Share

Bab 7

Beberapa mobil polisi, mobil pemadam kebakaran, dan mobil wartawan telah berada di lokasi kebakaran terjadi saat Aipda Zen tiba dengan Bripka Arif di sana.

“Ya, Tuhan… apinya besar sekali.”

“Belum pernah saya melihat kebakaran sedahsyat ini.”

“Saya juga, Pak Zen. Kalau ada seekor gajah sekalipun di dalam, saya yakin pasti gosong.”

“Untungnya, setahu saya rumah itu rumah kosong,” sahut Aipda Zen. “Rumah mewah tiga lantai itu, dulu milik Nyonya Prita. Seorang pengusaha batubara dari Kalimantan. Tapi, sejak Melia putrinya masuk sekolah SMA, Nyonya Prita setahu saya pindah ke Jakarta dan rumah itu sama sekali kosong.”

“Dan untung lagi bangunan rumah itu tidak menyatu dengan rumah penduduk. Jadi meminimalisir terjadinya perambatan api.”

“Akhirnya Anda datang juga, Pak Zen, Pak Arif.” Bripka Ega berseru dari kejauhan sambil melambaikan tangan. “Saya tidak tahu apa yang berada di dalam rumah itu. Tapi, sudah tiga puluh menit lebih kami berupaya memadamkan api, apinya seperti terus saja mendapat bahan bakar.”

“Bagunannya memang didominasi kayu. Terutama bagian atap. Selain itu, sepertinya semua perabotan rumah masih lengkap,” sahut Aipda Zen. “Ngomong-ngomong, Pak Ega, apa sudah diketahui penyebab kebakaran kira-kira darimana?”

Bripka Ega menggeleng. “Masih belum pasti, Pak Zen. Seperti yang Anda tahu, rumah ini kosong. Selain itu… ya, Anda tahu sendirilah… tertutup dan jauh dari tetangga.”

Sesuatu tiba-tiba melintas di benak Aipda Zen. Seberkas ingatan yang tampak sepele. Dia segera berlari menuju pintu gerbang. Memeriksa gemboknya. “Omong-omong, sewaktu anda datang ke sini, apakah pintu gerbangnya masih terkunci?” tanya Aipda Zen pada Bripka Ega saat kembali.

“Seingat saya gerbangnya terbuka lebar. Karena sudah ramai warga berdatangan. Ah, ya. Saya lupa memberitahu. Istri Anda dan temannyalah saksi mata utama kejadian ini, Pak Zen. Sekarang istri Anda sedang dimintai keterangan.”

“Saya masih belum mendapat informasi pasti mengenai kronologi kebakaran itu,” kata Pak Arif. “Dan saya semakin tidak mengerti bagaimana mungkin rumah kosong yang berada di tengah-tengah begini bisa kebakaran?”

“Menurut keterangan Bu Susan dan Dokter Paullina sebagai saksi mata utama, saat mereka melewati rumah kosong ini hendak pulang ke rumah Bu Susan, mereka mendengar suara seperti sebuah ledakan. Kemudian, dari kejauhan mereka melihat percikan api merayap dari lantai bawah yang dengan cepat membesar. Karena Pak Zen sedang di kamar autopsi, inisiatif Bu Susan menelepon saya dan melaporkan kejadian ini.”

“Jadi, kemungkinan besar kebakaran dipicu oleh konsleting listrik kalau begitu.”

“Tapi, kata Pak Ega, istri saya melaporkan kalau dia mendengar ledakan, kan? Bisa jadi itu dari tabung gas. Setahu saya, meski kosong, rumah ini biasanya memang sebulan sekali akan dibersihkan oleh orang-orang suruhan Nyonya Prita. Setelah selesai bersih-bersih, biasanya mereka akan masak-masak dan makan bersama di halaman malam harinya. Kemudian menginap satu malam baru keesokan paginya pergi. Jadi, mungkin masih ada tabung gas di dalam yang mungkin bocor dan meledak,” kata Aipda Zen.

“Papah!” seru seorang perempuan berkemeja putih dengan lengan digulung dari arah belakang melambai-lambaikan tangan. “Sudah selesai autopsinya, Pah?”

Aipda Zen menoleh. “Sudah, Bu. Ibu sudah selesai memeberikan keterangannya?”

Susan mengangguk. “Sudah, Pah. Pak Ega, bisa bicara sebentar?”

“Tentu, Bu. Mari.”

Susan memberi isyarat ke tempat lain. Pak Ega segera mengikutinya.

“Wah, apinya seperti tidak mau padam saja, ya?” ujar Paullina. Kata-katanya tidak ditunjukan kepada siapa pun.

“Anda benar, Dokter. Apinya memang seperti tidak mau padam,” sahut Aipda Zen.

Cuping hidung Paullina bergerak-gerak. “Aipda Zen, apakah Anda mencium aroma daging terbakar?”

Yang ditanya sepontan mengerutkan kening. “Tidak, Dokter. Saya tidak mencium aroma apa pun selain bau kayu terbakar dan asap.”

“Anda yakin tidak menciumnya? Baunya pekat sekali. Sepertinya ada korban di dalam.”

“Tapi itu tidak mungkin, Dokter. Rumah ini kosong,” sahut Bripka Arif.

“Oh, ya ampun. Bagaimana saya bisa lupa kalau rumah ini rumah kosong?” Paullina memijit kepalanya. “Sepertinya hidung saya menjadi tidak keruan gara-gara saya belum makan dari tadi siang. Susan berjanji akan membuatkan saya ayam bakar untuk menemaninya begadang. Melihat api saya jadi berhalusinasi yang bukan-bukan.”

“Anda tampak lelah sekali, Dokter.”

“Begitulah, Pak. Saya memang lelah dan kacau karena lapar.” Paullina menoleh ke arah Susan di kejauhan. “Dan sepertinya saya tidak akan mendapatkan makanan saya dalam waktu dekat.”

Aipda Zen menoleh ke arah yang sama dengan Paullina. Lalu, “Apa Anda saya antar pulang lebih dulu, Dokter?”

Paullina terkesiap. “Ah, tidak usah repot-repot, Pak Zen. Susan juga sebentar lagi selesai. Saya yakin kasus kebakaran rumah kosong tidak akan begitu menarik perhatiannya. Nah, itu dia sudah selesai.”

“Maaf membuatmu menunggu lama, Lina,” kata Susan menghampiri temannya.

“Sudah selesai?”

Susan mengangguk. Kemudian menoleh ke suaminya. “Pah, Ibu pulang dulu. Kasihan Lina. Dia sudah kelaparan.”

Aipda Zen mengangguk sekilas. “Ibu hati-hati di jalan.”

Susan menggandeng tangan Paullina. “Iya, Pah. Mari, Pak Arif, Pak Ega.”

Satu setengah jam kemudian api baru berhasil dipadamkan. Puing-puing rumah tampak hitam. Asap masih mengepul dari sisa-sisa kayu yang terbakar. Rumah bercat putih beratap tinggi itu masih berdiri kokoh. Meski sebagaian besar atapnya ambruk dan catnya berubah hitam. Petugas kebakaran memimpin pasukan polisi menggeledah ke dalam.

Aipda Zen menendang pintu yang nyaris roboh hingga terbuka lebar. Sambil menutupi hidungnya karena asap di dalam masih cukup pekat, Aipda Zen Bripka Ega, dan Bripka Arif mulai menyisir tempat kejadian.

“Kita berpencar dari sini,” kata Aipda Zen. “Saya akan memeriksa lantai atas.”

Aipda Zen berjalan menaiki tangga dengan perlahan. Pecahan arang dan kaca bergemerisik di bawah kakinya seirama dia melangkah. Kerusakan di lantai atas ternyata jauh lebih serius dari yang dibayangkan. Bara-bara api dari bekas kursi kayu masih menyala di sudut dekat kaca jendela yang hancur. Sebuah lemari dinding berisi guci-guci kecil ambruk ke lantai. Namun, dari itu semua, yang menarik perhatian Aipda Zen adalah pintu kamar di tengah-tenagh ruangan yang terbuka lebar dan aroma yang keluar dari dalam sana yang dengan cepat menegangkan perutnya. Aroma daging terbakar.

“Astaga, jangan-jangan yang dikatakan Dokter Paullina benar.”

Dan itu memang benar. Ketika Aipda Zen masuk ke dalam kamar tidur itu, dia mendapati sesosok tubuh manusia yang telah hangus terbakar di atas tempat tidur. Sambil membekap hidung lebih kuat karena asap dan bau gosong mayat tersebuat begitu pekat, Aipda Zen mendekat. Membungkuk mengamati. Mayat itu sudah tidak dapat diidentifikasi wajahnya. Sekujur tubuhnya terbakar hangus. Benar-benar hangus. Hanya satu yang pasti. Mayat itu mayat seorang pria dewasa. Tanpa membuang waktu, Aipda Zen pun segera menghubungi Bripka Arif dan Bripka Ega. Dan alangkah terkejutnya dia saat diberitahu Bripka Arif juga menemukan seekor anjing yanng tewas terpanggang di dapur.

Mayat dan seekor anjing yang tewas terpanggang. Jelas ini akan menjadi kasus yang lebih rumit dari mayat busuk di lubang galian kabel.

“Benar-benar mayat yang mengerikan,” ujar Bripka Arif. “Entah mengapa kali ini saya merasa mual melihatnya.”

“Dokter Paullina benar soal bau daging terbakar,” sahut aipda Zen. “Tapi, bagaimana mungkin dia tahu, maksud saya, waktu itu sama sekali tidak tercium apa pun.”

“Dokter itu kacau, Pak Zen,” sahut Bripka Ega. “Bu Susan bilang dia sedang tidak baik-baik saja. Karena itu istri Anda mengajaknya ke rumah.”

“Saya tahu itu, tapi…” Aipda Zen tidak melanjutkan kata-katanya. Sebaliknya, dia justru menghampiri mayat yang telanjang bulat itu dan berjongkok memeriksanya. “Sepertinya kita mendapat satu lagi mayat pria tanpa identitas.”

“Pak Zen, coba lihat, tangan kiri mayat itu tampak aneh.”

“Aneh bagaimana, Pak Arif?”

“Jari jemarinya, Pak Zen. Seperti bekas mengepal”

Aipda Zen mengangguk sekilas. Lalu dia menyentuh tangan mayat itu dan menggerakkannya perlahan. “Mungkin reaksi panas.” Tiba-tiba, “Apa ini?” sasuatu seperti cairan kental dan lengket menempel pada ujung jarinya dan dengan cepat mengering.

“Ada apa Pak Zen?”

“Sisa kain terbakar.”

Bripka Ega mendekat, ikut memegang mayat itu. “Jangan-jangan rumah kosong ini sengaja diledakan untuk menghilangkan jejak.”

“Apa maksud Anda, Pak Ega?”

“Begini, Pak Arif, entah mengapa saya merasa ada yang tidak wajar dengan mayat itu saat saya memegangnya. Ada sesuatu seperti mayat itu sudah lama di sana, bukan mati karena terbakar. Tapi karena sesuatu yang lain.”

Aipda Zen menekan-nekan perut mayat itu secara perlahan. Lalu, sebuah cairan keluar dari kemaluan korban. Aipda Zen mendekatkan hidung ke mulut korban. “Sepertinya mayat ini memang sudah berada di sini sebelum kebakaran terjadi. Korban memang sepertinya sudah lama meninggal. Tapi saya belum bisa memastikan. Kita perlu melakukan autopsi dan penyelidikan sesuai prosedur yang ada terlebih dahulu.”

Bripka Arif mengangguk setuju. “Tapi, kalau mayat ity memang ternyata sudah berada di sana sebelum kebakaran terjadi, kemungkinan besar dugaan Pak Ega benar. Ya, sekalipun mayatnya tidak lenyap terbakar, mayat itu akan cukup rusak hingga sulit dikenali.”

“Yang masih menjadi pertanyaan adalah anjingnya,” sahut Aipda Zen. “Kenapa ada anjing yang ikut terbakar juga?”

“Mungkin itu anjing korban. Maksud saya mayat ini,” usul Pak Arif.

“Mungkin memang begitu. Tapi, yang masih saya tidak mengerti, kenapa anjing itu tewas di dapur.”

“Membingungkan memang. Tapi sebaiknya kita segera melakukan penyelidikan TKP sebelum mengevakuasi korban, Pak Zen. Hari sudah larut,” kata Pak Arif.

Aipda Zen setuju. “Saya akan ke bawah mengambil kantong jenazah. Dan memberitahu Pak Inspektur soal penemuan mayat ini.”

Bripka Ega mengamati kamar tidur itu dengan saksama. Lemari yang berisi pakaian roboh ke lantai dan masih mengeluarkan asap. Guci besar di sudut ruangan pecah bagian atasnya. Gorden beludru compang camping dan meninggalkan sisa bekas terbakar di sana-sini. Kamar tidur itu secara keseluruhan memang kacau. Dengan langkah panjang-panjang Bripka Ega menghampiri lemari baju, memungut sehelai kain berwarna putih dari spandek yang tidak terbakar.

“Kalau dugaan saya benar…” Pak Ega menggosokan kain yang dibawanya ke mayat itu. Awalnya perlahan, kemudian bertambah keras.

“Apa yang sedang Anda lakukan Pak Ega?”

“Percobaan kecil, Pak Arif.” Bripka Ega terus menggosok-gosok bagian leher bawah korban. Kemudian, “Lihat, eksperimen saya berhasil. Bagian pada lipatan leher bawah ini tidak tersentuh api. Coba Anda perhatikan, lihat itu, warna kulitnya sudah berubah. Tampak jelas ini mayat sudah paling sebentar dua hari.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status