Share

Hampa

Pagi menyeruak di lembah kaki gunung Sumbing. Simponi kembali menjalar dengan gesekan dedaunan alam. Rangkak kaki telah tertuntun mendaki tanjakan ladang. Atau mereka yang berbondong-bondong memakai seragam pendidikan untuk masa depan. Menatih jejak menuju sekolahan. Ada juga yang berlari mengejar logam ke pasar atau pun pusat pertokoan. Bahan dagangan ditenteng, kertas rupiah dijulurkan, sementara keringat bercucuran.

 Waktu itu Reihan telah siap-siap menggas mobilnya ke Yogyakarta. Jam kuliahnya pukul sembilan esok. Perjalanan hanya membutuhkan waktu dua jam, kalau dia menggas cepat layaknya pembalap, terkadang juga hanya satu jam lewat sedikit. Nyonya Finda membereskan pekerjaan rumah. Menyapu, masak, mencuci piring, dan lain sebagainya. Pagi itu mereka berdua dipersibuk dengan pekerjaan masing-masing, hingga jeritan-jeritan melengking setiap pagi, untuk membangunkan Dewa lenyap seketika. Tak digubris memori hari lain. Seolah kepergian Dewa adalah suatu keberuntungan. Ketika Dewa di rumah, Nyonya Finda selalu dikesalkan untuk membangunkan Dewa yang sulitnya minta ampun. 

 Shubuh telah menggema. Jarum jam terus berputar. Dengkuran Dewa pun tak henti berkumandang. Mentari menyingsingkan lenteranya menembus celah jendela-jendela kamar. Mencoba mengusik ketentraman mimpi Dewa. Sayang usaha alam tetap tak membuahkan hasil. Dengan emosi yang menggebu Nyonya Finda menggedor-gedor pintu kamar Dewa. 

 "Dewaaaaa!!! Bangun! Sekolah!" jerit beliau.

 Tak ada jawaban dari dalam.

 "Dewaaa.... cepetan bangun ibu sudah mau berangkat ke Semarang,"

 Nyonya Finda ingin mengontrol usaha butiknya di sana. Biasanya setiap hari Jumat dan Sabtu. 

 "Astaga! Dewaaaaa!!! Banguuunnnn!" teriaknya sambil mengeraskan ketukan pintunya. 

 Dewa yang masih berbalut selimut tebal pun menguap lebar. Pagi-pagi sudah ribut, berisik. Keluhnya sambil menyampar sendal jepit di lantainya. Usai bangun dia langsung beranjak. Melipat selimut dan merapikan sepray.

 "Dewa, bangun!" 

 Dewa tak menjawab, dia melirik jam dinding. Waktu menunjukkan pukul setengah tujuh pagi, oh tidak sebentar lagi dia akan terlambat masuk sekolah. Dari pada terlambat kena hukuman, lebih baik tidak sekolah saja. Dia mencari akal cerdik untuk mengelabuhi Nyonya Finda agar mau membuatkannya surat izin. Sejenak matanya tertuju ke arah dispenser yang terletak di atas meja, samping kanan pintu. Dia menyalakan dispensernya. Lalu melarutkan segelas air hangat. Gelas itu kemudian ditempelkan ke jidad dan pipinya, niatnya biar badannya terkesan panas. 

 "Dewaaaaaaaa!!!!!" teriakan Nyonya Finda lebih keras dari sebelumnya. Dewa pun terperanjat kaget. Nyaris tumpah air panas di dalam gelas yang digenggamnya . 

 "Kayaknya Ibu kalau disuruh lomba berteriak tingkat dunia, dia bakal jadi juaranya," batinnya dalam hati, seraya menempelkan tubuh gelas itu ke pipinya lagi. Usainya tangan, perut, dan badannya. Sejenak badannya sedikit terasa panas dan menjinggat-jinggat berusaha menghindari sentuhan dengan gelas tersebut. Tapi... harus dia lakukan atau tidak dia akan dihajar hukuman oleh Pak Gilang yang menyeramkan. 

 "Dewa!" Nyonya Finda nampaknya sudah lelah berteriak. Pita suara tersedak lemah. Walaupun begitu gedorannya tetap lantang, hingga mampu membuat gendang telinga Dewa jebol.

 "Banguuunnn! Sudah pukul tujuh," 

 "Dewa juga tahu kali," gumamnya lirih sambil cengar-cengir. Dia mematikan dispensernya, lalu meletakkan gelas itu di atas meja, tepatnya di depan moncong krans dispenser. Dia sudah siap dengan aktingnya. 

 Perlahan, namun pasti diputar kenop pintu usai memutar gagang kunci. Dewa memasang wajah lesu, dengan berpura-pura batuk.

 "Uhuk...uhuk... Dewa pusing, Bu." Keluh Dewa. 

 Nyonya Finda menggeleng-gelengkan kepalanya. Meletakkan ke dua tangannya di pinggang dengan tatapan muram. 

 "Pusing? Atau alasan tidak mau sekolah? Hah?" 

 "Uhuk...uhuk... Dewa pusing banget, Bu. Dewa demam," 

 "Ah masa bodo! Cepetan mandi lalu sekolaaaahhhh!!!" bentak Nyonya Finda yang sudah terlanjur kesal.

 Nyonya Finda lalu menarik kaos abu-abu Dewa bagian lehernya. Dengan kasar beliau menuntun Dewa ke kamar mandi. Dewa berpura-pura lemas. Dia seolah melangkah sempoyongan. Wajahnya ditambah lesu. 

 "Uhuk... uhuk... uhuk... uhuk...." Dewa terus berakting. Kali ini hati Nyonya Finda terenyuh. Beliau iba melihat wajah putranya yang lesu. Sejenak ditempelkan tangan beliau ke jidad Dewa. Jantung Dewa berdentum kencang. Napasnya seolah akan berhenti berembus. Kalau panasnya sampai sudah hilang, Nyonya Finda bisa tahu kalau dia berbohong. So... dia akan digampar karena telah menipu. 

 "Semoga panas... semoga panas... " batin Dewa.

 "Badan kamu panas, yasudah kalau begitu kamu istirahat saja di rumah. Ibu mau ke Semarang. Pulangnya paling nanti sore." 

 Nyonya Finda lalu menuntun Dewa masuk ke kamarnya lagi. Beliau membantu merebahkan tubuh Dewa serta menyelimutinya dengan ketulusan. 

 "Makanya jadi anak itu jangan nakal. Kalau begini siapa yang repot?" gerutu beliau.

 "Uhuk... uhuk..." Dewa malah semakin bertingkah. "Uhuk... uhuk... uhuk..."

 "Yasudah, kamu istirahat saja, nanti ibu buatkan surat izin." Kata Nyonya Finda perhatian. 

 Dalam hati Dewa menjerit, "horeeeeee..." 

 Sejahat-jahatnya seorang ibu. Tak akan pernah rela dia menelantarkan buah hatinya yang sembilan bulan di kandungnya. Amarah dan emosi dia adalah bukti kasih sayang dan kecintaan. Mau itu penjahat kakap pun, nurani keibuan akan tetap ada. Dia akan berusaha sekeras mungkin untuk memberikan hal yang terbaik untuk anaknya. 

 Tidak ada ibu yang pelit terhadap sang buah hati. Mereka sesungguhnya lebih pandai mengolah uang untuk masa depan putra-putrinya. Tak sedikit seorang ibu yang mengorbankan segala-galanya demi pendidikan anaknya. Menjual perhiasannya, benda berharganya, tenaganya, bahkan ada pula yang sampai kehormatannya demi mencukupi kebutuhan sang anak. Watak keras yang terlahir dari sosok ibu, hanya karena mereka kelelahan. Dan asal Anda tahu, di balik kekasaran mereka tak jarang ibu-ibu yang berpeluh di balik tirai ceria. 'Kenapa aku menampar anakku, kenapa aku berkata kasar kepada anakku?' Pahami realita dan kau akan menuai arti kehidupan yang selayaknya. 

 "Ibu, maafkan Dewa...!" Dewa terharu dengan sikap orangtuanya.  

 "Kelak Dewa akan menjadi bintang untuk Ibu," 

 Dewa yang konyol dan pemalas itu, menyesali perbuatannya. Tak disangka ibunya yang dianggap menyebalkan bisa luluh lantah seperti itu. 

 "Ah... tapi tetap saja kalau Ibu masih pelit, aku sebal," mendadak rasa harunya lenyap. 

 Setelah pekerjaan rumah Nyonya Finda selesai semua. Beliau lalu mandi dan merias diri. Kebetulan kamar beliau bersebelahan dengan kamar Dewa. Milik Dewa ada di pojok sendiri. Di tengahnya kamar beliau, sementara sampingnya lagi adalah kamar Reihan, dan di ujung kanan kamar Reihan adalah kamar mandi khusus Dewa. Ketika akan turun menjejaki tangga, Nyonya Finda melirik ke pintu kamar Dewa. Sunyi, hampa, tiada jeritan yang terlontar seperti dahulu. Beliau lalu membalik tubuhnya mendekati pintu itu. 

 "Dewa, kau memang anak menyebalkan, tapi di manakah kamu sekarang? Sekesal-kesalnya ibu, ibu juga berharap kebaikan untukmu... maafkan ibu yang selalu memarahimu karena kemalasanmu. Ibu hanya ingin kau menjadi anak rajin layaknya kakakmu yang pandai dan bernilai tinggi," curhatnya kepada tubuh pintu cokelat itu. Beliau lalu membuka pintunya perlahan. Mengintip isi ruangan tersebut.

 "Ruangan yang tua," gumamnya sembari melempar pandang ke poster-poster anak jalanan. Entah setan apa yang mendadak membuat amarahnya mendidih. Poster itu menunjukkan kalau Dewa tak berpendidikan. Pantas saja kalau selama ini hidupnya awut-awutan dan pandai bermalas-malasan. 

 "Dewaaaa... ibu kecewa!" beliau lalu membanting pintu kamar dengan kasar. Langkah kaki dituntun cepat menuruni tangga. Rasa kecewanya kepada Dewa amatlah dalam. Memalukan sekali, selama ini beliau sudah bekerja keras membanting tulang demi kelayakan hidup seorang anak. Eh... apa hasilnya? Dewa anak terakhirnya malah bergaul salah kaprah. Pokoknya jika Dewa pulang, jangan harap beliau mau memberi ampun. Didikannya akan lebih diperkeras. Beliau tak akan pernah rela kalau Dewa bermain dengan anak jalanan lagi. 

      °°°°°°

 Suasana sekolah SMA Satu Magelang kembali ramai seperti semula. Wajah siswa saling memancarkan keceriaan. Ada yang mengerjakan piket pagi untuk mengusir debu-debu. Ada pula, yang baru saja datang menenteng tas yang beratnya tak ada satu kilogram. Koridor sekolah bising akan suara pijakan kaki dan obrolan pagi. 

 Chika yang telah duduk di atas bangku kayu panjang, mematung di samping mulut pintu kelasnya. Ya, di sana ada bangku yang sering digunakan untuk istirahat anak-anak. Kepala Chika celingukan ke sana kemari. Dia sedang mencari sosok menyebalkan yang tak kunjung datang. 

 Setengah jam lebih Chika menunggu. Sayang yang ditunggu tak mengerti jua. Chika akhirnya masuk ke dalam kelas. Dia duduk di samping bangku Dendi dengan wajah yang ditekuk. 

 "Apa mungkin Dewa diculik?" desah Chika pilu.

 "Hahaha... kamu kangen ya sama dia? Baru juga sehari nggak ada kabar sudah murung begitu," ledek Dendi seraya menjawil dagu Chika.

 "Ih nyebelin!" geruru Chika kesal. "Bukan begitu juga kali, tapi kalau nggak ada Dewa aku nanti gangguin siapa?" keluh Chika dengan tatapan murung. Mereka lalu masuk ke dalam kelas. Obrolan masih melayang dalam perjalanan hingga mereka duduk di kursi. 

 "Iya juga ya, anak itu kemana sih? Perasaan kalau dia pergi kita selalu dikasih kabar. Kok sekarang ngilang ketelan Bumi gitu aja." Seloroh Dendi. 

 "Sahabat kita yang satu itu memang menyebalkan," celoteh Chika.

 "Biasanya kalau pagi aku sudah jahilin dia, tapi serasa sunyi juga kalau dia nggak berangkat sekolah," sahut Dendi.

 "Itulah uniknya dia, kalau ada nyebelin kalau nggak ada bikin sepi." Chika iba.

 "Bagaimana kalau nanti sore kita ke alun-alun cari dia," usul Dendi.

 "Emmm... ide bagus, tapi apa akan berhasil?" Chika meragukan saran Dendi.

 "Kau ini, belum dicoba sudah mau menyerah, bagaimana pun juga kita harus tahu keberadaan Dewa, selama ini kan kita selalu bersama, canda, duka tak pernah berpisah." 

 Gedubrak. Seorang siswi menggebrak meja tanpa sopan. Spontan Dendi dan Chika pun terlonjak kaget. Mata mereka menyala kucing. Napas Chika tersengal-sengal karena marah. Emosinya telah mendidih di ubun-ubun. Sementara rahang Dendi mengatup dengan keras, giginya berbunyi saling bergemeretak. Reflek Chika berdiri kasar memonyongkan bibirnya.

 "Woi, jangan suka bikin jantungan orang kenapa sih? Datang tak diundang, main nyosor saja kayak jalangkung!" jerit Chika kesal.

 "Iya tuh, bikin jantung gue mau copot, nggak tahu lagi ngobrol penting juga!" sahut Dendi yang masih duduk. 

 Gadis berambut panjang sepunggung yang dipotong sasak dan disemir cokelat kemerah-merahan dengan poni miring ke kanan itu hanya meringis tanpa dosa. Dia adalah Rivani, gadis bermata indah dengan lentik kelopak matanya yang mengombak ke atas. Kulit putih bersih, dengan senyuman manis. Seragam OSIS abu-abu putih membalut tubuhnya. Jam tangan putih melingkar di pergelangan tangan kirinya. Kali itu dia berdiri melipat tangan di depan dada.

 "Hehehe... kirain kalian lagi nunggu kedatanganku," seloroh Rivani asal ceplos.

 "Kalau kamu artis iya, sayangnya tidak," desah Chika kesal.

 Rivani adalah sekretaris OSIS, dia termasuk sahabat Dewa juga. Namun keakrabannya kalah dibanding Dendi dan Chika. 

 "Eh teman kalian si raja ngelamun itu mana?" Rivani tolah toleh sambil mengurai lipatan tangan di dadanya.

 "Nggak tahu," cetus Dendi.

 "Dia berangkat nggak?" tanya Rivani panik.

 "Kalau dia ada di sini, dia pasti berangkat, kalau tidak berarti dia tidak berangkat! Dodooolll!" seru Chika sambil menonyong kepala Rivani.

 "Nggak usa segitunya juga kali, woles aja!" Rivani protes. "Kok Dewa nggak datang, memangnya dia kenapa?" 

 "Tanya saja sama nyokap and bokapnya," seloroh Chika kesal. 

 "Ih sewot banget sih," ucap Rivani

 "Dia sewot karena cemburu kamu perhatian sama Dewa," ledek Dendi sambil cengengesan. 

 Chika menarik napas panjangnya. Dia menatap lekat-lekat retina Dendi. Dadanya nampak naik turun karena kesal. Sejenak dia memelototi Dendi.

 "Bilang apa kamu barusan? Hah?" geretak Chika. 

 "Hahaha... masak gini aja cemburu sih Chik... ada-ada aja... kalau kamu naksir sama Dewa, kasihan Edvin tuh!" menunjuk Edvin yang baru saja datang. Mendengar suaranya disebut. Edvin pun menoleh ke meja Dendi. Tempat duduk Edvin dan Dendi depan belakang, hanya terselip satu meja miliknya Yazan. 

 "Ada apa?" sambung Edvin dengan degupan jantung tak keruan.

 "Chika naksir sama kamu," ungkap Dendi asal ceplos.

 Edvin hanya membalas kalimat Dendi dengan senyuman manis. Rivani cengar-cengir, dia lalu beranjak ke tempat duduknya yang ada di belakang sendiri. Chika hanya melirik Edvin dengan tatapan muram, kemudian menjitak kepala Dendi.

 "Mulut jelek, ngomong nyerocos sana nyerocos sini, ngeledekin Dewalah, ngeledekin Edvinlah! Cowok kok kayak cewek," gerutunya kesal.

 Chika kemudian geser ke tempat duduknya yang ada di samping Dendi, tepatnya di dekat jendela. Dia duduk paling depan, berhadapan dengan meja guru. 

 "Tapi kamu suka kan?" Dendi lebih bersemangat meledek Chika.

 "Suka dari Hongkong!" jeritnya kesal.

 "O... kirain dari hati, wah wah... lebih hebat tuh, kalau suka dari Hongkong, jauh amat, kalau dari hati kan cuma dekat... berarti kamu sungguh-sungguh suka nih! Dibela-belain dari Hongkong," 

 "Dendiiiiii!!!!" jerit Chika kesal. 

 Edvin memandang raut Chika dengan wajah berbinar. Semakin hari tingkah anak itu bertambah menggemaskan. Sudah semenjak kelas satu dia mengendapkan rasa di hati Chika, tapi dia tidak berani mengungkapkannya kepada gadis itu. Terasa cangung dan bingung kalau sudah berhadapan dengan orang yang disuka. Apalagi perasaan itu telah mengabad. Edvin hanya berharap semoga suatu saat nanti dia berani mengungkapkan perasaannya pada waktu yang tepat. Biarlah kini pandangannya yang menuangkan makna sukma.

 Sekilas mata mereka saling beradu pandang. Tidak sengaja Chika menoleh ke belakang Dendi, usai melengkingkan suaranya. Mata indah itu tentunya membuat detak jantung Edvin mengamuk hebat. Napasnya juga seolah tercekat. Namun dia tetap berusaha menutupi perubahan perasaannya, yang tadinya biasa menjadi luar biasa. Edvin membalas tatapan Chika dengan senyuman manis. Sayang Chika hanya meresponnya acuh, dia lalu duduk menunggu guru masuk.

 Beberapa menit kemudian, guru bahasa Indonesia pagi itu, masuk ke dalam ruangkelas yang terdiri dari tigapuluh meja dan tigapuluh kursi dengan duapuluh sembilan nyawa. Yah ruang IPS A, hanya dipenuhi tigapuluh siswa, sementara yang lain berada di kelas berbeda. Setiap ruangan terdiri dari tigapuluh sampai empatpuluh siswa. Kelas XII IPS, terbagi menjadi lima kelas, dari IPS A, sampai IPS F.  

 Ruang yang bermarmer putih bersih itu menjadi sunyi dan tenang. Semua mulut terkunci, tak ada satu suara pun yang terngiang, kecuali detak detik jantung waktu, yang menempel dinding Selatan. Dinding yang berlapis cat cream itu tertempeli peta dunia, gambar muka pemegang kekuasaan, satu pahlawan pendidikan, dan tulisan, 'Orang yang berhenti belajar, adalah pemilik masalalu, sementara orang yang terus belajar adalah pemilik masa depan.' Letter sewarna darah itu berbaris melengkung di belakang sendiri, dengan huruf Comic San berukuran duapuluh lima centimeter. 

 Sebelum pelajaran bermula, Bu Zifa mengabsen ke seluruhan siswa. Dari abjad pertama sampai terakhir. 

 "Anang Febriansyah," 

 "Hadir,"

 "Afina Zuhara!" 

 "Hadir,"

 "Bambang Kusuma,"

 "Hadir,"

 Absen berjalan lancar sampai abjad 'C' 

 "Chika maura Aurina," 

 "Hadir,"

 Namun mendadak terhenti di abjad 'D'

 "Dewa Pratama!" 

 Tidak ada jawaban. Siswa yang belum tahu kalau Dewa tidak berangkat, menyongsong lensa ke bangku Dewa yang ada di belakang bangku Chika. Setiap nyawa menggumam, kemana anak pemalas itu?

 Bu Zifa mengulangi panggilannya, sebelum akhirnya beliau melirik bangku Dewa.

 "Dewa Pratama!" 

 Beliau lalu menggelengkan kepala. Selalu saja Dewa yang alpa, pasti anak itu tidak masuk tanpa adanya keterangan. Beliau pun menoreh huruf 'A' di jurnal absennya dengan tinta darah. Usainya beliau melanjutkan pekerjaannya, mengabsen siswa yang lain. Kemudian meneruskan materi pelajaran minggu lalu.

 Biasanya Chika akan tolah-toleh ke belakang kalau Dewa masuk sekolah. Tapi waktu itu tidak, hati Chika serasa hampa tanpa adanya lelaki yang dianggapnya menyebalkan. Walau itu bukan yang pertama kalinya Dewa tidak masuk kelas, tetap saja hati Chika gusar dan tidak tenang.

 "Di manakah dia?" 

 Jauh di belakang sana, Rivani terus memandang bangku Dewa dengan tatapan kosong. Entah apa sebabnya, kenapa pula dia begitu kecewa melihat bangku itu tak terduduki. Apa jangan-jangan Rivani memendam rasa yang disebut dengan cinta? Dia pun bimbang. Sejelasnya dia hanya tahu, kalau Dewa tampan dan baik hati. Walau dia sendiri belum pernah dibaiki olehnya. 

 Rivani duduk di pojokan kantin dekat dengan kasir sebelah Barat. Lensanya tak henti-hentinya mematri paras Dewa yang tengah makan semangkok bakso beserta kawan-kawannya Chika, Dendi, dan Yazan. Dari kejauhan dengan jarak lima meja makan itu, dia tersenyum-senyum sendiri sembari memutar-mutar sedotan minuman jus jeruknya yang telah dipesan sedari tadi. Menurutnya Dewa nampak lucu kalau sedang melahap bakso seperti itu, seperti anak kecil saja. Lihat! Mulutnya belepotan, di dagunya mengalir kuah bakso. Ah, sungguh ceroboh! Tapi Rivani menyukai hal itu. Dia bahkan berpindah tempat duduk, sakedar untuk mendekatkan laju pandang pupilnya. Kali ini hanya terhalang tiga meja makan. Dia juga tak lupa ikut membawa segelas minumannya, di sana dia berakting pura-pura sms-n, dengan sesekali melirik wajah Dewa. Jarak sekarang tentunya tidak dikata jauh, dan itu berarti Rivani bisa mendengarkan obrolan mereka.

 "Dewa, kenapa kamu tidak masuk sekolah kemarin? Hari Rabu," Dendi mengawali pembicaraan. 

 Dewa menyedot minuman mineral waternya yang dingin lalu menghentikan kunyahannya. 

 "Kemarin aku jalan-jalan keliling kota Yogyakarta,"

 "Cuma gitu doang, dibela-belain mbolos sekolah?" sambung Chika dengan wajah sedikit muram. Sementara Yazan masih sibuk dengan kuah baksonya. Mie dan bola baksonya sudah ludes, tinggal kuahnya saja yang masih diembat oleh Yazan! Oh itu anak lapar atau doyan ya?

 "Entahlah, aku malas sekali masuk sekolah! Aku mencintai dunia luar," desah Dewa sambil mengelap dagunya dengan tisu.

 "Memangnya apa yang kamu lakukan di sana, terus kamu berangkatnya pakai apa?Jalan kaki atau naik becak, atau malah jangan-jangan kamu nyepeda lagi sampai Yogyakarta, hahahaha," ledek Dendi.

 "Sialan lo! Lo pikir gue nggak punya duit buat naik bus begitu?" 

 "Lo kan memang seperti itu, setiap hari sekolah naik sepeda, dibela-belain ngobel dari gunung mpe kota, kali aja ke Jogja juga gitu," sambung Yazan, yang telah mengores bersih kuah baksonya. 

 Selama ini tidak ada yang tahu kalau Dewa kaya raya, kecuali Chika dan Dendi. Semua siswa di sana menganggap Dewa adalah orang biasa dan sederhana. Pernah Dewa diejek orang miskin dan kampungan, Chika ingin membela dan mengatakan yang sebenarnya, namun mendadak mulut Chika dibungkam olehnya. Menurutnya tak ada guna menyombongkan kekayaan, toh hartanya juga bukan jerih payahnya sendiri. Melainkan hasil keringat Nyonya Finda, wanita yang mengandungnya sembilan bulan. 

 "Enak aja! Sepedanya aku titipin di terminal Magelang, trus ke Jogjanya aku naik bus, sampai terminal Jombor, dari sana aku naik trans Jogja, keliling kota pendidikan. Di sana keren banget loh! Banyak pedagang Gudeg di pinggir jalan, banyak burjoan khas Sunda, banyak pengamen-pengamen keliling Marlioboro, alun-alun Selatan, alun-alun Utara, bahkan menakjubkan lagi banyak pengamen unik di sebagian perempatan yang menggunakan alat musik angklung, dan...." 

 "Cukuuuupppp!!!! Apa nggak ada kisah menarik dari mbolosmu kemarin?" potong Chika. "Masak yang diceritain cuma begituan, sama sekali tidak MENARIK!" katanya sambil meninggikan suaranya pada kata 'menarik'.

 "Itu ma, di Magelang juga banyak, dodol!" Dendi menonyong kepala Dewa. 

 "Kayaknya teman kita yang satu ini, pengen jadi anak jalanan deh!" sahut Yazan dengan nada menghina. Dia lalu tertawa lebar.

 Rivani mengerutkan keningnya. Sejenak dia menggeleng-gelengkan kepalanya. Ada-ada saja anak mbolos cuma lihat hal-hal begituan, kenapa pula nggak ngajak main aku ke sana. Khayalnya, lalu menatap paras Dewa. 

 "Aduh Dewa... Dewa... kenapa sih kamu tuh selalu kepo banget dengan kehidupan anak-anak jalanan?" tanya Chika.

 "Kasihan mereka, hatiku sakit melihat mereka menderita seperti itu. Aku ingin mereka juga mendapatkan kehidupan layak seperti kita, belajar di sekolah, tidur di rumah, makan mewah, tidak dari hasil mengemis atau pun dari tong sampah. Aku nggak tega melihat mereka seperti itu!" ungkap Dewa dengan nada pilu. 

 Sejenak Chika terdiam. 

 "Jadi presiden saja sono!" gerutu Dendi. 

 "Hahahaha... presiden sekarang saja belum becus nanganin mereka apalagi kamu," sambung Yazan merendahkan.

 Jadi hanya motif itu yang membuat Dewa lari ke Yogyakarta mbolos sekolah? Oh sepele sekali. Tapi jiwanya sungguh mulia. Rasa iba itu terpaut jelas di wajahnya. Dewa mendadak lesu dan sedih. Rivani pun semakin kagum. Ketakjuban itu membuat asmaranya tumbuh subur dalam dada. 

 "Kau memang baik, Dewa." Puji Rivani di dalam hati. 

 "Aku nggak pernah bercita-cita jadi presiden! Aku hanya ingin membantu mereka yang kesulitan!" rajuk Dewa.

 "Songong lo," Dendi menonyong kepala Dewa lagi. "Mana bisa kamu bantu mereka, ngurusi dirimu saja belum becus," ledeknya.

 "Yah, apalah guna niat kalau tak ada usaha," Chika akhirnya mengeluarkan suara. 

 "Bagaimana kalau kita kumpulkan dana dari uang siswa sesekolahan ini, untuk membantu mereka," usul Dewa dengan wajah ceria yang kaya akan harapan. Dia tak marah akibat tonyongan Dendi dari tadi. Menurutnya itu sudah biasa. 

 "Ribet ah! Mereka biar menjadi urusan pemerintah! Kita tak usah ikut campur tangan, buat saku saja mepet, apalagi nyisihin buat mereka. Kecuali kita semua dapat saku dari pemerintah, hehehehe... aku baru mau nyumbang," seloroh Yazan sambil mengacak rambutnya sendiri. Matanya menyipit karena ringisan mulutnya. 

 "Bener tuh kata Yazan." Chika dan Dendi ikut menguatkan kalimat Yazan.

 "Aku mau nyumbang kalau sudah jadi gubernur!" desah Chika.

 "Gubernur sekarang saja jarang ada yang nyumbang, apalagi kalau kamu yang jadi gubernur! Paling-paling niat doang, sementara korupsi iya!" ledek Dendi.

 "Dendiiiiiii...." Chika berdiri lalu memukul meja makan. Spontan minuman yang masih berada di dalam gelas mereka muncrat ke taplak meja coklat itu. 

 "Kalau aku jadi gubernur aku nggak mungkin korupsi, aku bakal bantu anak-anak jalanan! Kemiskinan bakal aku bunuh!" katanya dengan suara lantang.

 "Lulus SMA saja belum, boro-boro mau mikirin jadi gubernur! Mikir nilai matematika biar dapat lima saja sulit apalagi mikirin anak jalanan!" cerocos Yazan sambil berdiri, siap-siap beranjak pergi.

 "Perut atau muka? Hah?" Chika kesal dan menunjukkan kepalan tangannya ke muka Yazan. 

 "Kabuuuurrrr!" teriak Yazan lalu lari terbirit-birit. Chika pun mengejar langkah Yazan, dia kesal karena dilecehkan. Yah...Chika memang konyol! Begitu saja dianggap serius. Masak amarah benar-benar mendidih. Chika... Chika. 

 Dendi masih setia di tempat duduk bersama Dewa. Namun ingatannya tertuju kepada lembaran rupiah Chika dan Yazan yang belum dibayar. Oh Tuhan, bakal ketiban tahi cicak. Gerutunya di dalam hati. Mendadak dia mendapatkan ide jitu yang mematikan. 

 "Dewa! Aku ke kamar mandi dulu ya, kebelet!" tanpa menunggu jawaban dari Dewa dia pun langsung lari keluar.

 "Woi tunggu! Bakso sama minumannya belum dibayaaarrr!" 

 Sayangnya Dendi telah lenyap. Dewa pun hanya bisa mendengus kesal. Dia bangkit lalu melangkah menuju kasir. Disodorkan uang limapuluhan yang baru saja diambilnya dari kantong sakunya, kepada Bu Siti, pemilik kantin tersebut.

 Rivani yang sedari tadi mendengarkan ocehan mereka itu, terkekeh kecil. Lucu sekali tingkah keempat sahabat itu. Rasanya ingin bergabung dengan mereka. Tapi apakah Dewa mengizinkan? Rivani juga salut kepada Dewa yang mau dengan ikhlas membayarkan makanan ketiga sahabatnya itu. 

 Terbesit niatnya untuk menghampiri Dewa. Dia pun beranjak... namun yang di depannya malah Bu Zifa. 

 Oh my God! Ternyata itu hanya lamunan bulan lalu. Kini Bu Zifa telah berdiri menatapnya garang. Sebelah penggaris panjang menuding ke buku paket bahasa Indonesia yang tidak terbuka. 

 "Kenapa buku pelajaranmu tidak dibuka?" tanya beliau dengan nada tinggi. Suasana hening, pecah menjadi gaduh. Keseraman beliau di balik seragam guru cokelat susu itu tampak menegangkan. Rambut beliau yang disanggul di bawah ubun seolah akan terjun mencium lantai lantaran tak betah menyaksikan kekejaman dalam ruangan. Walau tegang, namun bisa didengar bisikan-bisikan dari siswa nakal. Chika, Dendi, Edvin, Yazan, dan siswa lainnya mendelik menatapnya yang tengah kebingungan. 

 "Anu... anu... anu..." Rivani kikuk.

 "Ona... anu... ona... anu... buka!" perintah beliau.

 "Baik, Bu."

 Beliau lalu pergi memeriksa siswa yang lain. Ada yang tidak membawa buku, atau rajin semua, kalau ada yang sampai melanggar. Jangan harap penggaris yang panjangnya setengah meter itu akan tinggal diam. 

 Rivani mengembuskan napas lega. Untung saja tidak mendapat hukuman. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status