Share

Dendam yang Harus Dibalas

Lima anak buah Ranu Brata mengangguk secara bersamaan. Mereka langsung pergi lalu segera membakar Perguruan Naga Langit.

Begitu api berkobar, Ranu Brata lalu berjalan pergi dari perguruan itu. Langkahnya tenang namun pasti. Dia tahu, sebentar lagi Perguruan Naga Langit pasti akan rata bersama tanah.

Oleh karena itulah, dirinya tidak pernah menengok lagi ke belakang.

Sementara itu, Caraka Candra masih terlentang di atas tanah. Luka-luka di tubuhnya sudah mengering. Seperti juga darahnya. Pemuda itu masih berada dalam keadaan tidak sadar.

Entah berapa lama dirinya tidak sadarkan diri. Tetapi, secara tiba-tiba dirinya membuka mata ketika merasakan adanya hawa panas yang sangat menyengat kulit.

Caraka Candra sangat terkejut ketika dia mengetahui bahwa Perguruan Naga Langit ternyata sudah hancur lebur dan menyatu bersama tanah.

Kesedihan, kemarahan, semuanya bercampur menjadi satu.

Caraka Candra bangkit berdiri. Walaupun hal itu terasa sangat sulit, tapi setelah berusaha sekuat tenaga, toh pada akhirnya dia berhasil juga.

Dia berdiri tegak seperti sebatang tombak. Rasa sakit akibat luka dan rasa panas akibat kobaran api, sudah tidak dia rasakan lagi.

Yang dia rasakan saat ini hanyalah dendam yang membara. Selain dendam, rasanya tidak ada perasaan lain lagi. Bahkan perasaan sedih yang sebelumnya terasa, sekarang sudah hilang seluruhnya.

Lama, lama sekali Caraka Candra berdiri di tempat yang sudah menyatu dengan tanah itu.

Pemuda tampan tersebut tiba-tiba menggertak gigi. Dia mengepalkan kedua tangannya.

"Dendam ini harus aku balas. Bagaimanapun caranya!" gumam Caraka Candra sambil menahan kemarahan dalam hatinya.

Setelah berkata demikian, pemuda itu memutuskan untuk pergi dari sana. Entah ke mana arah tujuannya, sebab dia sendiri tidak mengetahui sama sekali.

"Perduli ke mana pun aku pergi. Yang penting, aku akan mengikuti langkah kakiku ini," gumamnya sambil mulai berjalan secara perlahan.

Caraka Candra terus melangkah.

Malam semakin larut. Rembulan pun makin condong ke arah barat. Udara dingin. Suasana sepi sunyi.

Langkah anak tunggal dari Ketua Perguruan Naga Langit itu tidak pernah berhenti. Dia memang tidak mau berhenti. Yang dia mau hanyalah melupakan segala kejadian yang baru saja dialami olehnya.

Caraka ingin melupakan kenangan itu. Dia mencoba pasrah dan mengakui bahwa semua yang terjadi itu sudah kehendak Sang Hyang Widhi.

Tetapi, semakin dia ingin melupakan, malah semakin terbayang pula kejadiannya.

Ketenaran, kewibawaan, kekayaan dan kebahagiaan, semuanya hilang lenyap begitu saja. Semuanya sirna dalam sekejap mata.

Kalau kau berada di posisinya, kira-kira bagaimana dan apa yang akan kau lakukan?

Peristiwa itu sebenarnya sudah lewat tujuh hari yang lalu. Tapi Caraka justru merasa bahwa peristiwa tersebut baru saja terjadi.

Hingga malam itu, di saat tengah malam dan huajn turun dengan lebatnya, Caraka masih saja terbayang peristiwa yang menimpa Perguruan Naga Langit milik mendiang ayahnya.

Gelegar!!! Duarr!!!

Suara guntur terdengar begitu keras. Kilat yang menyambar membuat malam gelap itu menjadi terang untuk sesaat.

Caraka Candra tiba-tiba menghentikan langkahnya. Bukan karena merasa lelah ataupun merasa putus asa dengan ujian yang menerpa hidupnya, melainkan karena dia melihat bahwa di depannya ada lima orang yang sedang melangsungkan pertarungan sengit.

Pemuda itu melihat bahwa lima orang tersebut sedang mengeroyok seorang kakek-kakek berusia sekitar delapan puluh lima tahunan.

Entah karena masalah apa mereka bertarung, namun yang pasti, Caraka mengetahui bahwa saat ini, si kakek tua sedang berada dalam keadaan terdesak hebat.

Untuk sesaat, Caraka Candra dibuat bingung. Walaupun dirinya tidak mengetahui siapakah sosok kakek tua itu sebenarnya, tapi dia mempunyai keinginan untuk menolongnya.

Namun, setelah diingat kembali, memangnya apa yang dapat dia lalukan sekarang?

Jangankan untuk menolong orang lain, bahkan untuk menolong diri sendiri saja, dia jelas tidak bisa.

Luka-luka akibat pertarungan tujuh hari yang lalu, belum sembuh sepenuhnya. Luka-luka itu masih suka menimbulkan rasa ngilu yang teramat sangat.

Jadi, apa yang harus dia lakukan sekarang?

Sementara itu, keadaan kakek tua tadi semakin terdesak. Lima orang yang menjadi lawannya ternyata benar-benar hebat. Kemampuan mereka sangat tinggi. Bahkan sepertinya, mereka merupakan pendekar kelas satu yang mempunyai ilmu-ilmu tingkat atas.

Kalau dilihat dari keadaan sekarang, sepertinya kurang dari lima belas jurus ke depan, maka si kakek tua bisa dipastikan bakal tewas di tangan lima orang lawannya.

Untunglah, sebelum hal itu terjadi, tiba-tiba dari samping kanan mendadak ada sebuah bayangan hitam yang melesat secepat kilat.

Wutt!!! Blarr!!!

Sinar kemerahan meluncur deras ke arena pertarungan. Disusul kemudian dengan terdengarnya suara ledakan yang cukup besar.

Lima orang tadi terjengkang ke belakang. Mereka tidak terluka. Mereka hanya kaget. Kaget dengan serangan jarak jauh yang baru saja dilancarkan oleh seseorang.

Siapa seseorang yang dimaksud itu?

Tentunya Caraka Candra!

Ya, seseorang itu memang dirinya.

Setelah tadi berpikir-pikir beberapa saat, pemuda itu akhirnya memilih untuk membantu orang tua yang terdesak tersebut.

Meskipun dia tahu dirinya mengalami luka yang cukup parah, walaupun Caraka sadar bahwa dia akan mati, tapi dia tetap tidak peduli. Pemuda itu lebih memilih dirinya yang mati, daripada harus orang tua itu yang mampus.

Entah kenapa dia begitu ingin untuk menolong orang tua tadi. Padahal kalau dipikir kembali, dirinya sendiri juga membutuhkan pertolongan.

Aneh bukan?

Namun begitulah kejadianya.

Di dunia ini, terkadang memang sering terjadi hal-hal aneh dan terdengar menggelikkan di telinga. Tapi walaupun demikian, toh hal-hal seperti itu tetap saja terjadi.

Dari dahulu sampai kini, hal-hal semacam itu terus saja terulang kembali.

"Siapa kau?" tanya salah seorang di antara mereka.

"Kalian tidak perlu tahu siapa aku. Sekarang, lebih baik pergi sebelum terlambat," jawan Caraka Candra dengan nada sedingin es.

"Hahaha … bocah ingusan sepertimu berani mengusir Lima Harimau Gunung? Kau pikir dirimu ini siapa?" tanya rekan di sisinya dengan lantang.

Caraka Candra terkejut ketika dia mengetahui siapa mereka. Meskipun baru pertama kali bertemu, tapi pemuda itu sudah pernah mendengar nama Lima Harimau Gunung.

Di dalam dunia persilatan, nama Lima Harimau Gunung rasanya sudah tidak asing lagi. Mereka adalah lima perampok ulung dan terkenal karena kemampuannya yang berbeda dari perampok pada umumnya.

Caraka pernah mendengar nama mereka dari cerita ayahnya dulu.

Sungguh tidak disangka, ternyata dia benar-benar bisa bertu dengannya.

"Oh, jadi kalian adalah Lima Harimau Gunung?" tanya Caraka seolah-olah ingin memastikan.

"Ya, apakah kau tidak tahu siapa kami?"

"Aku tahu,"

"Kalau sudah tahu, lalu kenapa kau mau mencampuri urusan kami?" tanyanya sambil menatap Caraka dengan tajam.

"Karena aku paling benci terhadap pengeroyokan,"

Suasana semakin menegangkan. Lima Harimau Gunung seperti sudah sangat kesal kepada Caraka Candra.

Sementara pemuda itu sendiri, diam-diam dia telah menyalurkan hawa murni dan tenaga dalam ke seluruh tubuhnya. Bagaimanapun juga, Caraka tahu bahwa sekarang, dia sedang berhadapan dengan orang-orang berilmu tinggi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status