Share

Lapar

 Caca membawa sebaskom air itu ke naungan kardus mereka. Ditentengnya dengan ketulusan. Dewa ingin membantunya, Caca menolak. Dia pun akhirnya hanya mengikuti langkah Caca di belakang. Namun sebelum tiba di tenda kardus,

 Tiba-tiba... Bruk.

 Astaga! Seorang perempuan cantik menabrak tubuh Caca. Anak berponi Dora itu terpanting ke samping. Air yang ada di dalam baskom pun tumpah. 

 "Heh, kalau jalan hati-hati dong! Anjing lo," jerit perempuan itu sambil menuding wajah Caca dengan jari telunjuknya.

 Dewa menggeleng-gelengkan kepalanya. Perempuan yang memakai rok se atas lutut dan baju pink ketat itu sudah salah tak mau mengalah. Jelas-jelas dia yang tidak hati-hati, jalan seenaknya. Jalan sambil sms-an menuntun jemarinya di lantai keybord Blackberrynya. Jika dilihat dari tampangnya serta penampilannya, dia adalah orang kaya. Lipstik merah mawar, elsido, maskara, bedak lima senti, memoles kecantikan alamiahnya. Wajahnya nampak seperti barbie, kulitnya putih mulus bersih. Kakinya memakai sepatu highheels sepuluh senti. Tingginya pun kini sejajar dengan Dewa. Rambutnya yang ikal panjang sepunggung diurai ke belakang.

 Sebelum Dewa membela Caca, dia sempat membantu Caca untuk berdiri.

 "Kamu yang salah! Jalan pakai mata dong," gerutu Dewa.

 "Heh anjing lo! Berani-beraninya nyalahin gue, gue nggak salah, anak kecil itu yang salah. Gara-gara dia kaki gue basah kena air. Tolol!" dia menonyong jidad Dewa dengan kasar. Kepalanya yang masih pening karena amukan kemarin pun bertambah pening. Hampir saja dia terjatuh tak bisa menyeimbangkan tubuhnya. 

 "Maafkan Caca Kak Mawar," seloroh Caca dengan nada iba. Dia lalu mencium tangan Mawar. 

 "Caca kenal dia?" tanya Dewa tidak yakin. Caca mengangguk. 

 "Astaga, kamu benar-benar keterlaluan! Sudah tahu anak kecil itu kamu kenal dibentak dan dimarahin, padahal dia tidak bersalah," 

 "Heh, mata lo buta?" bentaknya sambil mengibaskan bibir Caca yang tadi mencium tangannya. Wajah Caca pun merona merah, bukan karena malu, melainkan karena airmata dari matanya yang indah itu akan jatuh. 

 "Kamu yang buta! Tidak bisa membedakan mana yang salah dan yang benar!" bentak Dewa.

 "Anjing lo, taik, babiiiiiii...." 

 Dewa langsung menggiring Caca untuk pergi. Dia khawatir anak kecil itu mencontoh perkataan Mawar yang menjijikkan. Paras saja yang cantik, hatinya busuk, lidahnya juga tak terjaga. Mawar pun menendang kaleng yang ada di depannya, lalu pergi berlalu meninggalkan kawasan itu.

 Caca menangis sesenggukan sambil berhambur di pelukan Intan. Sementara Dewa mematung di depan kelambu yang menguak lentera dari luar. Dilihatnya lelaki yang tengah terbaring di atas lembaran sarung lusuh, berselimut dengan kertas kardus besar. Wajah itu? Yah... itu wajah yang kemarin memakaikannya topi. Dia yang membuat warga mengamuknya. Mendadak emosi Dewa mendidih. Dia mengalungkan kamera yang sedari tadi dipegangganya. Dia menghampiri anak lelaki itu. Tak dihiraukan lagi Caca yang masih menangis, kini dia terfokus dengan tubuh berselimut sebilah kardus itu.

 "Heh, kamu kemarin yang nyopet kan?" hardiknya.

 Lelaki itu hanya diam. 

 "Dewa, apa yang terjadi dengan Caca?" tanya Intan. 

 Sayangnya Dewa tak menggubris pertanyaan Intan. "Woi lelaki sialan! Jawab omonganku, aku sedang mengajakmu bicara!" seru Dewa sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya. Anak lelaki itu membungkuk, nampak seperti menggigil karena sakit. Lensanya terbuka, sayang mulutnya dikunci. 

 "Kamu bisu atau tuli? Hah?" emosi Dewa semakin bertambah menggebu.

 Intan yang melihat lelaki itu, lelaki yang tak lain adalah Enggar teman seperjuangannya menggelandang tak terima dia diperlakukan seperti itu. Jika dia tidak kelaparan dia juga tidak akan mencopet. Intan menurunkan tubuh Caca dari pangkuannya. 

 "Caca diam dulu ya, kakak mau nolong Kak Enggar," katanya sambil mengelus kepala Caca. Anak itu pun menurut. Airmatanya diseka, walau bahunya masih terguncang sesenggukan. Caca duduk di mulut kelambu sendirian. Sementara Dewa tepat di samping tubuh Enggar yang terbaring di dalam.

 "Dia nggak bakal nyopet kalau dia tidak kelaparan! Dia juga melakukan itu terpaksa, sebenarnya kami juga nggak tega kamu dipukuli seperti itu, tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau kami keluar, kami semua bisa jadi amukan warga." Rajuk Intan.

 "Tapi tidak sebaiknya dia meletakkan topi dan tasnya kepadaku, aku kan jadi sasarannya. Pokoknya aku akan memproses kejahatan ini kepada hukum!" geretak Dewa. 

 "Kak Dewa jahaaaattt... Kak Dewa jahaaattt," Caca menghambur ke tubuhnya. Dia memukuli kakinya. 

 "Aduh," Dewa meringis kesakitan. Bekas injakan orang kemarin saja masih membuatnya pincang, apalagi ditambah dipukuli anak itu, walau kekuatannya tidak seberapa, tetap saja menambah derita di kakinya.

 "Kak Dewa jahat! Kak Dewa jahat! Caca kecewa, Caca kecewaaaa..." anak itu kembali menangis, malahan bertambah histeris.

 "Caca," Intan jongkok, menghampiri tubuh mungil yang memakai baju kebesaran itu, lalu memeluk tubuh Caca. Tubuhnya malah ikut terguncang. Kedua perempuan itu menangis. Dewa iba melihat mereka. Hatinya sakit sekali. Dia pun jongkok. 

 "Maafin kakak, Caca." Desah Dewa menyesal.

 "Kami lapar! Kami terpaksa melakukan hal itu, kami lapar... kami lapar..."

 "Andaikan kami punya orangtua," sambung Enggar. Kali ini dia duduk setengah badan, menyibak selimut kardusnya itu. "Kami tak akan semenderita ini, maafkan aku karena kemarin membuatmu terluka," 

 Enggar juga menitikkan airmata. "Kami lapar," seru Intan lagi. Sementara tubuhnya masih memeluk Caca. 

 Hati Dewa tersentuh. Sakit menjalar sampai ke seluruh tubuhnya. Mendadak tubuhnya terseok. Dia pun duduk di atas tanah. Melingkarkan tangannya di kedua lututnya. Pandangannya lurus. Dia kesal kepada Enggar, tapi mendengar jerit mereka yang kelaparan serta melihat bulir-bulir airmata mereka seolah hatinya dicambuk palu malaikat maut. Sakit sekali!

 "Aku tak pernah berkeinginan mencopet kalau perutku masih kuat, aku nggak kuat Kak, perutku sakit sekali." Lanjut Enggar.

 "Enggar," Intan menghapus bulir yang menetes di pipinya. Caca dibiarkan menangis sendirian tanpa dekapannya yang bisa mengurangi kesedihan batin anak kecil itu.

 "Kamu istirahat dulu, nanti aku cariin kamu makan, badan kamu masih panas. Wajahmu juga pucat," 

 Mendengar itu. Dewa langsung menoleh menatap Enggar. Jadi anak itu sakit? Ya Tuhan, dia menyesal karena tadi mengganggu istirahatnya. Tapi bagaimanapun juga, Enggar tetap bersalah. Wajar kalau dia marah. 

 "Kamu sakit apa?" kali ini Dewa berkata lembut. 

 "Tidak usah urusi kami, sebaiknya kamu pulang. Dan aku mohon jangan bawa masalah Enggar ke polisi," pinta Intan.

 Kalimat itu begitu menusuk relung hati Dewa. Bukan untuk melaporkannya kepada polisi, tapi karena Intan marah kepadanya hingga dia tidak boleh mengurusi mereka. Dia tidak tega. Dia ingin membantu. 

 "Kak Dewa pergiiiiiiii!!!!!" teriak Caca sambil berdiri menghadapnya dengan mendorong-dorong tubuhnya yang rapuh. 

 "Maafkan kakak. Caca," desah Dewa sambil menghapus airmata Caca.

 "Pergiiiiiiiii..."

 "Pergilah, Caca sudah tak menghendaki adanya kamu di sini," sergah Intan.

 Dewa tak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia pun akhirnya keluar. Badannya yang masih lemah dipaksa menuntun sepeda untuk menyusuri gang demi gang sampai ke jalan raya. Dia sengaja tak menaiki sepedanya. Kakinya masih sakit dan ngilu, melangkah saja pincang, apalagi mengobel sepeda sampai ke kampungnya. Tidak mungkin dia akan sanggup. 

 Sesampainya di pertigaan, dia berhenti sejenak. Dia mampir ke warung makan pinggiran yang ada di sebelah kanan jalan. Warung tenda, beratap terpal orange dan berpondasi sebilah kayu bambu di setiap sudutnya yang dikaitkan dengan tali rafia. Warung itu cukup sederhana, satu meja kusam memanjang, dan satu kursi memanjang dengan cat cokelat. Jika di Jogja tempat seperti itu biasanya disebut angkringan, tapi menurutnya itu bukan angkringan karena menu makanannya berbeda. Kalau di angkringan menyediakan sate usus, sate hati, sate ayam, gorengan, dan nasi yang sudah dibungkus dengan harga seribuan. Sementara warung itu menyediakan aneka makanan, seperti gado-gado, nasi ayam, nasi pecel, dan aneka makanan yang lainnya. 

 Dia memesan satu es teh dan satu piring nasi ayam. Sepedanya diparkir di samping warung itu. Satu suap nasi dia lahap. Seolah tak mampu menelannya, mengingat anak-anak yang kelaparan di tenda kardus. Airmatanya menetes begitu saja. Dia membayangkan kalau mereka tak mendapatkan uang sampai malam, makan apa mereka nanti? Di rumahnya dia sering membuang-buang nasi seenaknya saja. Padahal di luar sana masih banyak orang yang kelaparan. Jangan sampai mereka mengosek-ngosek tempat sampah. 

 Dewa sungguh tak mampu memakan makanannya. Bukan karena jijik dia singgah di tempat itu. Biasanya kalau bersama Chika dan Dendi dia akan makan di tempat bersih, seperti rumah makan berkelas, kafe, atau restoran kecil. Tapi dia tidak mempermasalahkan hal itu, melainkan karena mengingat penderitaan anak-anak jalanan. Selama ini dia hidup mewah, makan nikmat, tidur enak, sekolah tinggal berangkat. Mobil punya, motor apalagi. Saku sehari seratus ribu. Lah anak jalanan? Sehari buat makan saja susah payah. Harus mengumpulkan koin dulu dengan menjual keringatnya di bawah sengatan bola pijar dunia. 

Dewa merogoh sakunya, ada uang lima puluh ribuan, dan dua puluh ribuan. 

 "Pak, satu porsi nasi ayam harganya berapa?" tanyanya usai menghapus airmatanya yang menetes. 

 "Tujuh ribu lima ratus, Nak." 

 "Saya pesan enam, Pak. Dibungkus ya? Kesemuanya jadinya berapa?" 

 Bapak-bapak pemilik warung itu mengambil kalkulator untuk menghitungnya. 

 "Lima puluh dua lima ratus, Nak. Sama yang dipesan barusan." Katanya.

 "Baik Pak, ini saya punya uang tujuh puluh ribu, pokoknya sama minumannya sekalian," kata Dewa sambil mengulurkan kedua kertas bernilai rupiah itu. 

 Setelah pesanannya selesai dibungkus semuanya. Dia pun menggayuh sepedanya ke tempat yang tadi. Dua kantong kresek hitam digantungkan di stang kanan dan kirinya. Susah payah dia mengobel karena kakinya masih sakit. Tapi, walaupun begitu dia tetap bahagia, karena bisa membantu mereka sarapan pagi. 

 "Hallo!" sapanya sambil membuka kelambu. 

 Tenda sepi, tak ada tanda-tanda kehidupan. Isak tangis Caca dan Intan sudah tak lagi terdengar. Bahkan Enggar yang katanya sakit pun, tidak ada di sana. Rumah kardus itu telah bersih. Bantal-bantal sampah tertumpuk rapi di sebelah Barat. Sarung lusuh tadi terlipat rapi pula. Tanah merah itu membekaskan goresan sapu lidi. Nampaknya setelah dia pergi, Intan langsung menggulung karung yang melembari permukaan rumahnya. Dewa terpaku kecewa. Dalam hati dia bertanya-tanya, kemanakah mereka pergi. Secepat kilat walau tiada badai, mereka telah lenyap. Kedua kantong kresek yang dibawanya pun seolah meratap pilu. Dewa meletakkannya di atas lipatan sarung. Dia lalu keluar, menuntun sepedanya mendekat pohon mangga di tepian sungai. Dia duduk di sana, menatap lurus ke bawah. 

 "Kemana mereka, apakah mereka pergi untuk mencari makan?" desisnya kepada angin yang berembus di depannya.

 "Kasihan sekali ya mereka,"

 Dia menarik napasnya dalam-dalam. Meluruskan kakinya. Sejenak dia rilekkan tubuhnya. Wajahnya pucat, hatinya seolah berkarat. Baru kali itu dia bisa dengan nyata mengamati kehidupan di luar istananya yang selalu dipuji banyak orang megah, walau kamarnya sendiri sangatlah sederhana. 

 Angin membawa ingatannya ke kampung halaman. Ibu, Kak Reihan, Dendi dan Chi... eh Chika. Gadis yang selalu membuyarkan lamunannya itu. Gadis yang duduk di depannya. Gadis yang berpipi tembem menggemaskan. Gadis yang omongannya bak geledek di siang bolong. Gadis yang... yang dia rindukan kekonyolan wataknya. Dia terkekeh sendiri mengingat Chika. 

 "Hampa juga kalau tidak digangguin anak itu," selorohnya. Wajah Chika yang lucu seolah terpantul di permukaan sungai. 

 "Chika... Chika... oh aku merindukanmu. Merindu kenakalanmu kepadaku. Dan Dendi," dia berhenti sejenak menatap langit, "aku juga merindukan kekocakanmu. Kalian berdua adalah sahabat baikku, Dendi, Chika." Katanya. 

 Langit! Sampaikan salamku kepada mereka, katakan bahwa aku sangat merindukan tawa mereka berdua. Walau baru dua hari kami berpisah, tapi rindu ini sudah menggebu. Katakan kepada mereka kalau waktuku amatlah hampa tanpa mereka berdua. Dendiiiii, Chikaaaaaa.....

 Pandangannya lalu dijaring ke kanan dan ke kiri. Bangunan rumah penduduk mengikuti aliran sungai, berderet rapi. Banyak warga yang tengah menikmati kekeruhan air sungai tersebut. Ada yang mandi, mencuci, ada juga beberapa anak kecil yang main cebur-ceburan di pusarnya untuk berenang. Raut mereka cerah ceria, tak seperti miliknya yang kusam dan pucat. Ada juga bapak-bapak yang menimba air itu dengan ember lalu dibawanya pergi. Entah untuk apa, dia pun tidak tahu. Seorang nenek-nenek tua, menelusuri jalan pinggiran sungai dengan membawa nampan yang berisi lontong dan puluhan sate. Nenek itu berbarut selendang. Bibirnya sekering aspal. Wajahnya mengeriput dengan rambut yang telah menguban. Sementara daging tak bertulangnya terus mengalunkan syair. "Sate... sate... sate! Sepuluh ribu tiga, sepuluh ribu tiga,"

 Nenek tua? Yang renta dan keriput? Yang sudah lemah dengan tulang yang saling menonjol itu? Masih kuat melangkah mengumpulkan kaisan logam untuk makan? Oh Tuhan! Pahit. Serunya. Selayaknya makhluk renta itu duduk manis di teras, menyeruput kopi hitam manis, sambil memerhatikan tawa cucu-cucu mereka. Bukannya malah menjalarkan langkah di atas tanah untuk mencari sesuap nasi, yang bisa digunakan sebagai sumbatan pencernaannya agar tidak kelaparan. Apa tak ada jaminan dari pemerintah di masa tua? Sungguh menderita negeriku. Gumam Dewa perih. Dia lalu melepas kameranya yang tadinya dikalungkan di lehernya. Satu kilatan blitz menyambar tubuh nenek itu, tanpa sepengetahuan wajah keriputnya. 

 Cekreeeekkkk.... 

 Dia lalu memandang ke depan. Tepatnya ke arah jembatan penghubung dengan kampung sebelah. Di sana berdiri sosok elok wanita yang serasa tak asing di ingatannya. Rok mini se atas lutut, kaos pink ketat, sepatu highheels, yang wajahnya anggun dengan lipstik merah darah. Itu kan... gadis tak sopan yang tadi menabrak tubuh Caca. Dewa bangkit menghampirinya, sepeda polygonnya dibiarkan melamun bersama pohon mangga. 

 "Hey, kau!" serunya. Mawar menoleh sekilas, lalu kembali menatap ke bawah. Parasnya memerah, tubuhnya bergoncang. Airmata mengalir dari sudut retinanya. Dia menangis. 

 Dewa mengerutkan keningnya. Bisa-bisanya gadis congkak itu dihantam tangisan. Gerangan apakah yang membuatnya seperti itu.

 "Kenapa kau menangis?" nampaknya Dewa sudah tak mempermasalakan kejadian tadi pagi.

 "Ngapain lo ke sini?" tanyanya, sementara matanya masih menatap lurus ke aliran sungai.

 "Nggak papa, cuma nanya aja." Balas Dewa sambil menyandarkan tubuhnya di pagar jembatan. Dewa menghadap ke Barat, sementara Mawar menghadap ke Timur.

 "Nggak nyangka aku, gadis sekasar kamu bisa nangis," lanjut Dewa dengan tatapan menerawang langit. Di atas cerah, tak ada kabut yang berseliweran. Lentera alam begitu ceria. Mentari menyilaukan lensanya, dia pun kembali menatap sungai.

 "Memangnya kau pikir orang jahat seperti aku tak punya perasaan? Hah? Anjing lo!" emosi Mawar meledak lagi.

 "Namamu Mawar kan?" Dewa membalik tubuhnya. "Nama yang indah! Sayang ucapanmu tidak bisa mencerminkan keindahan namamu," cetus Dewa.

 "Apa peduli lo terhadap gue, suka-suka gue mau ngomong ini, ngomong itu. Sok alim loh! Dasar manusia kaya, keparat!" celoteh Mawar.

 "Kenapa kamu bilang seperti itu?" Dewa menatap parasnya dari samping. 

 "Ya karena memang begitulah sifat orang kaya. Sok benar! Songong! Sombong! Padahal watak kayak binatang," 

 "Maksudmu? Aku tak mengerti. Apa kamu juga anak jalanan?" 

 "Kalau iya kenapa, kalau tidak kenapa? Masalah buat lo? Hah?" 

 Astaga! Gadis cantik berpenampilan anggun dan modern itu anak jalanan? Tidak mungkin. Apa dunia sudah gila. Dewa terkejut bukan main. Bagaimana bisa dia menjadi anak jalanan. Bedak tercukupi, hapenya Blackberry, pakainnya juga nampak berkelas. 

 "Kamu bukan anak jalanan kan?" tanya Dewa memastikan.

 "Ya. Tapi aku lebih hina dari anak jalanan," terangnya.

 "Kenapa bisa?" 

 "Aku PELACUR jalanan! Puas lo uda mengintrogasi latar belakang kehidupan gue. Puas lo! Anjing, babi lo! Orang kaya keparat, munafik, anjiiiiiiinnnnngggggg," dia terus mencaci Dewa yang tak bersalah, sambil memukul-mukul dada Dewa. 

 "Woi... kenapa kamu marah sama aku, apa salahku? Aku juga anak jalanan seperti kamu kok!" seru Dewa asal ceplos. 

 Dewa tak bisa melukiskan bagaimana kagetnya dia mendengar jawaban dari Mawar, bahwa ternyata gadis yang menurutnya jelia itu adalah pelacur. Pantas saja Mawar menangis sendirian di jembatan itu, mungkin dia menyesal karena tubuhnya dinikmati banyak orang. Tubuhnya yang seksi dan menggairahkan seolah sia-sia termakan nista. Di usainya yang baru menginjak tujuh belas tahun. Mawar itu telah layu, walau kelopaknya masih mekar. Hatinya tercabik-cabik angkara bisu. 

 "Tidak mungkin. Mana ada anak jalanan pakai kamera, mana ada anak jalanan setampan lo," 

 "Mawar, aku anak jalanan! Jelaskan kenapa kamu melacur?" 

 "Lo mau tahu? Karena gue lapar! Karena gue ingin hidup bahagia, karena gue ingin mendapatkan uang," pekik Mawar lalu mendorong tubuh Dewa kuat-kuat. "Gue emosi dengan lelaki murahan seperti lo! Gue benci lelaki! Benciiiii..." 

 Satu tonjokan melesat di perut Dewa.

 "Jangan pukul aku! Aku lagi nggak enak badan, lepaskan aku," Dewa meronta-ronta dari cengkraman Mawar. Ke dua tangannya dipuntir oleh Mawar ke belakang dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanan Mawar dipergunakan untuk mengamuk tubuh Dewa bagian depan. Dewa hanya bersandar di pagar jembatan sungai yang terbuat dari bambu. 

 "Apa salahku? Kenapa kamu marah kepadaku! Aku juga bukan siapa-siapanya kamu," Dewa coba menjelaskan.

 "Lo lelaki! Dan gue benci lelaki. Karena lelaki yang buat gue HAMIL. Anjiiinnnggg lo! Anjing lo!" hantaman tangannya semakin diperkeras. Kali ini Dewa tak tinggal diam. Bagaimana pun juga tenaga perempuan masih lemah ketimbang lelaki. Dia mencoba melawan. Kini giliran tangan Mawar yang dipuntir. Dia lalu mendorong tubuh Mawar hingga terpental ke belakang.

 "Kamu gila ya! Yang ngehamilin kamu bukan aku, aku ke sini cuma ingin tahu kenapa kamu menangis, barangkali aku bisa membantumu. Malah kamu bertindak seenaknya saja. Kamu pikir aku cowok apaan?" rahang Dewa mengatup dengan keras. Retinanya memerah tajam.

 "Dasar orang kaya keparat!" 

 "Heh. Tak semua orang punya sehina yang kau anggap. Banyak dari mereka yang punya hati!" 

 "Pemerintah yang kaya raya saja jarang mau memerhatikan kehidupan anak jalanan, pengamen dibiarkan! Bisanya cuma melarang mengamen tanpa memberikan lapangan pekerjaan. Apalagi kalian orang kaya yang pas-pasan. Nggak mungkin mau memerhatikan kami," 

 "Gila ya kamu! Heh, jangan bawa-bawa nama pemerintah dalam masalahmu. Kamu melacur atas kehendakmu! Kenapa pula mengadudombakan anak jalanan dan pemerintah?" 

 Suasana menjadi panas. Mata penduduk memerhatikan pertengkaran mereka dari kejauhan. Tapi tak ada satu pun yang berani melerai. Bagi mereka, anak jalan yang bertengkar itu sudah biasa. Kalau diganggu malah bisa membara.

 "Ya. Itu memang kehendak gue! Tapi karena gue lapar dan ingin hidup bahagia!"

 "Kenapa kamu pilih melacur? Padahal pekerjaan di luar sana banyak yang membutuhkan karyawan cantik sepertimu,"

 "Lo pikir bekerja hanya mengandalkan kecantikan saja? Pendidikan perlu! Kalau tidak cuma jadi babu! Anjingnya lagi, gue pernah kerja di perumahan orang kaya, dan akhirnya gue diperkosa oleh majikan gue sendiri! Orang kaya itu memang anjiiiiiinnnnggggg!!"

 "Heh, tidak semuanya mereka seperti itu. Tidak semuaaaa...." Dewa mempertahankan nama baik orang di atasnya.

 "Kata siapa tidak semua? Penjabat itu kan kaya? Banyak yang korupsi, pemilik perusahaan besar juga terkadang ada yang menggaji karyawannya di bawah UMR negara, bos-bos pengusaha rumah makan dan yang lainnya, terkadang menggaji karyawannya tak sesuai dengan keringat yang dikeluarkan,"

 "Eh... tapi itu tidak semua! Itu tidak semua! Aku memang benci dengan pemerintah karena ada yang korupsi, tapi tidak semua. Ingat Mawar, tidak semua. Tak semua orang di atas seburuk yang kau pikir! Dan masalah batin kamu ini bukan masalah pemerintah, kamu yang memilih hidup sebagai pelacur! Jadi itu salah kamu, bukan pemerintah!"

 "Gue jadi pelacur karena gue lapaaaaaarrrrr!!! Gue mau kerja tapi nggak punya ijazah sekolah! Gue mau sekolah tidak ada biaya! Kenapa pemerintah tidak membantu gue, kenapaaaaa?????" 

 "Entahlah! Aku pusing mikirin kamu, aneh. Orang tiba-tiba nangis, tiba-tiba marah, tiba-tiba nyalahin pemerintah. Padahal kalau dipikir, sebenarnya kamu sendiri yang salah. Kenapa juga kamu mau ditidurin banyak pria. Hamil itu karena kamu tidak memikirkan resiko sebelum melangkah! Kamu kan bisa mengamen atau apa ketimbang melacur," 

 "Gila lo! Anjing lo! Keparat! Tak bisa mengerti perasaan gue! Gue benciiiii lo!" 

 "Nggak ada untungnya kamu benci denganku, lagi pula kita tidak saling kenal, permisi aku mau pulang." Dewa lalu berjalan menuju sepedanya. Emosinya masih membara di dada. Tapi dia tak mau memperpanjang masalah lagi dengan gadis itu. Dalam hatinya yang terdalam ada rasa iba pula terhadap Mawar. Nampaknya Mawar sedang frustasi berat karena janin yang dikandungnya, jadinya semua orang disalahkan. Tapi kenapa harus yang di atas yang disalahkan? Dia merasa tersindir. Entah dari mana angin menelusup, bisa-bisanya dia juga membela pemerintah yang diolok-olok oleh Mawar. Ya. Tapi memang betul kan, tidak semua pemerintah itu buruk dan korupsi. 

 Kepalanya dibuat Mawar semakin pening. Tak dirisaukan kondisi tubuhnya yang lemah lagi. Masih dengan emosi yang menggebu, Dewa menyusuri gang demi gang dengan obelannya yang secepat kilat. Rasa sakit di tubuhnya terbalut emosinya yang membara. Ingin segera dia membanting tubuhnya di atas kasur. 

 Ketika berada di tanjakan tinggi, Dewa pun turun dari sepeda. Dia menuntun sepedanya. Tenaganya tak kuat menggayuh laju di tanjakan. Andaikan tadi uangnya tak dihabiskan untuk beli makanan, dia pasti sudah naik bus atau angkot untuk pulang. 

     °°°°°°°°

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status