Lima anak buah Ranu Brata mengangguk secara bersamaan. Mereka langsung pergi lalu segera membakar Perguruan Naga Langit.
Begitu api berkobar, Ranu Brata lalu berjalan pergi dari perguruan itu. Langkahnya tenang namun pasti. Dia tahu, sebentar lagi Perguruan Naga Langit pasti akan rata bersama tanah.Oleh karena itulah, dirinya tidak pernah menengok lagi ke belakang.Sementara itu, Caraka Candra masih terlentang di atas tanah. Luka-luka di tubuhnya sudah mengering. Seperti juga darahnya. Pemuda itu masih berada dalam keadaan tidak sadar.Entah berapa lama dirinya tidak sadarkan diri. Tetapi, secara tiba-tiba dirinya membuka mata ketika merasakan adanya hawa panas yang sangat menyengat kulit.Caraka Candra sangat terkejut ketika dia mengetahui bahwa Perguruan Naga Langit ternyata sudah hancur lebur dan menyatu bersama tanah.Kesedihan, kemarahan, semuanya bercampur menjadi satu.Caraka Candra bangkit berdiri. Walaupun hal itu terasa sangat sulit, tapi setelah berusaha sekuat tenaga, toh pada akhirnya dia berhasil juga.Dia berdiri tegak seperti sebatang tombak. Rasa sakit akibat luka dan rasa panas akibat kobaran api, sudah tidak dia rasakan lagi.Yang dia rasakan saat ini hanyalah dendam yang membara. Selain dendam, rasanya tidak ada perasaan lain lagi. Bahkan perasaan sedih yang sebelumnya terasa, sekarang sudah hilang seluruhnya.Lama, lama sekali Caraka Candra berdiri di tempat yang sudah menyatu dengan tanah itu.Pemuda tampan tersebut tiba-tiba menggertak gigi. Dia mengepalkan kedua tangannya."Dendam ini harus aku balas. Bagaimanapun caranya!" gumam Caraka Candra sambil menahan kemarahan dalam hatinya.Setelah berkata demikian, pemuda itu memutuskan untuk pergi dari sana. Entah ke mana arah tujuannya, sebab dia sendiri tidak mengetahui sama sekali."Perduli ke mana pun aku pergi. Yang penting, aku akan mengikuti langkah kakiku ini," gumamnya sambil mulai berjalan secara perlahan.Caraka Candra terus melangkah.Malam semakin larut. Rembulan pun makin condong ke arah barat. Udara dingin. Suasana sepi sunyi.Langkah anak tunggal dari Ketua Perguruan Naga Langit itu tidak pernah berhenti. Dia memang tidak mau berhenti. Yang dia mau hanyalah melupakan segala kejadian yang baru saja dialami olehnya.Caraka ingin melupakan kenangan itu. Dia mencoba pasrah dan mengakui bahwa semua yang terjadi itu sudah kehendak Sang Hyang Widhi.Tetapi, semakin dia ingin melupakan, malah semakin terbayang pula kejadiannya.Ketenaran, kewibawaan, kekayaan dan kebahagiaan, semuanya hilang lenyap begitu saja. Semuanya sirna dalam sekejap mata.Kalau kau berada di posisinya, kira-kira bagaimana dan apa yang akan kau lakukan?Peristiwa itu sebenarnya sudah lewat tujuh hari yang lalu. Tapi Caraka justru merasa bahwa peristiwa tersebut baru saja terjadi.Hingga malam itu, di saat tengah malam dan huajn turun dengan lebatnya, Caraka masih saja terbayang peristiwa yang menimpa Perguruan Naga Langit milik mendiang ayahnya.Gelegar!!! Duarr!!!Suara guntur terdengar begitu keras. Kilat yang menyambar membuat malam gelap itu menjadi terang untuk sesaat.Caraka Candra tiba-tiba menghentikan langkahnya. Bukan karena merasa lelah ataupun merasa putus asa dengan ujian yang menerpa hidupnya, melainkan karena dia melihat bahwa di depannya ada lima orang yang sedang melangsungkan pertarungan sengit.Pemuda itu melihat bahwa lima orang tersebut sedang mengeroyok seorang kakek-kakek berusia sekitar delapan puluh lima tahunan.Entah karena masalah apa mereka bertarung, namun yang pasti, Caraka mengetahui bahwa saat ini, si kakek tua sedang berada dalam keadaan terdesak hebat.Untuk sesaat, Caraka Candra dibuat bingung. Walaupun dirinya tidak mengetahui siapakah sosok kakek tua itu sebenarnya, tapi dia mempunyai keinginan untuk menolongnya.Namun, setelah diingat kembali, memangnya apa yang dapat dia lalukan sekarang?Jangankan untuk menolong orang lain, bahkan untuk menolong diri sendiri saja, dia jelas tidak bisa.Luka-luka akibat pertarungan tujuh hari yang lalu, belum sembuh sepenuhnya. Luka-luka itu masih suka menimbulkan rasa ngilu yang teramat sangat.Jadi, apa yang harus dia lakukan sekarang?Sementara itu, keadaan kakek tua tadi semakin terdesak. Lima orang yang menjadi lawannya ternyata benar-benar hebat. Kemampuan mereka sangat tinggi. Bahkan sepertinya, mereka merupakan pendekar kelas satu yang mempunyai ilmu-ilmu tingkat atas.Kalau dilihat dari keadaan sekarang, sepertinya kurang dari lima belas jurus ke depan, maka si kakek tua bisa dipastikan bakal tewas di tangan lima orang lawannya.Untunglah, sebelum hal itu terjadi, tiba-tiba dari samping kanan mendadak ada sebuah bayangan hitam yang melesat secepat kilat.Wutt!!! Blarr!!!Sinar kemerahan meluncur deras ke arena pertarungan. Disusul kemudian dengan terdengarnya suara ledakan yang cukup besar.Lima orang tadi terjengkang ke belakang. Mereka tidak terluka. Mereka hanya kaget. Kaget dengan serangan jarak jauh yang baru saja dilancarkan oleh seseorang.Siapa seseorang yang dimaksud itu?Tentunya Caraka Candra!Ya, seseorang itu memang dirinya.Setelah tadi berpikir-pikir beberapa saat, pemuda itu akhirnya memilih untuk membantu orang tua yang terdesak tersebut.Meskipun dia tahu dirinya mengalami luka yang cukup parah, walaupun Caraka sadar bahwa dia akan mati, tapi dia tetap tidak peduli. Pemuda itu lebih memilih dirinya yang mati, daripada harus orang tua itu yang mampus.Entah kenapa dia begitu ingin untuk menolong orang tua tadi. Padahal kalau dipikir kembali, dirinya sendiri juga membutuhkan pertolongan.Aneh bukan?Namun begitulah kejadianya.Di dunia ini, terkadang memang sering terjadi hal-hal aneh dan terdengar menggelikkan di telinga. Tapi walaupun demikian, toh hal-hal seperti itu tetap saja terjadi.Dari dahulu sampai kini, hal-hal semacam itu terus saja terulang kembali."Siapa kau?" tanya salah seorang di antara mereka."Kalian tidak perlu tahu siapa aku. Sekarang, lebih baik pergi sebelum terlambat," jawan Caraka Candra dengan nada sedingin es."Hahaha … bocah ingusan sepertimu berani mengusir Lima Harimau Gunung? Kau pikir dirimu ini siapa?" tanya rekan di sisinya dengan lantang.Caraka Candra terkejut ketika dia mengetahui siapa mereka. Meskipun baru pertama kali bertemu, tapi pemuda itu sudah pernah mendengar nama Lima Harimau Gunung.Di dalam dunia persilatan, nama Lima Harimau Gunung rasanya sudah tidak asing lagi. Mereka adalah lima perampok ulung dan terkenal karena kemampuannya yang berbeda dari perampok pada umumnya.Caraka pernah mendengar nama mereka dari cerita ayahnya dulu.Sungguh tidak disangka, ternyata dia benar-benar bisa bertu dengannya."Oh, jadi kalian adalah Lima Harimau Gunung?" tanya Caraka seolah-olah ingin memastikan."Ya, apakah kau tidak tahu siapa kami?""Aku tahu,""Kalau sudah tahu, lalu kenapa kau mau mencampuri urusan kami?" tanyanya sambil menatap Caraka dengan tajam."Karena aku paling benci terhadap pengeroyokan,"Suasana semakin menegangkan. Lima Harimau Gunung seperti sudah sangat kesal kepada Caraka Candra.Sementara pemuda itu sendiri, diam-diam dia telah menyalurkan hawa murni dan tenaga dalam ke seluruh tubuhnya. Bagaimanapun juga, Caraka tahu bahwa sekarang, dia sedang berhadapan dengan orang-orang berilmu tinggi.Wushh!!! Wushh!!! Bayangan manusia berkelebat dengan cepat. Lima Harimau Gunung telah mengambil tindakan. Mereka mengirimkan serangan berupa pukulan dan tendangan yang cepat sekaligus ganas. Melihat betapa hebatnya serangan lawan, mau tak mau Caraka Candra dibuat terkejut juga. Dia sungguh tidak menyangka bahwa Lima Harimau Gunung ternyata mempunyai kemampuan setinggi ini. Kelima orang itu menyerang dari segala sisi. Mereka benar-benar seperti kawanan harimau buas yang sedang kelaparan. Serangannya tidak pernah berhenti. Bahkan makin lama, mereka makin ganas dalam melancarkan jurusnya. Dalam pada itu, Caraka sedang berusaha sebisa mungkin untuk mempertahankan dirinya dari jurus-jurus lawan. Pemuda itu bergerak ke sana kemari. Kadang kala dia pun mengangkat kedua tangannya untuk memberikan tangkisan. Pada awal pertarungan, Caraka memang masih mampu meladeni Lima Harimau Gunung. Tetapi setelah lewat dari enam jurus, posisinya perlahan-lahan berubah. Dia mulai terdesak hebat. Puku
Rintik air hujan sudah berhenti. Berhenti seluruhnya. Kegelapan malam pun sudah menghilang. Sekarang sudah tiada lagi rasa dingin menusuk tulang, yang ada hanyalah kehangatan yang memberikan kenyamanan. Pagi hari telah tiba. Sinar mentari di pagi ini terlihat begitu cemerlang. Awan putih berarak mengikuti arah mata angin. Burung-burung berterbangan ke sana kemari dengan lincah. Di pinggir hutan itu ada sebuah sebuah gubuk reot berukuran kecil. Gubuk itu beralaskan tanah dan beratapkan daun kelapa yang dianyam. Walaupun terlihat jelek, tapi jelas, gubuk itu membawa suatu kenyamanan tersendiri. Di sebuah pendopo kecil yang ada di depannya, seorang kakek tua sedang duduk seorang diri. Di depannya ada kopi hitam yang diseduh dalam cangkir bambu. Tidak lupa juga, kakek tua itu pun membakar tembakau yang sudah hampir habis. Wushh!!! Asap tembakau yang berwarna putih menggulung tebal ke depan ketika kakek tua itu menghembuskan nafasnya dengan panjang. Tidak lama kemudian, dari dalam g
Pemuda tampan yang selalu mengenakan pakaian serba hitam itu segera membalikkan tubuhnya. Tanpa banyak bertanya lagi, dia langsung saja melesat menggunakan ilmu meringankan tubuhnya. Di tengah perjalanan, Caraka Candra merasa sedikit terkejut. Sebab sekarang ini, tubuhnya tidak lagi terasa ngilu dan sakit seperti hari kemarin. Sekarang, tiba-tiba dia merasa lebih segar bugar daripada biasanya. Bahkan menurut anggapannya pribadi, ilmu meringankan tubuhnya seperti meningkat. Meskipun peningkatannya tidak terlalu banyak, tapi hal itu saja jelas bukan kejadian biasa. Caraka baru mengalami kejadian seperti ini. Dan dia benar-benar merasa aneh kepada dirinya sendiri. Apa yang sebenarnya telah terjadi? Kenapa pula dia merasa tenaganya makin meningkat? Pemuda itu sebenarnya ingin terus memikirkan hal tersebut. Sayangnya, hal itu tidak bisa dia lakukan secara terus menerus. Selain daripada itu, secara tiba-tiba sepasang telinganya juga mendengar adanya dentuman keras yang berasal dari ara
Saat itu, Caraka Candra sedang memusatkan perhatiannya ke depan sana. Dan pemuda serba hitam itu sangat terkejut ketika melihat si kakek tua telah kalah di tangan tujuh orang yang menginginkan kematiannya. Tapi, dia jauh lebih terkejut ketika menyadari ada sebuah bayangan yang sedang melesat ke arahnya. Caraka ingin menghindar, tapi sayangnya dia terlambat! Bayangan yang dimaksud sudah tiba di depan matanya! Wutt!!! Sebatang tongkat tahu-tahu melayang dan mengincar batok kepalanya. Serangan itu datangnya sangat cepat. Siapa pun tidak ada yang sanggup membayangkannya. Seluruh tubuh Caraka bergetar. Nyawanya di ujung tanduk. Untunglah pada saat-saat yang menentukan itu, dia masih dapat mengingat keadaan dirinya. Dalam kekagetan, tubuhnya tiba-tiba melayang mundur sejauh enam langkah. Ancaman dari tongkat sirna saat itu juga. Dia pun selamat dari maut! "Siapa kau?" tanya si Tongkat Dua Jalan yang kini telah berdiri tepat di hadapannya. "Aku bukan siapa-siapa. Aku hanyalah orang y
Apakah kakek tua itu adalah seorang tokoh pendekar yang selama ini bersembunyi dan mengasingkan diri dari dunia luar? Ataukah ia adalah seorang Dewa yang turun dari langit sana? Tiada yang tahu akan jawaban dari semua pertanyaan tersebut. Yang pasti, ia adalah kakek tua yang bernasib malang. Bagaimana tidak? Ia menjadi korban keganasan tujuh orang manusia lainnya. Siapa pun yang melihat peristiwa tersebut, pasti akan merasa marah. Akan pula merasa kasihan karena melihat betapa kejamnya mereka menghajar orang tua itu. Ternyata apa yang dikatakan oleh orang-orang tua jaman dulu memang benar adanya. Orang tua jaman dahulu sering mengatakan bahwa manusia adalah makhluk hidup paling kejam yang terdapat di muka bumi ini. Sepertinya ungkapan tersebut tidak salah. Bahkan sepenuhnya benar. Di dunia ini, adakah binatang yang rela membunuh keluarga sendiri hanya demi sebuah ambisi? Di muka bumi, sudah tentu banyak manusia yang pernah melihat seorang maling menjebol jendela atau pintu rum
Tubuh Caraka Candra sudah tidak berdaya lagi. Ia tidak bisa bergerak sama sekali. Seakan-akan seluruh tubuhnya telah mati. Rasa sakit yang berasal dari tengkuknya semakin menjadi. Rasa sakit itu tidak hanya menyerang tubuh bagian luar, bahkan bagian dalamnya juga tidak terkecuali. Caraka Candra merasakan organ dalam tubuhnya panas. Panas seperti dibakar. Keringat panas dan dingin telah merembes keluar membasahi seluruh tubuhnya. "Kau pikir dirimu bisa bersembunyi dari kami?" Sebuah suara yang berat dan serak parau tiba-tiba terdengar dari arah belakangnya. Pemuda serba hitam tersebut mencoba melirik dengan ekor mata, tapi sayangnya usaha itu sia-sia. Setelah mendengar suara barusan, ia menyadari bahwa tengkuknya ternyata telah diremas oleh seseorang. Seseorang yang mempunyai kemampuan tinggi tentunya. "Apakah ... apakah kau adalah si Tongkat Dua Jalan?" tanyanya sedikit gugup. "Hemm, bagus. Ternyata kau masih ingat," suara yang sama seperti sebelumnya terdengar lagi. Bersama
Langkah yang secara tiba-tiba tersebut tentu saja juga membuat si Tongkat Dua Jalan kaget. Ia tidak mengira kalau pemuda serba hitam yang menjadi lawannya akan mengamb tindakan seperti itu. Akibatnya, serangan beruntun yang ia lancarkan menggunakan tongkat andalannya sendiri, menjadi mengenai udara kosong. Tetapi sebagai pendekar aliran sesat yang sudah mempunyai nama besar, tentu saja ia segera bertindak dengan sigap. Gaya serangannya berubah total. Yang tadinya berputar dan lebih mengincar tubuh bagian atas, sekarang justru menotok ke bawah. Ia mengincar seluruh tubuh Caraka Candra. Walaupun gaya serangannya berubah, tapi inti dari jurusnya tetap sama. Tetap cepat dan mematikan. Caraka berpikir bahwa langkah yang dia ambil ini merupakan jalan yang terbaik. Namun yang terjadi selanjutnya justru malah sebaliknya, posisinya makin tidak menguntungkan! Ia semakin berada di bawah angin. Setiap saat, ujung tongkat lawan bisa saja mengenai tubuhnya dengan telak. Wutt!!! Kaki pemuda
"Hemm, manusia mana yang sudah berani melakukan hal itu?" Rekannya yang lain ikut bertanya. Ia pun berjalan ke depan seraya diikuti oleh rekan-rekannya yang lain. Tujuh Singa Hutan sudah berdiri sejajar kembali. Mereka semua memandang ke tempat sekelilingnya. Orang-orang itu mencari sedang siapa tahu pelaku yang sudah berani ikut campur.Sayangnya, walaupun sudah cukup lama mencari, tapi hasilnya tetap nihil. Mereka tetap tidak berhasil menemukan pelakunya. Karena sudah tidak kuat menahan rasa marah, akhirnya si Tongkat Dua Jalan kembali mengambil tindakan. Ia menyerang Caraka Candra lagi dengan gerakan dan tenaga yang sama. Namun kejadian seperti sebelumnya kembali terjadi. Sebuah batu kerikil seukuran ibu jari telah menghantam tongkatnya dengan sangat keras. Saking kerasnya, sampai-sampai tongkat pusaka itu hampir terlepas dari genggaman tangannya. "Keparat! Manusia atau setan yang telah berani menggangguku?" Si Tongkat Dua Jalan merasa lebih marah lagi. Sebagai tokoh yang su