Share

Bab 5. Dari Mana Kau Memiliki Uang Membeli Penthouse Ini?

Hazel mengendarkan pandangannya, melihat kamar tamu yang ada di penthouse milik Sergio. Untuk kalangan pekerjaan rendah seperti Sergio, memiliki penthouse cukup mewah di kota Bern tentu saja, membuat pria itu menghabiskan banyak sekali uang.

Hazel kagum akan tatanan penthouse milik Sergio. Mewah dan berkas. Meski tak semewah property milik keluarganya, tetap penthouse milik Sergio ini memiliki daya tarik sendiri di matanya.

Hanya saja satu pertanyaan besar Hazel, yaitu bagaimana cara pria berengsek itu memiliki penthouse seperti ini di kota yang terkenal mahal? Ah! Hazel langsung mengingat, pasti Sergio mendapatkan uang dengan cara yang kotor.

Hazel menghempaskan tubuhnya ke ranjang, dan memejamkan mata sebentar. Terpaksa dia menginap di penthouse pria berengsek itu. Dia tak memiliki pilihan lain. Dia harus menghindar dari anak buah ayahnya.

Ini memang sangat gila. Hazel menerima penawaran dari pria yang jelas-jelas merupakan seorang bajingan. Tapi, jika dia menolak, maka pasti dirinya akan ditarik paksa oleh pengawal ayahnya. Tentu Hazel sangat mengenal ayahnya.

Mata Hazel mulai merasakan kantuk. Tubuhnya terasa begitu lelah. Hari ini tenaganya habis karena dikejar oleh anak buah ayahnya. Istirahat sejenak bukanlah sesuatu hal yang salah.

Di sisi lain, Sergio duduk di sofa sambil memutar-mutarkan pistol di tangannya. Suara ketukan pintu—membuat Sergio langsung memberikan perintah pada orang yang mengetuk pintu untuk segera masuk ke dalam.

“Tuan,” sapa sang pelayan sopan seraya menundukkan kepalanya di hadapan Sergio.

Sergio menatap dingin sang pelayan. “Kau sudah mengantar Hazel ke kamar?”

Sang pelayan mengangguk. “Sudah, Tuan. Saya sudah mengantar Nona Hazel ke kamar. Beliau memilih kamar tamu yang sedikit jauh dari kamar Anda.”

Sergio tersenyum samar mendengar apa yang dikatakan sang pelayan. Pria tampan itu meletakan pistol ke atas meja, dan mengambil wine serta menyesap wine itu secara perlahan.

“Di mana pun letak kamar yang dia pilih, aku akan tetap bisa mendatangi kamarnya,” ucap Sergio dengan seringai di wajahnya.

***

Malam itu cuaca semakin dingin di kota Bern. Salju turun menghunjam kota dengan cukup deras. Jalanan sudah penuh dengan tumpukan salju. Musim dingin, membuat orang yang berada di dalam ruangan tak menggunakan AC, melainkan menggunakan penghangat ruangan demi menolong suhu tubuh yang kedinginan.

Hazel terbangun di malam hari. Dia sedikit menyipitkan mata seraya merentangkan kedua tangannya—melihat ke sekitar dirinya berada. Dia bukan berada di kamar apartemennya. Design sederhana, sangat elegan. Detik itu juga kepingan memori Hazel mengingat tentang dirinya berada di penthouse milik pria berengsek itu.

Hazel sedikit berdecak pelan. Dia bukan berada di dunia mimpi. Ini semua kenyataan, dan dirinya telah melakukan sebuah tindakan gila yang tak masuk akal sehatnya.

Hazel menyibak selimut, turun dari ranjang, lalu tatapannya teralih ada pakaian baru di sofa. Dugaan Hazel mengatakan itu adalah pakaian untuknya. Pasalnya dia datang hanya dirinya saja. Dia tidak sama sekali membawa pakaian. Pun tak mungkin dia membeli barang-barang. Kondisinya tak memungkinkan untuk pergi.  

Hazel memutuskan untuk mengganti pakaiannya menggunakan pakaian baru yang ada di sofa. Lalu, tepat di kala pakaiannya sudah berganti—Hazel memutuskan melangkah keluar meninggalkan kamar.

“Nona Hazel?” sapa sang pelayan yang sontak membuat Hazel terperanjat terkejut.

Oh, God! Kau mengejutkanku!” Hampir saja jantung Hazel berhenti berdetak, akibat pelayan itu muncul tiba-tiba di depannya.

“Maafkan saya, Nona. Saya tidak bermaksud membuat Anda terkejut.” Pelayan itu menundukkan kepalanya, meminta maaf karena sudah membuat Hazel terkejut.

Hazel menyentuh dadanya. “It’s okay. Ini juga salahku yang melamun. Ada apa?”

“Nona, Tuan Sergio menunggu Anda di ruang makan. Ini sudah waktunya makan malam,” tutur sang pelayan memberi tahu.

“Aku tidak lapar. Kau pergilah,” ucap Hazel dingin, namun perutnya sudah berbunyi, menandakan wanita itu kelaparan.  

Shit!’ umpat Hazel dalam hati. Sial sekali dalam keadaan seperti ini malah perutnya berbunyi. Membuatnya benar-benar malu.

Sang pelayan sedikit menahan senyumannya di kala mendengar suara perut Hazel yang berbunyi. “Nona, silakan ke arah kanan. Di ujung Anda akan menemukan ruang makan. Saya sudah menyiapkan makanan. Tuan Sergio sudah ada di sana.”

Hazel sudah malu karena ketahuan perutnya kelaparan. “Thanks!” Lalu, dia segera berjalan cepat menuju ke ruang makan. Percuma saja menolak, karena pelayan sudah mendengar sangat jelas perutnya yang berbunyi.

Di ruang makan, Hazel menatap Sergio duduk di kursi meja makan, seraya menikmati steak. Perutnya sudah sangat lapar. Terpaksa dia harus membuang gengsi dalam dirinya. Detik itu juga, Hazel segera duduk di kursi meja makan, dan pelayan menghidangkan steak di hadapan wanita itu.

“Aku tahu kau pasti lapar. Makanlah yang banyak. Aku tidak mau dianggap tidak bertanggung jawab pada tamuku,” ucap Sergio tenang seraya menikmati steak-nya.

Hazel memakan lahap steak itu dengan wajah yang ketus.

Sebelah alis Sergio terangkat melihat Hazel yang makan dengan lahap. “Butterfly, pelan-pelan makanmu. Kau bisa tersedak jika makan seperti itu. Aku yakin Nona yang berasal dari keluarga terpandang sepertimu, sangat menjaga cara makan di meja makan.”

“Aku makan cepat agar tidak berlama-lama di sini,” ucap Hazel ketus.

Sergio mengulum senyumannya, gemas akan kemarahan di wajah Hazel. “Aku sangat beruntung, bisa melihat cara makanmu seperti itu. Aku yakin tidak ada pria yang melihat cara makanmu seperti itu.”

Hazel menghentikan makanannya sebentar di kala dia mengingat sesuatu. “Ini penthouse-mu?” tanyanya langsung tak mengindahkan apa yang Sergio katakan.

Sergio mengangguk. “Ya, ini penthouse-ku. Kau menyukai penthouse ini? Ah, tapi aku yakin penthouse yang kau miliki jauh lebih besar.”

“Dari mana kau memiliki uang membeli penthouse?” tanya Hazel to the point.

Sergio mengambil wine di hadapannya, dan menyesap secara perlahan. “Ada salah satu client-ku yang merupakan seorang pengusaha ternama di Hong Kong. Dia membelikanku penthouse di Bern, karena berhasil menjalankan misi dengan baik.”

Hazel tersenyum sinis. “Client yang memintamu untuk membunuh?”

Sergio sedikit terkekeh. “Kau tahu pekerjaanku, Butterfly. Jadi aku rasa, kau bisa menjawab sendiri pertanyaanmu.”

“Memalukan! Pekerjaanmu itu sangat memalukan! Kau merampas nyawa orang yang tidak bersalah!” sentak Hazel dengan napas memburu penuh emosi.

Sergio menarik kursi Hazel, merapatkan kursi wanita itu ke arahnya. “Seperti yang pernah aku katakan padamu, terlalu banyak sampah masyarakat di dunia ini. Aku hanya membantu membersihkan para sampah itu.”

Mata Hazel terhunus tajam penuh kebencian. “Kau benar. Tapi sampah masyarakat itu termasuk dirimu! Kau—” Kata-kata Hazel tak bisa terlanjutkan, karena Sergio kini menyambar bibirnya dan melumat bibirnya dengan liar.

Hazel terkejut mendapatkan ciuman Sergio. Dia berontak sekuat tenaga, tapi hasilnya nihil. Tenaganya tidaklah sebanding dengan tenaga Sergio. Bibir pria itu malah semakin melumat liar Hazel.

“Jika ada orang yang menghinaku, biasanya aku akan melenyapkan orang itu. Tapi, berbeda dengammu. Kau membuatku semakin ingin menguasaimu, Butterfly. You’re so fucking hot,” bisik Sergio serak di depan bibir Hazel—dan sukses membuat raut wajah Hazel berubah.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Michellyn Ling
up date thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status