Share

Bab 9.

Karena hari belum terlalu larut, Dafa mengajak Aya terlebih dahulu ke suatu tempat. Di dekat taman kota, ada penjual yang berderetan menjajahkan jualannya.

Dafa memilih mengajak Aya mencicipi minuman khas jawa tengah. "Gimana suka?" tanya Dafa saat mengajak Aya membeli minuman hangat.

Aya mengangguk sambil terus menyendok wedang ronde yang baru pertama kali gadis itu minum.

"Sangat enak, aku baru pertama kali mencobanya, ternyata enak." Dafa terkekeh pelan sambil mengacak rambut gadis itu.

Aya terdiam dengan detak jantung yang berpacu kuat, setiap Dafa melakukan kontak fisik hatinya selalu berdebar, lebih berdebar ketika ia bersama suaminya.

"Kamu belum pernah mencoba minuman ini?" tanya Dafa tidak percaya. Aya mengulum senyum sambil menggeleng.

"Ini minuman khas jawa tengah. Biasanya untuk menghangatkan tubuh. Kalau kondisi tubuh kurang fit pasti enakan badannya, setelah meminumnya, Aku tau kamu lagi kedinginan. Kamu juga belum sembuh total, makanya, aku ajak kamu kesini."

"Kamu asli mana?" 

"Aku asli Semarang, keluarga aku semua ada di sana. Di sini aku mencari uang untuk orang tuaku di sana,"

"Alhamdulillah. Dari hasil cafe milikku sendiri, bisa mencukupi kebutuhan keluargaku di sana, ya walaupun Bapak memiliki beberapa ladang persawahan, tapi aku tetap rutin mengirimkan uang untuk mereka." cerita pria itu sambil memperlihatkan senyumannya di depan Aya.

Raut wajah Aya berubah ia menatap mata Dafa dengan serius. "Mau ada yang di sampaikan?" ujar Dafa seolah tau apa yang sedang terjadi pada gadis itu.

Dafa menunggu Aya yang sedang menulis di ponsel, cukup lama gadis itu menulis. Sampai Dafa sempat memasukan beberapa isi di wedang ronde kedalam mulutnya.

"Kenapa kamu baik sekali denganku Dafa? Aku ini cuma gadis bisu. Selama ini tidak ada yang mau dekat denganku, karena kondisiku., dan kamu juga tau masalahku dengan Mas Rama, aku merasa tidak enak. Karena terus menyusahkanmu." Dafa membaca tulisan itu lalu menghela napas, mata Aya juga sudah berkaca-kaca.

"Aku sudah pernah bilang kan, kalau aku tidak pernah mempersalahkan kondisimu. Justru kamu ini istimewa di mataku Aya. Biarkan mereka menganggapmu apa, yang terpenting kamu teman terbaikku." dan juga orang special di hatiku.

Dafa tidak berani mengucapkan kata yang ia ucapkan di dalam hatinya.

Dafa takut jika Aya tau, jika dirinya mulai menyukainya. Gadis itu menjauh dan tidak ingin berteman dengannya lagi.

Dirinya masih ingin berteman dan juga dekat dengan Aya, ia takut Rama melakukan lebih parah dari pada menganiayanya.

Mendengar jawaban Dafa, Aya menunduk. Air matanya turun membasahi pipinya. "Aya! Kenapa nangis? Aku salah bicara?" panik Dafa sambil mengusap pipi gadis itu.

"Kenapa kita baru bertemu di saat seperti ini Daf? Kenapa tuhan tidak mempertemukan kita sebelum aku menikah dengan Mas Rama?" tulisan Aya membuat Dafa terdiam.

Apa yang di dalam pikirannya juga begitu, kenapa tuhan mempertemukannya di saat gadis itu sudah menjadi milik orang lain. Lalu kenapa juga tuhan menumbuhkan perasaan lebih untuk perempuan yang sudah menjadi hak orang lain.

Dafa diam tidak menjawab pertanyaan gadis itu, yang bisa Dafa lakukan hanya mengusap pundak dan tersenyum tipis pada Ayana.

Tidak ingin membuat Aya menangisi keadaannya, Dafa segera membawa Aya kembali. Ia juga takut jika Rama sudah berada di apartemennya.

Pasti Aya yang akan di salahkan, padahal sudah jelas jika laki-laki itu yang meninggalkan istrinya di pinggir jalan.

Di perjalanan pun mereka menjadi saling diam, padahal tadi Dafa selalu bercerita, membuat Aya di belakang boncengannya tersenyum dan juga tertawa kecil mendengar cerita darinya.

"Istirahat, biar cepat sembuh." pesan Dafa ketika mereka sudah sampai. "Jangan sedih, ingat. Tuhan punya rencana terbaik untuk hambanya. Kamu harus tetap kuat dan bertahan."

Aya mengangguk dengan senyumnya. "Iya Dafa, sekali lagi. Terima kasih," ujar Aya memakai bahasa isyaratnya.

Meskipun kurang paham, Dafa mengangguk lalu menyuruh gadis itu untuk masuk terlebih dahulu. Saat Aya sudah masuk, senyum yang di perlihatkan di depan Ayana memudar bernganti tatapan sendu pada pintu apartemen gadis itu.

***

"Masak apa lo?" Aya tersentak suara Rama mengangetkannya ketika sedang menyusun sarapan.

"Mas kapan pulang?" Aya tidak menjawab pertanyaan Rama ia justru menanyakan kapan pria itu pulang, setahunya semalam sang suami tidak pulang.

"Terserah gue mau pulang kapan! ini apartemen gue! Lo nggak ada hak untuk tanya gue pulang kapan." jawab Rama sedikit bernada tinggi saat selesai membaca tulisan Aya di ponsel. Aya mengangguk sekali sambil menunduk.

Aya sedikit terkejut ketika pria itu duduk di meja makan, lalu mengisi piringnya dengan nasi dan juga lauknya.

Aya mengulum senyum, pasalnya. Ini adalah kejadian langka, setelah menikah Rama tidak pernah mau makan ataupun mencoba hasil masakannya.

Sepanjang Rama makan, Aya terus memperhatikan suaminya yang begitu lahap memakan masakannya. Senyum terus terlihat dari wajah cantiknya.

Sadar sedang di perhatikan membuat Rama mendongak. "Apa lo lihat-lihat!" bentak Rama. Hingga Aya terlonjak dari duduknya.

"Gue makan masakan lo! Karena terpaksa. Bentar lagi gue ada meeting. Nggak sempat sarapan di luar."

"Masakan lo nggak ada apa-apanya di bandingkan masakan Melinda, dia lebih jago dari lo!!" sentak Rama.

Pria itu membanting sendok dan garpu, lalu berdiri sambil mengambil tas kantor di sampingnya. "Mas mau kemana? Sarapannya belum selesai?" tulis gadis itu.

"Lebih baik gue sarapan di tempat Melinda, dari pada sama lo yang ngerusak mood gue!" ucap Rama datar.

Selepas Rama keluar dengan membanting pintu, air mata gadis itu menetes sambil meremas tangannya. Hatinya sangat sakit dan perih. Ketika suaminya sendiri membandingkan dirinya dengan orang lain.

Aya tau dia tidak ada apa-apanya di bandingkan dengan Melinda, namun ia masih bisa jika hanya memasak dan melakukan hal yang biasanya wanita itu lakukan terhadap suaminya.

Bisakah sekali saja Rama menghargainya sebagai istri. Ia juga ingin di puji dan di perhatikan oleh suaminya sendiri.

Aya mengusap air matanya, lalu mengambil piring milik Rama yang tidak menghabiskan sarapannya ke tempat cucian piring.

Selesai sarapan dan cuci piring, Aya mengambil peralatan tanamannya, ia akan melakukan rutinitasnya setiap pagi.

Aya mulai memotong daun yang layu dan kering, ia melakukannya begitu telaten dan penuh kesabaran. "Pagi," sapa Dafa.

Aya menoleh lalu tersenyum. Gadis itu mendelik ketika pria itu melompat dari balkonnya menuju balkon miliknya. Sesampainya di hadapan Ayana. Dafa hanya nyengir kuda. "Hehehe.. Untung balkon kita cukup dekat. Coba kalau nggak! Bisa terjun aku." sambil melongokkan kepalanya ke bawah.

Aya memukul lengan pria itu kuat hingga Dafa mengaduh kesakitan. Jangan seperti itu. Bahaya!" kata gadis itu di buku kecil yang ia bawa sambil mendelik pada Dafa.

"Cie.. Yang khawatir," goda Dafa. Sukses membuat Aya menunduk dan menyibukkan kembali pada tanamannya. Sementara Dafa tertawa kencang berhasil menggoda tetangganya ini.

Aya menghentikan gerakannya ketika sebuah bungkusan kecil ada di hadapannya. Yang membuatnya berhenti karena ia membaca tulisan di bungkusan itu.

Bibit Bunga anggrek putih, Yang selalu ia impikan kini ada di hadapannya. Gadis itu mendongak memandang kearah Dafa yang juga menatapnya lembut sambil tersenyum.

"Ini untuk aku?" Dafa membaca tulisan itu lalu mengangguk.

Aya memekik kesenangan hingga tanpa sadar gadis itu memeluk Dafa erat, Pria itu menegang bersamaan pacu jantung yang begitu kencang. Dengan tubuh kaku dan mata melotot, masih syok mendapatkan serangan mendadak dari Ayana, Dafa perlahan membalas pelukan Aya.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status