Di balik dinding kekaisaran yang megah, langit memudar menjadi merah muda keemasan. Namun suasana istana terasa tegang, seolah udara enggan bergerak, menahan napas. Lonceng istana berdentang.
"Utusan dari Dinasti Ching telah tiba!" seruan sang petugas memecah kesunyian, menggema di aula yang luas.
Kaisar Xian Shen memandang ke arah gerbang dengan alis terangkat. Mata tuanya menyipit, penuh dengan rasa ingin tahu bercampur waspada. Ketika sosok yang dikenal melangkah masuk, sejenak dia terdiam—Raja Shang Fu sendiri datang, bukan hanya sekadar utusan. Mantan jenderal Ching itu, kini dengan pakaian kerajaan yang mencerminkan kekuasaan, menunduk hormat di hadapan Xian Shen.
"Shang Fu, angin macam apa yang menghembuskanmu ke sini?" Kaisar Xian Shen tersenyum, namun matanya tajam. Nada suaranya ringan, tapi ada ketegangan samar di balik kehangatan itu.
Shang Fu perlahan bangkit, memandang Kaisar yang pernah ia dukung menguasai Benua Timur. Ia merasa hatinya tenggelam sejenak, mengenang pertarungan masa lalu ketika bersama-sama mereka meruntuhkan penguasa lama dan mendirikan kedamaian di lima dinasti. Tapi kali ini, ia datang dengan tujuan yang berbeda.
"Salam hormat, Yang Mulia." Ia menundukkan kepala sekali lagi, dengan suara yang berat. "Baginda tahu, hamba mencintai Putri Xian Ling seperti putri sendiri. Namun mengangkatnya sebagai penerus takhta... itu akan membawa kekacauan di antara tiga kerajaan lainnya."
Xian Shen tersenyum tipis. “Ling’er adalah pilihan yang sudah dipikirkan dengan matang. Aku tahu bakat dan kecerdasannya akan membawa kejayaan kekaisaran.”
Shang Fu menarik napas panjang, suaranya hampir berbisik. "Tiga kerajaan tidak akan bisa menerima ini, Baginda. Di bawah permukaan, mereka pasti sudah mulai menyusun rencana… bahkan mungkin untuk menggulingkan Yang Mulia." Mata Shang Fu berkilat, memperlihatkan kekhawatirannya yang tulus. “Maaf kalau aku salah bicara.”
Xian Shen menepuk pundak sahabatnya dengan lembut, nada suaranya bergetar antara kehangatan dan kepastian yang tak tergoyahkan. "Aku tahu kau bersamaku, Shang Fu. Tetapi ini adalah keputusan yang harus ditegakkan—menariknya kembali akan merusak wibawa kekaisaran."
Hati Shang Fu terasa berat. Dia tahu bahwa bagi Xian Shen, ini adalah prinsip yang tak mungkin diingkari. Sahabat lama itu memandangnya penuh keyakinan, seolah waktu tak pernah menyisakan keraguan.
"Kalau begitu, hamba akan mematuhi keputusan Yang Mulia," jawab Shang Fu akhirnya, meski nada kecewa tak dapat disembunyikan. "Namun, Baginda harus berjaga-jaga terhadap rencana dari tiga kerajaan. Dan bahkan dari kerajaan Ching, agar tidak timbul curiga yang bisa menambah ketegangan."
"Aku mengerti," jawab Xian Shen dengan suara mantap. "Aku harap kau dapat membimbingnya di masa depan, Shang Fu, mendukungnya sebagai Perdana Menteri jika saat itu tiba. Kau tahu, Ling’er punya kekuatan yang akan membawa kita semua ke masa kejayaan baru."
Shang Fu mengangguk, meski hatinya masih terbelah antara kesetiaan pada sahabat dan keraguannya pada keputusan sang kaisar. Angin istana bertiup pelan, seolah membawa pesan yang akan mengubah Benua Timur selamanya.
Shang Fu menarik napas panjang, menundukkan kepalanya dalam penghormatan terakhir. Dengan langkah-langkah mantap, ia berbalik menuju pintu keluar, meninggalkan Kaisar Xian Shen yang menatapnya dalam diam. Namun, di luar aula istana, hati Shang Fu berkecamuk. Langkah kakinya yang tegas tak mampu menyembunyikan badai keraguan dan ketidakpuasan yang bergelora di dalam dirinya.
Begitu ia keluar dari istana, angin dingin dari puncak gunung menampar wajahnya, menyadarkannya kembali dari bayangan percakapan tadi. Matanya memandang lurus ke langit kelabu yang mendung, seakan langit ikut merasakan ketegangan yang menyelimuti seluruh Benua Timur.
“Yang Mulia terlalu keras kepala,” gumamnya dengan suara rendah, sambil mengepalkan tangan. “Xian Ling memang cerdas, tapi dunia ini penuh dengan ambisi pria yang haus kuasa. Tiga kerajaan lainnya tak akan segan menggunakan segala cara untuk menghalangi seorang wanita naik takhta.”
Shang Fu tak menyadari, seorang prajurit Ching, wajahnya setengah tersembunyi oleh bayangan, mengawasinya dari kejauhan. Mata prajurit itu menyiratkan pengabdian yang penuh. Ketika Shang Fu berlalu, prajurit itu melangkah maju, mendekat ke arahnya.
“Tuan, apakah kami akan berdiam diri?” tanya prajurit itu dengan suara terpendam.
Shang Fu memandang tajam prajuritnya, lalu menggeleng. “Kita tidak akan menentang Kaisar. Namun, kita akan memastikan kerajaan kita tidak terhanyut dalam gejolak yang mungkin akan terjadi. Pengangkatan Xian Ling tak hanya mengancam kestabilan kekaisaran, tapi juga bisa mengundang perpecahan dalam negeri kita sendiri.”
Prajurit itu mengangguk, dan Shang Fu melangkah lebih jauh, meninggalkan istana dengan pikiran yang terus berputar. Ia sadar, pengaruh kaisar begitu kuat. Meskipun hatinya tak rela, ia tahu dirinya tetap harus menjaga kesetiaan pada sahabatnya. Namun, saat itu, ada tekad yang tumbuh dalam hatinya.
Di sisi lain istana, Putri Xian Ling berdiri di depan jendela kamarnya, memandang hamparan lembah dan gunung yang jauh. Angin sore menyapu rambut panjangnya yang hitam, matanya berkilat dengan keberanian yang tak tergoyahkan. Ia sudah mendengar kedatangan Raja Shang Fu dan tahu betapa keberatannya sang raja pada penetapannya sebagai penerus. Namun, Xian Ling tak gentar. Tekadnya sekuat baja.
“Aku tidak akan mengecewakanmu, Ayahanda,” gumamnya pelan, suaranya serak oleh emosi yang ditahan. “Bahkan jika seluruh dunia menentang, aku akan buktikan bahwa aku mampu memimpin Benua Timur.”
Di luar, angin yang bertiup semakin kencang seakan menggema dengan perasaannya, membawa kabar perubahan yang siap menghancurkan atau membangun kembali kekaisaran ini. Dan di tempat-tempat jauh, di istana-istana megah yang tersebar di seluruh Benua Timur, para penguasa lainnya sudah mulai bersiap-siap. Mereka merasakan awal dari badai yang sedang mendekat, badai yang dipicu oleh keputusan Kaisar Xian Shen yang tak tergoyahkan.
Setiap detik berlalu, ketegangan di antara kerajaan-kerajaan pun meningkat. Dewan-dewan rahasia dibentuk, aliansi-aliansi bayangan terbentuk, dan mata-mata mulai bergerak, menembus istana kekaisaran dalam kegelapan malam. Mereka berbisik, bertanya-tanya—seberapa jauh Kaisar Xian Shen akan melangkah demi mempertahankan putrinya di kursi kekaisaran?
Kaisar Xian Shen berdiri di balkon istananya, memandang luas ke arah cakrawala Benua Timur yang terbentang di hadapannya. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah dan dedaunan, namun hatinya bergolak dengan amarah yang membara. Para raja di bawah kekuasaannya telah mengabaikan panggilannya untuk bersatu dalam pertempuran penting, meninggalkan kekaisaran dalam keadaan rentan.Raja-raja ini lebih mementingkan wilayahnya sendiri dan menolak untuk mengirim pasukan ke East City untuk meredam invasi dai Necromancer beserta asukannya yang ingin menghancurkan Dinasti Xian."Bagaimana mungkin mereka berani mengkhianati kepercayaan dan sumpah setia mereka?" gumamnya dengan suara bergetar, tinjunya mengepal erat hingga buku-buku jarinya memutih.Dengan tekad yang tak tergoyahkan, Kaisar Xian Shen memerintahkan pengerahan pasukan besar untuk menaklukkan semua kerajaan yang membangkang. Satu per satu, kerajaan-kerajaan itu ditundukkan dan diubah menjadi distrik provinsi yang langsung berada di bawah
Awan kelam menggulung di langit malam, kilatan petir menyambar tanpa ampun, menerangi medan pertempuran yang dipenuhi jeritan dan denting senjata. Di tengah kekacauan itu, Necromancer Agung melangkah maju, jubah hitamnya berkibar liar, mengeluarkan semburan energi gelap yang membangkitkan pasukan mayat hidup dengan rintihan mengerikan.Kaisar Xian Shen berdiri di garis depan, matanya menatap tajam ke arah musuh. "Pasukan Dinasti Xian, jangan gentar! Pertahankan tanah air kita!" serunya, suaranya menggema di antara deru pertempuran.Di sampingnya, Panglima Xian Heng menghunus pedangnya, kilauan tajam memantulkan cahaya petir. "Majulah! Hancurkan mereka!" teriaknya, memimpin serangan langsung ke barisan mayat hidup.Sun Wu Long, dengan pedang spiritualnya, mengeluarkan mantra api yang membakar musuh-musuhnya menjadi abu. "Kekuatan elemen akan membersihkan kegelapan ini!" katanya, semburan api memancar dari tongkatnya, menerangi medan perang.Sakuntala Dewa, dengan gerakan anggun, memang
Gong perang berdentang nyaring, suaranya menggema hingga ke sudut-sudut Pelabuhan East City. Di bawah langit yang mulai gelap, ribuan prajurit Dinasti Xian bergegas mengenakan baju zirah yang berkilauan di bawah cahaya obor. Mereka membentuk barisan kokoh di sepanjang tembok kota, tombak-tombak terangkat tinggi, busur-busur siap dengan anak panah yang mengarah ke cakrawala, sementara katapel raksasa diisi dengan batu-batu besar yang dilumuri minyak, siap dilemparkan.Di atas mereka, Naga Vikrama melayang gagah, sayapnya yang luas membelah angin malam. Raungannya menggetarkan hati, mata tajamnya memantau setiap gerakan di bawah.Di kejauhan, pasukan Kegelapan mulai tampak seperti gelombang hitam yang mendekat. Barisan Orc dengan armor berat berderap maju, langkah mereka mengguncang tanah. Di samping mereka, Dark Dwarf mengoperasikan mesin perang besar—menara pengepung dan katapel raksasa yang mampu meruntuhkan tembok dalam satu serangan. Para Necromancer berjubah hitam mengangkat tanga
Langit di atas Pelabuhan East City mendadak gelap. Awan hitam pekat bergulung-gulung, seakan-akan hendak menelan kota dalam kegelapan abadi. Angin kencang berdesir tajam, menerbangkan debu dan menerjang ombak hingga membantingnya ke tebing-tebing batu dengan suara gemuruh. Para penjaga di menara pengawas, yang tadinya berjaga dengan santai, kini menegang. Salah satu dari mereka nyaris menjatuhkan tombaknya saat melihat bayangan besar melayang di antara awan."NAGA!" teriak seorang prajurit dengan suara melengking, segera meraih palu besar dan membunyikan lonceng tanda bahaya. Dentang logamnya menggema ke seluruh pelabuhan, mengguncang ketenangan kota ini.Di atas punggung Naga Vikrama, Xian Ling berdiri dengan gagah. Rambut panjangnya menari liar ditiup angin, sementara jubah putihnya berkibar seperti bendera perang yang mengancam. Matanya menyala penuh keyakinan. Di belakangnya, Sakuntala Dewa dan Sun Wu Long duduk waspada, jari-jari mereka sudah menggenggam gagang senjata, siap mena
Pertempuran di Lembah Iblis benar-benar di luar dugaan Xian Ling. Angin dingin menyapu lembah, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang gugur. Suara dentingan senjata dan teriakan pertempuran masih terngiang di telinganya. Xian Ling berdiri di tengah medan yang porak-poranda, napasnya tersengal, sementara matanya menyapu sekeliling dengan penuh kewaspadaan.Ia tidak berhasil mendapatkan informasi mengenai Mahasura Arya, Pendekar Dewa Naga yang diyakini oleh Kitab Nirvana Surgawi mampu menyelamatkan Benua Timur dari kehancuran. Kekecewaan menyelimuti hatinya, seperti kabut tebal yang menutupi pandangannya.Bahkan, ia juga tidak mengetahui mengapa Qirani dan Qirana terjerumus ke dalam kegelapan dan menentangnya, padahal ia sama sekali belum pernah bertemu dengan pemimpin Lembah Iblis ini. Pengkhianatan mereka menusuk hatinya lebih dalam daripada luka fisik yang ia derita."Tuan Putri, apakah kita akan melanjutkan perjalanan kita di Benua Selatan ini?" tanya Sun Wu Long, suaranya penu
Sakuntala dan Sun Wu Long yang dikepung oleh puluhan murid Perguruan Lembah Iblis mulai merasakan kesulitan menghadapi mereka. Sakuntala memutar tongkatnya dengan kecepatan luar biasa, menciptakan badai angin yang menghantam musuh-musuhnya, melempar mereka ke segala arah. Sun Wu Long bergerak seperti bayangan, pedangnya menari-nari, memotong setiap lawan yang mendekat dengan presisi mematikan.Tiba-tiba, dari balik kabut tebal yang menyelimuti medan pertempuran, muncul sosok tinggi dengan aura gelap yang menakutkan. Dia adalah Panglima Kegelapan, tangan kanan Qirana, yang dikenal karena kekejamannya. Dengan satu gerakan tangan, dia memanggil makhluk-makhluk bayangan yang langsung menyerbu ke arah Sakuntala dan Sun Wu Long.Sakuntala mengerutkan kening, menyadari ancaman baru ini. "Wu Long, kita harus bekerja sama untuk mengalahkannya!" Sun Wu Long mengangguk, dan mereka berdua bergerak serentak, menyerang Panglima Kegelapan dengan kombinasi serangan yang terkoordinasi. Namun, Panglima