Pagi hari di rumah Ratih.
Ratih terlihat bersiap pergi. Ia memakai celana jeans dan sebuah jaket menutupi kaos yang dikenakannya di bagian atas tubuhnya.Kini beberapa potong pakaian ia masukkan ke dalam tas ransel yang sudah agak usang. Bu Asih sudah beberapa kali berusaha menghalangi niat Ratih untuk pergi ke Jakarta, namun nampaknya tekad Ratih sudah sangat bulat. Ia dan Cecep sudah sepakat mencari Fitri dan menemukan barang bukti berupa baju berdarah yang mereka yakini adalah barang bukti tunggal untuk membebaskan Janeta dan Nyonya Shania dari segala tuduhan.“Ratih..! Dengar Ibu Nak, jangan melibatkan diri kamu dengan persoalan yang sangat besar ini. Jika Salma tahu, kamu akan ditangkap dan dikurung mereka kembali. Kamu tahu bukan? Mereka tidak sendiri Ratih!” tutur Bu Asih sambil mengelus bahu anak gadisnya yang masih sibuk melipat beberapa pakaian yang akan dibawa ke Jakarta.Ratih lalu menoleh kepada Bu Asih. Ia tersenyum.“Ibu tidaSepeninggal Ratih dan Cecep, Darna dan Bu Asih terdiam membisu duduk berjejer di bangku panjang yang terletak di bawah pohon jambu.“Maafkan aku Bu, aku tidak bisa mencegah Ratih untuk pergi.” ucap Darna lirih.Bu Asih menghela nafas panjang dan tertahan sejenak di dadanya.“Apakah Ibu harus menjelaskan semuanya kepada Ratih dan Cecep, Darna?”“Jangan Buu... Aku mohon jangan! Itu bukan keputusan terbaik!” Cepat-cepat Darna berseru membantah keinginan Bu Asih.“Tapi Darna....“Sudahlah Bu. Mungkin sudah jalannya seperti ini. Aku tidak mau Ibu menderita menghadapi masalah yang sangat besar ini. Selama ini Ibu sudah terlalu banyak menderita.” jawab Darna dengan suara pilu. Ditatapnya wajah Bu Asih yang tertunduk bimbang.“Neng Janeta orang yang sangat baik. Tidak sepantasnya ia menderita seperti ini.” Suara Bu Asih sangat lirih dan sudah bercampur dengan isak tangis.“Tapi Bu
Sementara itu Tuan Fidel dan Bik Imah sudah sampai di kantor polisi. Mereka diminta datang guna untuk memberikan keterangan atas insiden yang terjadi pada diri Nyonya Shania.Tuan Fidel menggendong Arkhas dan Bik Imah membimbing tangan Ricana. Mereka memasang wajah sesedih mungkin di hadapan petugas polisi yang menanyai mereka berdua. Keduanya duduk menghadap sebuah meja dan di seberang meja ada seorang petugas polisi dengan laptop terbuka.Pertama kali petugas itu menanyakan identitas Tuan Fidel dan Bik Imah. Setelah menginput data ke laptopnya, polisi tersebut masuk ke pertanyaan seputar kejadian tadi pagi.“Coba ceritakan apa yang terjadi pada diri Nyonya Shania tadi pagi!” perintahnya kepada Tuan Fidel terlebih dahulu.“Waktu itu saya sedang berada di kamar, tiba-tiba saya mendengar Bik Imah berteriak histeris dan saya berlari ke ruang tamu dan mendapatkan istri saya sudah tergeletak dengan mulut berbusa.” jawab Tuan Fidel dengan fasih
“Sepertinya memang ini tempat tinggal Neng Janeta, Tih! Sebaiknya kita cepat masuk ke dalam sebelum polisi menggeledah rumah ini.” ucap Cecep sembari memperhatikan rumah tempat tinggal Janeta. Mereka sudah sampai di depan pagar rumah yang telah ditempati Janeta lebih dari setahun itu.Cecep segera membuka kunci gembok yang terpasang di pintu pagar dengan menggunakan anak kunci yang tergantung bersamaan dengan kunci motor milik Janeta. Dan sebentar saja mereka berhasil masuk ke halaman rumah Janeta. Di bagasi ada sebuah mobil yang terbungkus terpal khusus untuk menutupi mobil. Beberapa pasang sandal tersusun rapi di atas rak sandal yang tidak begitu besar dan tinggi.“Ayo cepat Kang, buka pintu rumahnya. Kasihan anjing Pak Warno yang kata Kak Janeta terkurung di dalam. Pasti kelaparan.” ucap Ratih cemas.“Tapi Tih, bagaimana kalau anjing itu tiba-tiba menyerang kita? Bukankah anjing Pak Warno itu sangat galak?” sahut Cecep nampak rag
Cecep melajukan sepeda motornya dengan kecepatan cukup tinggi. Mereka hampir mencapai perbatasan desa. Cuaca yang sedikit terik tidak mereka hiraukan. Yang terlintas dalam pikiran Cecep dan Ratih hanyalah bagaimana membebaskan Janeta dari segala tuntutan yang mereka yakini tidaklah kesalahannya.Lima menit kemudian mereka mendekati kantor polisi tempat Janeta ditahan. Si Hitam yang tadi tenang tiba-tiba resah. Ia seakan berontak dari pegangan Ratih yang memangkunya di belakang Cecep yang fokus mengendara.“Tenanglah Hitam, sebentar lagi kita akan sampai.” Ratih berusaha membujuk.Tapi bukannya tenang tapi si Hitam semakin berontak. Ketika sepeda motor mereka melewati kantor sektor polisi itu, si Hitam mengendus-ngendus dan mengarahkan mulutnya ke arah kantor tersebut. Ia juga menyalak cukup riuh. Penciumannya memang bekerja sangat baik. Anjing itu bisa mencium keberadaan Janeta tidak jauh dari dirinya.Semakin Ratih mencoba menahannya, semakin pula si
“Baiklah, kalau Kakang tidak apa-apa, silahkan jalan kembali daaan....“Eh... Ada apa tuh...????”Polisi muda yang sedang berbincang dengan Cecep dan Ratih di pinggir jalan tidak melanjutkan kalimatnya. Ia dan satu orang rekannya lagi terlihat terkejut dan berbarengan menoleh ke arah kantor mereka. Cecep dan Ratih pun tidak ketinggalan ikut memutar kepala menoleh ke arah yang sama.“Tahanan lepas...!” terdengar salah seorang anggota polisi berteriak sambil tergopoh-gopoh berlari dari arah dalam kantor. Beberapa orang polisi lainnya berlarian dan di antara mereka bahkan ada yang telah mengeluarkan pistol.“Tahanan lepas..???” dua anggota polisi muda itu berpandangan. Lalu secepat kilat mereka memutar badan dan berlari ke arah kantor. Suasana terlihat sangat kacau balau. Para warga yang masih asyik memungut sayuran di jalan semakin ramai dan riuh saja. Mereka lebih fokus kepada sayuran yang berserakan di jalan dari pada mem
Senja mulai merangkak mendekati malam. Beruntung Janeta menemukan sebuah lampu teplok yang masih berisi minyak tanah di dalam mangkuk kaca yang berada di bagian bawah lampu yang biasa di tempelkan ke dinding itu. Ada dua lampu disana. Satu besar dan satu lagi berukuran lebih kecil. Selain kedua lampu tersebut, di sana juga ada beberapa kotak korek api kayu. Tentu saja ini sangat menggembirakan hati Janeta.Sepertinya pemilik pondok sederhana itu cukup lama tinggal di sana tapi sudah cukup lama pula meninggalkan pondok atau dangau tersebut. Hal itu bisa terlihat dari beberapa barang-barang yang sudah ditempeli debu yang cukup tebal. Namun melihat perbekalan yang cukup lengkap dan banyak, Janeta yakin kalau pemilik pondok adalah petani atau pemancing ikan. Karena di sana terlihat beberapa joran pancing lengkap dengan tali dan mata kail. Ada pula alat pertanian bahkan alat memasak cukup lengkap. Ada periuk, kuali, sendok, piring serta gelas plastik. Yang semuanya terlihat usang ka
Si Hitam mengendus-ngendus dan mencium tanah. Lalu ia berpaling ke suatu arah dan mengeram dengan keras.“Ada apa, Hitam?” tanya Janeta sedikit cemas dan ikut menatap e arah si Hitam menoleh.Guk...guk..guuuk...!!Si Hitam menyalak dengan keras memandang ke arah sebuah cahaya yang semakin mendekat. Suara si Hitam menggema membelah pekatnya hutan belantara.“Hitaaaam....!!” terdengar suara memanggil.“Kang Cecep...??” teriak Janeta hampir tak percaya begitu ia mengenali suara itu.Si Hitam melompat-lompat girang dan ekornya dikibaskan ke kiri dan ke kanan. Ia lalu berlari manja menuju Cecep yang sudah hampir sampai di depan pondok.“Hahaha.. kamu memang pintar, Hitam! Nalurimu sangat peka membedakan musuh dan kawan.” ucap Cecep sambil jongkok dan memeluk si Hitam sejenak.Janeta menarik nafas lega ketika sosok Cecep benar-benar sudah nyata berdiri di hadapannya. Tadinya ia sempat berfikir ba
Malam itu di rumah Rusmidi.Sebuah mobil mewah memasuki halaman pensiunan perwira polisi itu. Kendaraan mahal itu terparkir lalu turunlah seorang lelaki tua yang masih gagah.“Hei Ardy..! Sudah besar kamu rupanya, Nak!”Terdengar sapaan yang sangat akrab dari pemilik mobil mewah itu setelah Ardy, anak bungsu Rusmidi membukakan pintu untuknya.“Iya Om! Sudah lama sekali Om tidak pernah datang ke mari.” Terdengar sahutan Ardy sopan dan anak muda yang telah duduk di bangku kuliah di tahun kedua itu menyalami dan mencium punggung tangan lelaki tua yang datang yang tak lain adalah Tuan Morat.Tuan Morat adalah sahabat Rusmidi. Namun karena kesibukan masing-masing mereka jarang bisa saling menyambangi.“Hahaha, iya Ardy. Maafkanlah orang tua yang selalu sibuk tak menentu ini.” sahut Tuan Morat sambil menepuk bahu Ardy.Ardy tersenyum dan mempersilahkan Tuan Morat masuk ke rumah.“Papa ada di ruang kerja, Om!” ucap Ardy sambil bermaksud mengantarkan Tuan