Hazel mengendarkan pandangannya, melihat kamar tamu yang ada di penthouse milik Sergio. Untuk kalangan pekerjaan rendah seperti Sergio, memiliki penthouse cukup mewah di kota Bern tentu saja, membuat pria itu menghabiskan banyak sekali uang.
Hazel kagum akan tatanan penthouse milik Sergio. Mewah dan berkas. Meski tak semewah property milik keluarganya, tetap penthouse milik Sergio ini memiliki daya tarik sendiri di matanya.
Hanya saja satu pertanyaan besar Hazel, yaitu bagaimana cara pria berengsek itu memiliki penthouse seperti ini di kota yang terkenal mahal? Ah! Hazel langsung mengingat, pasti Sergio mendapatkan uang dengan cara yang kotor.
Hazel menghempaskan tubuhnya ke ranjang, dan memejamkan mata sebentar. Terpaksa dia menginap di penthouse pria berengsek itu. Dia tak memiliki pilihan lain. Dia harus menghindar dari anak buah ayahnya.
Ini memang sangat gila. Hazel menerima penawaran dari pria yang jelas-jelas merupakan seorang bajingan. Tapi, jika dia menolak, maka pasti dirinya akan ditarik paksa oleh pengawal ayahnya. Tentu Hazel sangat mengenal ayahnya.
Mata Hazel mulai merasakan kantuk. Tubuhnya terasa begitu lelah. Hari ini tenaganya habis karena dikejar oleh anak buah ayahnya. Istirahat sejenak bukanlah sesuatu hal yang salah.
Di sisi lain, Sergio duduk di sofa sambil memutar-mutarkan pistol di tangannya. Suara ketukan pintu—membuat Sergio langsung memberikan perintah pada orang yang mengetuk pintu untuk segera masuk ke dalam.
“Tuan,” sapa sang pelayan sopan seraya menundukkan kepalanya di hadapan Sergio.
Sergio menatap dingin sang pelayan. “Kau sudah mengantar Hazel ke kamar?”
Sang pelayan mengangguk. “Sudah, Tuan. Saya sudah mengantar Nona Hazel ke kamar. Beliau memilih kamar tamu yang sedikit jauh dari kamar Anda.”
Sergio tersenyum samar mendengar apa yang dikatakan sang pelayan. Pria tampan itu meletakan pistol ke atas meja, dan mengambil wine serta menyesap wine itu secara perlahan.
“Di mana pun letak kamar yang dia pilih, aku akan tetap bisa mendatangi kamarnya,” ucap Sergio dengan seringai di wajahnya.
***
Malam itu cuaca semakin dingin di kota Bern. Salju turun menghunjam kota dengan cukup deras. Jalanan sudah penuh dengan tumpukan salju. Musim dingin, membuat orang yang berada di dalam ruangan tak menggunakan AC, melainkan menggunakan penghangat ruangan demi menolong suhu tubuh yang kedinginan.
Hazel terbangun di malam hari. Dia sedikit menyipitkan mata seraya merentangkan kedua tangannya—melihat ke sekitar dirinya berada. Dia bukan berada di kamar apartemennya. Design sederhana, sangat elegan. Detik itu juga kepingan memori Hazel mengingat tentang dirinya berada di penthouse milik pria berengsek itu.
Hazel sedikit berdecak pelan. Dia bukan berada di dunia mimpi. Ini semua kenyataan, dan dirinya telah melakukan sebuah tindakan gila yang tak masuk akal sehatnya.
Hazel menyibak selimut, turun dari ranjang, lalu tatapannya teralih ada pakaian baru di sofa. Dugaan Hazel mengatakan itu adalah pakaian untuknya. Pasalnya dia datang hanya dirinya saja. Dia tidak sama sekali membawa pakaian. Pun tak mungkin dia membeli barang-barang. Kondisinya tak memungkinkan untuk pergi.
Hazel memutuskan untuk mengganti pakaiannya menggunakan pakaian baru yang ada di sofa. Lalu, tepat di kala pakaiannya sudah berganti—Hazel memutuskan melangkah keluar meninggalkan kamar.
“Nona Hazel?” sapa sang pelayan yang sontak membuat Hazel terperanjat terkejut.
“Oh, God! Kau mengejutkanku!” Hampir saja jantung Hazel berhenti berdetak, akibat pelayan itu muncul tiba-tiba di depannya.
“Maafkan saya, Nona. Saya tidak bermaksud membuat Anda terkejut.” Pelayan itu menundukkan kepalanya, meminta maaf karena sudah membuat Hazel terkejut.
Hazel menyentuh dadanya. “It’s okay. Ini juga salahku yang melamun. Ada apa?”
“Nona, Tuan Sergio menunggu Anda di ruang makan. Ini sudah waktunya makan malam,” tutur sang pelayan memberi tahu.
“Aku tidak lapar. Kau pergilah,” ucap Hazel dingin, namun perutnya sudah berbunyi, menandakan wanita itu kelaparan.
‘Shit!’ umpat Hazel dalam hati. Sial sekali dalam keadaan seperti ini malah perutnya berbunyi. Membuatnya benar-benar malu.
Sang pelayan sedikit menahan senyumannya di kala mendengar suara perut Hazel yang berbunyi. “Nona, silakan ke arah kanan. Di ujung Anda akan menemukan ruang makan. Saya sudah menyiapkan makanan. Tuan Sergio sudah ada di sana.”
Hazel sudah malu karena ketahuan perutnya kelaparan. “Thanks!” Lalu, dia segera berjalan cepat menuju ke ruang makan. Percuma saja menolak, karena pelayan sudah mendengar sangat jelas perutnya yang berbunyi.
Di ruang makan, Hazel menatap Sergio duduk di kursi meja makan, seraya menikmati steak. Perutnya sudah sangat lapar. Terpaksa dia harus membuang gengsi dalam dirinya. Detik itu juga, Hazel segera duduk di kursi meja makan, dan pelayan menghidangkan steak di hadapan wanita itu.
“Aku tahu kau pasti lapar. Makanlah yang banyak. Aku tidak mau dianggap tidak bertanggung jawab pada tamuku,” ucap Sergio tenang seraya menikmati steak-nya.
Hazel memakan lahap steak itu dengan wajah yang ketus.
Sebelah alis Sergio terangkat melihat Hazel yang makan dengan lahap. “Butterfly, pelan-pelan makanmu. Kau bisa tersedak jika makan seperti itu. Aku yakin Nona yang berasal dari keluarga terpandang sepertimu, sangat menjaga cara makan di meja makan.”
“Aku makan cepat agar tidak berlama-lama di sini,” ucap Hazel ketus.
Sergio mengulum senyumannya, gemas akan kemarahan di wajah Hazel. “Aku sangat beruntung, bisa melihat cara makanmu seperti itu. Aku yakin tidak ada pria yang melihat cara makanmu seperti itu.”
Hazel menghentikan makanannya sebentar di kala dia mengingat sesuatu. “Ini penthouse-mu?” tanyanya langsung tak mengindahkan apa yang Sergio katakan.
Sergio mengangguk. “Ya, ini penthouse-ku. Kau menyukai penthouse ini? Ah, tapi aku yakin penthouse yang kau miliki jauh lebih besar.”
“Dari mana kau memiliki uang membeli penthouse?” tanya Hazel to the point.
Sergio mengambil wine di hadapannya, dan menyesap secara perlahan. “Ada salah satu client-ku yang merupakan seorang pengusaha ternama di Hong Kong. Dia membelikanku penthouse di Bern, karena berhasil menjalankan misi dengan baik.”
Hazel tersenyum sinis. “Client yang memintamu untuk membunuh?”
Sergio sedikit terkekeh. “Kau tahu pekerjaanku, Butterfly. Jadi aku rasa, kau bisa menjawab sendiri pertanyaanmu.”
“Memalukan! Pekerjaanmu itu sangat memalukan! Kau merampas nyawa orang yang tidak bersalah!” sentak Hazel dengan napas memburu penuh emosi.
Sergio menarik kursi Hazel, merapatkan kursi wanita itu ke arahnya. “Seperti yang pernah aku katakan padamu, terlalu banyak sampah masyarakat di dunia ini. Aku hanya membantu membersihkan para sampah itu.”
Mata Hazel terhunus tajam penuh kebencian. “Kau benar. Tapi sampah masyarakat itu termasuk dirimu! Kau—” Kata-kata Hazel tak bisa terlanjutkan, karena Sergio kini menyambar bibirnya dan melumat bibirnya dengan liar.
Hazel terkejut mendapatkan ciuman Sergio. Dia berontak sekuat tenaga, tapi hasilnya nihil. Tenaganya tidaklah sebanding dengan tenaga Sergio. Bibir pria itu malah semakin melumat liar Hazel.
“Jika ada orang yang menghinaku, biasanya aku akan melenyapkan orang itu. Tapi, berbeda dengammu. Kau membuatku semakin ingin menguasaimu, Butterfly. You’re so fucking hot,” bisik Sergio serak di depan bibir Hazel—dan sukses membuat raut wajah Hazel berubah.
Hazel tak bisa tidur nyenyak. Dia sudah memaksa diri untuk menutup mata, tapi hasilnya nihil. Dia tidak bisa benar-benar tidur. Otaknya sekarang penuh dengan Sergio—pria sialan yang berhasil memorak-porandakan hidupnya. Sejak di mana dia kembali bertemu dengan Sergio hidupnya tidak lagi setenang dulu.Beberapa tahun lalu, tepat di saat Hazel belum bisa bela diri, dia berlibur ke Belanda sendiri. Dia lari dari kejaran pengawal keluarganya. Sejak dulu dia tidak suka dikawal oleh pengawal keluarganya. Dia ingin hidup bebas dan normal seperti orang lain.Akan tetapi, saat itu nasib sial datang ke hidup Hazel. Dia diganggu oleh sekumpulan pria imigran di Belanda. Pria-pria itu nyaris memerkosa Hazel. Untungnya Sergio datang tepat waktu menyelamatkan Hazel.Ya, pada saat Sergio menyelamatkan Hazel sosok Sergio bagaikan pangeran di mata Hazel. Hazel hanya mengingat wajah pria yang menyelamatkannya. Dia tidak tahu sama sekali nama Sergio.Sampai suatu waktu beberapa tahun kemudian, Hazel dipe
Sergio berdiri di balik kaca sambil menggerak-gerakan gelas sloki di tangannya. Senyuman simpul terlukis di wajah pria tampan itu. Aura wajah tegas, dingin, menunjukkan bagaimana sisi arogansi nan penuh pesona dari pria tampan dan gagah itu. Sepasang iris mata cokelat gelapnya terhunus ke hamparan perkotaan di hadapannya. Salju turun satu demi satu, menutupi bagian atas dari gedung-gedung bertingkat yang ada di kota Bern.“Tuan…” Benton—asisten pribadi Sergio—melangkah menghampiri Sergio.“Ada apa?” Sergio tak membalikkan badannya. Pria itu bisa melihat dari pantulan kaca bahwa asisten pribadinya datang.“Tuan, Nona Hazel sudah tinggal bersama dengan Anda. Apa rencana Anda selanjutnya? Anda tidak bisa terlalu lama mengurung Nona Hazel. Keluarga Afford pasti akan tahu,” tutur Benton mengingatkan Sergio.Sergio menyesap alkohol yang ada di gelas slokinya. “Keluarga Afford tidak akan langsung tahu dengan mudah. Dan untuk Hazel, kau tidak usah khawatir. Aku memiliki rencana sendiri. Kau c
Hazel mematut cermin menatap long dress sederhana yang dibelikan oleh Sergio. Dress dengan desain yang sederhana, namun terkesan menunjukkan kelas dan elegannya. Wanita itu sedikit tak mengira kalau Sergio ternyata memiliki selera yang bagus, dalam memilih pakaian wanita.Tunggu! Mungkin saja dirinya masuk dalam daftar wanita nomor seratus yang dibelikan pakaian oleh Sergio. Itu yang membuat pria berengsek itu bisa memilihkan pakain yang tepat untuknya.“Ck! Pasti sudah banyak sekali wanita yang dibelikan pakaian olehnya. Dia benar-benar berengsek,” gumam Hazel dengan raut wajah penuh emosi.“No, Butterfly. Kau satu-satunya wanita di hidupku yang pernah aku belikan pakaian.” Sergio melangkah masuk menghampiri Hazel yang mematut cermin.Hazel menatap Sergio dari pantulan cermin. “Oh, God! Kau itu selalu mengejutkanku! Apa kau ingin aku mati karena terkena serangan jantung?”Pria di hadapannya ini seperti hantu yang selalu muncul secara tiba-tiba. Itu yang membuatnya sangatlah kesal. S
Dorr…Tembakan berhasil menembus jendela, membuat salah satu orang yang berada di seberang gedung tumbang akibat tembakan itu. Terlihat semua orang yang berada di dalam gedung berlarian dan berteriak mendengar suara tembakan.Seorang pria tampan dengan balutan berpakaian hitam, tersenyum puas saat melihat sasarannya sudah tidak sadarkan diri. Peluru tepat mengenai kepala targetnya. Membuat targetnya sudah bersimbah darah.“I got you,” gumam Sergio dengan seringai di wajahnya. Dia menurunkan pistonya. Dia melihat targetnya terbujur kaku dengan berlumuran darah, adalah suatu keberhasilan baginya.“Tuan Sergio.” Benton menghampiri Sergio.Sergio melirik Benton sesaat. “Apa kau sudah pastikan target mati?”Benton menganggukkan kepalanya. “Sudah, Tuan. Target telah tewas. Client sudah mengirimkan tiga juta dollar ke rekening Anda, Tuan.”Sergio menyeringai puas mendengar perkataan sang asisten. “Bagaimana dengan polisi? Apa di bawah sudah ada polisi?”“Belum, Tuan. Tapi dalam sepuluh menit
“Bersiaplah. Aku akan mengajakmu pergi ke suatu tempat. Kau pasti bosan di rumah.” Suara berat Sergio, menghampiri Hazel yang tengah duduk di sofa sambil melihat ke luar jendela.Hazel tidak berani ke mana pun, karena memang dia tengah bersembunyi. Dia tidak ingin sampai anak buah ayahnya menemukannya. Sialnya memang nasib membuat dirinya berada di rumah pria berengsek.“Kau sengaja ingin membuatku tertangkap oleh anak buah ayahku?” seru Hazel seraya mendongakkan kepalanya, menatap dingin Sergio.“Kau tidak akan pernah tertangkap anak buah ayahmu, jika kau menggunakan pakaian yang sudah aku siapkan.” Sergio menunjuk pakaian yang sudah dirinya siapkan untuk Hazel.Hazel menatap ripped jeans dengan kaos ketat berwarna hitam. Pun di sana ada topi hitam dan kaca mata hitam. Semua pakaian yang diberikan oleh Sergio adalah dari brand ternama dunia. Bukan brand sembarangan. Tapi masalanya di sini, Hazel tidak suka menggunakan ripped jeans.“Bisakah kau memberikanku jeans normal? Jangan membe
Tembakan demi tembakan menghujani bersamaan dengan turunnya salju. Posisi Sergio masih dalam posisi mendindih tubuh Hazel. Keadaan genting, ada korek kecil yang merupakan granat bisa dia ledakan untuk membalas musuhnya, namun jika dia meledakan di tempat umum, akan banyak korban yang berjatuhan.Hazel yang berada di bawah tubuh Sergio hanyut akan kepanikan di wajah pria tampan itu. Harusnya Hazel ketakutan, tapi fakta yang ada adalah Hazel tidak takut sama sekali meski banyak baku tembak yang dia dengar.Lalu … tiba-tiba tatapan Sergio menatap terkejut dari jarak jauh melempar granat ke arahnya. Dia sudah menghindar menggunakan granat, tapi musuhnya yang sialan itu berani-beraninya menggunakan granat.Sergio langsung memeluk erat Hazel, berguling menjauh dari tempat itu. Tepat di kala Sergio menjauh—suara ledakan terdengar menghancurkan kafe. Untungnya tidak ada orang di sana. Sergio bangkit berdiri seraya mengulurkan tangannya membantu Hazel untuk berdiri. Hazel menyambut uluran ta
“Ah, sakit sekali.” Hazel terbangun seraya menyentuh rahangnya yang sembab. Sialnya, pukulan komplotan penjahat itu membuat rahangnya sulit untuk bergerak. Dia menyibak selimut, turun dari ranjang seraya mengikat asal rambutnya.Hazel merasakan tenggorokannya kering. Dia ingin minum, tapi di atas meja hanya ada air putih saja. Dia ingin minuman segar. Itu artinya dirinya harus pergi ke dapur untuk mengambil minuman segar.Sebenarnya, Hazel bisa saja meminta pelayan untuk mengambilkan minuman segera di dapur, tapi dia malas memerintah. Hazel lebih suka berjalan sendiri ke dapur. Mungkin ada sedikit cemilan yang bisa dia makan.Saat Hazel menuju dapur, pintu ruang kerja Sergio sedikit terbuka. Sedikit cahaya terlihat dari dalam. Rasa penasaran dalam diri Hazel tak tertahankan. Wanita cantik itu mendekat—mengendap-endap persis seperti maling.Hazel memilih untuk bersembunyi di balik pintu. Dia tidak mau sampai ada yang mencurigainya. Dia melihat jelas di mana Sergio tengah berbincang den
Hazel tidak habis pikir dengan Sergio. Pria gila dan tak waras itu. Pantas saja tadi ada yang berniat membunuhnya. Ternyata semua itu karena kegilaan Sergio! Sungguh Hazel menyesal membantunya. Andai dia tahu pokok permasalahannya, dia akan mendorong Sergio sekeras mungkin dari jurang kematian.Hazel mondar-mandir tidak jelas di dalam kamar. Sekitar sepuluh menit lalu, Sergio baru saja pergi. Kejadian kemarin di mana Hazel menguping adalah tindakan yang memalukan. Untungnya tadi pagi, Sergio sudah tidak lagi membahas.Hanya satu pesan yang Sergio katakan, yaitu dia meminta Hazel untuk tak banyak terlalu penasaran. Dalam hidup, ini pertama kalinya Hazel berada di posisi seperti sekarang ini. Posisi yang membuatnya menjadi bimbang.Hazel tak seharusnya tinggal di rumah seorang pembunuh. Jika saja keluarganya tahu, maka pasti dia akan ditarik paksa untuk pulang. Hal tergila dalam hidupnya sejak di mana dirinya mengenal Sergio. Hazel tahu cara jalan untuk keluar, namun entah kenapa kakiny