Share

Bab 6

Inspektur Indra berjalan mondar-mandir di depan ruang autopsi. Kedua tangannya terlipat di punggung, sementara pandangannya terpaku ke lantai. Sesekali dia menoleh ke arah pintu. Kecewa karena pintu tak kunjung terbuka dan seseorang keluar dari sana memberikan penjelasan, dia menghela napas. Sekitar lima belas menit lalu dia mendapat telepon dari seorang warga yang melapor telah kehilangan salah seorang anggota keluarganya. Seorang pria dengan ciri-ciri memiliki tinggi kurang lebih seratus tujuh puluh tiga centi meter, berbadan sempurna, memiliki rambut cepak. Ciri-cirinya persis dengan mayat yang tengah diautopsi di dalam. Masalahnya adalah, menurut orang yang melapor kehilangan itu, kerabatnya ini baru saja pergi sekitar dua hari. Sedangkan mayat yang mereka temukan, kondisinya sudah terlalu busuk untuk ukuran mayat dua hari. Jadi, kecil kemungkinan mayat itu mayatnya.

Di dalam ruang autopsi Dokter Clara sudah tidak mampu lagi menahan diri. Bau busuk yang teramat sangat saat Dokter Stefani melakukan pembedahan untuk memeriksa isi perut korban telah memporak-porandakan isi perutnya juga. Setelah melepas sarung tangan yang dikenakannya, Dokter Clara terburu-buru keluar ruangan. Di depan pintu dia hampir saja menabrak Inspektur Indra saat berlari hendak ke toilet untuk muntah. Terdorong rasa penasaran inspektur polisi itu pun masuk ke dalam. Namun, segera keluar saat mencium bau busuk sambil menyumpahi dirinya sendiri yang telah bertindak begitu tolol.

Hampir dua puluh menit menunggu akhirnya pintu ruang autopsi itu terbuka. Dokter Stefani, Aipda Zen, dan Bripka Arif keluar. Inspektur Indra segera menghampiri mereka.

“Bagaimana hasilnya?” tanya inspektur polisi itu tak sabaran.

Namun, belum sempat ada yang menjawab, ponsel genggam Inspektur Indra berdering nyaring. Panggilan masuk dari Bripka Ega. Dengan agak kesal dia menjawab panggilan itu. Namun, beberapa detik kemudian ekspresinya menjadi lain sama sekali.

Inspektur Indra menghela napas setelah menutup telepon. Lalu berbalik kepada Aipda Zen dan Bripka Arif. “Bripka Ega menelepon memberitahu kalau baru saja terjadi kebakaran hebat tak jauh dari rumah Anda, Aipda Zen. Sekarang Bripka Ega dan petugas kebakaran sedang menuju ke tempat kejadian perkara.”

“Kalau begitu saya akan segera menyusul,” sahut Aipda Zen.

“Saya ikut,” ujar Bripka Arif juga.

“Baiklah. Saya perintahkan kalian berdua merapat ke lokasi. Kemungkinan besar Bripka Ega memang membutuhkan bantuan. Saya akan menyusul setelah bicara dengan Dokter Stefani.”

Dokter Stefani mengajak Inspektur Indra ke ruangannya. Setelah dia kembali dari membersihkan diri, baru mulai menjelaskan segala sesuatunya.

“Laporan resmi dari hasil autopsinya memang belum saya buat,” ujar Dokter Stefani. “Akan tetapi, dari hasil pemeriksaan sementara saya dapat menyimpulkan memang benar korban adalah seorang pria. Dari sisa-sisa rambut yang menempel di kulit kepalanya, pria ini memiliki potongan rambut cepak antara satu sampai satu setengah centi meter.”

“Berapa usianya kira-kira?” potong Inspektur Indra.

“Saya belum dapat memprediksikannya dengan tepat. Kita perlu melakukan identifikasi lebih lanjut. Tapi Anda jangan khawatir, Inpektur. Saya sudah mengirimkan sempel gigi korban untuk dilakukan tes DNA. Dan saya juga telah menghubungi ahli odontologi untuk penyelidikan lebih lanjut.”

“Kapan kemungkinan hasil tes DNA itu keluar?”

“Selambat-lambatnya besok siang.”

“Dan tes odontologinya?”

“Kalau untuk yang satu ini saya belum bisa memastikan. Anda tentu mengerti maksud saya.”

“Baiklah, kalau begitu saya ingin mendengar hasil autopsi yang Anda lakukan. Meski itu baru  sebuah gambaran kasar.”

Dokter Stefani menegakan duduknya. Mata hitam dokter paruh baya itu menatap Inspektur Indra dengan curiga. “Sebenarnya apa yang terjadi, Inspektur? Mengapa Anda begitu tidak sabaran?”

Inspektur Indra menghela napas. “Beberapa waktu lalu saya mendapat telepon dari seorang warga yang melapor kehilangan kerabatnya. Orang hilang ini juga berjenis kelamin laki-laki.”

“Benarkah?”

“Apa maksud Anda, Dokter?”

Dokter Stefani membetulkan poni rambutnya. “Jika itu hanya warga sipil biasa, kenapa Anda begitu cemas?” selidik perempuan itu.

Inspektur Indra lagi-lagi menghela napas. “Anda tahu Pak Surya Wiratama, bukan? Nah, beliaulah yang melapor kehilangan.”

Seketika Dokter Stefani menjadi tertarik. “Apa yang Anda maksud begundal Nicholas yang hilang?”

Inspektur Indra mengangguk. “Dia memang begundal. Pemakai dan pengedar narkoba. Bolak-balik masuk penjara dan panti rehabilitasi. Sebenarnya, kalau bukan ayahnya yang melapor, saya sendiri enggan menangani kasusnya. Sayangnya Pak Surya yang melapor. Saya tidak mau berurusan dengan Pak WaKa.”

“Nicholas itu memang begundal yang beruntung. Tapi, Anda tidak perlu khawatir. Saya pastikan mayat yang kita temukan di lubang galian kabel itu sama sekali bukan mayat Nicholas. Meskipun, jujur, saya sebenarnya saya berharap demikian. Karena mayat itu sudah sekitar satu minggu, yang artinya waktu kejadiannya antara hari jumat atau sabtu yang lalu. Sedangkan hari itu, kita sama-sama tahu Nicholas belum keluar dari panti rehabilitasi. Dan Pak Surya juga jelas melaporkan Nicholas baru menghilang dua hari, bukan?”

“Anda benar juga, Dokter. Saya rasa saya hanya terlalu panik. Maksud saya, Anda tahu kan bagaimana Pak WaKa kalau menyangkut keluarga dan kerabatnya? Meskipun, sama seperti Anda, saya juga berharap kalau itu memang mayat Nicholas.”

“Anda juga tidak suka padanya?”

“Bagaimana mungkin saya menyukainya. Dia laki-laki terbrengsek yang saya kenal. Pecandu, pengedar, dan suka main perempuan.”

Dokter Stefani tertawa. “Anda masih dendam rupanya.”

“Saya tidak mungkin lupa apa yang dilakukan bajingan itu terhadap keponakan saya, mendiang Veronica Tan. Gara-gara begundal busuk itu dia jadi bunuh diri. Dan kedua orang tuanya menjadi pesakitan lalu meninggal. Gara-gara dia juga sekarang Celline jadi yatim piatu dan terpaksa tinggal dengan adik terkecil saya, Revi.” Inpektur Indra mengertakan rahang. Menahan marah saat bayangan masa lalu memenuhi benaknya.

“Yang saya tidak mengerti,” sahut Dokter Stefani, “biasanya Pak Surya acuh tak acuh terhadap Nicholas. Bahkan, beliau sama sekali tidak peduli saat anaknya ditangkap polisi dan dijebloskan ke penjara. Beliau selalu berkata, ‘Saya tidak akan memberi jaminan apa pun. Biar saja, biar anak itu jera. Dia harus belajar tanggung ajawab. Dia itu laki-laki dewasa.’ Tapi, kenapa sekarang beliau peduli?”

“Karena kali ini masalahnya lain, Dokter. Petang tadi, istri dan putri Pak Wijaya salah satu rekan bisnisnya, mendatangi kediaman Pak Surya untuk meminta pertanggung jawaban. Jesica putri satu-satunya Pak Wijaya dihamili oleh Nicholas dan sekarang dicampakan begitu saja setelah Nicholas menyuruhnya aborsi tapi ditolak Jesica.”

“Sekarang saya mulai paham duduk perkaranya. Tapi, seperti yang saya katakan sebelumnya, mayat itu bukan mayat Nicholas. Sama sekali bukan.”

“Baiklah, Dokter. Kalau begitu, saya akan membentuk tim pencarian orang hilang.”

Dokter Stefani mengangguk sekilas. “Oh, iya. Inspektur, apa Anda ingat pernah menangkap seorang pria yang memiliki tato kaki elang atau elang secara utuh di dekat mata kaki kiri dan tato mawar di mata kaki kanannya?”

Kening Inspektur Indra berkerut dalam. Cukup lama dia mengingat-ingat, membuka satu persatu catatan di kepalanya. Lalu, “Saya sama sekali tidak ingat, Dokter. Terlalu banyak kasus yang saya tangani.  Nanti saya cek dulu data-datanya. Kalau saya mendapatkan sesuatu, saya akan segera mengabari Anda. Tapi, ngomong-ngomong kenapa Anda bertanya demikian?”

“Karena itu akan sangat membantu identifikasi kita. Mayat itu memiliki tato kaki elang—kita sebut saja demikian karena hanya gambar bagian kakinya saja yang tersisa—dan bunga mawar. Kalau ada data yang cocok, pasti kita lebih mudah mengungkap identitas korban.”

“Saya mengerti maksud Anda. Baiklah, sekarang juga saya akan memerintahkan orang kepercayaan saya untuk meninjau ulang berkas-berkas laporan yang ada.  Dan saya akan mengabari Anda secepatnya kalau mendapatkan sesuatu.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status