*Akhir bulan ini, Daddy sudah mengatur pertemuanmu dengan salah satu anak teman Daddy. Dia anak dari pengusaha asal Australia. Dia tampan dan hebat. Dia pasti sangat cocok untukmu. Segeralah kembali ke New York. Jika kau membantah, pengawal akan menjemputmu secara paksa.*
Pesan singkat dari ayahnya, membuat Hazel langsung mematikan ponselnya. Wanita cantik itu berdecak pelan. Dia baru saja kembali dari ulang tahun temannya, yang membuat kesialan di hidupnya, ternyata sekarang dia harus kembali sial karena ayahnya mengejar-ngejar dirinya untuk kembali ke New York.
Hazel enggan untuk kembali ke New York. Dia tahu bahwa pasti ayahnya akan menggeretnya secara paksa untuk bertemu dengan anak dari teman ayahnya itu. Dia enggan untuk menjalin hubungan dengan siapa pun.
Hazel memilih memejamkan mata singkat tanpa mengganti pakaiannya. Pikirannya saat ini benar-benar kacau. Kesialan datang bertubi-tubi di hidupnya. Pun takdir seolah mengajaknya becanda.
Esok hari, yang dilakukan Hazel adalah menikmati sarapan di sebuah kafe yang tak terlalu jauh dari tempat dia tinggal. Duduk bersantai di kafe, bisa menghilangkan rasa jenuhnya yang menghantam dirinya.
“Nona Afford.” Seorang pria tinggi gagah, menghampiri Hazel.
Hazel mengalihkan pandangannya, menatap pria yang merupakan pengawal pribadi keluarganya—dengan tatapan terkejut. “Kau—”
“Nona, ayah Anda meminta Anda untuk pulang.” Pengawal itu berkata dengan sopan.
Hazel mengumpat dalam hati. Ayahnya kenapa bergerak cepat sekali? Dia bahkan sedang mencari rencana agar bisa terbebas dari ayahnya. Tapi malah pengawal keluarganya sudah ada di hadapannya. Shit! Hazel mengumpat dalam hati.
“Pergilah. Aku tidak ingin diganggu!” usir Hazel, meminta pengawal keluarganya pergi dari hadapannya.
Sang pengawal menatap Hazel dengan tatapan serius. “Nona, ayah Anda berpesan untuk membawa Anda kembali ke New York. Saya mohon kerja samanya, Nona.”
Hazel tak henti meloloskan umpatan kasar. “Fine, karena kau keras kepala, jangan salahkan aku jika aku tidak menurut padamu.”
Hazel bangkit berdiri, dan menendang tulang kering pengawalnya itu, hingga membuat sang pengawal merintih kesakitan. Tepat di kala sang pengawal sudah meringis kesakitan—Hazel langsung berlari meninggalkan pengawalnya itu.
“Shit! Nona Hazel! Tunggu!” Pengawal itu mengumpat dikerjai Hazel. Dia berlari dengan kaki pincang mengejar Hazel.
Hazel mondar-mandir bingung mencari jalan. Mobilnya berada di belakang. Jika dia mengambil mobilnya, maka dia pasti akan tertangkap. Dia ingin menghubungi taksi, tapi itu tidak mungkin. Posisinya terjebak. Dia mengalami kesulitan untuk mengambil sebuah tindakan pasti.
Tiba-tiba, tatapan Hazel teralih pada mobil yang terparkir di seberang kafe. Tidak ada cara lain—dia berlari ke arah mobil itu—membuka pintu dan masuk ke dalam mobil orang.
Napas Hazel memburu seraya menundukkan kepalanya di kala melihat pengawal ayahnya, keluar dari kafe berusaha mengejarnya. Umpatan dan makian lolos di bibirnya. Dia bergumam berdoa supaya anak buah ayahnya tidak melihatnya.
“Tidak baik seorang wanita cantik dan berpendidikan tinggi sepertimu meloloskan umpatan,” ucap suara berat seorang pria yang sontak membuat Hazel terbelalak terkejut.
Mata Hazel melebar melihat sosok pria duduk di kursi kemudi. Dia sama sekali tidak sadar jika di dalam mobil itu ada orang. “K-kau! K-kenapa kau di sini?!” serunya menutut jawaban.
Ini sudah benar-benar gila. Hazel kembali bertemu dengan Sergio. Sialnya, dia malah masuk ke dalam mobil yang ternyata Sergio ada di dalam mobil itu. Kebetulan macam apa ini?
Sergio tersenyum penuh arti. “Butterfly, kau sendiri yang masuk ke dalam mobilku. Kenapa kau menyalahkanku?”
Tangan Hazel mengepal kuat. Tanpa banyak bicara, dia memutuskan ingin keluar dari mobil, namun …
“Kau diincar anak buah ayahmu, kan? Kau yakin ingin keluar dari mobilku? Tidak ada jaminan kau bisa lepas dari anak buah ayahmu, jika kau keluar dari mobilku.” Sergio berkata tenang dan santai.
Raut wajah Hazel berubah mendengar apa yang Sergio katakan. Dia tak menampik bahwa apa yang dikatakan Sergio benar. Jika dia keluar dari mobil ini, maka besar kemungkinan anak buah ayahnya akan menangkapnya.
“Bagaimana? Kau masih ingin turun dari mobilku?” Sergio memancing Hazel.
Hazel berdeham sebentar. “Tolong kau bawa aku dari sini. Nanti aku akan memberikan uang padamu,” tukasnya angkuh.
Sergio tersenyum penuh arti. “Bayaranku sangat mahal, Nona Afford.”
“Sebutkan saja berapa! Aku pasti akan membayarmu!” seru Hazel kesal, merasa terhina. Apa-apaan pria berengsek itu? Kenapa dirinya seolah direndahkan tak mampu membayar? Tentu saja, Hazel memiliki segalanya!
Sergio menghidupkan mesin, menginjak pedal gas, melajukan mobil sambil berkata, “Bayaranku adalah kau, Nona Afford.”
Raut wajah Hazel berubah terkejut mendengar apa yang Sergio katakan.
***
Sebuah penthouse mewah di kota Bern, dengan pemandangan menakjubkan menjadi tempat di mana Sergio membawa Hazel. Tampak sorot mata wanita itu menghunus dingin dan tajam pada Sergio yang membawanya.
“Kenapa kau membawaku ke sini?! Dan rumah siapa ini?” Hazel bertolak pinggang menatap Sergio.
Sergio duduk dengan santai di sofa yang ada di sana. “Ini rumahku. Aku sengaja membawamu ke sini, demi menyelamatkanmu. Jika kau pulang ke apartemenmu, aku yakin pengawal ayahmu akan menangkapmu.”
Hazel terdiam mendengar apa yang Sergio katakan. Dia memang tak bisa pulang ke apartemennya, karena anak buah ayahnya pasti akan mencarinya. Tapi tidak juga dia harus dibawa ke rumah pria berengsek itu.
Hazel berusaha tenang di tengah-tengah amarah melanda. “Aku ingin pergi sekarang! Aku akan menginap di hotel untuk menghindar dari anak buah ayahku!”
Sergio tersenyum samar mendengar apa yang Hazel katakan. “Kau yakin? Yang aku tahu ayahmu sangat berkuasa. Dia pasti bisa menemukanmu di mana pun kau bersembunyi. Satu-satunya tempat kau aman, adalah di sini bersamaku. Tidak akan ada yang bisa menemukanmu, jika kau bersembunyi di rumahku.”
Hazel diam seribu bahasa mendengar ucapan pria sialan itu. Dia seolah dibuat benar-benar sangat tersudut. Ya, apa yang dikatakan Sergio tidak bisa sepenuhnya salah. Ayahnya memang pasti akan mampu menemukan keberadaannya ke mana pun dirinya bersembunyi. Shit! Hazel mengumpat dalam hati di kala benar-benar tersudut.
Sergio bangkit berdiri, menghampiri Hazel yang diam di tempat dengan wajah dilanda kebingungan. Tatapan mata wanita itu menunjukkan rasa cemas dan khawatir. Sergio mendekat menghampiri Hazel.
“Pilihan ada di tanganmu. Jika kau nekat pergi, anak buah ayahmu pasti akan menangkapmu. Aku sarankan, kau menerima tawaranku untuk tetap tinggal di sini bersamaku.” Sergio berbalik, melangkah pergi meninggalkan Hazel begitu saja.
Hazel mengumpat dalam hati melihat Sergio pergi meninggalkannya. Sungguh! Pria itu benar-benar menyebalkan. Dia berbalik, dan berpapasan dengan pelayan melangkah menghampirinya.
“Nona, Tuan Sergio berpesan pada saya untuk mengantar Anda ke kamar tamu,” ucap sang pelayan sopan.
Hazel mendesah kasar.
“Maaf, apa Anda ingin langsung ke kamar tamu atau di sini saja, Nona?” tanya sang pelayan memastikan.
Hazel berdecak tak suka dan berkata ketus, “Antar aku ke kamar tamu! Ingat! Kamar tamuku harus jauh dengan kamar pria sialan itu!”
Kening sang pelayan mengerut. “Maaf, Nona. Pria sialan yang Anda maksud itu siapa?”
Hazel kembali berdecak sambil bertolak pinggang. “Siapa lagi kalau bukan bosmu!” semburnya emosi—lantas dia menghentakkan kakinya meninggalkan tempat itu.
Sang pelayan panik melihat Hazel sudah pergi. Buru-buru, pelayan itu berjalan menyusul Hazel.
Hazel mengendarkan pandangannya, melihat kamar tamu yang ada di penthouse milik Sergio. Untuk kalangan pekerjaan rendah seperti Sergio, memiliki penthouse cukup mewah di kota Bern tentu saja, membuat pria itu menghabiskan banyak sekali uang.Hazel kagum akan tatanan penthouse milik Sergio. Mewah dan berkas. Meski tak semewah property milik keluarganya, tetap penthouse milik Sergio ini memiliki daya tarik sendiri di matanya.Hanya saja satu pertanyaan besar Hazel, yaitu bagaimana cara pria berengsek itu memiliki penthouse seperti ini di kota yang terkenal mahal? Ah! Hazel langsung mengingat, pasti Sergio mendapatkan uang dengan cara yang kotor.Hazel menghempaskan tubuhnya ke ranjang, dan memejamkan mata sebentar. Terpaksa dia menginap di penthouse pria berengsek itu. Dia tak memiliki pilihan lain. Dia harus menghindar dari anak buah ayahnya.Ini memang sangat gila. Hazel menerima penawaran dari pria yang jelas-jelas merupakan seorang bajingan. Tapi, jika dia menolak, maka pasti diriny
Hazel tak bisa tidur nyenyak. Dia sudah memaksa diri untuk menutup mata, tapi hasilnya nihil. Dia tidak bisa benar-benar tidur. Otaknya sekarang penuh dengan Sergio—pria sialan yang berhasil memorak-porandakan hidupnya. Sejak di mana dia kembali bertemu dengan Sergio hidupnya tidak lagi setenang dulu.Beberapa tahun lalu, tepat di saat Hazel belum bisa bela diri, dia berlibur ke Belanda sendiri. Dia lari dari kejaran pengawal keluarganya. Sejak dulu dia tidak suka dikawal oleh pengawal keluarganya. Dia ingin hidup bebas dan normal seperti orang lain.Akan tetapi, saat itu nasib sial datang ke hidup Hazel. Dia diganggu oleh sekumpulan pria imigran di Belanda. Pria-pria itu nyaris memerkosa Hazel. Untungnya Sergio datang tepat waktu menyelamatkan Hazel.Ya, pada saat Sergio menyelamatkan Hazel sosok Sergio bagaikan pangeran di mata Hazel. Hazel hanya mengingat wajah pria yang menyelamatkannya. Dia tidak tahu sama sekali nama Sergio.Sampai suatu waktu beberapa tahun kemudian, Hazel dipe
Sergio berdiri di balik kaca sambil menggerak-gerakan gelas sloki di tangannya. Senyuman simpul terlukis di wajah pria tampan itu. Aura wajah tegas, dingin, menunjukkan bagaimana sisi arogansi nan penuh pesona dari pria tampan dan gagah itu. Sepasang iris mata cokelat gelapnya terhunus ke hamparan perkotaan di hadapannya. Salju turun satu demi satu, menutupi bagian atas dari gedung-gedung bertingkat yang ada di kota Bern.“Tuan…” Benton—asisten pribadi Sergio—melangkah menghampiri Sergio.“Ada apa?” Sergio tak membalikkan badannya. Pria itu bisa melihat dari pantulan kaca bahwa asisten pribadinya datang.“Tuan, Nona Hazel sudah tinggal bersama dengan Anda. Apa rencana Anda selanjutnya? Anda tidak bisa terlalu lama mengurung Nona Hazel. Keluarga Afford pasti akan tahu,” tutur Benton mengingatkan Sergio.Sergio menyesap alkohol yang ada di gelas slokinya. “Keluarga Afford tidak akan langsung tahu dengan mudah. Dan untuk Hazel, kau tidak usah khawatir. Aku memiliki rencana sendiri. Kau c
Hazel mematut cermin menatap long dress sederhana yang dibelikan oleh Sergio. Dress dengan desain yang sederhana, namun terkesan menunjukkan kelas dan elegannya. Wanita itu sedikit tak mengira kalau Sergio ternyata memiliki selera yang bagus, dalam memilih pakaian wanita.Tunggu! Mungkin saja dirinya masuk dalam daftar wanita nomor seratus yang dibelikan pakaian oleh Sergio. Itu yang membuat pria berengsek itu bisa memilihkan pakain yang tepat untuknya.“Ck! Pasti sudah banyak sekali wanita yang dibelikan pakaian olehnya. Dia benar-benar berengsek,” gumam Hazel dengan raut wajah penuh emosi.“No, Butterfly. Kau satu-satunya wanita di hidupku yang pernah aku belikan pakaian.” Sergio melangkah masuk menghampiri Hazel yang mematut cermin.Hazel menatap Sergio dari pantulan cermin. “Oh, God! Kau itu selalu mengejutkanku! Apa kau ingin aku mati karena terkena serangan jantung?”Pria di hadapannya ini seperti hantu yang selalu muncul secara tiba-tiba. Itu yang membuatnya sangatlah kesal. S
Dorr…Tembakan berhasil menembus jendela, membuat salah satu orang yang berada di seberang gedung tumbang akibat tembakan itu. Terlihat semua orang yang berada di dalam gedung berlarian dan berteriak mendengar suara tembakan.Seorang pria tampan dengan balutan berpakaian hitam, tersenyum puas saat melihat sasarannya sudah tidak sadarkan diri. Peluru tepat mengenai kepala targetnya. Membuat targetnya sudah bersimbah darah.“I got you,” gumam Sergio dengan seringai di wajahnya. Dia menurunkan pistonya. Dia melihat targetnya terbujur kaku dengan berlumuran darah, adalah suatu keberhasilan baginya.“Tuan Sergio.” Benton menghampiri Sergio.Sergio melirik Benton sesaat. “Apa kau sudah pastikan target mati?”Benton menganggukkan kepalanya. “Sudah, Tuan. Target telah tewas. Client sudah mengirimkan tiga juta dollar ke rekening Anda, Tuan.”Sergio menyeringai puas mendengar perkataan sang asisten. “Bagaimana dengan polisi? Apa di bawah sudah ada polisi?”“Belum, Tuan. Tapi dalam sepuluh menit
“Bersiaplah. Aku akan mengajakmu pergi ke suatu tempat. Kau pasti bosan di rumah.” Suara berat Sergio, menghampiri Hazel yang tengah duduk di sofa sambil melihat ke luar jendela.Hazel tidak berani ke mana pun, karena memang dia tengah bersembunyi. Dia tidak ingin sampai anak buah ayahnya menemukannya. Sialnya memang nasib membuat dirinya berada di rumah pria berengsek.“Kau sengaja ingin membuatku tertangkap oleh anak buah ayahku?” seru Hazel seraya mendongakkan kepalanya, menatap dingin Sergio.“Kau tidak akan pernah tertangkap anak buah ayahmu, jika kau menggunakan pakaian yang sudah aku siapkan.” Sergio menunjuk pakaian yang sudah dirinya siapkan untuk Hazel.Hazel menatap ripped jeans dengan kaos ketat berwarna hitam. Pun di sana ada topi hitam dan kaca mata hitam. Semua pakaian yang diberikan oleh Sergio adalah dari brand ternama dunia. Bukan brand sembarangan. Tapi masalanya di sini, Hazel tidak suka menggunakan ripped jeans.“Bisakah kau memberikanku jeans normal? Jangan membe
Tembakan demi tembakan menghujani bersamaan dengan turunnya salju. Posisi Sergio masih dalam posisi mendindih tubuh Hazel. Keadaan genting, ada korek kecil yang merupakan granat bisa dia ledakan untuk membalas musuhnya, namun jika dia meledakan di tempat umum, akan banyak korban yang berjatuhan.Hazel yang berada di bawah tubuh Sergio hanyut akan kepanikan di wajah pria tampan itu. Harusnya Hazel ketakutan, tapi fakta yang ada adalah Hazel tidak takut sama sekali meski banyak baku tembak yang dia dengar.Lalu … tiba-tiba tatapan Sergio menatap terkejut dari jarak jauh melempar granat ke arahnya. Dia sudah menghindar menggunakan granat, tapi musuhnya yang sialan itu berani-beraninya menggunakan granat.Sergio langsung memeluk erat Hazel, berguling menjauh dari tempat itu. Tepat di kala Sergio menjauh—suara ledakan terdengar menghancurkan kafe. Untungnya tidak ada orang di sana. Sergio bangkit berdiri seraya mengulurkan tangannya membantu Hazel untuk berdiri. Hazel menyambut uluran ta
“Ah, sakit sekali.” Hazel terbangun seraya menyentuh rahangnya yang sembab. Sialnya, pukulan komplotan penjahat itu membuat rahangnya sulit untuk bergerak. Dia menyibak selimut, turun dari ranjang seraya mengikat asal rambutnya.Hazel merasakan tenggorokannya kering. Dia ingin minum, tapi di atas meja hanya ada air putih saja. Dia ingin minuman segar. Itu artinya dirinya harus pergi ke dapur untuk mengambil minuman segar.Sebenarnya, Hazel bisa saja meminta pelayan untuk mengambilkan minuman segera di dapur, tapi dia malas memerintah. Hazel lebih suka berjalan sendiri ke dapur. Mungkin ada sedikit cemilan yang bisa dia makan.Saat Hazel menuju dapur, pintu ruang kerja Sergio sedikit terbuka. Sedikit cahaya terlihat dari dalam. Rasa penasaran dalam diri Hazel tak tertahankan. Wanita cantik itu mendekat—mengendap-endap persis seperti maling.Hazel memilih untuk bersembunyi di balik pintu. Dia tidak mau sampai ada yang mencurigainya. Dia melihat jelas di mana Sergio tengah berbincang den