Inspektur Indra berjalan mondar-mandir di depan ruang autopsi. Kedua tangannya terlipat di punggung, sementara pandangannya terpaku ke lantai. Sesekali dia menoleh ke arah pintu. Kecewa karena pintu tak kunjung terbuka dan seseorang keluar dari sana memberikan penjelasan, dia menghela napas. Sekitar lima belas menit lalu dia mendapat telepon dari seorang warga yang melapor telah kehilangan salah seorang anggota keluarganya. Seorang pria dengan ciri-ciri memiliki tinggi kurang lebih seratus tujuh puluh tiga centi meter, berbadan sempurna, memiliki rambut cepak. Ciri-cirinya persis dengan mayat yang tengah diautopsi di dalam. Masalahnya adalah, menurut orang yang melapor kehilangan itu, kerabatnya ini baru saja pergi sekitar dua hari. Sedangkan mayat yang mereka temukan, kondisinya sudah terlalu busuk untuk ukuran mayat dua hari. Jadi, kecil kemungkinan mayat itu mayatnya.
Di dalam ruang autopsi Dokter Clara sudah tidak mampu lagi menahan diri. Bau busuk yang teramat sangat saat Dokter Stefani melakukan pembedahan untuk memeriksa isi perut korban telah memporak-porandakan isi perutnya juga. Setelah melepas sarung tangan yang dikenakannya, Dokter Clara terburu-buru keluar ruangan. Di depan pintu dia hampir saja menabrak Inspektur Indra saat berlari hendak ke toilet untuk muntah. Terdorong rasa penasaran inspektur polisi itu pun masuk ke dalam. Namun, segera keluar saat mencium bau busuk sambil menyumpahi dirinya sendiri yang telah bertindak begitu tolol.
Hampir dua puluh menit menunggu akhirnya pintu ruang autopsi itu terbuka. Dokter Stefani, Aipda Zen, dan Bripka Arif keluar. Inspektur Indra segera menghampiri mereka.
“Bagaimana hasilnya?” tanya inspektur polisi itu tak sabaran.
Namun, belum sempat ada yang menjawab, ponsel genggam Inspektur Indra berdering nyaring. Panggilan masuk dari Bripka Ega. Dengan agak kesal dia menjawab panggilan itu. Namun, beberapa detik kemudian ekspresinya menjadi lain sama sekali.
Inspektur Indra menghela napas setelah menutup telepon. Lalu berbalik kepada Aipda Zen dan Bripka Arif. “Bripka Ega menelepon memberitahu kalau baru saja terjadi kebakaran hebat tak jauh dari rumah Anda, Aipda Zen. Sekarang Bripka Ega dan petugas kebakaran sedang menuju ke tempat kejadian perkara.”
“Kalau begitu saya akan segera menyusul,” sahut Aipda Zen.
“Saya ikut,” ujar Bripka Arif juga.
“Baiklah. Saya perintahkan kalian berdua merapat ke lokasi. Kemungkinan besar Bripka Ega memang membutuhkan bantuan. Saya akan menyusul setelah bicara dengan Dokter Stefani.”
Dokter Stefani mengajak Inspektur Indra ke ruangannya. Setelah dia kembali dari membersihkan diri, baru mulai menjelaskan segala sesuatunya.
“Laporan resmi dari hasil autopsinya memang belum saya buat,” ujar Dokter Stefani. “Akan tetapi, dari hasil pemeriksaan sementara saya dapat menyimpulkan memang benar korban adalah seorang pria. Dari sisa-sisa rambut yang menempel di kulit kepalanya, pria ini memiliki potongan rambut cepak antara satu sampai satu setengah centi meter.”
“Berapa usianya kira-kira?” potong Inspektur Indra.
“Saya belum dapat memprediksikannya dengan tepat. Kita perlu melakukan identifikasi lebih lanjut. Tapi Anda jangan khawatir, Inpektur. Saya sudah mengirimkan sempel gigi korban untuk dilakukan tes DNA. Dan saya juga telah menghubungi ahli odontologi untuk penyelidikan lebih lanjut.”
“Kapan kemungkinan hasil tes DNA itu keluar?”
“Selambat-lambatnya besok siang.”
“Dan tes odontologinya?”
“Kalau untuk yang satu ini saya belum bisa memastikan. Anda tentu mengerti maksud saya.”
“Baiklah, kalau begitu saya ingin mendengar hasil autopsi yang Anda lakukan. Meski itu baru sebuah gambaran kasar.”
Dokter Stefani menegakan duduknya. Mata hitam dokter paruh baya itu menatap Inspektur Indra dengan curiga. “Sebenarnya apa yang terjadi, Inspektur? Mengapa Anda begitu tidak sabaran?”
Inspektur Indra menghela napas. “Beberapa waktu lalu saya mendapat telepon dari seorang warga yang melapor kehilangan kerabatnya. Orang hilang ini juga berjenis kelamin laki-laki.”
“Benarkah?”
“Apa maksud Anda, Dokter?”
Dokter Stefani membetulkan poni rambutnya. “Jika itu hanya warga sipil biasa, kenapa Anda begitu cemas?” selidik perempuan itu.
Inspektur Indra lagi-lagi menghela napas. “Anda tahu Pak Surya Wiratama, bukan? Nah, beliaulah yang melapor kehilangan.”
Seketika Dokter Stefani menjadi tertarik. “Apa yang Anda maksud begundal Nicholas yang hilang?”
Inspektur Indra mengangguk. “Dia memang begundal. Pemakai dan pengedar narkoba. Bolak-balik masuk penjara dan panti rehabilitasi. Sebenarnya, kalau bukan ayahnya yang melapor, saya sendiri enggan menangani kasusnya. Sayangnya Pak Surya yang melapor. Saya tidak mau berurusan dengan Pak WaKa.”
“Nicholas itu memang begundal yang beruntung. Tapi, Anda tidak perlu khawatir. Saya pastikan mayat yang kita temukan di lubang galian kabel itu sama sekali bukan mayat Nicholas. Meskipun, jujur, saya sebenarnya saya berharap demikian. Karena mayat itu sudah sekitar satu minggu, yang artinya waktu kejadiannya antara hari jumat atau sabtu yang lalu. Sedangkan hari itu, kita sama-sama tahu Nicholas belum keluar dari panti rehabilitasi. Dan Pak Surya juga jelas melaporkan Nicholas baru menghilang dua hari, bukan?”
“Anda benar juga, Dokter. Saya rasa saya hanya terlalu panik. Maksud saya, Anda tahu kan bagaimana Pak WaKa kalau menyangkut keluarga dan kerabatnya? Meskipun, sama seperti Anda, saya juga berharap kalau itu memang mayat Nicholas.”
“Anda juga tidak suka padanya?”
“Bagaimana mungkin saya menyukainya. Dia laki-laki terbrengsek yang saya kenal. Pecandu, pengedar, dan suka main perempuan.”
Dokter Stefani tertawa. “Anda masih dendam rupanya.”
“Saya tidak mungkin lupa apa yang dilakukan bajingan itu terhadap keponakan saya, mendiang Veronica Tan. Gara-gara begundal busuk itu dia jadi bunuh diri. Dan kedua orang tuanya menjadi pesakitan lalu meninggal. Gara-gara dia juga sekarang Celline jadi yatim piatu dan terpaksa tinggal dengan adik terkecil saya, Revi.” Inpektur Indra mengertakan rahang. Menahan marah saat bayangan masa lalu memenuhi benaknya.
“Yang saya tidak mengerti,” sahut Dokter Stefani, “biasanya Pak Surya acuh tak acuh terhadap Nicholas. Bahkan, beliau sama sekali tidak peduli saat anaknya ditangkap polisi dan dijebloskan ke penjara. Beliau selalu berkata, ‘Saya tidak akan memberi jaminan apa pun. Biar saja, biar anak itu jera. Dia harus belajar tanggung ajawab. Dia itu laki-laki dewasa.’ Tapi, kenapa sekarang beliau peduli?”
“Karena kali ini masalahnya lain, Dokter. Petang tadi, istri dan putri Pak Wijaya salah satu rekan bisnisnya, mendatangi kediaman Pak Surya untuk meminta pertanggung jawaban. Jesica putri satu-satunya Pak Wijaya dihamili oleh Nicholas dan sekarang dicampakan begitu saja setelah Nicholas menyuruhnya aborsi tapi ditolak Jesica.”
“Sekarang saya mulai paham duduk perkaranya. Tapi, seperti yang saya katakan sebelumnya, mayat itu bukan mayat Nicholas. Sama sekali bukan.”
“Baiklah, Dokter. Kalau begitu, saya akan membentuk tim pencarian orang hilang.”
Dokter Stefani mengangguk sekilas. “Oh, iya. Inspektur, apa Anda ingat pernah menangkap seorang pria yang memiliki tato kaki elang atau elang secara utuh di dekat mata kaki kiri dan tato mawar di mata kaki kanannya?”
Kening Inspektur Indra berkerut dalam. Cukup lama dia mengingat-ingat, membuka satu persatu catatan di kepalanya. Lalu, “Saya sama sekali tidak ingat, Dokter. Terlalu banyak kasus yang saya tangani. Nanti saya cek dulu data-datanya. Kalau saya mendapatkan sesuatu, saya akan segera mengabari Anda. Tapi, ngomong-ngomong kenapa Anda bertanya demikian?”
“Karena itu akan sangat membantu identifikasi kita. Mayat itu memiliki tato kaki elang—kita sebut saja demikian karena hanya gambar bagian kakinya saja yang tersisa—dan bunga mawar. Kalau ada data yang cocok, pasti kita lebih mudah mengungkap identitas korban.”
“Saya mengerti maksud Anda. Baiklah, sekarang juga saya akan memerintahkan orang kepercayaan saya untuk meninjau ulang berkas-berkas laporan yang ada. Dan saya akan mengabari Anda secepatnya kalau mendapatkan sesuatu.”
Dia duduk di barisan depan gereja. Matanya terpejam erat dan tangannya dalam posisi berdoa. Dengan perlahan dia melepaskan diri dari ikatan dunia, dari belenggu tubuhnya. Alunan musik dan nyanyian yang naik turun mengikuti irama menghilang, menyisakan kesenyapan. Dengan gerakan refleks dia menundukkan kepalanya, sampai dagunya hampir menyentuh tangannya. Terus tenggelam semakin jauh, semakin dalam, hingga ke dasar. Lalu, dalam kehampaan, dalam kegelapan total itu, dia meminta izin kepada tuhannya. “tuhan, beri aku perlindunganmu untuk menjagal satu lagi babi persembahan. Berkatilah aku dalam tugas mulia ini, tuhan. Agar segala sesuatunya berjalan sesuai rencana.” Setelah berkata demikian dalam hatinya, dia mengangkat dagu. Membiarkan kembali dirinya terikat dunia, terikat tubuhnya. Membiarkan kembali telinganya di penuhi musik, kepalanya dipenuhi nyanyian. Dia kemudian tersenyum menatap patung Yesus yang tersalib sambil tangannya meraba, mencari rosario di tas kecilnya. Aku suda
“Baiklah, mari kita mulai penyelidikan ini dari pertama sekali,” kata Aipda Zen saat dia dan yang lainnya tiba di lokasi kejadian perkara yang hanya satu blok dari kediamannya setelah mereka selesai sarapan. “Bu, waktu Ibu dan Lina mendengar ledakan disusul sambaran api, apakah waktu itu posisi gembok pintu gerbang terbuka?” tanya Aipda Zen kepada istrinya.“Gembok itu terkunci. Tapi, sepertinya kuncinya rusak. Karena, saat Paullina membuka dengan paksa dengan menarik-narik dan memukul dengan batu kecil gemboknya terbuka.”Aipda Zen berjongkok mengamati bekas goresan di tepi gembok. Tiba-tiba Rindka ikut jongkok dan meraih gembok itu. “Mari kita coba, apakah gembok ini benar-benar rusak atau tidak,” ujarnya seraya menguncikan gembok hingga terdengar bunyi klik. Kemudian dia menarik-narik gembok tersebut sekuat tenaga dan memukulnya dengan batu yang menurut Susan digunakan oleh Paullina sebelumnya. Tapi nihil. Gembok itu t
“Oh, betapa mengerikannya zaman sekarang yang tidak lagi berperikemanusiaan ini,” kata Paullina saat membantu Susan mengupas bawang merah di dapur. “Kurasa dunia sebentar lagi kiamat. Maksudku, dalam arti yang sesungguhnya tentu saja. Lihat saja, di mana-mana terjadi pembunuhan. Seorang ibu mencincang hidup-hidup bayinya hanya lantaran ayah si bayi tidak bertanggung jawab, seorang cucu membunuh neneknya karena dinasihati jangan pulang terlalu larut malam, seorang kekasih mengubur hidup-hidup kekasihnya sendiri lantaran dia selingkuh—itu seperti umum dan tak berkesan menakutkan.”“Ketika seorang manusia kehilangan prinsip hidupnya maka dia akan berubah menjadi binatang—tak lagi memiliki simpati dan empati. Namun begitu, semua tentu saja ada alasannya. Seperti yang kita berdua tahu, zaman sekarang ini tuntutan hidup itu tinggi. Dan itu semua juga mempengaruhi tingkat emosional kita. Saat seseorang ingin dianggap ada,
Suasana hati Celline Tan sedang cerah. Setelah selesai mandi dia bernyanyi riang sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk. Aku mengerti Perjalanan hidup yang kini kau lalui Kuberharap Meski berat, kau tak merasa sendiri Kau t’lah berjuang Menaklukkan hari-harimu yang tak mudah Biar kumenemanimu Membasuh lelahmu Celline kemudian bersiul asal-asalan. Dia mengambil sisir dan mulai menyisir rambutnya. Sesekali dia tersenyum melihat bayangan di cermin yang mengikuti semua gerak-geriknya. Gadis yang cantik dan penuh gairah hidup. Bapa, sentuh hatiku Ubah hidupku menjadi yang baru Bagai emas yang murni Kau membentuk bejana hatiku Celline berganti menyanyikan lagu rohani
“Itu ide yang brilian. Kau benar. Membunuh dengan racun lebih mudah dan minim risiko.”“Selain itu tingkat keberhasilannya tinggi dan kerjanya cepat.”“Jadi, sudah diputuskan kita akan membunuh Joe Willmar dengan racun sesuai idemu.”“Sebenarnya itu ide temanku.”“Tidak masalah. Ide itu brilian.”“Aku setuju. Dia itu jenius yang tersembunyi.”Bripka Arif mendengarkan percakapan putri semata wayangnya di telepon dan tersenyum sendiri. Rindka Amelia berusia lima belas dan berambisi menjadi penulis novel fiksi kriminal terkenal seperti idolanya, Susan Ollivia. Bripka Arif tidak berdaya. Sejak istrinya meninggal tiga tahun lalu, Rindka terpuruk. Anak itu seperti kehilangan semangat hidup. Secercah harapan baru datang kemudian setelah Rindka bertemu dengan istri Aipda Zen yang memberinya novel fiksi kriminal karya terbarunya. Rindka terpesona membaca buku itu dan sejak saat i
Meriene Sophia sedang di dapur memasak sop ayam saat terdengar suara mobil masuk di depan. Dia mematikan kompor, menutup panci dan bergegas membuka pintu. Inspektur Indra turun dari mobil. Wajahnya lesu dan lelah.“Lho, katanya tidak pulang, kok Bapa pulang?” tanya Meriene.“Nanti ke kantor lagi jam setengah delapan, Bu. Bapa mau mandi dan ganti baju dulu.” Inspektur Indra meletakan sepatunya di rak di dekat pintu masuk. “Ibu masak apa? Wanginya enak sekali.”“Sop ayam. Ibu mau menjenguk teman ibu yang sedang tidak enak badan.”“Oh. Anak-anak sudah berangkat?”“Sudah. Mungkin sudah sampai sekolah. Oh, iya. Tadi Celline menelepon memberitahu kalau Revi sedang sakit. Nanti Ibu mau menjenguk Revi sekalian.”“Revi sakit apa?”Meriene menggeleng. “Ibu tidak tahu. Celline tidak menjelaskannya.” Meriene mengambil cangkir untuk menyeduh kopi. Inspe
“Jadi, menurut Anda pembunuhnya adalah kedua gadis itu?” ujar Dokter Diaz saat Susan selesai bercerita.“Tidak, sama sekali bukan begitu meskipun kemungkinannya selalu ada sekecil apa pun. Yang ingin saya katakan adalah kita tidak boleh meremehkan petunjuk meski itu tampak sepele dan tidak berarti.”“Jangan berbelit-belit, Bu Susan. Jelaskan secara singkat untuk menghemat waktu.”Susan menghela napas dalam-dalam. Sekarang dia mengerti kenapa Bripka Ega tidak begitu menyukai Dokter Diaz. “Begini, untuk mengetahui apakah ada kemungkinan kasus pertama dan kasus kedua saling terkait, kita harus mencari motif pembunuhan Nicholas terlebih dahulu. Seperti yang dikatakan kedua gadis di kafe itu, membunuh itu mudah. Memang mudah jika kita tahu caranya.”“Menurut saya, kolerasinya terlalu lemah. Meskipun seperti yang Anda katakan kalau kemungkinan itu selalu ada. Mungkin saja, kan, kasus pertama bukan pembunuhan
Dimas Ardhio menyulut rokok. Dia sedang menonton siaran berita pagi. Kabar mengenai temuan mayat pria tanpa identitas di lubang galian kabel yang diduga korban pembunuhan itu membuat lelaki tampan berusia dua puluh tujuh tahun berambut kemerahan itu ngeri. Kekasihnya, Merie, mengancam akan membunuh Dimas dan dirinya sendiri jika dia berani main api di belakangnya, sementara Dimas sendiri adalah seorang petualang. Kalau Merie tahu aku punya simpanan mampus aku, bisa jadi nasibku sama seperti pria malang di televisi itu, batin Dimas.Entah untuk yang keberapa kalinya Dimas terheran-heran bagaimana dia bisa jatuh terjebak ke dalam pelukan Merie. Dia selalu membanggakan dirinya sebagai lelaki paling bebas dan bahagia, dan teman-temannya setuju akan pendapat itu. Sejak menginjak usia dua puluh, Dimas selalu berhasil memiliki beberapa gadis dalam berbagai tahap. Tahap pertama meliputi gadis-gadis yang baru dikenalnya. Mereka akan menerima telepon, coklat dan
Ketegangan yang mengambang di udara dalam ruangan Dokter Stefani menjadi semakin berat. Berita luar biasa yang disampaikan Inspektur Indra dan fakta yang disuguhkan dari hasil identifikasi forensik membuat ketiga orang itu diliputi kebingungan yang absolut. Susan sekali lagi memeriksa catatan Dokter Diaz, mencocokan. Tapi semua sudah sesuai deskripsi. “Pasti ada yang salah di sini,” ujar Inspektur Indra sambil menatap gambar sketsa wajah Nicholas yang dibuat Susan. “Tapi, apa mungkin Pak Surya berbohong? Sebab identifikasi forensik kecil kemungkinannya keliru.” “Sepertinya kita perlu menyelidiki lebih lanjut,” sahut Bripka Ega. “Tapi, sebaiknya kita tunggu sampai autopsi selesai dilakukan berikut tes DNA. Agar semuanya pasti.” “Saya setuju,” kata Susan. “Kalau diperbolehkan, saya menawarkan diri untuk membantu. Saya akan pergi ke Lembang mencari tahu keberadaan Nicholas. Sekaligus mengajak Lina menenangkan diri.” “Bagaimana, Pak Inspektur?”