Share

Dewa
Dewa
Penulis: Titin Widyawati

What My Dream's?

 Derap lentera telah menaungi ratapan kehidupan dunia. Langit menyembulkan bola pijar panas berwarna orange, membuat warna keemasan berpadu merah dan kuning tajam. Tirai langit memberi jalan kepada sang awan yang ingin merombak kecerahan. Kabut pun enggan menyapa. Kicauan burung berendar, mengepakkan sayapnya yang memelok retina. Dedaunan akasia, cemara, dan jati serta lainnya, yang tumbuh di sederet jalan pegunungan itu membuahkan gesekan simponi alam dengan angin. Membentang luas lahan hijau, yang kaya akan tanaman pencernaan. Nampak satu burung Elang menari-nari di angkasa bebas. Sementara segerombol burung camar bertengger di ranting-ranting pohon, atau melamun di kabel-kabel listrik yang mengular di sepanjang jalan. Penduduk telah terbangun dari balutan hangat tabir mimpinya. Derap kaki telah ada yang dituntun ke sawah, ada pula yang dituntun ke pasar, atau sekedar jalan-jalan. Namun tidak dengan DIA. 

 Dia lelaki rupawan yang menganggap dirinya buruk rupa. Dia lelaki baik hati yang tengah dilanda gulana. Setiap keluarga memandangnya dengan muram. Tak pernah terbesit satu kata pun untuk menyunggingkan bibirnya dari mereka. Sering yang terlontar hanya cacian dan makian. 

 "Anak bodoh, mau jadi apa kau? Kalau setiap hari hanya bermalas-malasan seperti itu?" hardik kakaknya yang kini telah menjadi mahasiswa Universitas Gajah Mada Yogyakarta (UGM). Dia pun hanya mengerlingkan matanya acuh, lalu membanting daun pintu.

 "Tak akan pernah ada cinta yang menyapa jika kau seperti ini terus-terusan! Dunia ini sudah gila, semua perempuan membutuhkan kebahagiaan dengan uang! Kau harus bekerja rajin mulai sekarang dengan cara meningkatkan prestasimu!" sambung bibi muda, yang rumahnya hanya bersebelahan dengannya. 

 Jangan dikira tak ada cinta yang melambai. Dia saja yang tak mau tahu. 

 Kali ini, dia meratap di atas tumpukan kapas lapuk. Kasur tua itu telah rapuh termakan usia, sepray yang menyelimutinya sudah lama tak pernah dicuci. Setiap sisi ranjang yang memangku kasur itu telah mengeropos, bahkan terkadang ada rayap yang nampak menikmati kayu tua itu. Plafon rumahnya sudah mengusam. Dinding temboknya berlapis cat cokelat. Di samping kanan ranjangnya berdiri meja belajar tanpa kursi, hanya dengan selembar tikar sederhana di lantai, sementara di atas mejanya lampu jamur yang sudah tua. Jika dia ingin menuangkan emosi ke dalam kata, dia pun melembar tikarnya, usainya dia akan menggulungnya kembali. 

 "Dewa! Ganti perabotan kamarmu yang sudah tua," kata kakaknya suatu hari.

 "Buat apa diganti, ini masih bisa dipakai kok," dia berkata dengan nada datar tanpa ekspresi.

 "Tapi itu jelek dan banyak rayapnya!" kakaknya tak mau menyerah.

 "Beruntung aku bisa tinggal di rumah seperti ini, daripada anak jalanan yang beratap langit, beralas Bumi." Jawabnya lagi dengan santai.

 "Dewaaaa!!!!! Capai kakak ngomong sama kamu!" ketus kakaknya sambil membanting pintu kamar dia yang sudah tua. 

 Di pojokan setelah meja belajar terdapat teropong tua, sering digunakan untuk melihat bintang dari sibakan jendela. Saat senja merangkak, dia pun akan duduk di depan jendela dengan mendongakkan kepalanya ke atas angkasa. Sejenak itu dia akan meresapi kejadian yang ada di muka Bumi. Tapi itu dulu, sudah lama sekali teropong itu tidak digunakan. 

 Di dalam kamarnya tidak ada cermin, handbody pemulus kulit atau pun gatsby yang membuat rambutnya nampak keren. Sisir pun tak ada. Yang ada hanya poster-poster wajah anak jalanan, yang dicuci dari kamera Canon SLRnya. Kamera itu adalah kado ulang tahun dari almarhum ayahnya yang kini telah ditimbun ranah keabadian. Ayah yang menopang kehidupan serta pendidikannya kini telah tiada. Itu tentunya amatlah menggores luka yang terdalam. Ditambah ibunya sering dipersibuk dengan pekerjaan. Mendengar cacian serta makian dari kakaknya saja sudah seperti ingin kabur dari rumah, apalagi ditinggal ayah tercinta meninggal, rasanya dia ingin menghabisi umur mudanya saja. Sayang itu tidak mungkin, selama mimpinya belum terwujud, namun apakah mimpinya? Dia sendiri bingung. Selama ini dia melangkah tanpa adanya arah tujuan. Sekolah, hanya sakedar numpang melamun di dalam kelas. Tak pernah terbesit keinginannya untuk mengabdi menimba ilmu pengetahuan. Hidupnya hanya merenung melamun, meratapi nasibnya yang tak kunjung berbuah manis. Apa sebabnya? Entah, dia sendiri tidak tahu. 

 Cinta? Ah jangan ditanya soal lima huruf itu! Hidupnya hampa, tak pernah dia mau memikirkan cinta. Sebelum melaju melangkah menuangkan perasaannya kepada gadis, dia sudah mundur dan menyerah. Buat apa cinta tak ada guna? Gumamnya kala itu. Terkadang dia kosek-kosek hatinya yang dalam hingga paling dangkal, sama sekali tak ada nama gadis yang tersimpan di benaknya. Hanya ada puluhan wajah anak jalanan yang tersimpan dalam benak memorinya. Anak jalanan di pinggiran alun-alun Magelang, anak jalanan yang mengamen demi sesuap nasi, dan anak jalanan yang sering dia jumpai ketika berkunjung ke kota pendidikan. 

 Dia bernaung di desa asri Kauman Kaliangkrik, sementara kakaknya ngontrak di Yogyakarta dekat dengan kampus UGM. Fasilitasnya cukup dikata mewah, ketika berangkat kuliah menggunakan mobil pribadi, Avanza silver yang bodinya masih membuat tergiur banyak wanita. Laptop, I-ped, tablet, dan Blackberry adalah benda elektronik kesehariannya. Satu hari jajan bisa menghabiskan satu juta, minimal empat ratus ribu. Sementara dia?

 Dia memilih hidup sederhana dengan fasilitas kamar seadanya, dia tak pernah mau aneh-aneh walau sebenarnya dia terlahir dari keluarga yang kaya raya. Lihat saja, ibunya mengelola banyak toko sembako yang sudah memiliki cabang di mana-mana, ada juga usaha butik yang terletak di Magelang, dan Semarang. Apa itu tidak bisa disebut dengan kaya raya? Wajahnya juga tak kalah tampan dengan kakaknya, namun dia tak pernah menyombongkannya. Dia hanya merasa dirinya buruk rupa. 

 Kamarnya terkesan tua dan rapuh, padahal luar ruangan yang hanya berukuran sembilan kali sebelas meter itu sangat indah dan mewah. Pilar-pilar yang tak bisa dipelukmu berdiri di setiap sudut ruangan. Pilar itu berwarna putih dengan garis lurus ke bawah bercat cream. Di ruang utama ada sofa putih lembut, yang setiap kali kau mendudukinya maka akan tenggelamlah pantatmu. Meja kaca bening dengan vas bunga yang terbentuk seperti Gucci dengan anyaman Cina mengesankan kemegahan ruang utama tersebut. Di pusar atapnya ada satu lampu raksasa, bermotif bunga dengan manik-manik kristal mengkilat. Lampu itu mengerucut ke bawah. Itu adalah ruangan yang paling dibenci dia. Sungguh tak pernah dia membanggakan kekayaan yang dimilikinya. Sekolah saja, dia lebih memilih naik sepeda butut dari pada motor Ninja atau mobil mewahnya. Dia adalah pencinta kesederhanaan. 

     °°°°°

 "Dewaaaaaa!!!!" jerit kakaknya yang telah berdiri di mulut pintu, dia muak melihat adiknya yang masih berbalut selimut tebal kumal itu. 

  Hari Minggu, waktu luang untuk kakaknya bersantai di istananya. Setiap libur, Sabtu dan Minggu kakaknya pulang ke Magelang. Jam kuliahnya hanya lima hari dalam satu minggu, hari Senin, Selasa, Rabu, Kamis, dan Jumat. Kini kakaknya telah memasang ekspresi muram dengan meletakkan tangannya di pinggangnya. Bagaimana tidak? Detik telah berputar pada pukul sepuluh pagi, namun dirinya masih menutup kelopak matanya. Apa itu tidak gila? Perempuan mana yang mau merajuk hatinya, sementara sikapnya tak pernah membuat hati keluarganya berbunga. 

 Mendengar adanya suara teriakan. Matanya pun langsung melotot. Dia bangun dengan membuka setengah selimutnya. Duduk setengah badan melihat kakaknya yang tengah berdiri di mulut pintu. 

 "Banguunn! Jam berapa sekarang? Hah?" hardik kakaknya.

 "Ah Kak Reihan yang tampan, aku masih ngantuk," selorohnya sambil menguap lebar tanpa merasa bersalah sedikit pun. 

 "Apa kamu bilang? Ngantuk? Ini sudah jam sepuluh pagiii!!!" teriak Reihan seraya menuding jam dinding yang menempel di dinding kamar Dewa. Jam dinding itu tertempel di dinding atas kepalanya, jadi wajar kalau selama ini Dewa bangun tanpa tahu waktu. Sejenak dia mendongak ke atas sembari mengerjab-ngerjabkan matanya. 

 "Hee... jam sepuluh ya? Ada apa, Kak? Aku nggak usah sekolah ya?" cerocos Dewa seraya menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. 

 "Astaga!" Reihan menepuk jidadnya sendiri. "Ini hari Minggu!"

 "Lah... terus kenapa aku dibangunin! Aku kan nggak mau sekolah!" 

 "Ibu minta kamu membantunya bekerja di toko, katanya banyak pelanggan," kata Reihan memperpendek pembicaraan.

 "Ogah! Bukannya di sana Ibu sudah punya karyawan sendiri?" anak itu malah bertingkah. 

 "Cepetan bangun, ke toko!" ucap Reihan terakhir kalinya sebelum membanting pintu kamarnya. 

 Apa tak ada pekerjaan lain? Selain membanting pintu? Seringkali telinganya dibuat pecah dengan suara yang sama sekali tak diindahkannya. Dia bangkit dari ranjangnya. Berjalan menuju kamar mandi yang terletak di sebelah kamarnya. Dia sengaja meminta ibunya untuk membuatkan kamar mandi di luar kamar tidurnya, katanya dia tidak suka jika kamar mandi terletak satu ruangan dengan kamar tidurnya. Seperti orang kaya saja! Gerutunya, eits... bukankah dia memang orang kaya? Entahlah jalan pikir anak itu. 

 Reihan duduk menatap layar teve di dalam kamarnya. Di depannya ada satu toples camilan gurih. Sementara tangan kanannya memegang soft drink. Kamarnya lebih anggun daripada miliknya Dewa. Ranjang dengan sofa setinggi seratus limapuluh centimeter, sepray abu-abu bermotif kotak-kotak dengan lukisan bola. Dinding bercat putih bersih dengan tempelan poster gadis-gadis cantik. Meja belajar yang dilengkapi dengan rak buku. Karpet permadani melembar di depan ranjangnya, yang setiap kau menginjaknya kakimu akan tenggelam dalam bulu-bulu hangat beberapa centi. Dia duduk di permadani tersebut sambil melihat teve chanel SCTV acara inbox kesukaannya. Setumpuk kaset tertata rapi di samping teve itu. Ada DVD player dan speaker besar yang sering disambungkan ke laptop untuk memutar musik kesukaannya. 

 Sesekali dia menyeret layar tabletnya, memeriksa apakah ada gadis jelia yang mengirimnya pesan walau sekedar untuk mengajaknya jalan di hari santai, atau mengajaknya chatting. Setiap libur memang banyak perempuan seksi yang mengajaknya keluar. Siapa pula tak terpana melihat ketampanan dan kekayaan Reihan? Hanya orang baik-baik saja mungkin yang tak bertekuk lutut. Setiap minggu hampir ada perempuan yang menembak dan diputuskannya. Perempuannya pun semuanya berkelas. Tak ada yang miskin apalagi kampungan. Namun sama sekali tak ada perasaan terhadap mereka, kecuali satu gadis yang bernama Adelia. Sayang gadis itu sulit ditakhlukkan. 

 Reihan adalah anak kesayangan. Dia tak pernah mendapat teguran apalagi tamparan, dengan alasan dia jarang di rumah kecuali hari Minggu dan Sabtu. Nilai-nilainya selalu melonjak tinggi, itulah yang membuat dirinya menjadi anak kesayangan. Sementara Dewa selalu menjadi bahan bual-bualan amarah ibunya. Lantaran nilainya jarang memelok mata, ditambah pekerjaannya hanya kluyuran dan melamun di kamar saja. Rajin dia membolos, apalagi melanggar aturan sekolah! Itu sudah menjadi kewajiban baginya. 

 Dulu sewaktu detak jantung ayahnya masih berdentum. Dewa tak semenderita ini, selalu ada yang membela kemalasannya.

 "Setiap orang itu mempunyai kelebihan dan kekurangan masing-masing. Mungkin Dewa seperti ini, karena ada hal yang dipikirkannya. Kalian seharusnya menanggapi dengan bijak! Jangan malah membuatnya tertekan! Nantinya dia malah bisa berontak! Coba tanyalah apa yang membuatnya sering bermalas-malasan dan melamun di kamar." Kata ayahnya dulu sewaktu dia dimarahi oleh ibunya. Lantaran dia membolos sekolah.

 "Kau ini selalu membela anakmu yang pemalas,"

 "Bukan begitu! Tapi kita sebagai orangtua seharusnya bisa bertindak dengan benar!" 

 "Ah entahlah! Aku malas ngurusi anak kamu yang satu itu," gerutu ibunya kesal lalu masuk ke dapur.

 "Memangnya apa yang kamu pikirkan, Dewa?" ayahnya membuka hati untuk mau mendengarkan keluh kesah dirinya.

 "Malas sekolah, Dewa suka alam luar! Dewa sama sekali tak menginginkan bangku sekolah! Melihat anak-anak suka facebookan di kolong meja, atau tidur-tiduran ketika pelajaran berlangsung! Membuat emosi Dewa mendidih. Entah mengapa sebab itu, Dewa tak suka pelajaran sekolah. Dewa lebih suka belajar dengan anak-anak yang semangatnya berkobar! Seperti anak jalanan yang tidak mampu duduk sejajar dengan Dewa. Dewa mencintai mereka ayah! Dewa belajar dengan mereka." Terang Dewa dengan kepala menunduk. Beliau pun membelai ubun-ubunnya seraya berkata, 

 "Ayah bangga dengan jalan pikirmu! Kalau begitu ayah percaya kau bukanlah anak pemalas! Ayah izinkan kamu melangkah sesuai jalan yang dikehendaki hatimu. Tidak perlu dengan prestasi yang memelok mata! Buatlah mereka sadar diri akan pentingnya belajar." Kata beliau dengan bijak. "Memangnya apa cita-citamu?" 

 "Dewa ingin hidup dengan anak jalanan, Ayah! Dewa ingin makan bersama mereka, Dewa ingin belajar dengan mereka." 

 "Itu bukan cita-cita! Tapi ayah harap kamu bisa menjadi contoh yang baik untuk mereka." 

 "Apa? Jadi cita-cita kamu mau jadi anak jalanan? Memalukan!" hardik Reihan yang mendengar obrolan mereka dari ruang tengah. 

     °°°°°°

 Usai mandi dan merapikan kamarnya, dia pergi untuk menemui ibunya. Sepeda polygon yang berlapis cat hitam itu diobelnya dengan membara. Jalan raya telah dipadati ribuan kendaraan berasap polusi. Hidungnya dibungkus masker hijau muda, seperti miliknya korban bencana Merapi. Derap laju orang penggiur ekonomi telah tertopang di sederet jalan trotoar. Sesekali Dewa melirik ke kanan dan ke kiri ketika berhenti di lampu merah. Jika ada pengemis yang menjulurkan tangannya ke atas. Dia pun membagi koin-koin rupiah yang dibawanya dari rumah. 

 Jarak antara rumah dan toko ibunya bisa dikata tidak dekat. Dari kampung harus menyebrang gang demi gang untuk sampai ke jalan raya. Melewati pasar Kaliangkrik, pasar Beseran, dan pasar Bandongan, baru sampai ke keramaian kota yang kaya akan lampu merah. Itu memerlukan waktu lebih dari DUA JAM bersepeda. Bayangkan! Dua jam!!! Belum lagi jalannya yang naik turun, bagi dirimu pasti tak kuat, tapi untuk Dewa itu hal yang biasa. Dewa memang selalu pintar membuat ibundanya jengkel. Sesampainya di sana pasti tokonya mulai sepi dan bantuan jasanya pun sudah tak berarti. Sekali lagi anak itu hanya meringis tanpa merasa telah mengemban dosa. Dan tentunya ocehan ibunya mampu mengalahkan burung Beo milik tetangga. 

 Kini dia berdiri di pertigaan lampu merah kota. Jika belok ke kiri itu berarti ke toko ibunya, ke kanan ke komplek perumahan kumuh, lurus ke alun-alun Magelang. Sebelum lampu hijau menyala, dia pun menimang-nimang pemikirannya. 'Haruskah aku ke toko Ibu? Sementara waktu sudah menunjukkan pukul 14:00 WIB. Pasti toko sudah sepi, toh Ibu juga punya tiga karyawan,' dia mengangguk-anggukkan kepalanya dan akhirnya belok ke kanan. 'Maafkan aku Ibu, rasanya aku butuh pengalaman baru tentang kehidupan sosial'. 

 Keringat telah bercucuran hingga menetes ke Bumi. Bajunya yang tadinya kering, kini basah mengumbar aroma busuk. Letih mendekap raganya. Kamera digital yang dikalungkan di lehernya digapainya sejenak. Kilatan blitz kameranya menyambar-nyambar aliran sungai itu. Dewa kembali memasang matanya di jendela bidik, sambil memencet tombol shutter. Cekreeekkk..sekali lagi dia berpose untuk mengambil gambar perumahan di samping sungai yang airnya berwarna hijau tua dan keruh. Beberapa sampah plastik mengapung di atasnya. Dewa hanya menggeleng-geleng pilu. Inikah negeriku yang kaya akan bahan pangan? Memalukan! Jerit batinnya. 

 Dewa memarkir sepedanya di pinggiran jalan. Dia berdiri menjaring pandangan ke sekitar. Ada pusat rumah kardus yang terletak di sebelah Utara dia berdiri. Di sana beberapa anak sedang berlari-lari kecil saling mengejar dengan kecerian. Nampaknya anak itu sedang bermain-main. Hal itu menggoda Dewa untuk memeta jejak di atas lahan itu. Dia pun berjalan ke arah mereka sambil menuntun sepedanya di sebelah kiri. 

 "Halo adik-adik!" sapanya dengan senyuman madu. Kali ini sepedanya diparkir di samping rumah kardus yang tingginya hampir sama dengan ketinggian tubuhnya.

 "Apa lo ke sini! Orang kaya tidak boleh melewati kawasan kami!" sahut pemuda paling tinggi di antara mereka. Ada enam anak kecil kira-kira umur lima tahun, dan tiga anak seumuran SMP, sementara yang sedang berbicara itu kurang lebih seumuran Dewa. Wajah yang mengusam tersapu terik mentari bercampur bau amis jarang mandi. Baju yang mereka pakai seadanya, ada yang robek ada pula yang kumal bahkan gegedean. Bibir sekering aspal, rambut acak-acakan. Layaklah mereka disebut gembel. Namun Dewa tak sejahat itu.

 "Saya bukan orang kaya, saya orang miskin seperti kalian!" terang Dewa menutupi kebenaran. "Hay adik kecil," sapa Dewa sambil jongkok di hadapan gadis belia yang rambutnya sebahu. Gadis itu berpipi tembem, wajah manis namun kusam, jidadnya ditutupi poni Dora, telinganya tak terhias permata. Mata gadis yang baru berumur lima tahun itu bulat ceria. Anak itu langsung bersembunyi di balik pemuda yang tengah mengatakannya kaya. 

 "Maaf lo dilarang ke sini, pulanglah sana ke rumah lo! Orang kaya hanya akan mengusik ketenangan jiwa kami. Rumah yang telah lama kami bangun akan digusur untuk dibangun gedung-gedung pencakar langit, atau dibuat jalan mobil-mobil mewah," bentak pemuda itu dengan tatapan garang. Anak kecil yang tadi disapa Dewa memegangi celana kebesaran pemuda itu. Kalimat yang baru saja terlontar membuat hati Dewa miris. Rasanya sakit sekali. Hal itu mengingatkan kepada kejadian tiga tahun silam. 

 Kala itu dia diajak ibunya ke Semarang untuk melihat lahan butiknya yang akan segera dibangun. Awalnya lahan itu ditempati puluhan gelandangan. Karena tanah itu telah sah menjadi milik ibunya, mereka pun diusir dengan cacian tak luput dari bentakan. Ada sedikit perasaan iba kala dia menatap segerombol gelandangan yang ditendang-tendang tanpa hati, oleh karyawan suruhan ibunya. Tak dirasa satu butir airmata merembas menghujam sukmanya. 

 Dewa memang laki-laki. Namun entahlah, hatinya terluka jika melihat kaum bawah diinjak-injak tanpa hormat. Ingin rasanya dia menghajar orang tak berakhlak yang memperlakukan mereka layaknya binatang. Indonesia yang kaya akan rempah-rempah masih saja banyak orang miskin yang dilantarkan oleh pemerintah. Hak asasi manusia dikata telah dijunjung, namun perlakuan seperti Babi dan Anjing sering tercolok mata Dewa. Apa arti kehidupan ini? Di mana jati diri bangsa selama ini? Oh Tuhan! lebih menyakitkan lagi, ternyata ibunya juga sama halnya dengan orang yang tak berperi kemanusiaan. Seenaknya saja menyuruh para gelandang pergi dengan umpatan dan makian.

 "Gelandang busuk! Pengamen jalanan yang tak pernah mandi, dan pengemis-pengemis memelas. Pergiii! Lahan ini akan saya bangun menjadi toko butik saya. Sampai saya lihat ada kalian di sini lagi, jangan harap saya akan berbaik hati kepada kalian!" bentak ibunya. 

  Mereka pun lari terbirit-birit dengan tatapan muram. Ada yang menangis karena ditendang, ada yang bersujud meminta harapan, supaya lahan yang selama itu menjadi tempat tinggal mereka tak digusur. Sayang permintaan itu sama sekali tak digagas oleh ibunya. 

 "Saya hanya ingin bermain dengan kalian, baiklah jika kalian melarang. Permisi!" 

Dewa bangkit lalu memutar sepedanya. 

 "Apa benar kau ingin bermain dengan kami?" jerit seorang gadis berumur enam belas tahun. Selisih dua tahun dengannya. Gadis itu berambut panjang. Rok ibu-ibu bermotif batik dengan cat cokelat dipakainya. Baju you can see putih membalut tubuhnya. Ah nampaknya hidup anak gelandangan tak terlalu memerhatikan penampilan mereka. Asal ada kain, apa pun bentuknya langsung dipakai saja, tanpa menghiraukan keindahan. Pantas atau tidaknya.  

 Dewa mengerem langkahnya. Dia putar kembali tubuhnya menghadap sang empunya suara. Wajah gadis itu semrawut! Rambutnya tak tersisir, mulutnya cokelat. Tangan kirinya memegang bola. 

 "Ya. Jika kalian berkenan mengajak saya!" kilah Dewa dengan lensa yang kaya akan makna harapan.

 "Baiklah. Ayo main bola bersamaku!" 

 "Heh, apa-apaan kamu, Intan? Tak usah kau ajak lelaki itu, atau kau akan dihajar orang-orang kaya teman mereka. Kita akan dicaci gembel! Kita akan diolok-olok dan dijeweri orangtua mereka!" sergah pemuda yang tadi. 

 "Tapi dia nampaknya anak baik, Kak." sanggah Intan, nama gadis itu.

 "Saya bukan orang kaya, kalau saya kaya... saya tak akan berada di sini!" kata Dewa coba meyakinkan lagi. "Lihatlah, saya ke sini hanya memakai sepeda tua, baju saya juga tak berkelas. Hanya rapi dan bersih," lanjutnya.

 "Tapi kau membawa kamera digital! Tampangmu juga bersih rupawan, pasti kau juga memiliki hape. Tentunya kau orang kaya," sambung pemuda lain yang berdiri di sebelah Intan.

 "Apakah orang membawa kamera itu berarti orang kaya? Tak semuanya seperti itu! Bahkan saya tak punya apa-apa. Kalian yang lebih kaya daripada saya, kalian punya rumah kardus. Saya sendiri tidak! Jika punya itu pun milik orangtua saya. Apa yang perlu dibanggakan? Toh kekayaan itu bukan milik saya," Dewa berucap dengan bijak. 

 Belum ada jawaban dari mereka. Mendadak pandangannya tersapu ke belakang. Teriakan warga yang lari berbondong-bondong membawa kayu dan rotan, bahkan pisau tercermin di bola matanya. 

 "Maliiiinnnngggg!!! Maliiinnnggg..." 

 Lelaki. Berambut cepak dengan baju oblong cokelat kusam kedodoran, berlari ke arahnya. Laki-laki yang ditaksir umurnya masih sebaya dengannya itu, memasang airmuka ketakutan. Kakinya yang tidak beralas tak sempat memilih jalan indah. Bebatuan kerikil diinjaknya begitu saja.

 "Maliinngg!" jerit warga lagi. Dewa bingung harus berbuat apa. Lelaki yang membawa tas perempuan itu mendekatinya, dia lalu meletakkan topi di atas kepalanya sambil melempar tas bawaannya. Sementara dirinya langsung berhambur pergi. Anak jalanan yang ada di sana pun, ke semuanya masuk ke dalam tenda kardus. Mereka tak ingin kena masalah dengan warga. Jika ada maling yang menjarah harta warga, merekalah sasarannya. 

 "Maling itu ada-ada saja, masak dalam keadaan seperti ini masih sempat memakaikan topi kepadaku! Hehehehehe... " Dewa malah terkekeh. Dia lalu memungut tas yang baru saja dilempar oleh maling tersebut. Berniat ingin memberikannya kepada warga. 

 Buk... buk... buk...

 "Maling keparat! Jangan diberi ampun," amuk warga, seraya memukul badan Dewa tanpa dosa. 

 "Ampun! Bukan saya, malingnya. Bukan saya... "

 Buk... buk... buk... 

 Warga sama sekali tak menghiraukan omongannya. Mereka menghajar Dewa dengan emosi yang terbakar. Dewa ditendang, ditonjok, diinjak badannya berkali-kali. Pukulan itu dirasa sangat perih di perutnya. Sempat dia muntah darah, namun tetap saja warga terus mengamuknya. 

 "Pak... say... saya... buk...bukan.. maling!" Dewa berusaha menjelaskan.

 "Mana ada maling ngaku! Kalau ngaku, penjara penuh. Buk... buk... " sergah bapak-bapak berkalung handuk. Nampaknya dia adalah tukang becak. 

 Dewa berharap, semoga ada anak jalanan yang mau menjelaskan bahwa dia tidak bersalah. Sedari tadi dia di sana mengobrol bersama mereka. Dia ingin mengajak bermain mereka. Malah bencana menimpanya. 

 Dalam tenda hati Intan gusar. Ingin sekali dia keluar melihat keadaan. Namun sahabat-sahabatnya melarang. Resiko maut akan bertambah lebar, jika mereka keluar. Warga yang bringas itu akan mengamuk mereka. Selama ini, warga menganggap kalau pencuri itu adalah komplotan mereka. Walaupun itu tidak salah! Demi teman mereka pun selalu berusaha menutupi aib satu sama lain. Di antara mereka ada yang hobi mencuri, ada yang hobi menipu penjual, bahkan ada yang berani merampok toko emas permata di kota. Alasan mereka pun tak jauh berbeda, terpaksa demi sesuap nasi. Mau kerja saja sering ditolak mentah-mentah, kalau diterima pun hanya diberi nasi sisa. Itu namanya pelecehan! Lebih baik mengamen atau merampok, yang penting harga diri tak diinjak-injak. 

 "Kak... kasihan pemuda tadi, dia tidak bersalah!" 

 "Apa kau mau keluar menyelamatkan dia? Dan kamu sendiri akan ikut dipukuli oleh warga?" 

 "Tidak Kak, tapi... itu kan salah Enggar!" desah Intan sambil menunjuk wajah Enggar pencuri tadi, yang kini duduk melingkarkan tangan di lututnya. Kepalanya menunduk ke bawah. Dia nampak ketakutan sangat.

 "Maafkan aku Intan, aku terpaksa. Aku lapar. Seharian penuh aku belum makan, dari semalam hingga saat ini. Maafkan aku Intan!" Enggar coba menjelaskan dengan nada yang sarat akan penyesalan. 

 "Aku kan sudah bilang! Kalau mau mencuri cari waktu yang tepat! Jangan sampai korban mengetahui gerak-gerikmu! Kalau memang waktu tak aman, jangan bertindak nekat!" Intan menasehati.

 "Aku sudah tak kuat Intan! Aku lapar. Maagku kambuh! Ulu hatiku sakit... hiks... hiks... " Enggar tersedu-sedu.

 "Minumlah air ini! Barangkali bisa menahan rasa laparmu sampai nanti malam," perintah Agus yang tak lain teman mereka. 

 Enggar meneguk air mineral yang tersimpan di botol akua itu. Dia merasa terharu dengan kebaikan Agus. 

 "Bagaimana pun dia tidak bersalah! Dia mencuri karena terpaksa, lagi pula pemerintah juga kurang memerhatikan kita! Masih banyak yang korupsi uang-uang negara, mereka jarang diamuk! Lah kalau kita mencuri karena kelaparan. Itu kan seharusnya tidak mendapat hukuman, bukankah kejahatan itu tak seberapa dengan yang dilakukan pemerintah?" pemuda yang tak lain adalah ketua mereka memandang kepala Enggar. Dia pun mengangguk. 

 "Aku kelaparan! Aku ingin makan, apa aku salah?" 

 "Kau tidak salah," 

 "Tapi Kak, kasihan pemuda tadi!" Intan berkata iba. 

 "Kakak tadi baik," seloroh anak kecil yang tadi diajak ngobrol Dewa, sementara dia malah sembunyi di balik ketua. 

 "Kalau baik, kenapa Caca tadi sembunyi di balik tubuh kakak?" dia jongkok menghadap ke tubuh Caca. Tangannya yang kasar menyentuh bahu Caca dengan lembut. 

 "Caca... e... Caca takut dibawa pergi dan berpisah dengan Kak Ovan. Seperti waktu dulu," terang Caca lalu memeluk Ovan, sang ketua gelandangan. Yah dulu kala, Caca pernah ingin diadopsi seorang wanita renta yang tak dikaruniai buah hati.

 "Oh Caca..." sejenak Ovan memandang haru, wajah Caca yang belum tahu apa-apa. "Bagaimana pun kita harus bersama. Jika ada salah satu di antara kita yang dipenjara, kita pun harus ikut dipenjara... dan Enggar! Kau tak usah menunduk ketakutan seperti itu... aku mengerti mengapa kamu seperti itu." 

 "Iya, Kak... maafkan Enggar," mereka berpelukan. Sementara Intan masih mondar-mandir dengan melipat tangannya di dada.

 Anak jalanan yang lain pun tak kalah resah. Mereka bersembunyi di balik tenda kardusnya dengan perasaan bersalah. Ingin sekali mereka keluar, namun kehampaan jiwa akan kabut angkara warga mencekik keberanian mereka untuk membela Dewa. Dalam hati mereka hanya berbisik. "Maafkan kami," 

 Kepala Dewa terasa pening. Sekujur tubuhnya sakit tidak keruan. Serasa maut telah berada di kerongkongan. Bibirnya berdarah! Wajahnya bengkak, merah-merah. Dari lubang hidungnya mengalir darah segar. Tangan kirinya memegangi perutnya yang sedari tadi ditendang-tendang oleh warga, sementara yang kanan memegangi kepalanya. Bagian tengkuknya mengeluarkan darah, sabetan rotan dan kayu, tadi sempat menjarah bagian rawan di kepalanya. Napasnya mendadak seolah tersekat. Udara tak mampu dihirupnya. Serasa langit roboh menimpanya dengan murka.

 "Tuhan! Tolong aku," batin Dewa. "Tuhan sakit sekali," 

 Beberapa menit kemudian warga menghentikan pukulannya. Mereka merasa sudah puas menghajar Dewa yang disangka malingnya. Tas milik perempuan yang tadi dicopet diambil oleh tukang becak yang emosinya tadi tak kalah meledak. Satu persatu warga pergi meninggalkannya. 

 "Bagaimana dia? Apa harus kita bawa ke kantor polisi?" tanya salah satu warga yang berkumis tebal.

 "Tak usah, keadaannya nampak buruk sekali, kita tinggalkan saja pencuri ini, dari pada kita kena semprot polisi karena bertindak semaunya," kata warga yang berkepala botak. 

 "Nampaknya dia kesakitan, bagaimana kalau dia meninggal!" 

 "Biarkan saja! Itu adalah imbalan bagi pencuri bajingan seperti dia," 

 Mereka lalu bubar semua. Tubuh Dewa dibiarkan terkelepar di tanah itu sendirian. Langit mulai menggelap. Senja pun menjemput petang. Suasana menjadi hening. Mentari perlahan tenggelam di ujung Barat. Kala itu Intan mengangkat tubuh Dewa masuk ke dalam tendanya. Dia mengobati luka Dewa dengan mengompresnya menggunakan air hangat.

 "Kau boleh tinggal sementara waktu di sini," kata Ovan, "Ingat hanya sementara, jangan lama-lama!" 

 "Setidaknya sampai dia sembuh, Kak." sahut Intan.

 "Kakak harus sembuh... harus sembuh... harus! Dan kita akan main bola bersama..." sambung Caca.

 Apa mereka tak punya orangtua? Kenapa hanya tidur di jalanan seperti itu? Dari mana mereka mendapat belas kasihan? Dari mana mereka makan? Dari mana mereka mendapatkan pendidikan? Pertanyaan itu yang tertera di dalam hati Dewa. 

 Dewa waktu itu hanya diam. Dia tak tahu harus berkata apa, yang diketahuinya tubuhnya serasa mau rontok ke semua tulang-tulangnya. Malam itu dia tidak kembali pulang. Cita yang dulu diucap di depan almarhum ayahnya pun terkabulkan. Katanya, dia ingin tidur bersama anak jalanan. Walau caranya menyakitkan, namun setidaknya cita-citanya telah diraihnya. Tapi apakah benar cita-cita Dewa hanya seperti itu? Ah entahlah, Dewa sendiri bingung dengan mimpi yang harus digapainya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status