Beberapa mobil polisi, mobil pemadam kebakaran, dan mobil wartawan telah berada di lokasi kebakaran terjadi saat Aipda Zen tiba dengan Bripka Arif di sana.
“Ya, Tuhan… apinya besar sekali.”
“Belum pernah saya melihat kebakaran sedahsyat ini.”
“Saya juga, Pak Zen. Kalau ada seekor gajah sekalipun di dalam, saya yakin pasti gosong.”
“Untungnya, setahu saya rumah itu rumah kosong,” sahut Aipda Zen. “Rumah mewah tiga lantai itu, dulu milik Nyonya Prita. Seorang pengusaha batubara dari Kalimantan. Tapi, sejak Melia putrinya masuk sekolah SMA, Nyonya Prita setahu saya pindah ke Jakarta dan rumah itu sama sekali kosong.”
“Dan untung lagi bangunan rumah itu tidak menyatu dengan rumah penduduk. Jadi meminimalisir terjadinya perambatan api.”
“Akhirnya Anda datang juga, Pak Zen, Pak Arif.” Bripka Ega berseru dari kejauhan sambil melambaikan tangan. “Saya tidak tahu apa yang berada di dalam rumah itu. Tapi, sudah tiga puluh menit lebih kami berupaya memadamkan api, apinya seperti terus saja mendapat bahan bakar.”
“Bagunannya memang didominasi kayu. Terutama bagian atap. Selain itu, sepertinya semua perabotan rumah masih lengkap,” sahut Aipda Zen. “Ngomong-ngomong, Pak Ega, apa sudah diketahui penyebab kebakaran kira-kira darimana?”
Bripka Ega menggeleng. “Masih belum pasti, Pak Zen. Seperti yang Anda tahu, rumah ini kosong. Selain itu… ya, Anda tahu sendirilah… tertutup dan jauh dari tetangga.”
Sesuatu tiba-tiba melintas di benak Aipda Zen. Seberkas ingatan yang tampak sepele. Dia segera berlari menuju pintu gerbang. Memeriksa gemboknya. “Omong-omong, sewaktu anda datang ke sini, apakah pintu gerbangnya masih terkunci?” tanya Aipda Zen pada Bripka Ega saat kembali.
“Seingat saya gerbangnya terbuka lebar. Karena sudah ramai warga berdatangan. Ah, ya. Saya lupa memberitahu. Istri Anda dan temannyalah saksi mata utama kejadian ini, Pak Zen. Sekarang istri Anda sedang dimintai keterangan.”
“Saya masih belum mendapat informasi pasti mengenai kronologi kebakaran itu,” kata Pak Arif. “Dan saya semakin tidak mengerti bagaimana mungkin rumah kosong yang berada di tengah-tengah begini bisa kebakaran?”
“Menurut keterangan Bu Susan dan Dokter Paullina sebagai saksi mata utama, saat mereka melewati rumah kosong ini hendak pulang ke rumah Bu Susan, mereka mendengar suara seperti sebuah ledakan. Kemudian, dari kejauhan mereka melihat percikan api merayap dari lantai bawah yang dengan cepat membesar. Karena Pak Zen sedang di kamar autopsi, inisiatif Bu Susan menelepon saya dan melaporkan kejadian ini.”
“Jadi, kemungkinan besar kebakaran dipicu oleh konsleting listrik kalau begitu.”
“Tapi, kata Pak Ega, istri saya melaporkan kalau dia mendengar ledakan, kan? Bisa jadi itu dari tabung gas. Setahu saya, meski kosong, rumah ini biasanya memang sebulan sekali akan dibersihkan oleh orang-orang suruhan Nyonya Prita. Setelah selesai bersih-bersih, biasanya mereka akan masak-masak dan makan bersama di halaman malam harinya. Kemudian menginap satu malam baru keesokan paginya pergi. Jadi, mungkin masih ada tabung gas di dalam yang mungkin bocor dan meledak,” kata Aipda Zen.
“Papah!” seru seorang perempuan berkemeja putih dengan lengan digulung dari arah belakang melambai-lambaikan tangan. “Sudah selesai autopsinya, Pah?”
Aipda Zen menoleh. “Sudah, Bu. Ibu sudah selesai memeberikan keterangannya?”
Susan mengangguk. “Sudah, Pah. Pak Ega, bisa bicara sebentar?”
“Tentu, Bu. Mari.”
Susan memberi isyarat ke tempat lain. Pak Ega segera mengikutinya.
“Wah, apinya seperti tidak mau padam saja, ya?” ujar Paullina. Kata-katanya tidak ditunjukan kepada siapa pun.
“Anda benar, Dokter. Apinya memang seperti tidak mau padam,” sahut Aipda Zen.
Cuping hidung Paullina bergerak-gerak. “Aipda Zen, apakah Anda mencium aroma daging terbakar?”
Yang ditanya sepontan mengerutkan kening. “Tidak, Dokter. Saya tidak mencium aroma apa pun selain bau kayu terbakar dan asap.”
“Anda yakin tidak menciumnya? Baunya pekat sekali. Sepertinya ada korban di dalam.”
“Tapi itu tidak mungkin, Dokter. Rumah ini kosong,” sahut Bripka Arif.
“Oh, ya ampun. Bagaimana saya bisa lupa kalau rumah ini rumah kosong?” Paullina memijit kepalanya. “Sepertinya hidung saya menjadi tidak keruan gara-gara saya belum makan dari tadi siang. Susan berjanji akan membuatkan saya ayam bakar untuk menemaninya begadang. Melihat api saya jadi berhalusinasi yang bukan-bukan.”
“Anda tampak lelah sekali, Dokter.”
“Begitulah, Pak. Saya memang lelah dan kacau karena lapar.” Paullina menoleh ke arah Susan di kejauhan. “Dan sepertinya saya tidak akan mendapatkan makanan saya dalam waktu dekat.”
Aipda Zen menoleh ke arah yang sama dengan Paullina. Lalu, “Apa Anda saya antar pulang lebih dulu, Dokter?”
Paullina terkesiap. “Ah, tidak usah repot-repot, Pak Zen. Susan juga sebentar lagi selesai. Saya yakin kasus kebakaran rumah kosong tidak akan begitu menarik perhatiannya. Nah, itu dia sudah selesai.”
“Maaf membuatmu menunggu lama, Lina,” kata Susan menghampiri temannya.
“Sudah selesai?”
Susan mengangguk. Kemudian menoleh ke suaminya. “Pah, Ibu pulang dulu. Kasihan Lina. Dia sudah kelaparan.”
Aipda Zen mengangguk sekilas. “Ibu hati-hati di jalan.”
Susan menggandeng tangan Paullina. “Iya, Pah. Mari, Pak Arif, Pak Ega.”
Satu setengah jam kemudian api baru berhasil dipadamkan. Puing-puing rumah tampak hitam. Asap masih mengepul dari sisa-sisa kayu yang terbakar. Rumah bercat putih beratap tinggi itu masih berdiri kokoh. Meski sebagaian besar atapnya ambruk dan catnya berubah hitam. Petugas kebakaran memimpin pasukan polisi menggeledah ke dalam.
Aipda Zen menendang pintu yang nyaris roboh hingga terbuka lebar. Sambil menutupi hidungnya karena asap di dalam masih cukup pekat, Aipda Zen Bripka Ega, dan Bripka Arif mulai menyisir tempat kejadian.
“Kita berpencar dari sini,” kata Aipda Zen. “Saya akan memeriksa lantai atas.”
Aipda Zen berjalan menaiki tangga dengan perlahan. Pecahan arang dan kaca bergemerisik di bawah kakinya seirama dia melangkah. Kerusakan di lantai atas ternyata jauh lebih serius dari yang dibayangkan. Bara-bara api dari bekas kursi kayu masih menyala di sudut dekat kaca jendela yang hancur. Sebuah lemari dinding berisi guci-guci kecil ambruk ke lantai. Namun, dari itu semua, yang menarik perhatian Aipda Zen adalah pintu kamar di tengah-tenagh ruangan yang terbuka lebar dan aroma yang keluar dari dalam sana yang dengan cepat menegangkan perutnya. Aroma daging terbakar.
“Astaga, jangan-jangan yang dikatakan Dokter Paullina benar.”
Dan itu memang benar. Ketika Aipda Zen masuk ke dalam kamar tidur itu, dia mendapati sesosok tubuh manusia yang telah hangus terbakar di atas tempat tidur. Sambil membekap hidung lebih kuat karena asap dan bau gosong mayat tersebuat begitu pekat, Aipda Zen mendekat. Membungkuk mengamati. Mayat itu sudah tidak dapat diidentifikasi wajahnya. Sekujur tubuhnya terbakar hangus. Benar-benar hangus. Hanya satu yang pasti. Mayat itu mayat seorang pria dewasa. Tanpa membuang waktu, Aipda Zen pun segera menghubungi Bripka Arif dan Bripka Ega. Dan alangkah terkejutnya dia saat diberitahu Bripka Arif juga menemukan seekor anjing yanng tewas terpanggang di dapur.
Mayat dan seekor anjing yang tewas terpanggang. Jelas ini akan menjadi kasus yang lebih rumit dari mayat busuk di lubang galian kabel.
“Benar-benar mayat yang mengerikan,” ujar Bripka Arif. “Entah mengapa kali ini saya merasa mual melihatnya.”
“Dokter Paullina benar soal bau daging terbakar,” sahut aipda Zen. “Tapi, bagaimana mungkin dia tahu, maksud saya, waktu itu sama sekali tidak tercium apa pun.”
“Dokter itu kacau, Pak Zen,” sahut Bripka Ega. “Bu Susan bilang dia sedang tidak baik-baik saja. Karena itu istri Anda mengajaknya ke rumah.”
“Saya tahu itu, tapi…” Aipda Zen tidak melanjutkan kata-katanya. Sebaliknya, dia justru menghampiri mayat yang telanjang bulat itu dan berjongkok memeriksanya. “Sepertinya kita mendapat satu lagi mayat pria tanpa identitas.”
“Pak Zen, coba lihat, tangan kiri mayat itu tampak aneh.”
“Aneh bagaimana, Pak Arif?”
“Jari jemarinya, Pak Zen. Seperti bekas mengepal”
Aipda Zen mengangguk sekilas. Lalu dia menyentuh tangan mayat itu dan menggerakkannya perlahan. “Mungkin reaksi panas.” Tiba-tiba, “Apa ini?” sasuatu seperti cairan kental dan lengket menempel pada ujung jarinya dan dengan cepat mengering.
“Ada apa Pak Zen?”
“Sisa kain terbakar.”
Bripka Ega mendekat, ikut memegang mayat itu. “Jangan-jangan rumah kosong ini sengaja diledakan untuk menghilangkan jejak.”
“Apa maksud Anda, Pak Ega?”
“Begini, Pak Arif, entah mengapa saya merasa ada yang tidak wajar dengan mayat itu saat saya memegangnya. Ada sesuatu seperti mayat itu sudah lama di sana, bukan mati karena terbakar. Tapi karena sesuatu yang lain.”
Aipda Zen menekan-nekan perut mayat itu secara perlahan. Lalu, sebuah cairan keluar dari kemaluan korban. Aipda Zen mendekatkan hidung ke mulut korban. “Sepertinya mayat ini memang sudah berada di sini sebelum kebakaran terjadi. Korban memang sepertinya sudah lama meninggal. Tapi saya belum bisa memastikan. Kita perlu melakukan autopsi dan penyelidikan sesuai prosedur yang ada terlebih dahulu.”
Bripka Arif mengangguk setuju. “Tapi, kalau mayat ity memang ternyata sudah berada di sana sebelum kebakaran terjadi, kemungkinan besar dugaan Pak Ega benar. Ya, sekalipun mayatnya tidak lenyap terbakar, mayat itu akan cukup rusak hingga sulit dikenali.”
“Yang masih menjadi pertanyaan adalah anjingnya,” sahut Aipda Zen. “Kenapa ada anjing yang ikut terbakar juga?”
“Mungkin itu anjing korban. Maksud saya mayat ini,” usul Pak Arif.
“Mungkin memang begitu. Tapi, yang masih saya tidak mengerti, kenapa anjing itu tewas di dapur.”
“Membingungkan memang. Tapi sebaiknya kita segera melakukan penyelidikan TKP sebelum mengevakuasi korban, Pak Zen. Hari sudah larut,” kata Pak Arif.
Aipda Zen setuju. “Saya akan ke bawah mengambil kantong jenazah. Dan memberitahu Pak Inspektur soal penemuan mayat ini.”
Bripka Ega mengamati kamar tidur itu dengan saksama. Lemari yang berisi pakaian roboh ke lantai dan masih mengeluarkan asap. Guci besar di sudut ruangan pecah bagian atasnya. Gorden beludru compang camping dan meninggalkan sisa bekas terbakar di sana-sini. Kamar tidur itu secara keseluruhan memang kacau. Dengan langkah panjang-panjang Bripka Ega menghampiri lemari baju, memungut sehelai kain berwarna putih dari spandek yang tidak terbakar.
“Kalau dugaan saya benar…” Pak Ega menggosokan kain yang dibawanya ke mayat itu. Awalnya perlahan, kemudian bertambah keras.
“Apa yang sedang Anda lakukan Pak Ega?”
“Percobaan kecil, Pak Arif.” Bripka Ega terus menggosok-gosok bagian leher bawah korban. Kemudian, “Lihat, eksperimen saya berhasil. Bagian pada lipatan leher bawah ini tidak tersentuh api. Coba Anda perhatikan, lihat itu, warna kulitnya sudah berubah. Tampak jelas ini mayat sudah paling sebentar dua hari.”
“Kau sehangat musim panas seperti biasa, Sayangku. Dan meski aku sudah memasukimu berkali-kali, kau masih saja sempit seperti anak gadis.”“Kau laki-laki brengsek yang banyak sekali omong. Sudah berapa lusin permpuan kau tiduri, hah?”“Itu memang benar. Tapi mereka semua tidak sehangat dirimu. Mereka terlalu kering atau terlalu basah kadang-kadang. Tapi kau hangat, sempit dan… ah, bibirmu itu, benar-benar manis dimulutku. Kau tahu, aku mendambamu setiap waktu. Rasanya aku ingin bercinta selalu denganmu. Oh, aku jadi gila setiap kali memikirkan tubuhmu. Payudaramu yang kencang, penuh, menggoda. Oh, Tuhan… aku rasa aku benar-benar gila. Buka sedikit kakimu, Sayang. Oh, ya begitu.”“Kapan kau akan menikahiku, William?“Secepatnya, Sayangku. Secepatnya. Agar aku bisa bercinta denganmu setiap pagi di tepi kolam renang. Aku sudah tidak sabar untuk itu. Aku tidak ingin sembunyi-sembunyi seperti ini.&r
“Ini benar-benar akan menjadi akhir pekan yang suram,” keluh Bripka Ega yang duduk di belakang kemudi. “Dua mayat tanpa identitas. Mimpi buruk yang mengerikan.”“Tidak, belum semuanya, Pak Ega. Karena saya baru mendapat perintah dari Pak Inspektur untuk mengidentifikasi mayat yang terbakar itu malam ini juga,” sahut Aipda Zen yang duduk di sebelahnya.“Entah ini hanya perasaan saya atau memang ada yang tidak beres dengan Pak Inspektur,” ujar Bripka Arif. “Tidak biasanya Pak Inspektur seperti ini. Apa Pak Inspektur mengatakan sesuatu pada Anda, Pak Zen?”“Tidak spesisifik. Tapi, perintah yang saya dapat adalah kita harus mengidentifikasi mayat ini sedapat mungkin dan memastikan bahwa itu bukan mayat Nicholas.” Aipda Zen menoleh ke belakang, melirik kantong jenazah di samping Bripka Arif. “Saya rasa Pak Inspektur cemas bukan kepalang karena ini berkaitan dengan keponakan Pak WaKa y
“Ada apa kau menelpon tengah malam begini? Saya mengantuk.” “Saya minta maaf mengganggu waktu Anda. Saya hanya ingin mengucapkan selamat untuk Anda. Saya tidak menyangka Anda punya keberanian sebesar itu. Maksud saya, Anda benar-benar luar biasa.” “Rencanamu yang sempurna. Kau tahu itu.” “Anda mabuk?” “Tidak, saya mengantuk. Saya baru menelan obat tidur.” “Kalau begitu, baiklah. Saya tutup dulu teleponnya. Selamat malam, Dokter.” Gadis itu memutus sambungan telepon lalu merebahkan diri di ranjang. Membayangkan pencapaian hebat yang diraihnya dalam kurun waktu tiga minggu ini membuatnya tersenyum bangga. Siapa yang menyangka dia bisa melakukan hal seperti itu. Semua orang, terutama laki-laki, selalu menganggapnya lemah, tak berarti, tak mampu berbuat sesuatu sekalipun diremehkan. Dia membenci laki-laki melebihi apa pun di dunia ini. Hidupnya hancur, kelurganya berantakan karena laki-laki. Kakaknya bunuh diri setalah diham
Malam sudah larut, fajar sebentar lagi menyingsing di ufuk timur. Namun, Surya Wiratama sama sekali belum dapat memejamkan mata. Pria berambut keperakan itu masih mondar-mandir di ruang kerja pribadinya, resah bukan kepalang. Ini adalah malam ketiga Nicholas tidak pulang dan entah mengapa firasatnya buruk. Inspektur Indra juga belum memberikan kabar terkait keberadaan Nicholas. Meski anak semata wayangnya itu selalu membuat masalah, kurang ajar, dan tidak dapat dikatakan anak baik-baik meski sudah berkepala tiga, tetapi, Nicholas tetaplah anaknya. “Pa, apa belum ada kabar dari Pak Inspektur?” tanya istrinya, Lisa, yang baru masuk. Yang ditanya hanya menghela napas lalu menggeleng sedih. “Ke mana, ya, Nicholas. Nomornya tidak aktif, juga tidak memberi kabar. Ibu cemas, Pa.” “Bapa juga cemas, Bu. Walaupun Nicholas selalu bikin masalah, tapi, Bapa tetap cemas kalau begini keadaannya.” “Bapa sudah tanyai semua teman Nicholas?” “Sudah
“Selamat malam, Bu Susan. Saya minta maaf meroptkan dan mengganggu istirahat Anda. Masalahnya mendesak, Bu,” ujar Inspektur Indra saat perempuan itu tiba.“Selamat malam Pak Inspektur, Pak Ega.” Susan mengulurkan tangan untuk berjabat. “Kapan pun Anda membutuhkan bantuan saya, Pak Inspektur. Saya dengan senang hati akan membantu.”“Anda baik sekali, Bu Susan.”“Saya hanya melakukan apa yang bisa saya lakukan. Meskipun kecil dan tidak terlalu berarti, setidaknya ada sesuatu yang bisa saya berikan untuk negara ini.”“Anda luar biasa. Jiwa patriotisme Anda mengaggumkan.”“Silakan duduk, Bu Susan,” ujar Bripka Ega. “Sambil menunggu Dokter Diaz selesai melakukan identifikasi odontologi, mungkin Pak Inspektur akan menjelaskan terlebih dahulu duduk permasalahan genting ini.”“Tentu saja. Saya masih berada dalam gelap memang. Bahkan, meskipun saya s
Revi Miranda gelisah di tempat tidurnya. Tommy Robin, mantan suaminya yang baru keluar dari panti rehabilitasi menghilang bagai ditelan bumi. Nomor teleponnya tidak aktif dan dia tidak pulang ke rumahnya dan tidak juga ke rumah Revi. Tommy memang lelaki brengsek, begundal keparat yang tak tahu diuntung. Dia telah memberikan segalanya untuk mantan suaminya itu, bahkan telah memafkan perselingkuhan-perselingkuhan Tommy. Akan tetapi, bagai susu dibalas air tuba. Kebaikan Revi sama sekali tidak berarti apa pun. Tommy menggugat cerai Revi diusai pernikahan mereka yang baru seumur jagung. Dengan alasan tak masuk akal—Revi tidak dapat memberinya keturunan. Sebulan pasca mereka bercerai, Tommy menikah wanita simpanannya, Ana. Tapi pernikahan itu kandas dalam waktu dua bulan.“Kenapa aku harus memikirkan si brengsek itu, mungkin sekarang dia sedang bercinta dengan pacar-pacarnya,” gumam Revi. Namun itu sama sekali tidak menenangkan. Pikirannya terus berkecamuk.
Ketegangan yang mengambang di udara dalam ruangan Dokter Stefani menjadi semakin berat. Berita luar biasa yang disampaikan Inspektur Indra dan fakta yang disuguhkan dari hasil identifikasi forensik membuat ketiga orang itu diliputi kebingungan yang absolut. Susan sekali lagi memeriksa catatan Dokter Diaz, mencocokan. Tapi semua sudah sesuai deskripsi. “Pasti ada yang salah di sini,” ujar Inspektur Indra sambil menatap gambar sketsa wajah Nicholas yang dibuat Susan. “Tapi, apa mungkin Pak Surya berbohong? Sebab identifikasi forensik kecil kemungkinannya keliru.” “Sepertinya kita perlu menyelidiki lebih lanjut,” sahut Bripka Ega. “Tapi, sebaiknya kita tunggu sampai autopsi selesai dilakukan berikut tes DNA. Agar semuanya pasti.” “Saya setuju,” kata Susan. “Kalau diperbolehkan, saya menawarkan diri untuk membantu. Saya akan pergi ke Lembang mencari tahu keberadaan Nicholas. Sekaligus mengajak Lina menenangkan diri.” “Bagaimana, Pak Inspektur?”
Dimas Ardhio menyulut rokok. Dia sedang menonton siaran berita pagi. Kabar mengenai temuan mayat pria tanpa identitas di lubang galian kabel yang diduga korban pembunuhan itu membuat lelaki tampan berusia dua puluh tujuh tahun berambut kemerahan itu ngeri. Kekasihnya, Merie, mengancam akan membunuh Dimas dan dirinya sendiri jika dia berani main api di belakangnya, sementara Dimas sendiri adalah seorang petualang. Kalau Merie tahu aku punya simpanan mampus aku, bisa jadi nasibku sama seperti pria malang di televisi itu, batin Dimas.Entah untuk yang keberapa kalinya Dimas terheran-heran bagaimana dia bisa jatuh terjebak ke dalam pelukan Merie. Dia selalu membanggakan dirinya sebagai lelaki paling bebas dan bahagia, dan teman-temannya setuju akan pendapat itu. Sejak menginjak usia dua puluh, Dimas selalu berhasil memiliki beberapa gadis dalam berbagai tahap. Tahap pertama meliputi gadis-gadis yang baru dikenalnya. Mereka akan menerima telepon, coklat dan