Shirin keluar dari kelasnya bersama Mia, tetapi mereka harus berpisah di gedung utama. Mia harus berbelok ke lorong untuk berkumpul dengan anggota klub jurnalis, sementara Shirin berjalan lurus ke luar gerbang. Ya, setidaknya itu yang direncanakan Shirin.
Namun, begitu keluar dari gedung utama, seorang gadis menghalangi jalannya. Ia Willa, kelas XII IPA 2. Cewek jangkung itu menatapnya dingin, tetapi ekspresi ketusnya tak mengurangi kecantikannya sedikit pun.Shirin tersenyum kikuk, merasa insecure berhadapan dengannya."Jangan terlalu deket sama Aldiaz," ucap Willa to the point dan tanpa senyum, sukses membuat senyum Shirin sirna. "Gue gak akan cemburu sama cewek kaku kayak lo, tapi yang tadi itu kelewatan. Gue tau, banyak cewek yang nge-fans sama Al, tapi gak gitu juga. Pura-pura nangis supaya dipeluk terus ditemenin ke UKS? Lo masih punya harga diri, 'kan?"Perkataannya begitu dingin dan menusuk—membuat Shirin semakin tertTawa Athalas pecah melihat ekspresi Shirin di foto. Dengan susah payah ia duduk di samping Shirin dan memperlihatkan sebuah foto di layar ponselnya.Shirin menggeleng dan berusaha mengambil kesadaran. Menyadari apa yang terjadi membuat wajahnya panas."Lihat, nih, foto lo," ucap Atha di sela-sela tawa. "Tampang-tampang jones, ahahaha!"Shirin merebut ponsel itu. Di foto, Atha terlihat berpose dengan gaya salam dua jari. Di sampingnya, Shirin duduk dengan wajah tertekuk. Shirin menutup wajah dengan kedua tangan dan merasa malu.Atha kembali merebut ponselnya dengan sisa tawa. "Sip, gue kirim ke Al.""Eh, jangan!" Shirin menjawab cepat, membuat Atha kembali tertawa. Merasa dipermainkan, Shirin hanya meliriknya tajam dan kembali diam.Tawa Atha mereda, ia bersandar ke kursi taman dengan senyum yang mengembang. "Lo kenapa duduk sendirian sambil murung kayak jones?""Gak papa," jawab Shirin cuek. I
"Ada mata yang kerap menatapku, ada senyum yang menenangkanku, ada hal yang semua pikir itu untukku. Nyatanya, tak ada yang menetap demi aku."***Melihat Mia yang dengan kejam menjambak rambut Shirin dan menariknya keluar, Stevany dan Joy saling melirik, kemudian mengikutinya. Di koridor, mereka berdua berpapasan dengan bintang iklan SMA Generasi Bangsa—Willa."Mana si Mia?" tanya Willa dengan wajah dinginnya yang khas. Melihat Stevany yang menunjuk ujung koridor, Willa tersenyum. Ia melangkah perlahan, sementara dua adik kelasnya itu mengekorinya.Di ujung koridor yang sepi, langkah kaki Willa yang terdengar menggema membuat Mia menghentikan pergerakannya. Ia menoleh dan matanya langsung menatap lurus ke mata Willa."Gue gak nyangka lo bener-bener ngelakuin ini." Willa bertepuk tangan.Membuang muka, Mia mengulurkan tangan. "Mana janji lo?"Willa mengeluarkan amplop cokelat tebal dari
Lo yakin gak mau jalan sama gue dulu, Mi? Shoping gitu," tanya Stevany di balik mobilnya. Ia melirik ke sekitar dan perumahan itu dapat terbilang sepi, dengan rumah-rumah kecil yang sebagian besar tak berpenghuni. "Ini beneran daerah rumah lo? Bukannya lo anak CEO, ya?""Hm? Eh, iya." Mia mengangguk cepat seraya tersenyum kikuk. "Buat jaga-jaga. Keluarga gue gak mau kelihatan mencolok."Stevany membulatkan bibir. "Ya udah, gue duluan, bye." Gadis itu melambaikan tangan dan memutar stir menjauhi perumahan.Mia menghela napas dan berjalan perlahan memasuki perumahan kecil. Masih dengan seragam yang melekat, ia berbelok ke sebuah gang sempit yang kotor. Ini lebih bisa disebut sebagai perkampungan kumuh. Rumah-rumah dengan beragam bentuk menyatu. Suara anak-anak yang berlarian dan volume televisi terlalu besar bersahut-sahutan membuat riuh."Woy, buka! Jangan pikir lo bisa lari!" seru seseorang. Ia menggedor pintu kayu sebuah rumah kec
Seorang wanita paruh baya sedang mengepel lantai koridor gedung utama. Rambutnya yang sedikit beruban dicepol asal, dan baju lengan panjangnya yang lusuh digulung sampai ke siku. Sesekali ia mengusap keringat di keningnya.Waktu sudah menunjukkan pukul 05.30 petang. Mia mengendap-endap keluar dari ruang klub jurnalis dan matanya melirik berbagai arah dengan waspada. Ia memastikan tidak ada orang lain lagi di sana selain dirinya dan wanita pekerja sekolah itu.Setelah merasa lingkungannya aman, Mia menghampiri wanita itu dan menyapa pelan. "Ibu, udah sore. Yuk, pulang!"Wanita yang sedang membungkuk itu menoleh. Ia tersenyum sumringah, berdiri tegak, dan mengusap kepala Mia pelan. "Eh, anak Ibu. Udah selesai sekolahnya?"Mia mengangguk dan mengangkat sekantung plastik bening berisi ayam goreng crispy. Ia tertawa. "Tadi ditraktir Kak Atha, buat makan adik-adik aja."Suara klakson mobil dari parkiran membuat kedua orang i
"Aldiaz dan Athalas Fernan." Pak Surya memperkenalkan dua murid barunya yang baru pindah bersamaan. Aldiaz—seorang lelaki dengan kacamata bulat tersenyum manis menyapa seisi kelas, sementara Athalas hanya tersenyum singkat.Kemudian, keduanya duduk di kursi tengah tepat di antara Abi. Mereka bertiga menjadi teman baik dan membuat Abi memerhatikan mereka lebih dari yang seharusnya. Matanya sering menangkap mereka di tempat-tempat tertentu, dan ketika ia menemukan mereka sedang berdua ... mereka selalu terlihat berbincang serius."Kalian kenapa milih pindah ke SMA Generasi Bangsa?" tanya Abi pada suatu ketika.Athalas menegang sejenak. Ia terlihat gugup memikirkan jawaban.Berbeda dengan Aldiaz yang terlihat tenang. Bahkan, dengan gaya yang terkesan santai, ia menjawab sambil menatap Abi dengan sorot humor. "Gue sama Atha pindah ke sini karena kami tertarik sama cewek yang sekolah di sini.""Lah, anjir. Kok bucin?"
Shirin yang sudah rapi dengan seragam dan ransel keluar dari rumahnya. Ia terkejut begitu melihat mobil silver terparkir di depan rumah. Lelaki tinggi berambut cokelat berseragam dan almameter yang sama seperti Shirin bersandar ke mobil dengan kedua tangan menyilang.Athalas mendongak dan tersenyum jahil. "Halo, tokoh pendamping!" sapanya sok akrab.Shirin meremas tali tas, dengan ragu ia berjalan mendekati Athalas. Namun, bukannya masuk ke mobil, gadis itu malah berbelok menyusuri trotoar hendak ke halte bus.Athalas di tempatnya tercenung, menunjuk punggung Shirin yang berlalu melewatinya, lalu menunjuk dirinya sendiri. "Gue ... ditolak?"Tersadar, Atha mengerjapkan mata dan segera menyusul Shirin. "Rin, oy! Berangkat bareng!" seruAthaShirin menghentikan langkah dan berbalik menatap Athalas tajam. "Kamu punya Mia.""Hah?" Atha cengo.Shirin tak menyahut, ia malah melengos dan hendak
Wajah Mia pias, sementara Shirin terlihat tenang. Itu membuat ekspresi Mia berganti dingin. Mia maju beberapa langkah hingga tepat di hadapan Shirin. Tatapannya nyalang seraya berkata menantang. "Apa lo? Mau maki-maki gue karena gue orang miskin? Silakan,” ucapnya, sementara kedua tangannya terkepal. Ia membuang muka. "Orang miskin kayak gue ... emang harus berusaha sendiri." Shirin hanya memandangnya dalam diam dan tak bereskpresi. Ia memejamkan mata sebentar, kemudian berjalan melewati Mia. Gadis itu membeli minuman di mesin minuman yang ada di sana dan menyodorkannya kepada Wanda. Wanda tersenyum dan menerimanya. "Ibu, apa-apaan, sih? Gak usah diterima minuman dari dia—" protesan tersebut tidak ia lanjutkan ketika melihat Shirin menyalami tangan Wanda. Wanda mengusap kepala Shirin saat gadis itu mencium punggung tangannya. Lalu tanpa bicara apa pun, Shirin hanya tersenyum isyarat pamit seraya pergi dari kantin. Shirin me
Shirin bergerak gelisah di tempatnya duduk. Jari-jarinya bertautan di atas meja dan kepalanya tertunduk. Ia bisa merasakan aliran listrik di antara Aldiaz dan Athalas yang duduk di samping kiri dan kanannya. Sesekali Shirin melirik Pak Shim yang duduk di seberang meja."Saya tidak mengerti kenapa saya juga harus ikut ke BK ...," lirih Shirin."Karena kamu juga terlibat!" Pak Shim menyahut tegas.Shirin meletakkan kepalanya di meja seraya menghela napas. "Oh, iya, Pak Shim," panggil Shirin seraya kembali mengangkat kepala. "Apa Mia ... pernah dipanggil ke BK?"Athalas melirik Shirin sengit, sementara sepertinya, Pak Shim memerlukan waktu untuk menjawab. Sedangkan Aldiaz tetap tenang sambil menopang pipi lebamnya dengan sebelah tangan."Tidak pernah." jawaban Pak Shim membuat Shirin terdiam.Shirin terdiam beberapa saat dan tersenyum muram. "Oh ... begitu." detik berikutnya, Shirin berdiri dan melangkah keluar dari ruang BK