Share

Bab 7.

Dafa bernafas lega ketika melihat Aya membuka matanya, gadis itu tak sadarkan diri cukup lama. Pria itu hampir saja membawa Aya kerumah sakit jika tidak sadar-sadar juga.

"Alhamdulillah kamu sudah sadar," Dafa mengucap syukur memandang Aya senang.

Aya memegangi kepalanya yang berdenyut, ia mencoba mengingat kembali apa yang sudah terjadi.

Wanita itu bangun untuk bersandar di kepala ranjang. Sigap Dafa membantu menaruh bantal di balik punggung Aya.

Aya mengambil buku di sampingnya lalu menulis sesuatu, Dafa diam menunggu apa yang Aya tulis. "Terima kasih ya, kamu mau nolongin aku. Maaf aku pasti merepotkanmu."

"Tidak perlu bilang makasih, sebagai teman. Kita harus saling tolong menolong," ada rasa nyeri ketika dirinya mengatakan jika dia teman pada Aya.

Dafa berdeham tidak ingin memperdulikan isi hatinya. "Aku sudah buat kan bubur, tadi aku lihat bahan yang kita beli kemarin ada di tong sampah." Aya mendelik lalu cepat-cepat menulis.

"Maaf Dafa, aku tidak bermaksud membuangnya." Aya pikir Dafa akan marah. Namun pria itu justru tersenyum.

"Iya. Aku tau itu bukan kamu yang buang. Tapi suami kamu kan?" Aya mengangguk pelan dengan rasa bersalah.

"Aku nggak habis pikir sama suami kamu, dia nggak pernah nafkahi kamu. Tapi ngelarang kamu, menerima bantuan orang lain." ucap Dafa geram. Sungguh rasanya ia ingin menghajar wajah suami Aya yang sudah menyia-nyiakan istri sebaik gadis itu.

Dafa mengambil mangkuk di atas nakas meja di kamar Aya. Bubur ayam yang masih mengeluarkan asap beraroma enak langsung Aya cium. "Sini akk. Aku suapin," Dafa sudah menyodorkan satu sendok yang di tolak wanita itu.

Aya tidak enak dan canggung jika sampai harus di suapi oleh Dafa. Namun karena pria itu memaksa Aya pun menurut ketika sendok sudah ada di depan bibirnya.

"Ini kamu yang buat Daf?" tanya Aya di bukunya.

"Hehehe.. Iya, kenapa nggak enak ya?" Aya menggelengkan kepalanya kuat lalu menulis lagi.

"Bukan tidak enak, tapi ini sangat enak. Kamu jago masak?" wajah Aya menatap takjub pada Dafa, sementara pria itu terkekeh melihat reaksi Aya.

"Masa sih. Tapi ya.. bagus sih kalau kamu suka." ujar Dafa senang.

"Kalau boleh tau, kamu bekerja di mana?"

"Kamu mau tau?" Aya mengangguk kuat dengan semangat.

Dafa mengulum senyum sambil menyuapi Aya kembali. "Aku dulunya koki di salah satu restoran, tapi setelah mempunyai uang yang cukup, akhirnya aku membuat kedai dan kini menjadi cafe, dan saat ini aku menjadi koki di cafe aku sendiri." Aya bertepuk tangan matanya berbinar, sungguh pria di hadapannya ini luar biasa.

"Kamu keren Dafa, sudah mempunyai usaha sendiri." Dafa tertawa melihat Aya yang senang dan juga membaca ucapan wanita itu.

"Kapan-kapan, kamu mau nggak? Aku ajak ke cafeku?" lagi Aya mengangguk senang. Wanita itu memang ingin sekali pergi ketempat seperti itu.

Selama ini mana pernah dia datang ketempat seperti itu, yang ada orang-orang akan terus memperhatikannya.

Selesai menyuapi Aya, Dafa pamit pulang. Dafa tidak enak berada di apartemen orang bersama istri tetangganya sendiri. Sebenarnya jika boleh jujur Dafa masih ingin merawat dan menjaga wanita itu. Namun ia takut jika tiba-tiba Rama datang dan melihatnya ada di sini, pasti pria itu akan menyalahkan istrinya. Dafa tidak ingin Rama menganiaya Aya lagi.

Sebelum kembali, Dafa memastikan jika Aya sudah baik-baik saja. Dan Aya pun meyakinkan pada pria itu jika dirinya sudah tidak apa-apa.

***

Sudah merasa baikkan, Aya keluar dari kamar ia tersentak ketika melihat Rama sudah duduk anteng di ruang tamu.

Merasakan kehadiran Aya, Rama menoleh menatap tajam pada istrinya. "Puas tuan putri tidurnya?" sarkas Rama.

"Aku tidak enak badan Mas, maaf." ucap Aya menggunakan bahasa isyarat. Rama memutar bola matanya jengah. Ia paling tidak suka jika Aya sudah menggunakan bahasanya yang sama sekali tidak dia mengerti.

Rama bangun dari duduknya menghampiri Aya, wanita itu sudah waspada. Ia mundur beberapa langkah. "Kita di suruh pulang kerumah. Dandan yang cantik. Awas kalau sampai orang tua gue tau. Gue nyiksa lo. Pulang dari sana. Lihat apa yang bakal gue lakuin ke elo!" ancam Rama dan setelah itu pria itu masuk kedalam kamarnya.

Aya kembali masuk kedalam kamar untuk bersiap-siap, dia tidak ingin membuat Rama marah lagi. Secepat kilat wanita itu sudah sangat cantik. Dandan sedikit tebal namun tidak menor. Yang terpenting baginya bisa menutupi luka-luka pada wajahnya.

Saat keluar dari kamar, ternyata Rama belum keluar dari kamarnya. Aya menunggu di ruang tamu sambil menggunakan sepatu berhak cukup tinggi.

Wanita itu membalikan tubuh menatap Rama yang sudah rapi keluar dari kamarnya. Mereka cukup tercengang menatap satu sama lain. Mereka terpana akan penampilan malam ini.

Aya mengerjapkan matanya melihat begitu tampannya Rama malam ini. Begitu pun pria itu yang ternganga melihat istrinya berpenampilan yang berbeda. Rama mengakui jika Aya cantik. Ralat sangat cantik, Bahkan ia baru menyadari jika Aya lebih cantik dari pada Melinda pacarnya.

Rama menggeleng kuat, ia tidak boleh terpesona pada istri bisunya. Aya menatap sendu ketika raut wajah Rama berubah dingin kembali.

"Buruan!" bentak Rama yang keluar dari apartemennya di susul Aya mengekori di belakangnya.

"Aya?" sapa Dafa yang juga keluar dari apartemennya.

Dafa mengedipkan matanya beberapa kali. Kala mengagumi kecantikan Aya pada malam ini. "Rapi banget mau kemana?" tanya Dafa.

Aya mengeluarkan ponselnya lalu menulis. "Aku ingin pergi ke tempat orang tua Mas Rama, ada acara di sana." Dafa mengangguk paham sambil tersenyum.

"Buruan! Nggak usah pacaran!" tarik Rama pada tangan Aya dengan kasar.

Dafa menatap tajam kearah Rama. "Tolong jangan kasar dengan perempuan." ucap Dafa dingin.

"Mau kasar atau nggak. Bukan urusan lo! Aya istri gue. Paham lo!" kata Rama bernada tinggi.

Lalu menarik Aya kasar menuju lift. Saat pintu belum sepenuhnya tertutup Dafa dan Aya saling pandang. Aya menatap Dafa sendu. Sementara Dafa menatap kekhawatiran.

"Mas tolong jangan ngebut ya, aku takut. Nanti aku pingsan kayak waktu itu." Aya memperlihatkan tulisannya di ponsel.

"Terserah gue! Lo pingsan nggak masalah. Bila perlu mati aja sekalian. Ntar mayat lo tinggal gue buang ke sungai!"

Aya mendelik, tidak menyangka jawaban seperti itu yang dia dengar. Ucapan Rama sangat membuatnya sakit. Ia menatap sendu kearah suaminya yang sudah fokus menyetir. Air mata sudah sempat membasahi pipinya.

Aya memilih diam menyadarkan kepalanya di kaca jendela mobil, menatap kosong kearah jalanan.

Sangking asyik melamun tidak sadar ternyata mereka sudah sampai. Aya segera turun dari mobil Rama.

Rama menyodorkan lengannya untuk wanita peluk. "Jangan lupa apa yang gue bilang tadi." Aya mengangguk.

"Senyum!" perintah Rama sebelum mereka masuk.

Aya menurut, senyum manis terlihat di wajah cantik Ayana, wanita itu memeluk lengan Rama sesuai perintah sang suami.

Tanpa Aya sadari Rama sedang memperhatikannya, pria itu menatap tanpa kedip melihat senyum manis dari istrinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status