Di sudut istana yang megah dan penuh kemewahan, ada satu bangunan yang selalu dihindari, tempat yang bahkan para pelayan istana enggan menatap terlalu lama. Itu adalah menara lonceng—sebuah bangunan tua yang kini tampak merana, ditinggalkan begitu saja. Dulu, menara ini menjadi pusat perhatian, tempat lonceng berat yang menggema di seluruh istana, memperingatkan para penghuni tentang bahaya yang mendekat. Namun, sejak Kaisar Xian Shen berkuasa, menara itu telah sunyi, dan tak seorang pun berani mengganggu keheningan yang melingkupi kekuasaan sang kaisar.
Xian Ling, putri mahkota yang selalu diliputi rasa ingin tahu, merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar cerita hantu yang beredar di antara para pelayan. Dengan hati berdebar dan keberanian yang mendidih dalam dirinya, ia memutuskan untuk menembus tabu yang telah lama membayangi menara lonceng. "Mungkin di sana aku bisa menemukan hantu yang bisa mengajariku jurus-jurus inti dengan cepat," gumamnya dengan semangat yang tak bisa ia kendalikan.
Angin dingin malam menyusup di antara celah-celah menara saat Xian Ling mendekat, tapi ia tidak mundur. Menara itu berdiri tanpa penjagaan, seolah menantang siapa saja yang cukup berani untuk memasuki rahasia kelamnya. Dengan napas tertahan, Xian Ling membuka pintu kayu yang sudah mulai lapuk, suara deritnya menggema dalam keheningan. Di dalam, udara dipenuhi debu, dan cahaya remang-remang dari celah dinding membuat bayangan menari-nari, seakan menyambut kehadirannya. Tapi bagi Xian Ling, ini bukanlah tempat menyeramkan—ini adalah tempat peluang, tempat di mana ia berharap akan menemukan kekuatan yang tak terbayangkan.
Langkah Xian Ling bergema pelan di lantai batu yang dingin, setiap langkahnya membangkitkan gema samar yang seolah berasal dari masa lalu yang terlupakan. Udara di dalam menara begitu tebal dengan debu, membuatnya harus menutup hidung dengan lengan untuk mencegah batuk. Setiap jengkal dinding dipenuhi lumut, dan sarang laba-laba tergantung seperti tirai kegelapan, menciptakan kesan bahwa tempat ini benar-benar telah ditinggalkan selama bertahun-tahun.
“Kenapa tempat ini begitu sunyi?” gumam Xian Ling pada dirinya sendiri, matanya berkeliling mengamati ruangan yang luas dan gelap. Ia melangkah mendekati tangga spiral yang menjulang ke atas, menuju puncak menara yang tersembunyi dalam bayang-bayang. “Apakah hantu-hantu itu benar-benar ada?” ia bertanya lagi, kali ini suaranya lebih berbisik, seolah takut mengganggu penghuni tak terlihat.
Tanpa ragu, ia mulai menaiki tangga itu, tangannya menyentuh pegangan yang dingin dan licin. Di setiap putaran tangga, ia merasakan keheningan semakin pekat, seolah menara ini sendiri sedang mengamati kehadirannya dengan diam-diam. Nafasnya semakin berat, bukan hanya karena ketinggian, tetapi juga karena ketegangan yang semakin menyesakkan dadanya. Namun, di dalam benaknya, sebuah harapan kecil terus menyala—mungkin, hanya mungkin, ada sesuatu di atas sana yang bisa membantunya.
Setibanya di puncak, Xian Ling menemukan ruang terbuka yang luas dengan lonceng besar yang menjulang di tengahnya. Cahaya bulan yang menyelinap melalui celah-celah atap yang rusak menciptakan bayangan misterius di sekitar ruangan. Lonceng itu, meskipun tua dan berkarat, masih berdiri tegak, seolah menantang waktu. Di bawahnya, lantai dipenuhi dengan tulisan kuno yang sudah nyaris tak terbaca, seakan mencatat rahasia yang sudah lama dilupakan.
“Apakah ini tempat di mana semua cerita hantu berasal?” Xian Ling bertanya dengan suara rendah, lebih kepada dirinya sendiri. Ia merasakan angin dingin yang menerpa wajahnya, membawa aroma besi tua dan kelembapan. Ada sesuatu yang aneh di udara, sesuatu yang membuat bulu kuduknya berdiri. Ia menatap lonceng itu, berharap menemukan tanda-tanda kehidupan atau mungkin, tanda-tanda dari hantu yang ia harapkan.
“Hantu... jika kau benar-benar ada, tunjukkan dirimu,” katanya, suaranya nyaris tenggelam dalam kesunyian menara. Tidak ada jawaban, hanya suara angin yang melintas cepat, membuatnya semakin waspada. Xian Ling menajamkan pendengarannya, mencoba menangkap setiap suara kecil di sekelilingnya.
Suara gemerisik halus mulai terdengar, seolah-olah ada yang bergerak di sudut-sudut gelap ruangan. Xian Ling membelalak, matanya berkeliling, mencari sumber suara itu. “Apakah itu kau?” ia bertanya lagi, kali ini dengan nada sedikit gemetar. Jantungnya berdegup kencang, tetapi matanya penuh dengan tekad. Apa pun yang ada di sini, ia akan menghadapinya, demi mendapatkan kekuatan yang selama ini ia cari.
Ketika ia berjalan lebih dekat ke lonceng, bayangan di sekitarnya tampak bergerak, semakin hidup dengan setiap langkahnya. Dalam keheningan yang mencekam, ia merasakan udara di sekitarnya mulai bergetar, seperti ada sesuatu yang mulai terbangun dari tidur panjangnya. Sesuatu yang selama ini menunggu, tersembunyi di balik dinginnya dinding-dinding menara lonceng ini.
“Jika kau bisa mengajariku, aku siap belajar,” bisiknya dengan penuh keyakinan, berharap apapun yang ada di sini mendengarnya. Dan dalam kesunyian yang nyaris mutlak, Xian Ling menunggu, siap menghadapi apa pun yang akan datang.
Namun, hanya kesunyian yang menyambutnya.
Kaisar Xian Shen berdiri di balkon istananya, memandang luas ke arah cakrawala Benua Timur yang terbentang di hadapannya. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah dan dedaunan, namun hatinya bergolak dengan amarah yang membara. Para raja di bawah kekuasaannya telah mengabaikan panggilannya untuk bersatu dalam pertempuran penting, meninggalkan kekaisaran dalam keadaan rentan.Raja-raja ini lebih mementingkan wilayahnya sendiri dan menolak untuk mengirim pasukan ke East City untuk meredam invasi dai Necromancer beserta asukannya yang ingin menghancurkan Dinasti Xian."Bagaimana mungkin mereka berani mengkhianati kepercayaan dan sumpah setia mereka?" gumamnya dengan suara bergetar, tinjunya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih.Dengan tekad yang tak tergoyahkan, Kaisar Xian Shen memerintahkan pengerahan pasukan besar untuk menaklukkan semua kerajaan yang membangkang. Satu per satu, kerajaan-kerajaan itu ditundukkan dan diubah menjadi distrik provinsi yang langsung berada di bawah
Awan kelam menggulung di langit malam, kilatan petir menyambar tanpa ampun, menerangi medan pertempuran yang dipenuhi jeritan dan denting senjata. Di tengah kekacauan itu, Necromancer Agung melangkah maju, jubah hitamnya berkibar liar, mengeluarkan semburan energi gelap yang membangkitkan pasukan mayat hidup dengan rintihan mengerikan.Kaisar Xian Shen berdiri di garis depan, matanya menatap tajam ke arah musuh. "Pasukan Dinasti Xian, jangan gentar! Pertahankan tanah air kita!" serunya, suaranya menggema di antara deru pertempuran.Di sampingnya, Panglima Xian Heng menghunus pedangnya, kilauan tajam memantulkan cahaya petir. "Majulah! Hancurkan mereka!" teriaknya, memimpin serangan langsung ke barisan mayat hidup.Sun Wu Long, dengan pedang spiritualnya, mengeluarkan mantra api yang membakar musuh-musuhnya menjadi abu. "Kekuatan elemen akan membersihkan kegelapan ini!" katanya, semburan api memancar dari tongkatnya, menerangi medan perang.Sakuntala Dewa, dengan gerakan anggun, memang
Gong perang berdentang nyaring, suaranya menggema hingga ke sudut-sudut Pelabuhan East City. Di bawah langit yang mulai gelap, ribuan prajurit Dinasti Xian bergegas mengenakan baju zirah yang berkilauan di bawah cahaya obor. Mereka membentuk barisan kokoh di sepanjang tembok kota, tombak-tombak terangkat tinggi, busur-busur siap dengan anak panah yang mengarah ke cakrawala, sementara katapel raksasa diisi dengan batu-batu besar yang dilumuri minyak, siap dilemparkan.Di atas mereka, Naga Vikrama melayang gagah, sayapnya yang luas membelah angin malam. Raungannya menggetarkan hati, mata tajamnya memantau setiap gerakan di bawah.Di kejauhan, pasukan Kegelapan mulai tampak seperti gelombang hitam yang mendekat. Barisan Orc dengan armor berat berderap maju, langkah mereka mengguncang tanah. Di samping mereka, Dark Dwarf mengoperasikan mesin perang besar—menara pengepung dan katapel raksasa yang mampu meruntuhkan tembok dalam satu serangan. Para Necromancer berjubah hitam mengangkat tanga
Langit di atas Pelabuhan East City mendadak gelap. Awan hitam pekat bergulung-gulung, seakan-akan hendak menelan kota dalam kegelapan abadi. Angin kencang berdesir tajam, menerbangkan debu dan menerjang ombak hingga membantingnya ke tebing-tebing batu dengan suara gemuruh. Para penjaga di menara pengawas, yang tadinya berjaga dengan santai, kini menegang. Salah satu dari mereka nyaris menjatuhkan tombaknya saat melihat bayangan besar melayang di antara awan."NAGA!" teriak seorang prajurit dengan suara melengking, segera meraih palu besar dan membunyikan lonceng tanda bahaya. Dentang logamnya menggema ke seluruh pelabuhan, mengguncang ketenangan kota ini.Di atas punggung Naga Vikrama, Xian Ling berdiri dengan gagah. Rambut panjangnya menari liar ditiup angin, sementara jubah putihnya berkibar seperti bendera perang yang mengancam. Matanya menyala penuh keyakinan. Di belakangnya, Sakuntala Dewa dan Sun Wu Long duduk waspada, jari-jari mereka sudah menggenggam gagang senjata, siap mena
Pertempuran di Lembah Iblis benar-benar di luar dugaan Xian Ling. Angin dingin menyapu lembah, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang gugur. Suara dentingan senjata dan teriakan pertempuran masih terngiang di telinganya. Xian Ling berdiri di tengah medan yang porak-poranda, napasnya tersengal, sementara matanya menyapu sekeliling dengan penuh kewaspadaan.Ia tidak berhasil mendapatkan informasi mengenai Mahasura Arya, Pendekar Dewa Naga yang diyakini oleh Kitab Nirvana Surgawi mampu menyelamatkan Benua Timur dari kehancuran. Kekecewaan menyelimuti hatinya, seperti kabut tebal yang menutupi pandangannya.Bahkan, ia juga tidak mengetahui mengapa Qirani dan Qirana terjerumus ke dalam kegelapan dan menentangnya, padahal ia sama sekali belum pernah bertemu dengan pemimpin Lembah Iblis ini. Pengkhianatan mereka menusuk hatinya lebih dalam daripada luka fisik yang ia derita."Tuan Putri, apakah kita akan melanjutkan perjalanan kita di Benua Selatan ini?" tanya Sun Wu Long, suaranya penu
Sakuntala dan Sun Wu Long yang dikepung oleh puluhan murid Perguruan Lembah Iblis mulai merasakan kesulitan menghadapi mereka. Sakuntala memutar tongkatnya dengan kecepatan luar biasa, menciptakan badai angin yang menghantam musuh-musuhnya, melempar mereka ke segala arah. Sun Wu Long bergerak seperti bayangan, pedangnya menari-nari, memotong setiap lawan yang mendekat dengan presisi mematikan.Tiba-tiba, dari balik kabut tebal yang menyelimuti medan pertempuran, muncul sosok tinggi dengan aura gelap yang menakutkan. Dia adalah Panglima Kegelapan, tangan kanan Qirana, yang dikenal karena kekejamannya. Dengan satu gerakan tangan, dia memanggil makhluk-makhluk bayangan yang langsung menyerbu ke arah Sakuntala dan Sun Wu Long.Sakuntala mengerutkan kening, menyadari ancaman baru ini. "Wu Long, kita harus bekerja sama untuk mengalahkannya!" Sun Wu Long mengangguk, dan mereka berdua bergerak serentak, menyerang Panglima Kegelapan dengan kombinasi serangan yang terkoordinasi. Namun, Panglima