Berpacu dengan waktu, berkejaran dengan kesempatan, Janeta menyalip puluhan kendaraan yang menghalangi jalannya. Ia harus segera sampai di kantor sepagi mungkin sebelum Shania dan Tuan Fidel sampai di kantor itu. Sebuah rencana yang telah ia susun rapi di benaknya, harus ia laksanakan dengan sebaik mungkin.
Hampir pukul setengah sembilan pagi, barulah Janeta sampai di halaman kantor PT. Rafidel Diamon Jaya. Abang sekuriti berkumis tebal yang menggoda Janeta seminggu yang lalu, kini tidak berani lagi menatapnya lama apalagi menggodanya. Ia kini tahu kalau gadis yang pernah ditaksirnya itu adalah pemegang mandat kuasa terkuat di perusahaan tempat ia bekerja.“Pagi Bu!” sapa Abang sekuriti memberi hormat ketika sepeda motor Janeta sampai di pintu gerbang kantor yang cukup besar itu.“Pagi juga Bang!” sahut Janeta ramah lalu memarkirkan sepeda motornya di halaman parkir.Mata Janeta mencari-cari mobil Tuan Fidel di halaman parkir itu.&ld“Sepertinya hampir sampai kepada sebuah kesimpulan. Yess..! Pemuda dengan luka gigitan anjing di tangan kirinya. Yaa... Dialah orang yang berada di sekitar rumah Pak Warno pada malam kematian lelaki tua itu.” Janeta tersenyum sendiri lalu meninggalkan ruang kerja Tuan Fidel. Sebuah senyuman miring Janeta hadiahkan kepada Tuan Fidel yang berdiri mematung dengan wajah pias.“Mengapa si tukang kebun itu senyum-senyum? Apakah dia mencurigai Abbas? Aduh gawat, bagaimana ini?” kata hati Tuan Fidel sambil melirik kepergian Janeta.Sementara itu Janeta kembali ke ruangannya namun tak lama kemudian gadis detektif itu keluar lagi. Ternyata dia hanya mengambil beberapa keperluan dari ruang kerjanya itu lalu mengunci pintu dan bergegas menuju halaman parkir. Namun baru saja ia akan menyentuh sepeda motornya, Tuan Fidel telah berada di sana seakan menghalanginya.“Janeta!” Tuan Fidel memanggil namanya.“Hm, tumben lelaki ini memanggil
Mata Tuan Fidel semakin lembab lalu kemudian basah. Ia terlihat benar-benar sedih dan berduka.“Kalau saja Lusy bisa memberikan saya keturunan, Saya tidak mungkin tega menduakannya.” ucap Tuan Fidel menerawang menatap ke arah tak tentu. Seakan ia teringat dan merindui istri tuanya itu. Dua tetes air mata gugur membasahi pipinya, lalu segera ia seka dengan punggung tangannya.Janeta hanya menatap Tuan Fidel dengan prihatin.“Alangkah pembohongnya kamu Tuan Tua, kamu bahkan mentigakan Nyonya Lusy di saat beliau masih hidup.” kutuk Janeta dalam hati begitu ia terbayang sebuah foto Salma dan Tuan Fidel yang terlihat begitu mesra, lalu terngiang kembali percakapan Pak Warno dengan Shania sebelum Pak Warno meninggal dunia.“Hmmm...” suara lelaki itu mendehem.“Sebulan sebelum meninggal, Lusy datang kemari. Ia mengatakan kalau ia pernah melihat suami kalian pergi ke hotel dengan seorang wanita muda.” ucap lelaki itu
Kehadiran Tuan Morat yang tiba-tiba di tengah perbincangan Janeta dengan Tuan Fidel di cafe itu, membuat suasana jadi tidak nyaman untuk meneruskannya.Tuan Fidel dan Janeta akhirnya mengakhiri pertemuan mereka dan kembali ke kantor. Setelah mengantarkan Janeta kembali ke kantor, Tuan Fidel langsung pergi entah ke mana. Mungkin saja mencari Salma atau menyelesaikan masalah lain, Janeta tidak tahu.Setelah mobil Tuan Fidel berlalu dari pandangannya, gadis detektif itu bergegas mendekati sepeda motornya. Agenda yang telah ia susun semula yaitu mendatangi Cecep untuk menggali lebih dalam informasi tentang dugaan pembunuhan Pak Warno, akan segera ia laksanakan. Rencananya itu sempat tertunda karena kedatangan Tuan Fidel yang mengajaknya berbincang di sebuah cafe yang tidak begitu jauh dari kantor itu.“Belum terlalu siang, aku masih punya waktu untuk mendatangi Kang Cecep.” kata hati Janeta setelah melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan
"Berbohong? Berbohong apa maksudnya, Kang?Cecep memalingkan wajahnya dari wajah Janeta dan kini ia melempar pandangan keluar jendela.“Neng!”“Sebenarnya ini bukanlah masalah Saya. Tapii...Cecep tidak melanjutkan kata-katanya. Dirinya terlihat dilema. Sedangkan Janeta menunggu kelanjutan kalimat lelaki itu. Namun hanya kesunyian yang kini datang menyusupi.“Bilang saja Kang. Maksudnya apa tadi?”“Tidak usah berpura-pura Neng. Saya sudah tahu kalau pemilik baju berdarah itu adalah milik Adik Neng.” Lembut tapi tajam, itulah intonasi perkataan Cecep.“Ternyata Kang Cecep sudah bertanya kepada Bu Bidan. Aku harus cerdas menanggapi semua ini agar kasus kematian Pak Warno cepat terungkap. Aku tidak bisa mengandalkan kesaksian dari si Hitam karena seekor hewan tidak dapat dijadikan saksi di pengadilan.”Cecep menoleh kepada Janeta yang terdiam.“Jujur sajalah Neng. Siapa
Sementara itu di cafe, sepeninggal Janeta dan Tuan Fidel, Tuan Morat segera menyelesaikan pembicaraannya dengan klien yang tadi ditunggunya.Setelah itu ia lalu bergegas menuju kantornya namun tak lama kemudian dirinya keluar kembali dan selanjutnya menuju kantor polisi tempat Nyonya Shania di tahan.“Harap Nyonya bersedia menandatangani kedua surat ini dan Saya akan pastikan Nyonya segera meninggalkan tempat buruk ini.” Tuan Morat berkata kepada Nyonya Shania begitu mereka bertemu di ruang khusus tempat bertemu tahanan dan tamunya.“Surat apa ini Tuan?” tanya Nyonya Shania sambil menerima dua amplop yang berisi surat yang diserahkan oleh Tuan Morat kepadanya. Tangannya lalu membuka satu persatu amplop“Memberhentikan Tuan Tunio sebagai kuasa hukum dan mengangkat Anda sebagai gantinya?”“Ya, benar sekali Nyonya.” sahut Tuan Morat sambil memperbaiki posisi duduknya yang berhadapan dengan Nyonya Shania.“Lalu... Berapa Saya harus membayar jasa Anda, Tuan?
Pagi harinya di rumah Nyonya Shania.Seperti biasa, pukul delapan pagi Janeta sudah tiba di rumah Nyonya Shania. Beberapa hari sebelumnya rumah itu terlihat kusut dan kotor bahkan tidak terlihat tanda-tanda kehidupan di sana.Namun hari ini suasana sungguh berbeda dari beberapa hari sebelumnya. Rumah Nyonya Shania kini terlihat bersih dan anggota keluarga lengkap berada di rumah.Kedatangan Janeta telah di sambut oleh Nyonya Shania yang terlihat berolah raga pagi dengan Ricana dan Arkhas. Bik Imah terlihat tengah menyapu bagian belakang halaman rumah dan pekerjaannya juga hampir selesai. Sedangkan Tuan Fidel tengah membersihkan dash board mobilnya dengan sehelai kain tisu.“Kok Nyonya Shania sudah bebas?” bertanya Janeta di dalam hatinya.“Pagi Nyonya! Nyonya terlihat sangat cerah.” sapa Janeta begitu mereka bertemu.“Terima kasih Janet, kamu pandai sekali membuat suasana menjadi lebih cerah.” sahut Nyonya Shania tersenyum. Semua beban yang ia tanggung beberapa har
“Buat apa lagi kamu datang ke sini, Abbas? Aku sudah tidak mau berurusan denganmu.” Salma menyambut kedatangan Abbas di ruang tamu rumahnya dengan wajah masam. Laki-laki itu dua hari yang lalu sudah bertindak sangat kasar kepadanya.“Aku datang untuk menagih janjimu Salma.” ucap Abbas tenang. Ia melipat kedua tangan didadanya dan berjalan perlahan mendekati Salma yang berdiri di tengah ruang tamu rumahnya.“Janji apa lagi yang akan kamu tuntut kepadaku hah..?? Setelah dengan seenaknya kamu berlaku kasar kepadaku.” sahut Salma sambil mengelus pipinya yang ternyata mendapat tamparan tangan Abbas setelah dirinya diseret paksa dari ruang Tuan Fidel dua hari yang lalu.“Aku tidak akan pernah kasar kepadamu Salma, jika kamu tidak membohongi dan mengkhianati aku.” Abbas berhenti dan menatap Salma dengan pandangan setajam pisau.Salma mendengus dan tersenyum miring. Ia duduk di sofa dan juga melipat kedua tangannya di
Siang itu Janeta telah berada di depan rumah Cecep. Setelah mendatangi rumah Fitri tapi gagal bertemu dengannya, akhirnya Janeta memutuskan untuk menyambangi rumah Cecep. Ia ingin mendengar hasil penyelidikan Cecep tentang desas-desus pelaku yang menghabisi nyawa Pak Warno.“Assalamualaikum!” Janeta memberi salam di depan rumah cecep yang pintunya terbuka.“Walaikumsalam...!” Bu Wati tergopoh-gopoh menyambut kedatangan Janeta.“Eh si Neng, mari masuk Neng!” sambut Bu Wati langsung mempersilahkan Janeta masuk ke rumahnya yang sederhana. Tidak lupa ia menghadiahkan senyum manis kepada Janeta yang sangat ia harap jadi menantunya itu.“Kang Cecep ada Bu?” tanya Janeta setelah duduk di atas tikar yang dibentangkan Bu Wati.“Cecep lagi pergi sama Darna temannya Neng.” sahut Bu Wati semakin girang hatinya.“Hm, sudah bisa dipastikan Neng ini juga suka sama Cecep. Buktinya ia datang lagi untuk me