Shirin berakhir kembali ke kelasnya ketika bel masuk akan berbunyi lima menit lagi. Tepat saat bel masuk berbunyi, Mia dengan rusuh datang memasuki kelas dan duduk di sampingnya.
"Rin, tadi lo PDKT sama Kak Abi, ya?" Mia berbisik seraya mencolek lengan Shirin dan memainkan kedua alisnya menggoda. "Pepet terus, Rin! Nanti diambil orang!"
"Ih, apaan, sih? Orang enggak." Shirin mengelak dan menyembunyikan wajahnya di balik buku.
"Halah, orang tadi gue liat lo lagi ngobrol sama Kak Abi."
Memutar bola mata, Shirin mendesah, "Cuma kenalan doang, udah."
"Masa?" Mia menelisik.
Shirin melirik Mia malas. "Iya, Miaa. Pas lo pergi sama Kak Atha buat kumpulin jurnal, dia juga langsung pergi ke kelasnya."
"Ajak sarapan bareng di kantin kek, Rin, astaga!" Mia mengepalkan kedua tangannya gemas. "Atau ajak nongkrong di lapangan, siapa tau kalian bisa deket. Mumpung katanya, Kak Abi lagi gak ada pasangan ataupun gebetan."
Shirin mendelik. "Idih, ngapain? Kurang kerjaan."
"Itu namanya perjuangan, bambang. P-D-K-T!" Mia mencubit pipi Shirin gemas dan membuat si empunya mengaduh sakit. "Lo itu membosankan banget, sih!"
"Ya, beginilah gue," jawab Shirin. Lalu, kembali mengalihkan perhatian pada buku.
Mia mendesah jengah. "Aduh, pantes aja lo gak punya temen selain gue."
"Gak masalah, yang penting masih ada elo." Shirin masih menyahut tak mau kalah, ia kembali fokus pada buku.
Mia menutup buku itu dan merampasnya asal, serta wajahnya berubah datar. "Lo gak bisa bergantung sama gue terus, Shirina Haruki."
Shirin memandang mata emas Mia beberapa lama. Hingga akhirnya, ia menghela napas dan mengambil kembali bukunya. "Gue bisa sendiri, kok."
Mia memutar bola matanya, terlihat sangat jengah. Namun, ia tak berkata apa pun, karena Bu Dewi selaku guru Geografi sudah memasuki kelas. Baiklah, sepertinya Shirin harus berterima kasih pada Bu Dewi yang datang cepat kali ini.
***
Lagi-lagi, Mia ada kegiatan bersama anggota klub jurnalis. Maka dengan terpaksa, Shirin harus ke kantin dan makan sendiri.
Shirin duduk sendirian di pojok kantin. Semangkuk bakso dan segelas es teh manis ada di meja. Ia menyendok dan memakan bakso itu perlahan.
"Hai, Rin!" seorang gadis menyapanya ramah, lalu seenaknya duduk di hadapannya. "Makan apa? Bakso?" Ia bertanya retoris.
Shirin hanya mengangguk dan tersenyum canggung.
"Gak sama Mia?" Gadis berambut cokelat itu bertanya lagi. Ia Stevany, teman sekelasnya yang lumayan famous di sekolah.
Yang ditanya hanya menggeleng.
"O-oh, gitu?" Stevany menggaruk tengkuknya, dan mulai tak tahan dengan kecanggungan yang melanda. Ia melirik sekitar, kemudian menghela napas kala melihat Joy-teman sebangkunya yang berambut pendek-berjalan menuju warung mie. Gadis itu menoleh pada Shirin. "Kalo gitu, aku duluan, ya?"
"Iya," jawab Shirin. Ia hanya memandang punggung Stevany yang menghampiri Joy.
"Joy!" Vany berseru seraya melambaikan tangan.
"Eh, Vany!" Joy balas melambai. Ketika Stevany sudah ada di dekatnya, ia melirik ke belakang di mana Shirin sedang makan. Ia kemudian memelankan suaranya. Namun, tentu saja Shirin masih bisa mendengar.
"Lo ajak dia ngobrol lagi?"
"Iya, habisnya dia sendirian tadi." Stevany balas berbisik. "Cuma penasaran aja, sih."
"Terus, gimana?"
"Kaku banget, asli."
"Tuh, 'kan."
Shirin hanya diam, berusaha menelan makanan yang ada di mulutnya. Tiba-tiba, selera makannya hilang.
Apa semua orang memang seperti itu-ketika temannya sedang duduk sendirian di tempat umum? Mengajak begitu? Jika benar-benar teman ... tetapi mereka tetap pergi begitu saja tanpa memedulikan perasaannya.
Shirin menggeleng, berusaha acuh, dan segera menghabiskan makanannya. Kemudian, ia meletakkan uang tiga belas ribu di atas meja, meraih ponsel dan buku kecil yang selalu ia bawa ke mana-mana seraya memasukkannya ke dalam saku rok. Gadis itu pun melenggang pergi, hingga ...,
Bruk!
Shirin mengaduh kala ia menabrak bahu seseorang hingga terhuyung. Namun, ia terpaku saat tubuhnya sudah condong hampir menubruk lantai. Sebuah tangan kekar menahan lengannya. Namun, tanpa menatap si empunya tangan, Shirin bergumam, "Ma-maaf, permisi."
Kemudian tanpa berniat tahu siapa yang ia tabrak, Shirin melenggang pergi-hingga hilang begitu saja tertelan keramaian koridor.
***
"Lo udah ngerjain PR Biologi, Ath?" Abi bertanya saat ia dan kedua sohibnya berjalan bersisian menuju kantin.
Atha mengibaskan poninya ke belakang. "Ya udahlah. Gue 'kan, murid teladan."
"Murid teladan bapak lo salto." cowok bermata onyx yang di sampingnya mencibir. Namanya Aldiaz, panggil saja Al.
"Terserah gue, Bujang. Sirik aja, lo," sahut Atha sambil menoyor kepala Al dan Abi bergantian. Berikutnya, terjadi hening selama mereka berjalan.
Bruk!
Baru saja selangkah kaki Atha memasuki kantin, seorang gadis menubruknya dan melewatinya begitu saja. Atha sedikit terhuyung. Namun, dibantu Abi.
Sementara Aldiaz terdiam memandang gadis yang lengannya ia cengkeram karena hampir terjatuh.
"Ma-maaf, permisi." suara Shirin lebih seperti bisikan, dan cepat-cepat melepaskan diri dari Al dan berjalan pergi.
Aldiaz yang masih setengah sadar mengerjapkan mata. Saat ia berkedip, gadis itu sudah hilang tertelan keramaian koridor. Aldiaz menyunggingkan senyum manis. "Eh ... udah jelek, gak sopan lagi!" cibirnya dengan suara yang sangat pelan.
"Oy, cewek! Liat-liat, dong!" Abi menoleh dan menyahut tak terima pada gadis yang pergi begitu saja.
Mata Atha menangkap sebuah buku kecil berwarna hitam yang tergeletak di lantai koridor. Ia mengambil buku itu dan menoleh ke belakang. Matanya mencari keberadaan gadis yang menabrak dan menjatuhkan buku itu. Namun, tidak ada. Gadis itu sudah pergi entah ke mana.
Al mendekat dan meneliti buku berukuran kecil di tangan Atha itu. "Buku apaan, tuh, Ath? Death note?"
"Ye, si kambing kebanyakan nonton anime." Abi menoyor kepala temannya itu.
"Gak tau," jawab Atha sambil meneliti sampul buku itu. Ia pun membukanya dan membaca halaman pertama.
Dear Diary
Kuizinkan siapa pun datang dan pergi. Tak peduli mereka hanya singgah ataupun menetap di hati.
"Anjing!" Atha menutup buku itu dengan sekali hentakan-membuat kedua teman di sampingnya berjenggit kaget.
"Kenapa, Ath? Beneran Death note?" Abi penasaran.
"Death note
bapak lu kawin lagi! Ya, bukanlah.""Idih, amit-amit." Abi mengusap dadanya mendengar serapahan Atha. Ia balas mencibir, "Serapahan lo gak ada yang bagus, Ath. Gak berkualitas."
Mata Atha menyipit. "Gak apa-apa, yang penting gue masih waras."
"Terserah lo, Bujang." Aldiaz malah menguap.
"Ya terus, itu buku apaan, Udin?" Abi berdecak kesal.
"Sabar," cibir Atha dengan tidak seperti biasanya berekspresi serius. Ia berkata, "Ini diare."
"Hah? Obat diare?" kini giliran Al yang mengernyit bingung. Namun, Atha menggeleng.
"Resep buat obat diare?" tanya Abi.
Atha tetap menggeleng. "Bukan, woy! Ini diare, dear diare."
"ITU DIARY, BUJANG!"
Hai, para readers goodnovel! Terima kasih sudah membaca dan mendukung karya saya. Saya sangat senang karena akhirnya bisa menyelesaikan novel ini dalam waktu sebulan. Tapi, sebenarnya novel ini belum benar-benar tamat. Masih banyak misteri dan cerita masa lalu yang belum terkuak. Karena sebenarnya Novel Deutragonis adalah sebuah series yang terdiri dari tiga buku. Novel Deutragonis yang kedua "Deutragonis 2 : Lost Dream" akan segera saya publikasikan pada tanggal 20 September 2021. Di sana akan ada banyak tragedi dan misteri yang terpecahkan. Kalian juga akan lebih mendalami perasaan karakter karena saya menggunakan POV 1. Karena itu, jangan sampai melewatkannya, ya! Sampai ketemu lagi! (Kalau kalian punya waktu, kalian bisa mendukung karyaku yang lain, "Give Me A Heart". Untuk kalian yang menganggap perasaan adalah sebuah kesalahan.)
Ini pertama kalinya Shirin menjejakkan kaki di kampus Aldiaz. Shirin tidak sempat mengantar Aldiaz ke kampusnya saat ospek kampus satu semester yang lalu, dan di sinilah ia sekarang, berdiri sambil memandang gedung jurusan ekonomi yang menjulang tinggi di hadapannya.Sambil memandang sekitar, para mahasiswa tampak cuek dengan urusan masing-masing. Seolah tak melihat Shirin—satu-satunya gadis berseragam SMA yang ada di sekitar sana.Sambil meneguk ludah, Shirin pun memberanikan diri untuk memasuki gedung. Dinding dan pilar beton yang dicat abu-abu mendominasi. Langit-langit yang tinggi berwarna putih polos. Shirin berjalan pelan sambil memeluk hand bag yang dibawanya. Sibuk mengamati setiap sudut lobi, tubuh Shirin tak sengaja menabrak seseorang."Aduh—eh? Anak SMA?" suara seorang gadis membuat Shirin mendongak. Seorang gadis dengan jeans dan kaus berlengan panjang membungkuk sambil memerhatikan Shirin yang lebih pendek darinya. "Cari siapa, Dek?" tan
[Abizart Dirgantara]Cewek paling cantik. Kata-kata itu bergema di hatiku saat menyaksikan cewek itu dari kejauhan. Dia berdiri di antara para orangtua yang menunggu anak-anak mereka selesai ujian. Dengan tongkat penyangga di ketiak kanan karena kakinya patah. Garis wajahya lembut, dengan tatapan mata sayu dan dagu selalu tertunduk.Sejak kapan aku tidak bisa melepaskan mataku darinya? Sekarang aku bagaikan seorang stalker, penguntit yang terus-menerus membayanginya setiap hari. Menyaksikan ketegaran yang disuguhkannya pada dunia. Menyaksikannya melepas topeng itu, menampakkan seorang remaja biasa yang takut menghadapi begitu banyak orang yang menertawakannya diam-diam di balik punggungnya.Dan merasa dia luar biasa cantik karenanya.Tuhan ... bolehkah aku mencintainya? Meskipun pada akhirnya aku akan menyakit
"Tanpamu, aku hanya ingin mencari tempat untuk menangis dan berteriak."***Mia keluar dari kelas XI IPS 2 dan celingukan waspada. Koridor masih ramai karena bel baru berbunyi tiga menit lalu. Mia mengembuskan napas lega begitu sosok yang dihindari tak terlihat batang hidungnya. Alhasil, ia pun melenggang santai menyusuri koridor.Gadis itu melotot dan sontak menutup wajahnya dengan buku begitu melihat Pak Shim keluar dari kelas XI IPS 1. Mia bisa melihat Pak Shim yang sedang mengobrol sebentar dengan para siswi. Dengan cepat, Mia berhambur ke kerumunan siswa. Namun, baru saja ia hendak keluar dari koridor, suara yang tak diharapkannya memanggil."Mia!" panggil Pak Shim tegas.Mia sontak menghentikan langkah dan mengembuskan napas lelah. Ia berbalik dengan gontai. "Saya 'kan, sudah konseling, Pak. Sudah," ujarnya.Pak Shim mengusap wajah seraya berjalan melewati Mia. "Ikut saya."Mendengar itu, Mia menggeram. Namun, akhirnya menurut j
Aldiaz membanting pintu mobil seraya melenggang memasuki sekolah. Kali ini, ia datang sendiri. Shirin masih perlu melakukan rehabilitasi. Oh, iya. Shirin dan Mia kembali bersahabat seperti biasa. Mia sering menjenguk Shirin dan sedikit mengurangi kekhawatiran Aldiaz.Sampai di lobi, langkah Aldiaz terhenti begitu mendapati Atha berdiri dua meter di hadapannya. Mendecih, Aldiaz membuang muka. Ia menyilangkan tangannya di dada seraya menatap Atha rendah. "Masih berani lo nemuin gue?""Sori." Athalas meringis dan tersenyum menyesal. "Gue cuma gak mau melanggar aturan dan ambil resiko kayak lo."Mata Aldiaz menyipit dan maju beberapa langkah. "Terus, tujuan lo yang hampir nyuri first kiss-nya Shirin itu buat apaan?"Atha mendongak menatap Al. Ekspresinya yang sangat-sangat terluka membuat Al meneguk ludah. Kemudian, Atha berkata dengan senyum muram. "Gue perlu ngelakuin itu supaya Mia punya alasan buat berhenti jatuh cinta sama gue. Dia cuma bakal terlibat da
"Target harus mati, Al," kata Leon sambil mengusek tangan Al dengan ujung sepatu seraya memandangnya rendah. "Apa pun yang terjadi, target harus mati."Aldiaz berusaha bangkit. Namun, Leon menendangnya, hingga terlempar ke halaman. Tak habis sampai di situ, Leon menendang Al berulang kali. "Bisa-bisanya hidup lo semenyedihkan ini," katanya tanpa perasaan. "Bisa-bisanya orang rendahan kayak lo ... masih gak tau diri."Aldiaz menyempatkan diri menatap Shirin. Ia tersenyum tanpa memedulikan sakit di seluruh tubuhnya. Kemudian, Al berbicara tanpa suara. "Lari."Air mata Shirin kembali luruh. Dengan susah payah, ia menyeret tubuhnya menjauh. Namun, ia tahu, ia tak mampu.Aldiaz mengeluarkan secarik kertas yang sudah dilipat menjadi pesawat terbang. Ia menerbangkannya dan pesawat itu mendarat di pangkuan Shirin. Aldiaz tersenyum manis dan merapatkan mata saat Leon mengambil asal pistol yang tergeletak di tanah.Sementara Shirin cepat-cepat membuka lipata