Home / Fantasi / Dewa Pedang Tanah Pasundan / Dendam yang Harus Dibalas

Share

Dendam yang Harus Dibalas

Author: Junot Senju
last update Last Updated: 2022-11-01 13:09:34

Lima anak buah Ranu Brata mengangguk secara bersamaan. Mereka langsung pergi lalu segera membakar Perguruan Naga Langit.

Begitu api berkobar, Ranu Brata lalu berjalan pergi dari perguruan itu. Langkahnya tenang namun pasti. Dia tahu, sebentar lagi Perguruan Naga Langit pasti akan rata bersama tanah.

Oleh karena itulah, dirinya tidak pernah menengok lagi ke belakang.

Sementara itu, Caraka Candra masih terlentang di atas tanah. Luka-luka di tubuhnya sudah mengering. Seperti juga darahnya. Pemuda itu masih berada dalam keadaan tidak sadar.

Entah berapa lama dirinya tidak sadarkan diri. Tetapi, secara tiba-tiba dirinya membuka mata ketika merasakan adanya hawa panas yang sangat menyengat kulit.

Caraka Candra sangat terkejut ketika dia mengetahui bahwa Perguruan Naga Langit ternyata sudah hancur lebur dan menyatu bersama tanah.

Kesedihan, kemarahan, semuanya bercampur menjadi satu.

Caraka Candra bangkit berdiri. Walaupun hal itu terasa sangat sulit, tapi setelah berusaha sekuat tenaga, toh pada akhirnya dia berhasil juga.

Dia berdiri tegak seperti sebatang tombak. Rasa sakit akibat luka dan rasa panas akibat kobaran api, sudah tidak dia rasakan lagi.

Yang dia rasakan saat ini hanyalah dendam yang membara. Selain dendam, rasanya tidak ada perasaan lain lagi. Bahkan perasaan sedih yang sebelumnya terasa, sekarang sudah hilang seluruhnya.

Lama, lama sekali Caraka Candra berdiri di tempat yang sudah menyatu dengan tanah itu.

Pemuda tampan tersebut tiba-tiba menggertak gigi. Dia mengepalkan kedua tangannya.

"Dendam ini harus aku balas. Bagaimanapun caranya!" gumam Caraka Candra sambil menahan kemarahan dalam hatinya.

Setelah berkata demikian, pemuda itu memutuskan untuk pergi dari sana. Entah ke mana arah tujuannya, sebab dia sendiri tidak mengetahui sama sekali.

"Perduli ke mana pun aku pergi. Yang penting, aku akan mengikuti langkah kakiku ini," gumamnya sambil mulai berjalan secara perlahan.

Caraka Candra terus melangkah.

Malam semakin larut. Rembulan pun makin condong ke arah barat. Udara dingin. Suasana sepi sunyi.

Langkah anak tunggal dari Ketua Perguruan Naga Langit itu tidak pernah berhenti. Dia memang tidak mau berhenti. Yang dia mau hanyalah melupakan segala kejadian yang baru saja dialami olehnya.

Caraka ingin melupakan kenangan itu. Dia mencoba pasrah dan mengakui bahwa semua yang terjadi itu sudah kehendak Sang Hyang Widhi.

Tetapi, semakin dia ingin melupakan, malah semakin terbayang pula kejadiannya.

Ketenaran, kewibawaan, kekayaan dan kebahagiaan, semuanya hilang lenyap begitu saja. Semuanya sirna dalam sekejap mata.

Kalau kau berada di posisinya, kira-kira bagaimana dan apa yang akan kau lakukan?

Peristiwa itu sebenarnya sudah lewat tujuh hari yang lalu. Tapi Caraka justru merasa bahwa peristiwa tersebut baru saja terjadi.

Hingga malam itu, di saat tengah malam dan huajn turun dengan lebatnya, Caraka masih saja terbayang peristiwa yang menimpa Perguruan Naga Langit milik mendiang ayahnya.

Gelegar!!! Duarr!!!

Suara guntur terdengar begitu keras. Kilat yang menyambar membuat malam gelap itu menjadi terang untuk sesaat.

Caraka Candra tiba-tiba menghentikan langkahnya. Bukan karena merasa lelah ataupun merasa putus asa dengan ujian yang menerpa hidupnya, melainkan karena dia melihat bahwa di depannya ada lima orang yang sedang melangsungkan pertarungan sengit.

Pemuda itu melihat bahwa lima orang tersebut sedang mengeroyok seorang kakek-kakek berusia sekitar delapan puluh lima tahunan.

Entah karena masalah apa mereka bertarung, namun yang pasti, Caraka mengetahui bahwa saat ini, si kakek tua sedang berada dalam keadaan terdesak hebat.

Untuk sesaat, Caraka Candra dibuat bingung. Walaupun dirinya tidak mengetahui siapakah sosok kakek tua itu sebenarnya, tapi dia mempunyai keinginan untuk menolongnya.

Namun, setelah diingat kembali, memangnya apa yang dapat dia lalukan sekarang?

Jangankan untuk menolong orang lain, bahkan untuk menolong diri sendiri saja, dia jelas tidak bisa.

Luka-luka akibat pertarungan tujuh hari yang lalu, belum sembuh sepenuhnya. Luka-luka itu masih suka menimbulkan rasa ngilu yang teramat sangat.

Jadi, apa yang harus dia lakukan sekarang?

Sementara itu, keadaan kakek tua tadi semakin terdesak. Lima orang yang menjadi lawannya ternyata benar-benar hebat. Kemampuan mereka sangat tinggi. Bahkan sepertinya, mereka merupakan pendekar kelas satu yang mempunyai ilmu-ilmu tingkat atas.

Kalau dilihat dari keadaan sekarang, sepertinya kurang dari lima belas jurus ke depan, maka si kakek tua bisa dipastikan bakal tewas di tangan lima orang lawannya.

Untunglah, sebelum hal itu terjadi, tiba-tiba dari samping kanan mendadak ada sebuah bayangan hitam yang melesat secepat kilat.

Wutt!!! Blarr!!!

Sinar kemerahan meluncur deras ke arena pertarungan. Disusul kemudian dengan terdengarnya suara ledakan yang cukup besar.

Lima orang tadi terjengkang ke belakang. Mereka tidak terluka. Mereka hanya kaget. Kaget dengan serangan jarak jauh yang baru saja dilancarkan oleh seseorang.

Siapa seseorang yang dimaksud itu?

Tentunya Caraka Candra!

Ya, seseorang itu memang dirinya.

Setelah tadi berpikir-pikir beberapa saat, pemuda itu akhirnya memilih untuk membantu orang tua yang terdesak tersebut.

Meskipun dia tahu dirinya mengalami luka yang cukup parah, walaupun Caraka sadar bahwa dia akan mati, tapi dia tetap tidak peduli. Pemuda itu lebih memilih dirinya yang mati, daripada harus orang tua itu yang mampus.

Entah kenapa dia begitu ingin untuk menolong orang tua tadi. Padahal kalau dipikir kembali, dirinya sendiri juga membutuhkan pertolongan.

Aneh bukan?

Namun begitulah kejadianya.

Di dunia ini, terkadang memang sering terjadi hal-hal aneh dan terdengar menggelikkan di telinga. Tapi walaupun demikian, toh hal-hal seperti itu tetap saja terjadi.

Dari dahulu sampai kini, hal-hal semacam itu terus saja terulang kembali.

"Siapa kau?" tanya salah seorang di antara mereka.

"Kalian tidak perlu tahu siapa aku. Sekarang, lebih baik pergi sebelum terlambat," jawan Caraka Candra dengan nada sedingin es.

"Hahaha … bocah ingusan sepertimu berani mengusir Lima Harimau Gunung? Kau pikir dirimu ini siapa?" tanya rekan di sisinya dengan lantang.

Caraka Candra terkejut ketika dia mengetahui siapa mereka. Meskipun baru pertama kali bertemu, tapi pemuda itu sudah pernah mendengar nama Lima Harimau Gunung.

Di dalam dunia persilatan, nama Lima Harimau Gunung rasanya sudah tidak asing lagi. Mereka adalah lima perampok ulung dan terkenal karena kemampuannya yang berbeda dari perampok pada umumnya.

Caraka pernah mendengar nama mereka dari cerita ayahnya dulu.

Sungguh tidak disangka, ternyata dia benar-benar bisa bertu dengannya.

"Oh, jadi kalian adalah Lima Harimau Gunung?" tanya Caraka seolah-olah ingin memastikan.

"Ya, apakah kau tidak tahu siapa kami?"

"Aku tahu,"

"Kalau sudah tahu, lalu kenapa kau mau mencampuri urusan kami?" tanyanya sambil menatap Caraka dengan tajam.

"Karena aku paling benci terhadap pengeroyokan,"

Suasana semakin menegangkan. Lima Harimau Gunung seperti sudah sangat kesal kepada Caraka Candra.

Sementara pemuda itu sendiri, diam-diam dia telah menyalurkan hawa murni dan tenaga dalam ke seluruh tubuhnya. Bagaimanapun juga, Caraka tahu bahwa sekarang, dia sedang berhadapan dengan orang-orang berilmu tinggi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Kematian si Kebo Ireng

    Dalam ruangan tersebut, saat ini tak kurang dari enam orang sudah terkapar. Di seluruh tubuhnya terdapat luka-luka. Walaupun nyawanya tidak sampai melayang, namun agaknya luka-luka uang mereka cerita cukup berat. Caraka Candra sengaja tidak membunuh orang-orang itu, sebab mereka sendiri tidak mampu berbuat banyak kepada dirinya. Setelah melihat makin banyak yang terkapar, anak buah Kebo Ireng yang masih menyerangnya terlihat mulai sedikit gentar. Serangan mereka berkurang. Tidak seganas seperti sebelumnya. Benak orang-orang itu diliputi oleh ketakutan. Apalagi setelah menyaksikan sendiri bagaimana kemampuan pemuda yang mereka keroyok. Kini, Caraka Candra sudah berdiri dengan tenang di tempat sebelumnya. Beberapa orang pengeroyok tadi tidak lagi menyerang. Sekarang mereka hanya berani mengepung sambil tetap mengangkat senjata saja. "Rupanya penampilanmu tidak sama dengan kemampuanmu," kata Kebo Ireng setelah dia berhasil menguasai diri. Tokoh sesat itu cukup terkejut setelah meli

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Naga Menari di Pusaran Badai

    Si Kebo Ireng mengerutkan kening. Dia cukup heran melihat sikap pemuda asing yang ada di hadapannya tersebut. Di satu sisi, dia pun tidak senang mendengar jawabannya barusan. Selama ini, Kebo Ireng adalah sosok yang sangat disegani dan dihormati. Apalagi di daerah kekuasaannya. Jangankan warga biasa, bahkan para pejabat daerah pun ikut menaruh hormat kepadanya. Maka dari itu, sangat lumrah apabila dia tidak suka melihat sikap Caraka Candra yang dianggapnya sombong. "Anak muda, apakah kau tahu dengan siapa dirimu berhadapan?" "Ya, aku tahu," Caraka Candra tetap menjawab dengan nada dan ekspresi wajah yang sama. "Saat ini, bukankah aku sedang berhadapan dengan si Kebo Ireng yang terkenal menjadi penguasa dan suka bertindak sewenang-wenang?" anak muda itu mengangkat wajah lalu memandang ke arahnya. Mendengar ucapan tersebut, semua orang yang ada di dalam ruangan itu langsung berubah sikap. Sebagian dari mereka hampir saja menyerbu Caraka Candra. Untung pada saat itu si Kebo Ireng su

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Kebo Ireng

    Matahari sudah berada di sebelah barat. Sebentar lagi akan tenggelam dibalik bukit-bukit hijau nun jauh di sana. Caraka Candra sudah berada di sebuah perkampungan di bawah kaki gunung. Anak muda itu sengaja tidak berjalan terburu-buru. Karena sekarang dia memang belum mempunyai tujuan ke mana harus pergi. Suasana di perkampungan itu terlihat tenteram. Para warga berlalu-lalang di jalan setapak. Ada yang baru pulang dari sawah ladang, ada pula yang sengaja berjalan-jalan saja. Di kanan kiri jalan, terlihat pula beberapa anak dusun yang sedang bermain riang bersama rekannya masing-masing sambil menikmati keindahan sore hari. Pemuda itu kemudian singgah ke sebuah warung makan. Ia segera memesan nasi liwet, kebetulan sejak kepergiannya tadi, dirinya belum lagi mengisi perut. Tidak perlu menunggu waktu lama, pesanan Caraka Candra sudah dihidangkan di atas meja sederhana. Ia memakannya dengan lahap sehingga baru sebentar saja nasi liwet itu sudah habis. Ketika dirinya henda

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Masalah di Masa Lalu

    "Jadi, apakah kau takut dia akan ikut mati bersamamu?" tanya pria yang satunya lagi. Orang ini sudah tua. Usianya tidak kurang dari lima puluh tahun. Dia mengenakan baju warna hitam, di pinggangnya terselip sebatang kapak besar yang terbuat dari baja. "Mati hidup itu sudah menjadi suratan takdir. Buat apa terlalu dikhawatirkan?" Pendekar Seribu Pedang berkata dengan tenang. Bahkan ia masih sempat menyantap singkong rebus lagi. Setelah habis dilahap, ia segera melanjutkan. "Masalah di antara kita sudah lewat belasan tahun yang lalu. Mengapa kalian tidak mau melupakannya?" "Hahaha ..." suara tawa itu terdengar menggema ke seluruh penjuru hutan. Daun-daun pohon berjatuhan seolah-olah terhembus angin kencang. "Begitu mudahnya kau berkata seperti itu," "Sampai kapan pun, arwah kematian Harimau Selatan tidak akan tenang jika kau masih hidup bebas di dunia ini," "Jadi, arwahnya baru akan tenang setelah aku mati?" "Ya, bisa dibilang demikian," tegas pria tersebut. "Baik. Kala

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Pedang Pembawa Maut

    "Kenapa? Kau mengkhawatirkan aku?" tanya Pendekar Seribu Pedang sambil melirik ke arah Caraka Candra. Orang tua itu tersenyum simpul. Ia kembali mengambil ubi rebus di atas wadah. Setelah ubi itu habis ditelan, ia melanjutkan lagi bicaranya. "Candra, aku ini sudah tua. Sudah bau tanah. Umurku bahkan mungkin tidak panjang lagi. Jadi, kau jangan terlalu mengkhawatirkan aku. Lagi pula, aku sudah terbiasa hidup sendiri," Semenjak mengundurkan diri dari dunia persilatan, Pendekar Seribu Pedang memang selalu hidup sendiri. Sebab seumur hidupnya dia memilih untuk tidak menikah. Entah alasan apa yang membuat dia memilih jalan tersebut. Mungkin karena dia takut melukai wanita lain yang mencintainya. Mungkin juga karena dia ingin menikmati kesendiriannya. Caraka Candra hanya diam. Hatinya bergejolak. Setelah lima tahun hidup bersama, akhirnya tiba juga mereka harus berpisah. Walaupun sebenarnya berat, tapi anak muda itu tetap harus turun gunung. Karena ini adalah perintah! Ucapan seoran

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Gunung Hejo

    Caraka Candra dan Pendekar Pedang Seribu tiba di kaki sebuah gunung ketika matahari hampir tenggelam. Orang tua itu berhenti sejenak sambil memandangi gunung tinggi yang berdiri di hadapannya. "Tidak disangka, ternyata aku harus kembali lagi ke tempat ini," gumamnya seorang diri sambil menatap ke arah gunung tersebut. Caraka Candra sebenarnya merasa penasaran akan ucapan gurunya, tapi dia tidak berani bertanya lebih jauh. Mungkin gunung ini penuh dengan kenangan, demikian ia berpikir. "Nah, muridku, ini adalah Gunung Hejo. Dulu, aku juga pernah mengasingkan diri di gunung ini selama beberapa tahun. Alasan aku pindah ke tempat lain adalah karena pada suatu hari, tiba-tiba seorang musuh di masa lalu berhasil menemukan persembunyianku. Karena aku tidak ingin membunuh lagi, maka terpaksa aku pun pindah," "Sebab kalau terus di sini, bukan tidak mungkin nantinya akan ada musuh-musuh lain yang mendatangiku," Pendekar Seribu Pedang memberikan penjelasan singkat kepada Caraka Candra. Pem

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Pendekar Seribu Pedang

    "Kau harus selalu patuh kepada setiap perintah yang aku berikan. Jangan pernah membantah walaupun itu hanya satu kali," kata orang tua serba putih itu sungguh-sungguh. "Baik, guru," jawab Caraka Candra mengubah sebutannya. "Murid siap mentaati setiap patah kata yang guru ucapkan," Hal itu memang wajar. Malah sudah sepatutnya demikian. Sebagai murid, siapa pun itu, tentu harus selalu menuruti ucapan gurunya. Selama itu demi kebaikan si murid, kasarnya walaupun harus menyeberangi lautan golok, maka murid tersebut harus tetap menuruti perintahnya. "Bagus, aku suka melihat anak muda yang dipenuhi semangat seperti dirimu," ucapnya sambil memandangi Caraka Candra. "Semoga saja kau tidak pernah menyesal menjadi muridku. Sebab aku akan memberikan latihan yang mungkin belum pernah kau bayangkan sebelumnya," "Aku siap menerimanya, guru," Caraka Candra sudah bertekad bulat. Sekeras apapun, sesulit apapun, asalkan dia bisa menjadi pendekar besar yang mampu membela kebenaran, maka dia siap m

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Tekad Caraka Candra

    Selama beberapa tahun belakangan, rasanya baru kali ini dia mengalami hal seperti itu lagi. Perlahan-lahan Dewa Api mulai bangkit berdiri. Tetapi kali ini tidak langsung menyerang. Dia lebih dulu menyalurkan hawa murni ke seluruh tubuh dan menyembuhkan rasa sakit yang dideritanya saat ini. 'Siapa tua bangka itu? Mengapa kemampuan yang dia miliki begitu tinggi?' Batin Dewa Api bertanya-tanya. Dia sudah mengembara puluhan tahun, empat penjuru sudah dia datangi. Dia pasti kenal setiap tokoh dunia persilatan dewasa ini. Kalau pun tidak, minimal dia pernah mendengar namanya. Tetapi, walaupun sudah mengingat-ingat beberapa saat, dia tetap tidak tahu dan tidak mengenal siapa orang tua serba putih yang saat ini berdiri di hadapannya. 'Perduli setan siapa tua bangka itu,' makinya sambil meludah ke tanah. Sementara itu, sampai saat ini, orang tua serba putih tadi masih tetap berdiri di tempatnya semula. Walaupun dirinya tahu bahwa Dewa Api sudah mengalami luka yang cukup parah, tapi ia t

  • Dewa Pedang Tanah Pasundan   Dewa Api

    Suara tawa itu semakin lama terdengar semakin dekat. Caraka Candra bisa mendengarnya dengan jelas sekali. Tiba-tiba jantungnya berdebar keras. Walaupun belum mengetahui siapa pemilik suara tersebut, tapi dia tahu bahwa orang itu pasti salah satu tokoh dalam dunia persilatan. Seiring berjalannya waktu, suara tawa tersebut ternyata semakin mendekat. Kini si pemilik suara sudah berada di depan goa di mana Caranya Candra sedang bersemedhi.Orang itu ternyata mempunyai tubuh yang tinggi kurus. Usianya paling baru sekitar lima puluhan tahun. Ia mengenakan pakaian serba merah. Wajahnya menyeramkan. Sepasang matanya mencorong tajam. Hidungnya mirip paruh burung dan ada bekas luka di bagian dahinya. Orang itu juga mempunyai kulit hitam kemerahan dengan rambut berwarna merah secara keseluruhan. "Aku tahu kau ada di dalam sana. Keluarlah bocah, serahkan buntalan yang kau bawa. Dengan demikian, mungkin saja aku bisa mengampuni selembar nyawamu yang tidak berguna itu," kata orang asing itu. Su

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status