Lidah Hazel kelu. Bahunya bergetar melihat harimau yang ada di hadapannya, tengah melahap habis makanan yang dibawa oleh Sergio. Daging segar serta ayam utuh yang dibawa pria itu rupanya untuk memberikan makanan seekor harimau liar di hutan.Pria di depannya ini memang sudah gila. Tidak waras sama sekali. Bisa-bisanya pria itu mengajaknya pergi di tengah musim dingin seperti ini—hanya untuk memberikan makanan untuk harimau.Hazel hendak mengomel, namun makanan yang disantap oleh harimau itu belum habis. Dia memutuskan untuk tetap diam, tak berkutik sedikit pun. Menahan emosi adalah hal yang menyebalkan.Siapa yang menyangka Hazel akan dibawa ke hutan? Ditambah cuaca di luar sangatlah dingin. Itu yang membuatnya semakin jengkel. Untungnya, Hazel memakai jeans dan coat panjang. Andai tidak, maka sudah mati kedinginan dia.“Good. Makanlah yang banyak.” Sergio mengusap-usap kepala harimau besar.Hazel menelan salivanya susah payah melihat kedekatan antara Sergio dan harimau besar itu. Lal
“Aw—” Hazel meringis perih dan sakit di kala Sergio memijat pergelangan kakinya. Akibat melompat dari batu besar—mengakibatkan kaki kirinya terkilir. Bahkan tadi saat keluar dari hutan—Hazel harus digendong oleh Sergio. Dia tidak bisa menolak, karena posisinya dia tak bisa berjalan.“Kau adalah wanita keras kepala. Batu tinggi, kau malah lompat. Untung kakimu hanya terkilir, tidak sampai patah,” ucap Sergio sambil mengoleskan salep ke pergelangan kaki Hazel.“Aduh! Pelan-pelan. Kau ingin membuat kakiku copot?” dengkus Hazel di kala pijatan Sergio cukup keras ke kaki kirinya yang terkilir.“Tahan sedikit. Aku sudah biasa menangani kaki terkilir.”“Tapi jangan terlalu ditekan. Sakit, Sergio. Kau bisa meremukkan kakiku.”Sergio mendongak, menatap dalam dan hangat Hazel yang duduk di sofa. “Aku paling suka sifatmu jika manja padaku.”Hazel terdiam sejenak mendengar apa yang Sergio katakan. Perkataan Sergio membuat jantungnya seakan ingin melompat. Hatinya bergemuruh tak menentu. Tapi seku
Hazel tidak bisa tidur. Lagi dan lagi kata-kata Sergio terngiang di dalam benaknya. Sial! Hazel membenci dirinya yang selalu saja lemah, ketika berhadapan dengan Sergio Blanco. Ada kesempatan melaporkan ke FBI, tapi dia malah tak bisa melaporkan pria berengsek itu ke FBI. Wanita cantik itu menyadari bahwa memang dirinya benar-benar sangatlah bodoh.Hazel berkeliling penthouse. Jam dinding menunjukkan pukul dua belas malam. Sudah malam seperti ini pasti Sergio sudah tidur. Dia memutuskan berkeliling penthouse berharap bisa mengantuk—dan segera tidur. Tapi, sampai sekarang rasa kantuk tak kunjung datang. Hazel hendak menuju ke perpustakaan, namun langkah kakinya terhenti di kala berpapasan dengan seorang pelayan.“Nona Afford, Anda belum tidur?” sapa sang pelayan di kala berpapasan dengan Hazel.Hazel menggelengkan kepalanya. “Aku belum mengantuk. Aku berkeliling penthouse, berharap agar aku mengantuk. Tapi ternyata, aku tidak mengantuk juga.”“Jika Anda ingin, saya bisa menyiapkan teh
Suara jeritan begitu keras dan menggema membuat Sergio berlari masuk ke dalam kamar mandi. Pria itu terkejut, ditambah posisi Hazel sekarang hanya memakai celana dalam berenda, dan bra. Bekas kissmark-nya tadi malam begitu nyata—dan sangat seksi di payudara wanita itu. Namun bukan kissmark yang menjadi pikiran Sergio. Yang dipikirannya saat ini adalah helaian benang yang melekat di tubuh pria itu.“Kenapa berteriak bermaksud menggodaku, huh?” ujar Sergio dengan senyuman samar di wajahnya.Hazel menundukkan kepalanya, melihat tubuhnya hanya memakai bra dan celana dalam berenda. Wajah Hazel panik. Dia langsung menyambar bathrobe yang ada di sana—dan memakai bathrobe itu.“Apa yang sudah kau lakukan padaku?!” sembur Hazel seraya bertolak pinggang, mendongak menatap tajam Sergio.“Tadi malam, kau sangat menggemaskan. Jadi, aku tidak tahan menyentuhmu. Lain kali aku akan membangunkanku, jika aku tidak tahan lagi.” Sergio menjawab dengan enteng, tanpa sama sekali merasa berdosa.Hazel mende
Pesawat pribadi Sergio lepas landas mengudara diketinggian puluhan ribu kaki dari permukaan bumi. Sudah berjam-jam mengudara, tapi tampaknya Hazel tak mengantuk. Padahal biasanya wanita tidak bisa tahan mengantuk, apalagi sedang dalam perjalanan.“Kau tidak ingin tidur? Ada kamar di belakang. Mungkin tidak sebagus kamar di pesawat pribadimu, tapi kamar di pesawat ini bisa dikatakan cukup nyaman,” ucap Sergio seraya menatap Hazel yang duduk di hadapannya.Hazel menggerakkan tangannya, meminta pramugari memberikannya wine. Detik itu juga, sang pramugari menuangkan wine ke gelas berkaki tinggi yang kosong. “Silakan, Nona Afford.”“Terima kasih.” Hazel tersenyum lembut pada sang pramugari.“Dengan senang hati, Nona.” Pramugari itu menundukkan kepalanya, lalu pamit undur diri dari hadapan Hazel.Hazel menyesap wine perlahan, menatap sinis Sergio. “Pembunuh bayaran mampu membeli pesawat pribadi. Sepertinya targetmu selalu orang-orang hebat.” Nada bicara Hazel menunjukkan sindiran tajam pada
Hazel merasa menyesal ikut ke Dubai. Dia merasa bahwa saat meminta ikut, otaknya sedang tidak baik-baik saja. Jelas-jelas, Sergio datang ke Dubai untuk menjalankan misi. Misi membunuh orang. Lalu, kenapa malah dia harus khawatir? Bahkan sekalipun Sergio ditangkap kepolisian—itu bukanlah urusannya.Hazel mengembuskan napas kasar. “Hazel Afford, otakmu ini terbuat dari mana? Kenapa kau peduli pada pria berengsek itu?” serunya pada diri sendiri sambil membenturkan keningnya ke dinding kamar.“Kau peduli padaku adalah hal yang wajar. Hati kita sudah terikat satu sama lain.” Sergio yang tadi ke luar kamar, sekarang sudah muncul di depan Hazel. Pria tampan itu mendengar apa yang menjadi gerutuan Hazel. Tentu gerutuan wanita itu, membuatnya tersenyum sendiri.Hazel menatap Sergio. “Diam kau! Jangan bicara konyol.”Sergio menarik tangan Hazel, memeluk pinggang wanita itu. “Gantilah pakaianmu. Kita akan makan siang di luar.”“Makan siang di kamar saja. Aku malas keluar kamar.”“Kau yakin malas
Air bergelombang menyembur di kala sebuah mobil sport tercebur. Hazel yang berada di dalam mobil itu menjerit, tapi perlahan jeritannya tergantikan dengan susahnya wanita itu bernapas.Hazel yang tenggelam dengan posisi dirinya masih di dalam mobil, tampak sangat panik dan ketakutan. Dia mencoba untuk keluar dari mobil—sayangnya tidaklah bisa. Rasa panik, takut, dan cemas yang menggelora membuat Hazel perlahan nyaris pingsan.Sergio keluar dari mobil dengan mudahnya—dia memecahkan kaca mobil. Hal yang pertama kali dilakukannya adalah menyelamatkan Hazel. Pria itu menggendong Hazel—dan berenang menuju tepi pantai.UhugggUhugggHazel terbatuk-batuk di kala sudah berada di tepi pantai. Wajah wanita itu memerah, akibat air laut yang sedikit tertelan. Dia dan Sergio sudah basah kuyub. Hanya saja, Sergio terlihat lebih tenang daripada Hazel. Pria itu seolah sudah biasa akan apa yang dialaminya.“Kau bisa bernapas?” Sergio berjongkok, bertanya dengan Hazel yang tampak kesal.Hazel menatap t
“Pria mesum, Sialan!” Kalimat pertama yang Hazel ucapkan, demi membalas ucapan gila Sergio. Dalam keadaan menahan rasa sakit di kakinya—tatapan mata Hazel menunjukkan rasa kesal akan kata-kata vulgar Sergio.Sergio tersenyum samar melihat kemarahan di wajah Hazel. “Butterfly, kau ini mudah sekali marah. Padahal aku hanya ingin membantu melepaskan bra dan celana dalammu saja. Setelah itu, aku akan membantumu memakai bathrobe.”Hazel memincingkan matanya, penuh dengan kecurigaan yang membara. “Bohong! Otakmu sering mesum!”Sergio tak mengindahkan ucapan Hazel. Pria itu menarik celana dalam Hazel—dan melempar ke sembarangan arah. Sontak, Hazel memekik terkejut akan tindakan Sergio. Tubuhnya sekarang benar-benar telanjang di depan pria itu. “Bajingan! Kau mencari kesempatan dalam kesempitan!” seru Hazel dengan napas memburu, penuh rasa kesal dan emosi. Sergio menatap ujung rambut sampai ujung kaki Hazel. Tatapan matanya tampak memuja dan penuh kekaguman. Kejantanannya sudah mengeras,