Malam kini telah berlalu dengan berbagai cerita bagi masing-masing insan di bumi. Sang fajar muncul di balik bukit menandakan bahwa malam kini akan berganti siang. Perlahan matahari mulai menaik dan menyinari bumi.
Suara burung-burung riuh bagaikan nyanyian alam menggambarkan betapa kayanya sang pencipta.Cecep menggeliat masih di atas pohon tumbang yang syukur cukup besar hingga mampu menahan tubuhnya. Si Hitam dengan setia tidur di bawah pohon itu.“Oh, sudah pagi, Hitam!” Beberapa kali Cecep menguap petanda kantuk belum sepenuhnya pergi dari matanya.Si Hitam melompat-lompat manja. Ekornya ia kibaskan ke kiri dan ke kanan.“Ayolah kita mandi, Hitam! Aku sudah rindu berendam dalam sungai itu!” seru Cecep sambil menunjuk ke arah sungai yang suaranya dapat di dengar dari tempat mereka berada saat itu.Si Hitam kembali melompat-lompat girang. Cecep segera bangkit dan turun dari rebahan kayu itu lalu berjalan menuju sungRatih berjalan perlahan mendekati Salma tanpa mengalihkan pandangannya dari gadis cantik itu.“Apa maksudmu?” tanya Ratih sedingin es.Salma menaikkan kedua tangannya lalu ia lipat di dadanya. Ia juga berjalan lebih mendekat kepada Ratih dan membalas tatapan tajam gadis itu.“Kamu mau tahu siapa yang membunuh Pak Warno sebenarnya?” tanyanya tanpa berkedip menatap Ratih.Pertanyaan Salma kepada Ratih sontak membuat Darma gelisah. Ia terlihat semakin salah tingkah. Ia bergegas mendekati Ratih dan merangkul kedua bahu calon istrinya itu dan membawa agak menjauh dari Salma.“Sudahlah Ratih, jangan diladeni perempuan sinting itu!” ucap Darna sambil menunjuk Salma yang masih melipat tangan di depan dada.Salma melengos lalu tersenyum menjijikkan.“Lepaskan Kang! Ratih mau tahu apa yang sebenarnya terjadi!” seru Ratih sambil mengibaskan rangkulan tangan Darna di kedua bahunya. Ia kembali berjalan mendekati
Darna dan Ratih terpana mendengar rekaman suara dari ponsel Abbas tersebut. Sadarlah mereka berdua bahwa mereka telah terjebak untuk ke sekian kalinya.“Bagaimana? Apakah kalian sudah mendengar dengan jelas?” ucap Salma yang kini telah memindahkan kedua tangannya ke balik bokongnya yang seksi. Ia berjalan mengitari Darna dan Ratih bagaikan seorang guru mengitari muridnya yang telah melakukan kesalahan.Ratih dan Darna berpandangan. Darna mengirim kode kepada Ratih lewat pandangan matanya agar Ratih mengikuti saja kemauan Salma. Ratih mengangguk walau hatinya menolak. Tapi demi keselamatan ibunya, ia harus mengikuti kemauan Salma dan Abbas. Ia benar-benar tidak tega jika harus melihat ibunya di penjara dalam waktu yang lama.“Tapi baju berdarah itu tidak ada bersama Ratih!" ucap Ratih lirih.“Apa maksudmu, Ratih? Jangan coba-coba bermain denganku!” ujar Salma sedikit menghardik. Matanya melotot.Tiga pasang mata yang ada
Sementara itu di dalam hutan.Cecep sudah siap mandi dan tampak segar. Di atas tungku sudah terlihat pula beberapa ekor ikan yang dibakar dan menyebarkan aroma yang membuat usus melilit meminta jatah. Cecep duduk di atas pohon kayu yang rebah dan secangkir kopi menemaninya.Janeta turun dari atas pondok dan bersiap menuju ke sungai. Ia memang sengaja pergi ke sungai agak terlambat karena menunggu Cecep kembali dari sungai itu. Memang Cecep membutuhkan waktu agak lama karena ia menangkap beberapa ekor ikan terlebih dahulu untuk sarapan pagi itu.Janeta langsung memeriksa pakaiannya yang semalam ia jemur. Syukurlah pakaian itu tidak terlalu tebal hingga beberapa jam saja terkena sinar matahari sudah kering.“Neng mau mandi?” Cecep menyapa.“Iya, Kang! Kita harus segera turun ke kota untuk mencari Fitri.” sahut Janeta.Cecep terlihat sedikit melongo.“Apa tidak sebaiknya kita tunggu besok saja Neng. Saya rasa polisi masih
Sementara itu Ratih dan Darna sedang melaju cukup kencang dengan sepeda motor dari desa menuju arah Jakarta. Cuaca yang sedikit panas tidak dihiraukan mereka berdua. Pikiran mereka hanya fokus untuk mencari Fitri dan menemukan baju berdarah yang diinginkan Salma. Mereka berharap urusan dengan Salma cepat selesai dan mereka bisa menjalani hidup dengan normal kembali.Ratih memeluk pinggang Darna dengan erat. Berbagai pikiran dan perasaan bercampur aduk di dalam pikirannya. Ia teringat pesan Janeta kepadanya ketika akan dibawa oleh polisi.“Ratih, cari Fitri dan temukan baju berdarah itu untuk Kakak!”Hari ini memang ia akan pergi mencari Fitri untuk mendapatkan apa yang diminta oleh Janeta. Namun sayangnya, Ratih sudah tidak lagi berbuat untuk Janeta. Ia melakukan itu untuk Salma. Yah, untuk Salma. Karena Salma sudah berhasil menjadikan mereka sekeluarga menjadi robot permainannya.“Kak Janeta, maafkan Ratih, Kak! Ratih tidak punya pilihan
Sekitar jam tujuh pagi Janeta dan Cecep sampai di tempat kontrakan Fitri yang lama. Rumah itu kini ternyata sudah berganti penghuni baru.“Maaf, Mbak mau cari siapa?” tanya seorang ibu muda yang pastinya adalah penghuni baru rumah petak itu.“Saya mencari Fitri, Bu. Saya tahu dia sudah pindah dari sini. Tapi... Kira-kira ada nggak yang tahu Fitri pindah kemana?” tanya Janeta berharap mendapat petunjuk.“Oh, maaf saya tidak tahu Fitri pindah kemana, Mbak. Cuma saya tahu tempat Fitri biasanya berjualan.” sahut ibu muda itu.Jawaban ibu muda itu tentu saja membuat Janeta senang dan memiliki secercah harapan. Ia bergegas meminta keterangan lebih jelas tentang keberadaan Fitri. Sementara Cecep dan si Hitam menunggu saja di atas sepeda motor.Setelah mendapatkan informasi yang cukup, Janeta meninggalkan rumah petak bekas tempat tinggal Fitri dan Lina ibunya pernah tinggal tersebut lalu bergegas mendekati Cecep yang setia m
Hari ini itu ketika pagi juga mulai menyapa di desa tempat tinggal Bu Asih, ibu paruh baya itu terlihat duduk melamun di atas tikar di ruang gubuknya yang tidak begitu luas. Di depannya ada secangkir teh manis yang masih mengepul asapnya.Mata Bu Asih terlihat sembab dan sedikit bengkak. Semalaman suntuk ia tidak bisa memicingkan matanya memikirkan kepergian Ratih dan Darna siang kemarin. Bu Asih yakin kalau kepergian mereka adalah untuk mencari Fitri guna memenuhi perintah Salma. Bu Asih yakin kalau Salma telah melakukan kejahatan yang sangat besar hingga ia melakukan apa saja untuk menyembunyikan kejahatannya itu dari polisi.Lalu pikiran Bu Asih kini tertuju kepada Janeta. Ia menghela nafas yang sangat berat.“Tak seharus si Neng yang menjadi korban dari semua ini. Si Neng sangat baik dan menyayangiku saat Ratih tidak berada di rumah. Ratih juga sangat menyayangi si Neng kayaknya ia mempunyai seorang Kakak.” gumam hati Bu Asih sedih. Ia menyeruput teh m
“Kak Ratih mau mengembalikan baju itu kepada Kak Salma?” Fitri bertanya kepada Ratih dengan mata terbelalak.“Iya Fit!” jawab Ratih cepat-cepat menganggukkan kepalanya.“Ta..tapi mengapa Kak? Kalau memang benar baju itu adalah bukti kejahatan Kak Salma, mengapa Kak Ratih ingin mengembalikan kepadanya? Ia pasti akan membuang atau membakarnya, Kak!” ujar Fitri tanpa mengalihkan pandangan matanya dari Ratih.Ratih nampak salah tingkah menghadapi Fitri yang ternyata cukup pintar. Fitri bukanlah seperti anak ingusan lain yang sebaya dengannya.“Tapi apa benar baju itu sudah dibuang Ibu kamu, Fitri?” setelah tercenung sesaat Ratih kembali bertanya.“Yaah..!” ujar Fitri masih belum mengerti apa alasan Ratih begitu gigih untuk membantu Salma mendapatkan barang yang sangat penting itu.“Apakah Kak Ratih telah berpihak kepada Kak Salma sekarang? Apakah mereka berteman?” Hati Fitri bertanya-ta
Darna memacu sepeda motornya menuju desa tempat tinggal mereka. Ratih di belakang berboncengan dengan manja. Hati kedua calon pengantin baru itu sedang berbunga-bunga. Hari bahagia mereka sudah di depan mata. Sekali-kali terlihat mereka bercanda dengan mesra.Hampir tiga jam menempuh perjalanan, mereka sampai di perbatasan desa mereka. Dan beberapa puluh menit kemudian mereka tiba di jalan di depan rumah Ratih ketika mata hari sudah condong ke barat.Darna mengantarkan Ratih ke rumahnya. Di tangan kanannya ia menenteng plastik berisi belanjaan mereka tadi. Sedangkan Ratih membawa sebuah plastik kecil berisi makanan kesukaan ibunya. Dengan riang mereka berjalan beriringan di atas pematang sawah.Ibuuu...! Ratih pulang Buu..!” seru Ratih memanggil Bu Asih ketika mereka berdua sudah sampai di sudut pekarangan. Ia berharap agar segera bertemu dengan Ibunya. Namun tidak ada terdengar sahutan dari dalam rumah. Rumah sangat sederhana itu terlihat sangat s