Dewa

Dewa

Oleh:  Titin Widyawati  Tamat
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
9.9
11 Peringkat
67Bab
5.0KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Tahukah kehidupan anak-anak jalanan? Mereka terasing dan sering dikucilkan. Kumal tidak terawat. Tak ada orang yang mau memperhatikan. Namun, lain kisah dengan Dewa, ia pecinta kehidupan jalanan. Ia menghargai dan menghormati setiap kehidupan mereka. Dewa merupakan pemuda tampan yang peduli dengan anak-anak jalanan. Ia abaikan hujatan dari keluarga yang tidak setuju dengan pergaulannya. Di pemukiman kumuh dirinya bertemu dengan Mawar, perempuan yang ternyata pernah disakiti kakaknya sendiri. Persoalan semakin pelik ketika waktu membuat dirinya berada di posisi kakaknya yang mau tak mau dibenci oleh anak-anak jalanan dan Mawar. Kedekatannya dengan anak-anak jalanan membuatnya lupa kepada seorang gadis yang mencintai dan selalu menunggunya dengan sabar, Chika.

Lihat lebih banyak
Dewa Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
user avatar
RIA
waah cerita ter the best..., suka sama ke epikkan tulisan kk. Bener kata kk See Tea, kk memiliki skill kepenulisan yg sangat luar biasa bagusnya... selalu sukses author panutan semoga skill kk bisa menular ...
2022-01-10 12:19:44
0
user avatar
Bemine
Semangat kak ....
2021-10-08 13:13:55
1
user avatar
Cristhina
Mantep ... next thor! semangat..
2021-10-08 12:34:48
1
user avatar
Feay Hullah
Mantap, Kak. keren banget sumpah. Aku terharu bacanya. ............
2021-10-06 09:54:39
1
user avatar
Susi Amelia
Aku baru baca satu bab, tapi udah di bikin terlena sama diksi nya yang rapih dan ngena banget. Pokoknya, always semangat thor updatenya! I very like your story! ♡
2021-09-26 10:52:24
1
user avatar
Titin Jihan
Kasihan amat Chika. Up thor...
2021-09-26 10:08:27
1
user avatar
AISHA BELLA
Semangat, Kak! ...
2021-09-25 19:06:52
1
user avatar
Murninulis
merasa jd anak muda lagi baca kisah ini ...
2021-09-25 18:56:05
0
user avatar
Pemalas Penyendiri
Mencari Cercil menarik? Yok baca novel saya "Danuranda (Pendekar Nusantara)" mampir ya kak
2021-09-24 16:05:33
0
user avatar
Erni sari
cerita seru kak, ttp semangat suka sama alur nya.
2021-09-19 11:47:19
0
user avatar
Nanda Kyra
Ceritanya bagus dan ngalir Thor, kisah seperti ini banyak terjadi di dunia nyata. Next....
2021-11-05 09:48:09
0
67 Bab
What My Dream's?
  Derap lentera telah menaungi ratapan kehidupan dunia. Langit menyembulkan bola pijar panas berwarna orange, membuat warna keemasan berpadu merah dan kuning tajam. Tirai langit memberi jalan kepada sang awan yang ingin merombak kecerahan. Kabut pun enggan menyapa. Kicauan burung berendar, mengepakkan sayapnya yang memelok retina. Dedaunan akasia, cemara, dan jati serta lainnya, yang tumbuh di sederet jalan pegunungan itu membuahkan gesekan simponi alam dengan angin. Membentang luas lahan hijau, yang kaya akan tanaman pencernaan. Nampak satu burung Elang menari-nari di angkasa bebas. Sementara segerombol burung camar bertengger di ranting-ranting pohon, atau melamun di kabel-kabel listrik yang mengular di sepanjang jalan. Penduduk telah terbangun dari balutan hangat tabir mimpinya. Derap kaki telah ada yang dituntun ke sawah, ada pula yang dituntun ke pasar, atau sekedar jalan-jalan. Namun tidak dengan DIA.  Dia lelaki rupawan yang menganggap diri
Baca selengkapnya
Di mana?
Di mana? Kala gemerlap bintang saling bertebaran di langit, kala itu tak ada kabut yang menggelayuti jubah kebiruan angkasa. Angin menelusup melalui celah lubang ventilasi udara. Ia lancang masuk tanpa menyapa sang pemilik istana. Dingin begitu memeluk bulu kuduk insan dengan erat. Petang pun telah menjemput malam. Kicauan jangkrik saling berseru riang di balik semak-semak.  Istana Reihan telah menyalakan kemilauan lentera benderang. Di ruang utama, Reihan memangku kenyamanan. Duduk santai merenungi kehampaan jiwanya selama ini. Yah, hampa karena tiada cinta sejati yang tertera di dalam hatinya. Dalam benaknya terbayang sosok gadis rupawan, teman sekampusnya. Sebut saja dia Adelia. Gadis itu berambut panjang, sombong tidak, cuek iya. Kalau dengan orang lain Adelia murah senyum, kalau dengan dirinya, menyapa saja tidak, apalagi melukiskan senyum di depan korneanya. Seolah mustahil.  Tangannya memutar-mutar hape Blackberry yang hitam. Berkali-kali m
Baca selengkapnya
Derita di atas Derita.
  Pagi kembali menghela napas. Malam tadi telah terbakar lentera surya. Angin pagi masuk ke tubuh Dewa menembus dari tembok kardus yang dingin tertampar embun. Dia pun bangun, duduk setengah badan, menggigil kedinginan. Sejenak dia mengedip-ngedipkan matanya untuk menetralisir perasaannya. Sekujur badanya, luar dalam terasa diamuk khodam malaikat. Rasanya perih, sakit, ngilu, berat, panas, oh semuanya campur aduk menjadi satu adonan derita kelemahan Dewa. Sesekali dia memutar kepalanya, mengamati sekeliling tubuhnya.  Intan, Ovan, Caca, Agus dan lelaki berambut landak tidur di atas tanah. Caca dipeluk oleh Intan, sementara lelaki itu, Agus dan, Ovan terlentang di samping Intan. Ke semuanya berjejer seperti ikan pindang yang sedang berjemur. Kain sarung robek sebagai alas, karung berisi sampah adalah bantal. Selimutnya ada yang menggunakan kardus, ada pula yang memakai sarung robek. Tidak ada lampu di dalam rumah derita itu, jika malam pun kegelapa
Baca selengkapnya
Hampa
Pagi menyeruak di lembah kaki gunung Sumbing. Simponi kembali menjalar dengan gesekan dedaunan alam. Rangkak kaki telah tertuntun mendaki tanjakan ladang. Atau mereka yang berbondong-bondong memakai seragam pendidikan untuk masa depan. Menatih jejak menuju sekolahan. Ada juga yang berlari mengejar logam ke pasar atau pun pusat pertokoan. Bahan dagangan ditenteng, kertas rupiah dijulurkan, sementara keringat bercucuran. Waktu itu Reihan telah siap-siap menggas mobilnya ke Yogyakarta. Jam kuliahnya pukul sembilan esok. Perjalanan hanya membutuhkan waktu dua jam, kalau dia menggas cepat layaknya pembalap, terkadang juga hanya satu jam lewat sedikit. Nyonya Finda membereskan pekerjaan rumah. Menyapu, masak, mencuci piring, dan lain sebagainya. Pagi itu mereka berdua dipersibuk dengan pekerjaan masing-masing, hingga jeritan-jeritan melengking setiap pagi, untuk membangunkan Dewa lenyap seketika. Tak digubris memori hari lain. Seolah kepergian Dewa adalah suatu keberuntungan.
Baca selengkapnya
Lapar
 Caca membawa sebaskom air itu ke naungan kardus mereka. Ditentengnya dengan ketulusan. Dewa ingin membantunya, Caca menolak. Dia pun akhirnya hanya mengikuti langkah Caca di belakang. Namun sebelum tiba di tenda kardus, Tiba-tiba... Bruk. Astaga! Seorang perempuan cantik menabrak tubuh Caca. Anak berponi Dora itu terpanting ke samping. Air yang ada di dalam baskom pun tumpah.  "Heh, kalau jalan hati-hati dong! Anjing lo," jerit perempuan itu sambil menuding wajah Caca dengan jari telunjuknya. Dewa menggeleng-gelengkan kepalanya. Perempuan yang memakai rok se atas lutut dan baju pink ketat itu sudah salah tak mau mengalah. Jelas-jelas dia yang tidak hati-hati, jalan seenaknya. Jalan sambil sms-an menuntun jemarinya di lantai keybord Blackberrynya. Jika dilihat dari tampangnya serta penampilannya, dia adalah orang kaya. Lipstik merah mawar, elsido, maskara, bedak lima senti, memoles kecantikan alamiahnya. Wajahnya nampak s
Baca selengkapnya
Rasa yang Mengambang
 Dahaga mengamuk tenggorokan. Kekuatan terseok dalam lara. Tubuh lunglai bak baja bengkok.  Kini sampailah dia di pertigaan pasar Beseran. Untuk mencapai rumahnya, dia harus melintasi kurang lebih empat kilometer lagi. Sayangnya dia sudah tak sanggup. Peluh tidak menetes karena dia sakit. Wajahnya merah pucat. Bibirnya kering, di sekeliling matanya berwarna abu-abu. Tubuhnya gemetaran. Perjalanannya barusan membuat tenaganya terkuras habis. Sejenak dia mampir di tempat penjual bakso yang ada di kanan jalan. Dia tidak bermaksud untuk memesan makanan, melainkan untuk numpang membuang letihnya sejenak. Banyak orang yang memerhatikan raut wajahnya dengan iba.  Sore telah merangkak. Pasar Beseran sepi. Para pedagang pun telah melipat tikarnya untuk membawanya pulang. Pertokoan sembako mulai tutup rapat. Giliran pedagang kaki lima yang memainkan aksinya. Penjual bakso, penjual gorengan, wedang ronde, dan lainnya. Dewa duduk membungkuk di samping mu
Baca selengkapnya
Di balik Putih, Ada Hitam.
  Nyonya Finda telah pulang kerja. Didapati kamar Dewa masih sepi tak berpenghuni. Perasaannya krungsang, tidak tenang. Beliau lalu menggeser langkah menuju kamarnya. Duduk di depan meja rias, sambil menyeret-nyeret layar hape samsungnya. Beliau mengirim pesan pendek kepada Reihan.  "Dewa belum pulang, lama-lama ibu khawatir Rei, bagaimana kalau dia kenapa-napa?" messege delivered. Lima belas menit Nyonya Finda menunggu balasan dari putranya yang selalu dibanggakan, namun yang ditunggu tak memberi tanggapan. Beliau pun hanya bisa menebak, mungkin Reihan masih sibuk belajar.  Jauh di ambang cakrawala sana. Di tengah-tengah kebimbangan dan kekhawatiran orangtua. Sang Reihan mencumbu bibir perawan. Gemerlap lampu disko menyinari ubun-ubunnya. Alunan lagu disko melengking di gendang telinga. Pelayan-pelayan bir yang seksi-seksi, berjejer di pinggiran bar. Moncong-moncong nyawa bersulat asap rokok. Ada yang mengandung zat terlarang, a
Baca selengkapnya
Yang Malang dalam Gelap
Gelap membuka jubah penerangan bagi sang Rembulan. Jantung waktu lebih mempercepat lajunya. Esok sekejab dilalui oleh sekelompok anak jalanan. Dari pagi buta sampai malam menjemput, kaisan logam terus tertadah. Sayang hanya sepersih barang sepuluh rupiah pun tak terhitung. Koin-koin berharga mereka tumpahkan di atas permukaan tanah, di dalam sekatan kardus mereka. Seharian penuh, Ovan, Agus, Intan, Caca, dan Enggar yang dalam keadaan sakit, menengadahkan telapak tangannya di bawah terik mentari. Jika petang telah memeta jejak, mereka pun kembali ke markas semula. Biasanya mereka akan berpesta ria, kalau uang sudah terkumpul, usai seharian mengais riski dari jalanan. Mereka jarang sarapan pagi, paling makan siang kalau ada banyak koin yang didapat, jika mentok yang didapat pas-pasan seperti malam itu. Mereka pun terpaksa tidak makan siang, yang penting malamnya tidak kelaparan. Karena menurut mereka, lapar saat gelap menjelma itu amatlah menderita.  Cac
Baca selengkapnya
Nasib Anak Jalanan
Perjalanan dari Semarang ke Magelang cukup melelahkan. Akhirnya sampai juga Ovan di Borobudur. Dengan semangat membara anak itu menaiki tangga candi sampai ke tingkat yang paling atas. Tangan Papa dan Mamanya digenggam erat, sementara kakaknya mengekor di belakang. Ice paddle pop, dijilatinya sedari tadi. Wajahnya riang sumringah. Tak dirasa mentari yang membakar habis kulitnya hingga keringat berleleran, seperti ice creamnya yang mencair. Wajah Mama dan Papa nampak lunglai, begitu juga dengan kakak perempuannya. Namun dia cuek, baginya yang penting bisa jalan-jalan bersama, itu cukup membahagiakan. Mau mereka cemberut atau muram dan marah, itu urusan belakangan.  "Papa gendong!" serunya.  "Aduh, kamu ini, manja banget!" seloroh Papanya lalu menggendong Ovan kecil.  Sampailah mereka di atas, sejenak mereka mengitari candi. Patung-patung batu yang mengagumkan. Pahatan-pahatan di dinding candi sungguh indah. Ovan menyentuh lukisan
Baca selengkapnya
Sebuah Perhatian
Aroma nikmat menyengat ke sela-sela hidung Dewa. Matanya pun mendelik menatap apa yang tengah terpampang di meja. Ada sop jagung, ayam goreng, ikan goreng, lodeh terong hijau, dan sambal hati. Ke semuanya masih mengepul-ngepulkan asap di udara. Lensanya yang semula terjerat kegelapan karena tertutup tabir mimpi, mendadak bening sekali. Chika keluar dari dalam, menenteng satu ceting nasi panas. Celemek cokelat masih menempel di tubuhnya. Wajahnya berlumur keringat, namun tetap ceria untuk setia mengulum senyum kepada Dewa. Dia sengaja mengangkut semua masakannya ke ruang tamunya yang sempit itu, lantaran Dewa sudah di sana. Dia tidak ingin menambahi penderitaan kaki Dewa yang pincang untuk berpindah-pindah tempat. "Menu makan malam sudah siap, adakah yang mau makan?" kata Caca sambil bergaya seperti waiters kafe.  "Kamu masak semua ini?"  Chika mengangguk.  "Untuk siapa? Untuk aku?"  "Pe
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status