Share

BAB 3 : Anonym

"Kamu nggak sempet lihat wajah pengirimnya?" Chacha melempar tanya sambil membaca kutipan kalimat di kertas yang ia pegang. 

Rasa penasaran dan merinding turut melingkupi Chacha, lantaran arti dari kalimat tersebut membuat dirinya ikut merinding.

"Waktu aku intip dari lubang pintu, nggak ada siapa-siapa Cha," jelas Windy.

"Win, apa jangan-jangan, pengirimnya itu orang yang udah ngebunuh Jimmy?"

Windy tidak menepis dugaan Chacha, karena Windy pun berpikir demikian. Makna yang keduanya tangkap pun sama. Seolah-olah pengirim berkata, 

'Aku tuh udah nyingkirin Jimmy. 

Seharusnya kamu senang dia mati.' 

Kira-kira seperti itulah yang terbesit di benak Windy dan Chacha. 

Jikapun orang lain, apa gunanya dia mengirim kata-kata seperti ini? 

Dan yang terpenting, dari mana ia tahu bahwa Windy sedang bersedih serta menyesal? 

"Kamu mau lapor polisi soal ini?" 

"Lapor gimana Cha? Lapor polisi tuh nggak gampang, belum tentu mereka langsung anggap serius secarik kertas kusut kayak gitu. Ujung-ujungnya pasti mereka bilang kalau itu cuman kerjaan orang iseng." 

Benar juga ya. Berurusan dengan kepolisian tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bahkan belum tentu langsung diusut atau diselidiki sampai tuntas. 

Kasus kekerasan dan pelecehan yang sedang marak saja tidak ditangani dengan benar, apalagi hal semacam ini. 

"Yaudah, kita anggap aja ini ulah orang iseng." 

Perbincangan di antara keduanya terhenti manakala ibu kantin datang membawa 2 mie goreng pedas atas pesanan mereka berdua. Keduanya pun mulai menikmati santapan. Topik seputar kampus dan tugas kuliah menjadi pengganti topik obrolan sebelumnya.

Keluhan sesekali keluar saat Chacha ataupun Windy bercerita mengenai tugas yang semakin menggunung, ataupun tentang dosen killer yang tidak memberi toleransi sedikit pun atas tugas atau dateline yang diberikan, namun mereka tutup dengan candaan konyol masing-masing. 

Kala tengah asyik mengisi perut sambil berbincang, tiba-tiba…

BRAK! 

Kaget bukan main ketika meja yang mereka tempati digebrak secara kasar. Pelakunya adalah sosok perempuan berpostur tinggi layaknya model, wajah jelita berpoles make up natural, serta surai coklat yang bergelombang karena catokan.

"Airin! Kamu apa-apaan sih?!" Pekik Chacha tidak terima atas perlakuan Airin barusan. 

"Masih bisa ya kamu ketawa-ketiwi setelah apa yang kamu lakuin ke Jimmy! Kamu nggak ada rasa bersalah sama sekali, hah!? Jimmy meninggal gara-gara kamu!" 

Suara melengking Airin menarik atensi semua orang yang ada di kantin. Mereka saling berbisik dengan berbagai jenis pandangan. Ada yang menatap bingung serta sinis, dan tentunya tidak lepas dari perkataan yang kurang berkenan

"Airin, kematian Jimmy bukan kesalahan Windy! Yang pantas disalahkan itu ya si pembunuh!" 

"Nggak! Dia tetap salah! Aku sempet denger kalau orang yang terakhir kali Jimmy hubungi itu Windy! Bahkan dia kirim beberapa pesan teks. Walau kalimat yang dia ketik nggak jelas, tapi aku paham bahwa Jimmy lagi minta pertolongan! Dan Windy malah pilih untuk nggak peduli!" 

Suasana kian ricuh. Atmosfer sekitar berubah dalam sekejap, membelit Windy pada rasa malu serta bersalah. Tapi, apa harus seperti ini? Hanya karena sikap tak acuh yang Windy lakukan, ia langsung dicap sebagai pembunuh? Bagaimana bisa? 

Chacha langsung peka terhadap perubahan suasana, langsung menarik Windy untuk pergi menjauh dari keramaian. Sebenarnya ia tidak keberatan meladeni Airin yang terus saja berusaha memojokkan Windy. Karena apa yang Airin lontarkan barusan sama sekali tidak masuk akal, bahkan tidak dapat diterima sebagai alasan bahwa Windy patut untuk disalahkan.

***

Waktu terus berjalan, jarum jam berputar menyapa tiap angka. Langit telah sepenuhnya gelap. Menarik orang-orang agar berhenti dari aktivitas mereka, dan menikmati waktu luang untuk beristirahat ataupun sekedar berkumpul dengan orang-orang tersayang. 

Tak sedikit pula yang memilih untuk tetap tinggal, rela ditemani beberapa tumpuk berkas yang tentunya tidak pernah berhenti menguras tenaga dan pikiran. 

Windy mengambil beberapa minuman dingin. Ia juga mengambil beberapa kudapan atau makanan ringan lalu ia taruh di keranjang merah. Malam ini ia putuskan begadang, mengejar tugas yang sebenarnya masih jauh dari ketentuan dateline. 

Padahal, fisik dan batinnya sudah lelah. Pilihan tidur sering menjadi opsi paling bagus usai seharian bercengkrama dengan tugas. Namun, hari ini pikiran Windy penuh oleh hal-hal yang cukup mengganggu. Jadi ia pikir, bila mencari kegiatan lain akan membuat semua beban tersebut hilang. 

“Totalnya jadi 68.700,” ujar lelaki muda di seberang meja kasir.

Windy membuka resleting dompet, meraih selembar uang merah, lalu menyodorkannya ketika kantung plastik belanja diberikan.  “500 rupiahnya boleh disumbangkan?” Windy mengangguk. 

Selesai urusan, Windy ingin cepat-cepat pulang ke rumah guna memanjakan lidah. Akan tetapi, ketika pintu dibuka, muncul sosok pria yang pernah Windy temui di lift. Pria yang sempat membuat tubuhnya mengalami malfungsi, diam tak bergerak karena paras rupawan yang ia miliki. 

Dan kini, lagi, pria itu melebarkan ranumnya, membentuk senyuman yang entah kenapa buat mata Windy terkunci. Jatuh dalam hipnotis keindahan dunia yang lagi-lagi mampu buat dirinya diam tak berkutit.

***

Malam ini, langit tergantung seorang diri. Tanpa bintang, tanpa bulan. Awan pun ikut bersembunyi, membiarkan atap dunia menjadi kosong dan lengang. Sama seperti kondisi jalanan yang tengah dilalui oleh sepasang lelaki dan perempuan. Gesekan antara aspal dan alas sandal begitu jelas terdengar. 

Windy sesekali mengusap lengan, menghangatkan kulit sebab atmosfer malam yang terasa dingin walaupun tak ada angin yang berhembus sama sekali. Apa karena bulan sudah memasuki musim penghujan?

“Oh iya, kita belum kenalan. Aku Brian.” 

“Windy.”

Keduanya saling melempar senyum usai perkenalan singkat. Hening kembali mendominasi. Canggung menjadi alasan utama serta hambatan bagi mereka untuk merajut tali percakapan. 

“Ngomong-ngomong, aku turut berduka cita ya?”

“Heh?” Windy menoleh, berkedip heran pada Brian. 

“Soal kematian teman kamu, Jimmy,” jelasnya.

“Mas tahu darimana?” 

Wajar bila Windy merasa aneh. Pasalnya, mereka baru bertemu satu kali. Tidak ada bertukar informasi apapun termasuk nama. Dan dipertemuan kedua ini Brian langsung menyatakan bela sungkawa atas kematian Jimmy. Aneh bukan?

“Hmm, selain satu apartemen, kita ternyata satu kampus juga...”

Mata Windy melebar, kaget mendengar perkataan Brian barusan.

“... Aku mahasiswa tingkat 2 jurusan Desain Grafis,” sambungnya seolah tahu apa yang ada di benak Windy. “Oh!? Kakak tingkat ternyata. Aku tingkat 1 jurusan Ilmu Komunikasi.” 

Selama perjalanan pulang, mereka mulai asyik dan larut dalam obrolan. Kumpulan topik seputar kegiatan kampus atau hal lainnya menjadi elemen yang berhasil meluruhkan suasana canggung yang sempat membatasi. 

Dalam sekejap, keduanya menjadi akrab, sedikit demi sedikit mulai terbuka. Selang beberapa menit, kini mereka telah sampai di apartemen. Mereka menuju lift, naik dan menekan tombol panah ke atas. Perbincangan masih terus berlanjut hingga pintu lift terbuka di lantai yang mereka tuju. 

“Woah, pasti kakak jago gambar. Dari hobinya aja udah ken-...”

“Nona Windy.” 

Windy belum sempat menyelesaikan kalimatnya, sebuah panggilan menyela. Windy dan Brian menoleh ke arah suara, lebih tepatnya ke arah pria berpakaian serba hitam yang sedang bersandar di pintu apartemen Windy. 

Ya, dia menunggu Windy. 

Ingin bertemu dengan gadis jelita itu.

Tentu, Windy sudah kenal. Karena ia adalah pria tempo hari yang datang ke sini untuk melakukan sesi interogasi saat kematian Jimmy. Ialah Detektif Jun. Tungkainya bergerak menghampiri Windy dan Brian. 

“Selamat malam Nona Windy, maaf saya mengganggu anda di jam larut seperti ini. Tujuan saya kemari untuk melakukan interogasi lagi pada Nona.”

“Interogasi? Kalau ini menyangkut soal Jimmy, keterangan saya masih sa-...”

“Bukan. Ini bukan soal kematian Jimmy.” Detektif Jun mengeluarkan ponsel dari balik saku jaket. Dia membuka galeri lalu menunjukkan sebuah foto pada Windy.

“Anda kenal?” tanyanya.

Windy langsung terperanjat. Ia mundur satu langkah, tubuhnya gemetar hebat. Pupil berkaca-kaca menahan tangis. Tanpa berucap sepatah kata pun, Windy memberi anggukan. Dia tahu dan sangat kenal dengan sosok yang Detektif Jun tunjukkan padanya. 

Namun, yang membuat ia takut bukan main adalah, sosok itu tergeletak tak bernyawa bersama darah yang menggenang. Ada hal yang paling mengerikan di mata Windy. Yaitu bagian mulut dari sosok tersebut dijahit membentuk zigzag. 

“Airin Larissa ditemukan tewas pukul 5 sore tadi di area kampus.”

─── To Be Continue

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status