"Kamu mengajakku berjalan, kemudian meninggalkanku sendirian."
—o0o—
"Siapa kamu?" seorang gadis kecil bertanya polos sambil menatap punggung laki-laki yang hanya berbeda setahun dengannya.
Laki-laki itu menoleh, menatapnya tajam dengan mata onyx miliknya yang indah. Tidak menjawab, ia perlahan melangkah mendekati gadis itu dengan wajah datar, dan sebelah tangannya memegang sebilah pisau yang cukup besar.
Gadis yang kini didekati mulai berjalan mundur dan tersandung-sandung karena barang-barang yang berserakan di ruangan itu. Ia berhasil sampai ke pintu, berjenggit untuk bisa meraih knop. Namun, tetap tidak bisa, ia terlalu pendek.
Menyerah, jantungnya berdetak kencang dengan keringat dingin yang mengucur dari pelipisnya. Tubuhnya yang gemetar ia paksa untuk berbalik. Matanya melebar begitu tak menemukan sosok laki-laki tadi. Ia menoleh dengan panik ke kanan dan kiri.
"Loh ... kok gak lari?" suara gamang laki-laki yang tepat di telinganya membuat pergerakannya terhenti. Tubuh gadis itu semakin bergetar, merasakan napas laki-laki itu di lehernya. Otot-otot kakinya terasa kaku seolah memakunya di tempatnya berpijak.
Di detik berikutnya, gadis itu merasakan benturan kuat di tengkuk dan pandangannya berubah gelap. Samar-samar ia mendengar bisikan. "Jangan sendirian ...."
Shirin terlonjak bangun, matanya terbuka lebar dengan napas terengah. Beberapa saat ketika kesadarannya sudah terkumpul, ia melirik jam di atas nakas. Pukul 05.30 pagi.
Mata onyx itu ...,
Gadis berambut gelap itu menghela napas seraya mengusap wajah gusar dan menyibak selimut. Ia harus segera melupakan itu.
***
"Riiin!" seorang gadis berambut blonde menyapa temannya yang baru datang dengan heboh. Ia berlari, melompat, dan memeluk seorang gadis hingga terlonjak, seolah sudah lama sekali mereka tidak bertemu. "Ya Allah, Rin. Lo gak papa, 'kan, Rin? Gak ketabrak mobil, 'kan?"
Shirin hanya menggeleng kecil, hampir saja jantungnya copot karena temannya itu. "Mia, lo diliatin," bisiknya, "malu dikit, dong."
Tak peduli menjadi pusat perhatian, gadis yang dipanggil Mia malah tertawa keras. "Gak papa, yang penting sehat!" ucapnya di sela-sela tawa.
Siswa-siswi yang berada di lobi menggelengkan kepala seraya ikut tertawa dengan damai, dan beberapa ada yang berkomentar.
"Mia ada-ada aja, sih."
"Apa, sih, Mia? Mulai, deh, jahilnya."
"Mia, ya ampun."
Shirin merotasikan bola mata mendengar jawaban Mia. "Ya udah, ayo ke kelas!"
Mia tersenyum dan berjalan di sampingnya dengan riang. Di sepanjang koridor, banyak siswa-siswi yang menyapanya. Shirin hanya bisa tersenyum kecil-seperti biasa.
Tak sampai lima menit, dua gadis itu sudah sampai di kelasnya, yaitu kelas XI IPS 2. Shirin langsung meletakkan tas di kursi terdepan di barisan tengah, seraya duduk dan mengeluarkan buku novel dari laci meja.
Mia duduk di sampingnya, gadis itu menahan tangan Shirin yang hendak membuka buku. "Eits, apa-apaan? Apaan ini, apaan?"
"Bisa gak, gak usah lebay?" Shirin mendesah jengah. "Masih pagi, loh."
"Ya, sori." Mia cengengesan, tetapi kemudian cemberut. "Tapi, jangan baca novel dulu, gue mau cerita, nih."
Shirin menatap Mia beberapa detik, sebelum akhirnya memasukkan kembali novel ke dalam laci, kemudian bertopang dagu sambil tersenyum. "Ya udah, cerita apa?"
Senyum Mia semakin lebar, ia pun mendekat dan mulai bercerita dengan semangat. "Jadi, kemarin Kak Atha tiba-tiba ajak gue pulang bareng."
"Athalas Fernan kelas XII IPA 2?" Shirin memastikan.
"Iya! Siapa lagi?" Mia mengangguk semangat. "Tapi, kemarin gue juga bareng sama Kak Abi, pakai mobilnya Kak Atha."
"Terus?"
Mia diam-diam tersenyum saat Shirin mulai tertarik kala ia menyebutkan nama Abi. Ya, jika tentang seorang Abizart Dirgantara, Shirin tidak bisa menyembunyikan ketertarikannya.
"Udah," jawab Mia.
Shirin nampak kecewa. Namun, langsung mengubah ekspresinya menjadi merengut kesal. "Idih, masa gitu doang?"
"Ya, emangnya gimana lagi?"
"Tau, ah," dengus Shirin. Tangannya mulai meraba laci meja untuk mencari buku novelnya. Namun, lagi-lagi digagalkan oleh Mia.
Mia menarik lengannya supaya berdiri. "Mending jalan-jalan aja, mumpung masih pagi."
"Ya elah, Mia—" belum sempat protes, Shirin sudah ditarik keluar. Akhirnya, dengan terpaksa, gadis itu berjalan di sisi Mia.
"Lemes amat, sih, Rin?" Mia mulai jengah. "Liat, tuh. Paginya cerah, harusnya semangat!"
"Pagi yang cerah juga gak bisa bantuin gue ngerjain tugas sekolah," dengus Shirin.
"Bisa aja lu, perawan."
Shirin hanya menghela napas. "Ya iyalah, gue perawan, emangnya gue perjaka?" Mia mencibir tanpa suara dihadiahi toyoran di kepalanya.
"Sakit tau, Rin!" ucap Mia sambil meraba dahinya.
"Iya, gue tau, kok."
"Eh, eh, itu Kak Atha sama Kak Abi!" Mia menunjuk ke pintu lobi.
Shirin menoleh, terlihat ada dua orang lelaki jangkung yang masuk bersamaan. Yang satu berjalan sambil sebelah tangan memegang tali tas, yang satunya lagi berjalan dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana.
"Kak Atha! Kak Abi!" Mia melambaikan tangan sok akrab. Namun, berhasil membuat kedua lelaki famous di SMA Generasi Bangsa itu menoleh dan menghampiri.
"Halo, Mia!" Lelaki berambut gelap—Abizart—menyapa Mia ramah. Ya, hanya Mia.
"Dateng jam berapa?" Atha ikut berbasa-basi.
Dalam sekejap, mereka pun berbincang akrab seolah teman dekat. Shirin yang merasa tidak punya tempat di antara mereka pun mundur untuk memberi ruang privasi.
Shirin hanya bisa bengong melihat ke arah lain. Kemudian, ketika ia rasa sudah cukup lama, ia berbalik untuk memastikan Mia sudah selesai berbicara. Namun, yang ditangkap matanya adalah dada bidang seseorang yang tepat di depan hidungnya. Shirin terlonjak dan mundur beberapa langkah.
"Eh, sori, hampir aja," ucap suara familer seorang lelaki, dan berhasil membuat tubuh Shirin seketika membeku.
Shirin perlahan mendongak untuk melihat wajah lelaki tinggi itu. Matanya membulat kala yang dilihatnya adalah mata kelam dan wajah tampan Abi. Ia refleks mundur lagi dan menutup mulutnya dengan tangan. "Maaf, Kak Abi. Aku gak liat."
Abi terkekeh dan mengusap tengkuknya. "Gak papa, kok."
Shirin tersenyum kikuk. Ia melirik ke belakang Abi, di mana masih ada Mia yang sedang mengobrol dengan lelaki berambut cokelat alias Athalas.
"Oh, iya, lo temennya Mia, ya?" suara Abi kembali mengalihkan perhatiannya.
Shirin mengangguk dan menjawab seadanya. "Iya."
"Kenalin, gue Abi." Abi mengulurkan tangannnya. "Eh, tapi pastinya, lo udah tau, ya? Ahahah!"
"Aku Shirin," jawab Shirin sambil menjabat tangan kakak kelasnya itu. Ia merasakan getaran saat kulit mereka bersentuhan.
"Rin!" Shirin menoleh kala Mia memanggil. Dilihatnya Mia dan Athalas hendak pergi. "Gue mau kumpulin jurnal dulu, ya!"
Shirin hanya mengangguk menyetujui. Mia adalah anggota klub jurnalis, klub itu memang sering kumpul dadakan.
"Gue juga mau ke kelas dulu, dah!" Abizart pun melenggang pergi tanpa menunggu jawaban Shirin.
Kini, Shirin berdiri sendirian di tengah lobi, di mana siswa-siswi lain sibuk berlalu lalang. Merasa terasingkan di keramaian.
Hai, para readers goodnovel! Terima kasih sudah membaca dan mendukung karya saya. Saya sangat senang karena akhirnya bisa menyelesaikan novel ini dalam waktu sebulan. Tapi, sebenarnya novel ini belum benar-benar tamat. Masih banyak misteri dan cerita masa lalu yang belum terkuak. Karena sebenarnya Novel Deutragonis adalah sebuah series yang terdiri dari tiga buku. Novel Deutragonis yang kedua "Deutragonis 2 : Lost Dream" akan segera saya publikasikan pada tanggal 20 September 2021. Di sana akan ada banyak tragedi dan misteri yang terpecahkan. Kalian juga akan lebih mendalami perasaan karakter karena saya menggunakan POV 1. Karena itu, jangan sampai melewatkannya, ya! Sampai ketemu lagi! (Kalau kalian punya waktu, kalian bisa mendukung karyaku yang lain, "Give Me A Heart". Untuk kalian yang menganggap perasaan adalah sebuah kesalahan.)
Ini pertama kalinya Shirin menjejakkan kaki di kampus Aldiaz. Shirin tidak sempat mengantar Aldiaz ke kampusnya saat ospek kampus satu semester yang lalu, dan di sinilah ia sekarang, berdiri sambil memandang gedung jurusan ekonomi yang menjulang tinggi di hadapannya.Sambil memandang sekitar, para mahasiswa tampak cuek dengan urusan masing-masing. Seolah tak melihat Shirin—satu-satunya gadis berseragam SMA yang ada di sekitar sana.Sambil meneguk ludah, Shirin pun memberanikan diri untuk memasuki gedung. Dinding dan pilar beton yang dicat abu-abu mendominasi. Langit-langit yang tinggi berwarna putih polos. Shirin berjalan pelan sambil memeluk hand bag yang dibawanya. Sibuk mengamati setiap sudut lobi, tubuh Shirin tak sengaja menabrak seseorang."Aduh—eh? Anak SMA?" suara seorang gadis membuat Shirin mendongak. Seorang gadis dengan jeans dan kaus berlengan panjang membungkuk sambil memerhatikan Shirin yang lebih pendek darinya. "Cari siapa, Dek?" tan
[Abizart Dirgantara]Cewek paling cantik. Kata-kata itu bergema di hatiku saat menyaksikan cewek itu dari kejauhan. Dia berdiri di antara para orangtua yang menunggu anak-anak mereka selesai ujian. Dengan tongkat penyangga di ketiak kanan karena kakinya patah. Garis wajahya lembut, dengan tatapan mata sayu dan dagu selalu tertunduk.Sejak kapan aku tidak bisa melepaskan mataku darinya? Sekarang aku bagaikan seorang stalker, penguntit yang terus-menerus membayanginya setiap hari. Menyaksikan ketegaran yang disuguhkannya pada dunia. Menyaksikannya melepas topeng itu, menampakkan seorang remaja biasa yang takut menghadapi begitu banyak orang yang menertawakannya diam-diam di balik punggungnya.Dan merasa dia luar biasa cantik karenanya.Tuhan ... bolehkah aku mencintainya? Meskipun pada akhirnya aku akan menyakit
"Tanpamu, aku hanya ingin mencari tempat untuk menangis dan berteriak."***Mia keluar dari kelas XI IPS 2 dan celingukan waspada. Koridor masih ramai karena bel baru berbunyi tiga menit lalu. Mia mengembuskan napas lega begitu sosok yang dihindari tak terlihat batang hidungnya. Alhasil, ia pun melenggang santai menyusuri koridor.Gadis itu melotot dan sontak menutup wajahnya dengan buku begitu melihat Pak Shim keluar dari kelas XI IPS 1. Mia bisa melihat Pak Shim yang sedang mengobrol sebentar dengan para siswi. Dengan cepat, Mia berhambur ke kerumunan siswa. Namun, baru saja ia hendak keluar dari koridor, suara yang tak diharapkannya memanggil."Mia!" panggil Pak Shim tegas.Mia sontak menghentikan langkah dan mengembuskan napas lelah. Ia berbalik dengan gontai. "Saya 'kan, sudah konseling, Pak. Sudah," ujarnya.Pak Shim mengusap wajah seraya berjalan melewati Mia. "Ikut saya."Mendengar itu, Mia menggeram. Namun, akhirnya menurut j
Aldiaz membanting pintu mobil seraya melenggang memasuki sekolah. Kali ini, ia datang sendiri. Shirin masih perlu melakukan rehabilitasi. Oh, iya. Shirin dan Mia kembali bersahabat seperti biasa. Mia sering menjenguk Shirin dan sedikit mengurangi kekhawatiran Aldiaz.Sampai di lobi, langkah Aldiaz terhenti begitu mendapati Atha berdiri dua meter di hadapannya. Mendecih, Aldiaz membuang muka. Ia menyilangkan tangannya di dada seraya menatap Atha rendah. "Masih berani lo nemuin gue?""Sori." Athalas meringis dan tersenyum menyesal. "Gue cuma gak mau melanggar aturan dan ambil resiko kayak lo."Mata Aldiaz menyipit dan maju beberapa langkah. "Terus, tujuan lo yang hampir nyuri first kiss-nya Shirin itu buat apaan?"Atha mendongak menatap Al. Ekspresinya yang sangat-sangat terluka membuat Al meneguk ludah. Kemudian, Atha berkata dengan senyum muram. "Gue perlu ngelakuin itu supaya Mia punya alasan buat berhenti jatuh cinta sama gue. Dia cuma bakal terlibat da
"Target harus mati, Al," kata Leon sambil mengusek tangan Al dengan ujung sepatu seraya memandangnya rendah. "Apa pun yang terjadi, target harus mati."Aldiaz berusaha bangkit. Namun, Leon menendangnya, hingga terlempar ke halaman. Tak habis sampai di situ, Leon menendang Al berulang kali. "Bisa-bisanya hidup lo semenyedihkan ini," katanya tanpa perasaan. "Bisa-bisanya orang rendahan kayak lo ... masih gak tau diri."Aldiaz menyempatkan diri menatap Shirin. Ia tersenyum tanpa memedulikan sakit di seluruh tubuhnya. Kemudian, Al berbicara tanpa suara. "Lari."Air mata Shirin kembali luruh. Dengan susah payah, ia menyeret tubuhnya menjauh. Namun, ia tahu, ia tak mampu.Aldiaz mengeluarkan secarik kertas yang sudah dilipat menjadi pesawat terbang. Ia menerbangkannya dan pesawat itu mendarat di pangkuan Shirin. Aldiaz tersenyum manis dan merapatkan mata saat Leon mengambil asal pistol yang tergeletak di tanah.Sementara Shirin cepat-cepat membuka lipata
"Leonard ...." Aldiaz menggeram."Yo, Al!" suara Leon terdengar ramah. Pria itu bersandar ke pintu mobil seraya menatap Al humor. "Lo ngapain lindungin dia kayak gitu? Mau dicap pengkhianat? Lo mau mati, Al?"Shirin melebarkan mata. Apa kata orang itu tadi? Aldiaz akan mati jika tidak membunuhnya? Lalu perlahan, Shirin menoleh pada Al. Aldiaz bungkam dan ekspresinya berubah tenang dalam sekejap. Namun, Shirin tak mampu menyembunyikan raut cemasnya."Gak masalah," kata Al, dan seketika membuat Shirin menoleh tak terima.Shirin melangkah maju tanpa takut. Namun, dalam sekejap Al menariknya ke belakang punggung. "Saya siap mati, kalau Shirin dibiarkan pulang." Al berkata lagi.Leonard memandang gelagat sepasang kekasih itu. Beberapa detik waktu terbuang, lalu tiba-tiba ia tertawa. Tawanya terdengar mengejek. "Cowok gentle, nih?" ejeknya, tetapi kemudian, Leon mengibaskan tangan. "Tenang, Al. Antek-antek gue bakal anter di
Lelaki berambut cokelat itu berjalan tegap di koridor rumah sakit umum kota. Bau antiseptik dan obat-obatan menguar di mana-mana. Sebelah tangannya menggenggam sebuket bunga mawar putih.Athalas berhenti di sebuah kamar di ujung lorong. Ia masuk dan menghela napas melihat wanita paruh baya yang terbaring lemah dengan berbagai perlatan medis yang menemaninya. Lelaki itu tersenyum sendu dan mengganti bunga layu yang ada di vas dengan bunga yang dibawanya.Setelahnya, ia menyibak tirai—membiarkan cahaya mentari yang cerah masuk ke dalam ruangan. Athalas duduk di kursi di sisi ranjang. Diraihnya tangan wanita yang sedang terlelap itu, lalu diusap lembut."Ibu tenang aja." Atha bermonolog pelan. "Atha bakal dapetin uang yang banyak secepatnya, supaya Ibu dioperasi dan cepet sembuh."***Aldiaz baru mengantarkan Shirin pulang saat pukul tujuh malam. Mereka sem
Ingatan siapa ini? batin Shirin. Kemudian, kelopak matanya memberat. Kepalanya nyeri, hingga membuatnya tak sadarkan diri.***[Shirina Haruki]Sejak kecil, di duniaku, ruangan adalah segalanya. Dunia tertutup yang tak terjamah oleh siapa pun yang berada di luar jendela. Di mansion Haruki yang megah, para pengasuh merawatku dengan baik. Aku selalu memerhatikan anak-anak bermain di taman kota. Namun, setiap kali mereka mengajakku, aku selalu diam. Diam, hingga akhirnya ditinggalkan.Hingga pada akhirnya, aku hanya duduk sendirian di ayunan taman belakang mansion. Aku kesepian, itulah yang kupahami saat mendengar tawa anak-anak lain. Namun, kemudian ... aku melihatnya.