"Dafa. Makasih ya, sudah mau belikan aku bubur sama bahan makanan lainnya. Nanti kalau aku sudah punya uang, aku kembalikan."ujarnya dengan tulisan di ponsel.
"Nggak usah di kembalikan, aku ikhlas untuk kamu." tulus Dafa Aya mengangguk tidak enak.
"Kalau gitu aku pamit dulu ya, aku ada perlu." pamit Dafa lalu segera pergi setelah mendapatkan anggukan dari Aya.
Wanita itu memperhatikan Dafa hingga hilang di balik pintu lift, ia menatap bungkusan yang Dafa belikan untuknya. Berupa beras lima kilo, mie instan dan juga beberapa butir telur. Lagi-lagi Aya sangat merasa tidak enak, tapi karena ia memang butuh dan juga pria itu yang menawarkan membuatnya menerima bantuannya.
Aya segera masuk. Dan langsung menuju dapur untuk menaruh barang bawaannya.
Prang!
Aya memekik sampai menutup telinganya, ketika suara benda pecah menghantam dinding di dekatnya. "Bagus ya lo! Suami nggak ada di rumah, lo keluyuran sama cowok lain!" bentak Rama murka.
Aya menatap Rama yang sedang menatapnya tajam dengan tangan di pinggang. "Jadi kerjaan lo ini. Kalau nggak ada gue di rumah! Lo keluar sesuka hati sama cowok itu!!" Aya menggeleng kuat.
"Sini lo!" Rama mulai menyeret tubuh Aya, wanita itu berusaha memberontak tapi selalu kalah tenaga, Rama membanting tubuh kecil Aya dengan kasar di sebuah ruangan kecil yang bisa di sebut gudang.
"Lo di sini sampai gue puas ngurung lo!" Aya mendelik dan memeluk kaki suaminya.
"Jangan Mas, aku mohon. Aku minta maaf, tapi jangan kurung aku di sini." mohon Aya menggunakan bahasa isyarat.
"Lo ngomong apa juga gue nggak ngerti. Bego!" ujarnya kasar.
Rama mendorong tubuh Aya hingga membentur tembok dan segera keluar menguncinya dari luar.
Aya mengedor-gedor meminta suaminya untuk membukakan pintu itu, namun suaminya hanya diam di depan pintu, Rama tersenyum miring. "Mampus lo! Mati di dalam lebih bagus!" ujarnya lalu pergi ke kamarnya.
Aya meringkuk di balik pintu, Tenaganya sudah habis. Ia hanya bisa menangis menahan sesak di dadanya. Kenapa suaminya marah jika dirinya keluar bersama pria lain. Sedangkan dia bebas pergi dan selalu bersama wanita lain.
Aya juga pergi karena Rama yang tidak pernah memberikannya uang untuk kebutuhannya, yang suaminya lakukan hanya bersenang-senang dengan Melinda.
Karena lelah menangis Aya merasa mengatuk, meski tempatnya sempit kotor dan gelap Aya merebahkan tubuhnya, meringkuk miring di sana.
Sebelum terlelap Aya berharap Ayah atau Ibunya datang untuk menjemputnya, ia sudah lelah hidup seperti ini.
Lebih baik dia menyusul orang tuanya di sana. Dari pada di sini mendapatkan siksaan terus menerus dari sang suami.
***
Rama baru membukakan pintu gudang ketika hari sudah sangat larut. Pria itu tersenyum senang ketika melihat istrinya meringkuk tak berdaya. "Bisu!" bentaknya sambil menendang tulang kering Aya.
"Bisu bangun!" bentak Rama lagi lebih kuat menendang kaki wanita itu.
Aya mengerjapkan matanya, ia memandang sayu pada Rama yang berdiri menjulang tinggi di hadapannya. "Bangun!" Rama menarik kasar tangan Aya menyuruh wanita itu untuk bangun.
Aya yang tidak ada tenaga, berusaha bangun. "Nih duit. Belikan gue nasi goreng di dekat sini!" perintahnya sambil melempar uang lima puluh ribu di wajah Aya.
"Sekarang!!" bentak Rama ketika Aya hanya diam.
Aya diam karena kondisinya yang memang kurang baik, kepalanya sangat pusing, Dan tenaganya tidak ada.
Aya mulai berjalan dengan kondisi kusut. "Eh tunggu! Lo keluar dengan pakaian kayak gini? Lo mau bikin gue malu. Kalau sampai seluruh penghuni apartemen ini lihat? Iya!" Aya menggeleng pelan.
"Ganti baju!" perintahnya. Aya menurut wanita itu masuk kedalam kamar untuk mencuci muka dan juga berganti pakaian.
"Mas aku boleh minta payung? Di luar hujan." minta Aya kepada Rama yang asyik menonton televisi.
Rama menatap sinis kearah Aya. "Nggak usah manja! Buruan beli gue lapar!" bentaknya lalu mendorong Aya untuk segera pergi.
Terpaksa Aya keluar apartemen tanpa payung untuk mencari penjual nasi goreng yang tidak jauh dari apartemennya.
Jam sudah menjunjung pukul 23:15 tubuh Aya sudah menggigil namun tak kunjung ia menemukan pejual nasi goreng. Mungkin karena hujan dan hari juga semakin larut, maka penjual yang Aya cari tidak ada. Ia mencoba ke tempat penjual martabak kemarin, tapi di sana tidak ada penjual nasi goreng.
Aya berjalan lagi cukup jauh hingga ia menemukan penjual nasi goreng. Aya berlari untuk mengejar penjual yang sudah ingin pergi dari pangkalannya.
Aya menepuk pundak penjual itu. Penjual nasi goreng tersebut sangat terkejut, ada raut wajah ketakutan yang Aya tangkap dari pejual tersebut. Aya tau pasti penjual itu terkejut sekaligus takut karena dia datang tiba-tiba dengan kondisi basah dan wajah pucat.
"Pak. Saya beli nasi gorengnya satu ya." tulis Aya di notebooknya.
"Oh-iiya neng, tunggu." gugup penjual itu. Aya hanya mampu mengangguk sambil tersenyum tipis dengan kondisi basah dan wajah pucatnya.
Selesai membayar Aya segera berlari untuk kembali ke apartemen, selain tidak ingin membuat Rama marah. Ia juga sudah tidak tahan dengan cuaca yang semakin dingin. Apalagi kondisinya yang seperti itu.
Aya masuk kedalam apartemen tubuhnya bergetar dan menggigil, tangannya pucat, bibirnya pucat kebiruan.
Aya memberikan bungkusan itu pada Rama yang masih asyik menonton televisi. Pria itu menoleh ia sedikit terkejut melihat kondisi istrinya. Namun sekian detik ia menatap tajam merebut kasar bungkusan nasinya. "Beli gini aja lama!" hardik Rama sambil menoyor kepala sang istri.
Aya memegangi perutnya yang terasa lapar. Dia belum makan selain makan bubur bersama Dafa tadi pagi. Melihat Rama yang menyantap nasi goreng itu membuatnya harus menelan ludah.
Ia memilih pergi kekamar, selesai berganti baju. Aya meringkuk di balik selimut tebalnya. Menahan seluruh rasa yang ada pada dirinya. Aya menatap kosong jendela yang tertutup gorden berwarna coklat. Hingga air matanya menetes membasahi bantal.
Aya menangis tanpa suara, tangannya mencengkram kuat perutnya yang terasa perih seperti kemarin. Aya mencoba memejamkan matanya, semoga dengan tidur rasa pusing dan lapar bisa hilang. Pikirnya dalam hati.
Dengan kondisi masih sangat lemah, Aya bangun pukul 04:30 seperti biasa mengepel dan mencuci adalah kegiatannya di pagi hari. Selesai dengan tugasnya Aya ingin memasak, ia terkejut sekaligus menatap sendu pada pemberian Dafa di tempat sampah. Pasti suaminya yang membuangnya.
Aya berjalan ke kamar Rama, memberanikan diri wanita itu membuka kamar suaminya. Ternyata Rama tidak ada di kamar. Suara seseorang dikamar mandi pun juga tidak ada.
Sepertinya Rama sudah pergi lagi tanpa memberikannya lagi uang.
Wanita itu mengambil peralatan tanamannya pukul setengah tujuh. Aya mau menyibukkan dengan tanamannya saja. Dengan langkah gontai ia membuka pintu balkon.
"Pagi.." sapa ceria Dafa.
Berbeda dengan Aya hanya mengangguk lemah dengan senyum tipis. Hal itu membuat Dafa meloncat dari balkon apartemennya menuju balkon Aya.
Terlihat sekali wajah panik pria itu, Aya memundurkan wajahnya ketika Dafa ingin menyentuhnya "Aya! Kamu kenapa?" mata coklat Dafa membulat sempurna ketika berhasil menyentuh kening Aya.
"Astaghfirullah Aya badan kamu panas!" ujarnya panik.
Aya memegang tangan Dafa. Menatap sayu kepada pria itu, dan sekian detik Aya ambruk di pelukan Dafa.
Di tengah malam sekitar pukul 00:30 seorang gadis cantik, terlihat gelisah di atas kasur. Sedari tadi tubuhnya terus bergerak kesana kemari, gadis tersebut adalah Syifa, yang sedang bingung untuk mengambil keputusan apa tentang Tito. Hatinya tengah bimbang, antara masih ragu, takut dan tidak percaya. Syifa ragu jika harus menikah di usia muda, namun dia juga takut kehilangan Tito kalau sampai dirinya menolak, di sisi lain Syifa tidak percaya jika Tito merubah keputusannya menjadi menikahi dirinya, bukan untuk melamarnya. Jujur Syifa takut jika dia menikah sekarang, dirinya tak bisa membahagiakan pria tersebut, selama ini Tito begitu tulus mencintainya. Dirinya takut kalau nanti akan mengecewakan pria yang begitu dia cintai. Menghembuskan napas berulang kali, Syifa pun bermonolog. "Mungkin ini jalan terbaik, semoga apa yang sudah aku putuskan. Nggak akan salah dan merugikan semuanya." mengepalkan tangannya gadis tersebut menguatkan dirinya sendiri. "Syifa! ayo kamu pasti bisa. N
"Maksud Mas gimana? bukannya kita kesana baru mau membicarakan tentang hubungan kita ke Bapak?"Tito merubah posisinya, ia memegang setir dengan dua tangannya. "Mereka tetap mau menjodohkan aku dengan perempuan itu, kecuali aku sudah menikah. Maka mereka akan menghentikan perjodohan dan merelakan aku nikah sama kamu," "Tapi Mas, aku masih kuliah, memangnya Mas nggak masalah punya istri yang berstatus mahasiswa?""Memang kenapa? Mas nggak masalah. Menurut Mas lebih cepat lebih baik, atau kamu yang belum siap?" "Aku nggak tau? Aku cuma nggak mau jadi istri yang nggak baik,""Kenapa bisa mikir gitu, banyak kok di luar sana. Istrinya yang masih berstatus pelajar, dan mereka bisa menjalani itu dengan baik." lanjut Tito tak mau kalah. "Kasih aku waktu untuk mikir," putus Syifa memohon pada Tito agar pria itu mengerti dirinya juga berhak mengambil keputusan. Menarik napas panjangnya, Tito hanya bisa mengangguk pelan, menghargai keinginan gadisnya yang ingin memikirkan lebih dulu tentang
Hari demi hari telah di lalui oleh Aya begitu cepat, tidak terasa kandungannya sudah memasuki bulan ketujuh, dan sesuai rencana. Acara tujuh bulanannya akan di adakan dikota semarang, sesuai permintaan wanita itu, tentu Dafa dengan senang hati, mempersiapkan semuanya. Dan rencananya esok lusa, mereka akan berangkat ke sana, lalu untuk masalah syifa. Dafa waktu itu turun tangan menemui orang tua Tito. Memberitahu jika putra mereka sudah memiliki pendamping, tak perlu menjodohkan karena Tito sudah memiliki wanita yang sudah pria itu pilih. Dafa sempat adu mulut dengan orang tua Tito, mereka tidak setuju jika putranya menikah dengan wanita yang bukan pilihan dari orang tuanya. Namun Dafa tidak ingin membuat sahabatnya menderita lagi oleh kelakuan orang tuanya, maka ia memberanikan diri untuk melawan ucapan kedua orang tua tersebut. "Sayang, sudah dong kamu jangan gerak kesana sini, aku nggak mau ya. Kamu kecapean," Aya mengulas senyum. Menghampiri suaminya yang berdiri sembari mel
Sudah berada di parkiran mobil, Aya diam berpegangan pada badan mobil lebih dulu. "Sayang, kita kerumah sakit ya?" ajak Dafa yang tak tega dan juga melihat wajah pucat kesakitan istrinya. Aya menggeleng pelan. "Nggak usah Mas, aku nggak apa-apa. Kita pulang aja.""Nggak apa-apa gimana? kamu kesakitan gini. Kita tetap kerumah sakit, oke."Dafa tidak mau terjadi sesuatu kepada calon anaknya, tapi Aya kekeuh tak ingin pergi. "Nggak usah Mas, aku mau pulang. Aku mau istirahat, aku yakin buat istirahat sudah hilang. Jadi kita pulang aja ya," mohon Aya matanya menatap sendu kepada suaminya. Dafa menghela napas panjangnya, ia paling lemah jika Aya sudah memohon seperti itu. "Oke kita pulang aja," membantu Aya masuk ke mobil dan juga memasangkan sabuk pengaman. Setelah menutup pintu ia berniat segera memutari mobilnya, namun saat berbalik badan Dafa cukup terkejut ada Pak Suryo dan Bu Sarah. "Ada apa lagi?" ucap Dafa datar. "Maaf saya harus segera pulang.""Kami ingin mengucapkan terima
Sudah berada di depan tempat Rama berada, Ayana meminta untuk tidak keluar terlebih dahulu, ia mengatur dirinya sendiri, agar tidak takut, tidak gugup dan yang paling harus tetap tenang. Dengan setia Dafa di sampingnya, menggengam tangan Aya yang terasa dingin dan berkeringat, sembari terus memandang sang istri dari samping, ia juga memberi kecupan di punggung tangan wanita itu. "Sebentar ya Mas," izin Aya saat menoleh mendapati sang suami menatap teduh kepadanya. "Iya sayang, aku tenangin diri dan persiapkan semuanya, aku di sini selalu jagain kamu." mengangguk pelan Aya kembali melihat kedepan, yang di mana ia sudah melihat ada Pak Suryo dan Bu Sarah sedang menunggu dirinya. Mereka tidak datang kearahnya, karena Dafa sudah memberitahu kepada mereka untuk sabar dan menunggu terlebih dahulu. Memejamkan matanya Aya seperti melafalkan doa, Dafa menepuk puncak kepala istrinya dengan sayang. Membuka matanya Aya menggerakkan tangannya. "Yuk Mas," ajak Aya yang sudah yakin. "Sudah si
"Sayang, bisa nggak? nggak usah dandan. Biasa aja gitu, bajunya emang nggak ada yang lain?" keluh Dafa saat melihat istrinya yang sedang memoleskan bedak ke wajahnya. Aya memutar bola matanya jengah, ini sudah yang keberapa kalinya, Dafa mengatakan hal yang sama. "Ini sudah biasa aja Mas, aku bahkan nggak pakai lipstik. Baju ini juga baju rumahan," kata Aya dengan tatapan sebalnya. "Ck_ kamu tuh terlalu cantik, Ay_ aku nggak suka,""Terus aku harus gimana? aku udah biasa aja lho. Kalau Mas terus kayak gini, mending nggak usah pergi!" ujar Aya menggunakan bahasa isyarat. "Oke, lebih baik memang seperti itu. Kita nggak usah pergi!" saut Dafa. Aya mengangguk, lalu berjalan merebahkan tubuhnya di atas kasur, melihat itu Dafa melongo tak percaya, padahal ia tidak serius. "Lho sayang, kok kamu malah tidur sih? kan kita mau ke lapa?" bangun lagi dari rebahannya, Aya kian menatap Dafa kesal. "Tadi siapa yang nyuruh nggak jadi pergi? ya udah mending aku tidur!" jawab Aya matanya pun mel