adalah uang saku karena Ayu kerap kali pamer setelah Amar memberinya jatah uang jajan seperti biasanya. Sedangkan, Ayu mengira jika yang dimaksud jatah itu adalah jatah ranjang.

Sany, Rika dan Kiki pun hanya membeo. Ayu hanya tersenyum canggung. Meski mereka bertiga sudah lama menjadi teman dekatnya, ia tentu tak akan seterbuka itu untuk mengatakan jika hubungannya bersama dengan Amar sudah berjalan terlalu jauh sampai-sampai ia sudah hamil dua bulan.

Kini Ayu hanya pura-pura bersikap biasa di depan teman-temannya. Tak ingin jika ia kembali keceplosan jadi Ayu berusaha agar teman-temannya tak bertanya banyak hal tentang sang pacar.

Pun sama halnya dengan Ayu, Amar terlihat tak begitu bersemangat di kantor. Apalagi alasannya jika bukan karena hari ini Salma sudah mulai berubah sikap terhadapnya. Dari mulai tak lagi dibangunkan, tidak disiapkan pakaian dan sarapan hingga tak lagi diijinkan untuk menggunakan mobil istrinya itu. Padahal, semua orang kantor tentu mengira mobil itu adalah hasil jerih payah Amar. Mengingat kini jabatannya yang sudah cukup tinggi dari sebelumnya.

Hingga saat makan siang di kantin, Amar tak sengaja melihat Mely. Ia tahu bahwa perempuan itu adalah teman Salma. Tentu karena dulu ia bisa bekerja disini juga karena bantuannya. Meski satu kantor, ternyata mereka jarang sekali bertemu. Bertemu pun hanya sekedar menyapa. Tak pernah terlihat mereka terlibat percakapan yang berarti.

Mely tampak membawa nampan makanannya sendiri, ia terlihat celingak-celinguk mencari tempat duduk. Namun, sialnya hari itu semua kursi telah terisi. Ada satu kursi yang kosong tapi Mely tak melihatnya.

Melihat wanita dengan perut besar karena tengah hamil itu, Amar jadi kasihan. la tentu tahu jika Mely tengah mencari tempat duduk untuk menikmati makanannya. Mengingat kedua wanita yang ia cintai kini juga mengandung, Amar memutuskan untuk memanggil Mely.

"Sini, Mel. Ada kursi kosong, nih!" ujar Amar dengan sedikit berteriak.

Meski sebenarnya Mely merasa tak enak karena harus duduk satu meja dengan para pria, tapi itu satu-satunya pilihan atau jika mau, ia bisa makan di pantry, hanya saja tempatnya terlalu jauh. Ia merasa kesulitan membawa nampan penuh makanan itu dengan perutnya yang besar.

"Gak apa-apa, nih, duduk disini?" tanya Mely tentu tak hanya pada Amar. Disana juga ada beberapa orang lainnya. Mereka justru terlihat segan pada Mely karena jabatan mereka semua masih di bawah Mely, kecuali Amar.

"Santai aja, gak apa-apa. Dari pada kudu pergi ke pantry, kan, jauh."

"Iya, Bu Mely. Gak apa-apa gabung disini saja. Kami gak akan ngerokok, deh," sahun Romi yang memang lebih mengenal Mely karena dia satu divisi dengan Mely, atau bisa dibilang bawahan mely.

"Oke. Makasih, ya. Silakan nikmati makanan kalian. Jangan sungkan-sungkan."

Semuanya memakan makan siang mereka dengan khidmat, tak terkecuali Amar dan Mely. Sepuluh menit cukup bagi para pria itu untuk menghabiskan makanan dan juga kopi. Mereka lantas pamit untuk pergi karena kebiasaan mereka merokok setelah makan tentu tak bisa mereka lakukan disini karena adanya Mely. Hanya Amar dan Mely yang belum menghabiskan makanan mereka.

"Duluan, Pak Amar, Bu Mely," ujar Ary yang diangkugi keduanya.

"Gak ngerokok juga, Mar?" tanya Mely melihat Amar sudah menghabiskan makanannya tapi tak juga beranjak dari duduknya.

"Enggak, Mel. Udah berenti, nih, gantinya."

Amar menunjukkan sebuah permen yang ia ambil dari saku kemejanya lalu memakannya setelah membuka bungkusnya.

"Udah lama?" tanya Mely penasaran. Setahunya, Amar cukup gemar merokok. Ia kerap kali melihat Amar merokok bersama karyawan yang lain di smooking area.

"Gak, sih. Baru dua bulan ini, ada yang hamil di rumah, kasian."

Seketika mata Amar melotot, ia langsung menoleh ke arah Mely untuk melihat reaksi teman Salma itu. Amar keceplosan barusan. Untung saja ia tak menyebut jika selingkuhannya yang hamil. Namun, tetap saja dalam hatinya merawa was was jika Mely mencurigainya.

"Oh, iya. Salma, kan, hamil ya? Kemarin aku ketemu, lho pas periksa kandungan di rumah sakit. Akhirnya kalian diberikan kepercayaan itu, ya. Sudah lima tahun, kan?"

Tentu yang Mely maksud adalah usia pernikahan Amar dan Salma. Amar hanya tertawa canggung. Ia merasa sangat lega karena Mely tahu jika Salma juga tengah hamil. Untuk saat ini, Amar tidak mau bertindak gegabah dengan mempublikasikan hubungannya dengan Ayu. Meskipun Salma sudah mengetahui, tapi ia malu jika orang luar tahu kalau dia berselingkuh.

Rencananya, ia akan membuka status barunya saat ia menikahi Ayu secara resmi nanti.

"Iya, Mel. Alhamdulillah."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Lilawati Dharma Prana
ayu sangat jahat n ambisinya utk menguasai harta Salma
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status